Menunggu Angin Bertiup
Oleh Yuhardi Tanjung
Part 9
Ramadhan tinggal 3 hari lagi. Besok rencana ku aku akan kembali ke Pdg. Sudah hampir sebulan lebih aku tanggal di kampung. Rindu ku kepada Bapak, ibu serta adik-adik membuat hati ku resah.
Angin siang berhembus pelan, sepoi-sepoi, sarang burung tempua yang tergantung di ujung daun kelapa di seberang jalan berayun pelan. Kampung terlihat lengang, orang-orang mungkin sedang istirahat di dalam rumah. Mobil hanya sekali-kali lewat, berlalu kencang meninggalkan debu berterbangan di belakang. Seekor anjing berlari dengan lidah terulur, sepertinya haus dan kelelahan.
Hari ini aku tidak ke sawah. Besok rencana ku akan kembali ke Pdg. Aku berharap hari ini aku bisa berjumpa dengan Wid. Aku ingin mengatakan perasaan ku kepadanya. Ada rasa yang tidak menentu, yang sedang bergelora di dalam hati ku. Untuk menghilangkan galau di hati, aku berjalan menuju ke Ujung Bukit, pergi ke rumah Syahril rencana ku. Kalau jalan ke sana tentu aku akan melewati rumah Wid. Mudah-mudahan nanti aku dapat melihat dia. Jangankan melihat dirinya, tampak atap rumahnya dari jauh pun tentulah akan sangat senang hati ini. Ingin rasanya singgah ke tempat Wid, tapi, ah… tidak enak nanti di lihat orang. Tapi aku sangat berharap bisa bicara dengan dia barang sebentar.
Kaki ini terus melangkah, sampai di depan rumahnya aku tidak melihat ada siapa-siapa disana. Suasana sepi sekali, biasanya ada anak laki-laki yang bermain di bawah pohon mangga itu. Ah… mungkin dia sedang pergi ke pasar, sedang membantu amaknya berjualan, … mungkin saja. Aku melanjutkan langkah kaki menuju ke rumah Syahril, mudah-mudahan Syahril ada dirumahnya.
Benar saja, alhamdulillah, Syahril ada di rumah, dia sedang menjemur padi di halaman rumah. Sesekali terdengar suaranya sedang mengusir ayam yang mendekat ingin makan padi. Cuaca memang sangat bersahabat, matahari bersinar terang. Dari jauh aku lihat dia sedang mengayunkan pelepah rumbia untuk mengusir ayam-ayam yang nakal itu.
“Hai.. apakabar?” dia menyapaku ketika aku telah sampai di hadapannya. Lalu dia panggil adiknya untuk menggantikan pekerjaannya menjaga padi dari ayam-ayam yang suka menguntil padi.
Langsung saja aku sampaikan maksud ku dengan menyebutkan berbagai macam alasan ku sekaligus kepada Syahril
Memang dia kawan ku yang baik itu agak kecewa, tapi akhirnya dia dapat memahami juga. “Jadi kapan si Eddy ke Pdg?” dia bertanya. Aku jawab “dua hari lagi” aku berkata kepadanya sambil mengusir seekor ayam yang coba mendekati hamparan padi yang sedang terjemur di atas tikar karung goni itu.
“Ayo Di kita jalan kebelakang sebentar, kita ke kebun, lihat apakah orang-orang sudah selesai memetik cabai” Syahril membuat suasana obrolan menjadi lebih santai dengan cara membawa aku berjalan ke belakang rumahnya. Di sana terdapat beberapa petak kebun cabai, dan para petani cabai itu sekarang sedang memanen buah cabainya.
Sesampai aku di belakang rumahnya, aku jadi terpana karena melihat rumpun tanaman cabe yang tumbuh di kebun itu begitu lebat buahnya. Setiap petak kebun cabe di tempat itu di penuhi oleh warna merah buah cabai. Kenapa tidak, setiap tanaman cabe menghasilkan buah yang lebat lagi rimbun, sampai-sampai pokok batangnya menjadi merunduk karenanya. Aku berdecak kagum dengan pemandangan ini. Akulihat orang-orang yang sedang bekerja memetik cabai itu tampak senang dan girang. Mereka adalah keluarga dan sanak famili Syahril. Tentu saja mereka senang, karena aku tahu menjelang hari lebaran esok harga cabai akan terus merangkak naik. Dan mereka akan mendapatkan untung berlipat ganda dari hasil panen mereka sekarang.
Aku telah puas mengelilingi kebun cabe itu, kemudian aku dibawa oleh Syahril memotong jalan, jalan pintas yang bisa tembus ke rumahnya Eni, temannya Wid. Sebuah rumah ditengah kerimbunan pepohonan, disambut dengan riuhnya suara ayam-ayam yang ribut berkotek-kotek, mungkin ada ayam yang baru bertelor di dalam kandang. Akhirnya kami pun sampai dekat sebuah rumah.
Di rumah itu tida ku lihat seorangpun, sepi, terasa di sekeliling. Memang rumah-rumah di kampung biasanya pada siang hari tidak ada orang, karena mereka lagi bekerja di sawah atau di ladang.
Aku tidak tahu mengapa Syahril mengajak ku lewat ke jalan belakang itu. Dan aku sendiri baru pertama kali lewat di situ, belum pernah sebelumnya. Di sekitar situ ada beberapa rumah yang jarak agak berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Rumah-rumah disini pada umumnya berada dalam parak atau kebun. Biasanya masing-masing kebun ada pagarnya, paling banyak dipagai dengan bambu, tapi ada juga yang memakai kawat berduri. Kalau jalan keluar dari parak harus lewat pintu pagar, yang diberi semacam injakan yang timbal balik, luar dalam, tempat kaki bisa berpijak dan melangkahi pagar tersebut. Tentu pintu pagar itu dibuat sedemikian rupa agar orang bisa lewat disitu, bukan untuk binatang yang suka menjarah isi parak, seperti kambing, sapi dan kerbau lepas. Dan aku telah melewati pintu demikian sebanyak tiga kali. Selagi asik melihat dan memperhatikan suasana kebun di sekeliling, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengucapkan salam, suara seorang wanita, aku tidak melihat orangnya. Tapi suara itu rasa-rasanya aku kenal. Aku masih saja tidak melihat sosok orangnya. Ku tanya Syahril, siapakah orang yang mengucapkan salam itu? Tapi Syahril tidak menjawab. Dia hanya senyum-senyum saja. Ah .. aku tidak puas, aku melihat bola matanya melirik ke arah sebuah rumah. Aku segera menuju ke rumah itu, untuk mencari tahu siapakah tadi yang memberi salam kepada ku.
Oh… ternyata ada yang keluar dari dalam rumah itu, dia, ternyata dia, Wid. Wid lah yang tadi memberi salam. Dia mengenakan kain panjang dan berselendang. Sambil tersenyum dia menyapa ku. Aku tergagap, lagi-lagi lidah ku kelu. Aku hanya menatap wajahnya. Dia menjadi risih juga. “Duh… kenapa uda? Kenapa memandang aku demikian?” ujar dia.
Oh aku tersadar, sadar dari tatapan pana ku ke wajah cantiknya, “maaf,.. maaf Wid, aku juga ingin bertanya kenapa Wid ada di sini?” dia tidak memberi jawaban, tapi dia malah balik bertanya, “Uda .. apa yang uda cari disini?” aku tidak memberi penjelasan apa-apa, yang aku tahu, aku tidak akan melepaskan kesempatan in untuk memberitahu dia bahwa besok aku berangkat ke Pdg.
“Syukurlah Wid, kita dapat bertemu disini, walau secara kebetulan, aku ingin berbicara dengan Wid” selepas mengatakan kata-kata itu aku merasa seperti terlepas dari ikata yang selama ini membelit badan ku. “Wid… aku.. eh kita .. mungkin akan berpisah sementara.” Aku menambahkan lagi. “besok mungkin aku akan ke Pdg.. dan berlebaran di sana..” Dia memandangi ku dengan bola matanya yang melebar. Sejurus kemudian dia berkata “Apakah uda…. akan tinggalkan kampung ini dan tidak kembali lagi?” kemudian “di Pdg tentu sudah ada ‘sendok’ manalah uda akan ingat lagi dengan ‘sanduak’” kata-katanya berkias, meluncur begitu saja dari bibirnya.
“bagaimana aku akan melupakan ‘sanduak’, karena dia lah yang pertama kali mengenalkan aku rasa kasih pada mu” aku hanya berkata dalam hati saja.
“Oo tidak Wid, tidak akan begitu mudah untuk melupakan kampung ini, disini adalah tempat aku dilahirkan dan tidak akan mudah begitu saja melupakan seseorang yang telah mengisi relung hati ku. Percayalah Wid tidak mudah bagi ku melupakan mu, hati ku telah tertinggal disini, bersama mu. Aku akan mencari pekerjaan di Pdg, pekerjaan yang sesuai dengan kondisi diri ku. Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan jalan yang akan ku tempuh. Pada mu Wid, kalau ada kesempatan kirimlah surat kepada ku untuk pengobat rinduku padamu”
Dia tidak menjawab, kulihat wajahnya muram, ada awan mendung yang sedang bergelantungan di langit hatinya. Sepatah katapun belum ada ucapan yang keluar dari bibirnya. Lama aku menunggu. Sepi mengantung diantara kami. Dari arah bukit batu terdengar suara tokok orang memecah batu. Seekor elang berputar-putar di udara, suaranya terdengar berkulik. Induk ayam memanggil anaknya untuk berlindung dibawah sayapnya.
Suasana kebekuan diantara kami akhirnya pecah, terdengar elahan napasnya, lalu suaranya, suara yang dari tadi aku tunggu-tunggu. “Uda… kalau jadi uda ke Pdg, entah kapan lagi kita akan bertemu. Ingatlah da, ingatlah selalu bahwa ada seseorang yang selalu menunggu kedatangan mu uda”
“Wid, sungguh berat rasanya perpisahan ini. Tapi sungguhpun berat, Pdg itu tidak jauh, hanya 60 Km saja. Jika Wid pergi ke Pdg nanti, datanglah ke rumah ku, kita dapat bertemu nanti”
“Insyaallah da, mudah-mudahan saya dapat pergi ke Pdg kalau libur sekolah nanti” katanya sambil berdiri dan memandangi aku. Senyum nya mengembang, aku meraih tangannya, menyalami nya, “Selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin” . dia menyambut dan mengucapkan salam yang sama, dan lalu “Selamat jalan uda, jangan lupa kirimkan Wid surat, Surat dari uda sangat ku nantikan”.
Bersambung
Hari ini aku tidak ke sawah. Besok rencana ku akan kembali ke Pdg. Aku berharap hari ini aku bisa berjumpa dengan Wid. Aku ingin mengatakan perasaan ku kepadanya. Ada rasa yang tidak menentu, yang sedang bergelora di dalam hati ku. Untuk menghilangkan galau di hati, aku berjalan menuju ke Ujung Bukit, pergi ke rumah Syahril rencana ku. Kalau jalan ke sana tentu aku akan melewati rumah Wid. Mudah-mudahan nanti aku dapat melihat dia. Jangankan melihat dirinya, tampak atap rumahnya dari jauh pun tentulah akan sangat senang hati ini. Ingin rasanya singgah ke tempat Wid, tapi, ah… tidak enak nanti di lihat orang. Tapi aku sangat berharap bisa bicara dengan dia barang sebentar.
Kaki ini terus melangkah, sampai di depan rumahnya aku tidak melihat ada siapa-siapa disana. Suasana sepi sekali, biasanya ada anak laki-laki yang bermain di bawah pohon mangga itu. Ah… mungkin dia sedang pergi ke pasar, sedang membantu amaknya berjualan, … mungkin saja. Aku melanjutkan langkah kaki menuju ke rumah Syahril, mudah-mudahan Syahril ada dirumahnya.
Benar saja, alhamdulillah, Syahril ada di rumah, dia sedang menjemur padi di halaman rumah. Sesekali terdengar suaranya sedang mengusir ayam yang mendekat ingin makan padi. Cuaca memang sangat bersahabat, matahari bersinar terang. Dari jauh aku lihat dia sedang mengayunkan pelepah rumbia untuk mengusir ayam-ayam yang nakal itu.
“Hai.. apakabar?” dia menyapaku ketika aku telah sampai di hadapannya. Lalu dia panggil adiknya untuk menggantikan pekerjaannya menjaga padi dari ayam-ayam yang suka menguntil padi.
Langsung saja aku sampaikan maksud ku dengan menyebutkan berbagai macam alasan ku sekaligus kepada Syahril
Memang dia kawan ku yang baik itu agak kecewa, tapi akhirnya dia dapat memahami juga. “Jadi kapan si Eddy ke Pdg?” dia bertanya. Aku jawab “dua hari lagi” aku berkata kepadanya sambil mengusir seekor ayam yang coba mendekati hamparan padi yang sedang terjemur di atas tikar karung goni itu.
“Ayo Di kita jalan kebelakang sebentar, kita ke kebun, lihat apakah orang-orang sudah selesai memetik cabai” Syahril membuat suasana obrolan menjadi lebih santai dengan cara membawa aku berjalan ke belakang rumahnya. Di sana terdapat beberapa petak kebun cabai, dan para petani cabai itu sekarang sedang memanen buah cabainya.
Sesampai aku di belakang rumahnya, aku jadi terpana karena melihat rumpun tanaman cabe yang tumbuh di kebun itu begitu lebat buahnya. Setiap petak kebun cabe di tempat itu di penuhi oleh warna merah buah cabai. Kenapa tidak, setiap tanaman cabe menghasilkan buah yang lebat lagi rimbun, sampai-sampai pokok batangnya menjadi merunduk karenanya. Aku berdecak kagum dengan pemandangan ini. Akulihat orang-orang yang sedang bekerja memetik cabai itu tampak senang dan girang. Mereka adalah keluarga dan sanak famili Syahril. Tentu saja mereka senang, karena aku tahu menjelang hari lebaran esok harga cabai akan terus merangkak naik. Dan mereka akan mendapatkan untung berlipat ganda dari hasil panen mereka sekarang.
Aku telah puas mengelilingi kebun cabe itu, kemudian aku dibawa oleh Syahril memotong jalan, jalan pintas yang bisa tembus ke rumahnya Eni, temannya Wid. Sebuah rumah ditengah kerimbunan pepohonan, disambut dengan riuhnya suara ayam-ayam yang ribut berkotek-kotek, mungkin ada ayam yang baru bertelor di dalam kandang. Akhirnya kami pun sampai dekat sebuah rumah.
Di rumah itu tida ku lihat seorangpun, sepi, terasa di sekeliling. Memang rumah-rumah di kampung biasanya pada siang hari tidak ada orang, karena mereka lagi bekerja di sawah atau di ladang.
Aku tidak tahu mengapa Syahril mengajak ku lewat ke jalan belakang itu. Dan aku sendiri baru pertama kali lewat di situ, belum pernah sebelumnya. Di sekitar situ ada beberapa rumah yang jarak agak berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Rumah-rumah disini pada umumnya berada dalam parak atau kebun. Biasanya masing-masing kebun ada pagarnya, paling banyak dipagai dengan bambu, tapi ada juga yang memakai kawat berduri. Kalau jalan keluar dari parak harus lewat pintu pagar, yang diberi semacam injakan yang timbal balik, luar dalam, tempat kaki bisa berpijak dan melangkahi pagar tersebut. Tentu pintu pagar itu dibuat sedemikian rupa agar orang bisa lewat disitu, bukan untuk binatang yang suka menjarah isi parak, seperti kambing, sapi dan kerbau lepas. Dan aku telah melewati pintu demikian sebanyak tiga kali. Selagi asik melihat dan memperhatikan suasana kebun di sekeliling, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengucapkan salam, suara seorang wanita, aku tidak melihat orangnya. Tapi suara itu rasa-rasanya aku kenal. Aku masih saja tidak melihat sosok orangnya. Ku tanya Syahril, siapakah orang yang mengucapkan salam itu? Tapi Syahril tidak menjawab. Dia hanya senyum-senyum saja. Ah .. aku tidak puas, aku melihat bola matanya melirik ke arah sebuah rumah. Aku segera menuju ke rumah itu, untuk mencari tahu siapakah tadi yang memberi salam kepada ku.
Oh… ternyata ada yang keluar dari dalam rumah itu, dia, ternyata dia, Wid. Wid lah yang tadi memberi salam. Dia mengenakan kain panjang dan berselendang. Sambil tersenyum dia menyapa ku. Aku tergagap, lagi-lagi lidah ku kelu. Aku hanya menatap wajahnya. Dia menjadi risih juga. “Duh… kenapa uda? Kenapa memandang aku demikian?” ujar dia.
Oh aku tersadar, sadar dari tatapan pana ku ke wajah cantiknya, “maaf,.. maaf Wid, aku juga ingin bertanya kenapa Wid ada di sini?” dia tidak memberi jawaban, tapi dia malah balik bertanya, “Uda .. apa yang uda cari disini?” aku tidak memberi penjelasan apa-apa, yang aku tahu, aku tidak akan melepaskan kesempatan in untuk memberitahu dia bahwa besok aku berangkat ke Pdg.
“Syukurlah Wid, kita dapat bertemu disini, walau secara kebetulan, aku ingin berbicara dengan Wid” selepas mengatakan kata-kata itu aku merasa seperti terlepas dari ikata yang selama ini membelit badan ku. “Wid… aku.. eh kita .. mungkin akan berpisah sementara.” Aku menambahkan lagi. “besok mungkin aku akan ke Pdg.. dan berlebaran di sana..” Dia memandangi ku dengan bola matanya yang melebar. Sejurus kemudian dia berkata “Apakah uda…. akan tinggalkan kampung ini dan tidak kembali lagi?” kemudian “di Pdg tentu sudah ada ‘sendok’ manalah uda akan ingat lagi dengan ‘sanduak’” kata-katanya berkias, meluncur begitu saja dari bibirnya.
“bagaimana aku akan melupakan ‘sanduak’, karena dia lah yang pertama kali mengenalkan aku rasa kasih pada mu” aku hanya berkata dalam hati saja.
“Oo tidak Wid, tidak akan begitu mudah untuk melupakan kampung ini, disini adalah tempat aku dilahirkan dan tidak akan mudah begitu saja melupakan seseorang yang telah mengisi relung hati ku. Percayalah Wid tidak mudah bagi ku melupakan mu, hati ku telah tertinggal disini, bersama mu. Aku akan mencari pekerjaan di Pdg, pekerjaan yang sesuai dengan kondisi diri ku. Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan jalan yang akan ku tempuh. Pada mu Wid, kalau ada kesempatan kirimlah surat kepada ku untuk pengobat rinduku padamu”
Dia tidak menjawab, kulihat wajahnya muram, ada awan mendung yang sedang bergelantungan di langit hatinya. Sepatah katapun belum ada ucapan yang keluar dari bibirnya. Lama aku menunggu. Sepi mengantung diantara kami. Dari arah bukit batu terdengar suara tokok orang memecah batu. Seekor elang berputar-putar di udara, suaranya terdengar berkulik. Induk ayam memanggil anaknya untuk berlindung dibawah sayapnya.
Suasana kebekuan diantara kami akhirnya pecah, terdengar elahan napasnya, lalu suaranya, suara yang dari tadi aku tunggu-tunggu. “Uda… kalau jadi uda ke Pdg, entah kapan lagi kita akan bertemu. Ingatlah da, ingatlah selalu bahwa ada seseorang yang selalu menunggu kedatangan mu uda”
“Wid, sungguh berat rasanya perpisahan ini. Tapi sungguhpun berat, Pdg itu tidak jauh, hanya 60 Km saja. Jika Wid pergi ke Pdg nanti, datanglah ke rumah ku, kita dapat bertemu nanti”
“Insyaallah da, mudah-mudahan saya dapat pergi ke Pdg kalau libur sekolah nanti” katanya sambil berdiri dan memandangi aku. Senyum nya mengembang, aku meraih tangannya, menyalami nya, “Selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin” . dia menyambut dan mengucapkan salam yang sama, dan lalu “Selamat jalan uda, jangan lupa kirimkan Wid surat, Surat dari uda sangat ku nantikan”.
Bersambung
0 Komentar
Penulisan markup di komentar