Bermain, main, dan main bersama teman-teman adalah kehidupan anak-anak. Tidak cukup rasanya waktu satu hari dihabiskan untuk bermain oleh Boim, ya begitulah hakekatnya seorang anak-anak.
Boim, Si bujang kecil, anak sulung dari Rasyid dan Tias sekarang sedang menikmati masa bermainnya bersama kawan-kawannya di pantai Sikakap, pantai yang indah permai, dengan obak bergulung-gulung tiada henti. Dibawah dermaga desa sikakap, Boim bersama tiga orang kawannya, Roni, anak laki-laki uniang Eri, tetangga sebelah rumahnya, adalah teman akrabnya sejak masih balita. Kemudian ada lagi dua orang kawannya Andi dan Iwan, teman sesama mengaji di Surau Jamik. Mereka sedang asik berenang di bawah dermaga. Berenang di antara tiang-tiang kayu balok yang telah penuh ditutupi oleh ganggang hijau, penyangga berdirinya badan dermaga.
Berenang, dan menyelam mencari, menangkap ikan dan kerang adalah hobi mereka, anak-anak yang berempat orang itu. Apabila mereka mendapatkan ikan atau kerang, tentu mereka akan naik ke dermaga, dan mengumpulkan hasil perolehan mereka di dalam sebuah baskom. Nanti apabila sudah terkumpul banyak, tak tau lah, entah akan mereka apakan ikan dan kerang-kerang itu. Kalau dibawa pulang ke rumah, belum tentu ibu mereka masing-masing mau mengolahnya menjadikan masakan.
Setelah selesai, dan puas bermain di air, Boim dan kawan-kawannya akan beralih lagi mencari permainan yang baru, naik ke daratan. Ada satu hal lagi yang belum pernah terjamah oleh Boim. Dan satu hal itu adalah akan menjadi ambisinya Boim, sampai nanti hal itu didapatkannya. Yah, begitulah sifat, tabiat dan perangai Boim, anak pak Rasyid, anak kecil nan sangat keras hati. Sangat susah sekali ke dua orang tuanya mengatur dan mendisiplinkan dirinya di rumah. Kalau di luar rumah, entah lah, hanya tuhan saja yang tau, tidak dapat Tias, ibunya memantau aktivitas bermainnya bersama gerombolannya, entah dimana. Karena Tias tentulah sudah disibukan oleh mengurus anak perempuannya yang masih balita, Zulaika, masih dua tahun umurnya, belum lagi ada banyak pekerjaan rumah tangga yang harus diselesaikannya. Walaupun begitu sering juga Tias pergi keluar rumah sambil menggendong Zulaika kecil mencari dan menyuruh Boim untuk pulang.
Untung saja desa Sikakap, tempat tinggal mereka, di pulau Pagai Utara itu, daerahnya tidak begitu luas. Mudah saja Tias jalan berkeliling desa, dari ujung ke ujung, dari utara ke selatan, dari bukit ke pantai, mencari untuk menemukan Boim, yang biasanya dia selalu di temukan sedang asik bermain bersama kawan-kawannya, mungkin di pantai, di halaman surau, di sekitar lereng bukit, di pasar mini, atau di kali kecil yang terdapat di belakang komplek tempat anak-anak itu sedang sering menangkap ikan dengan jaring di sana.
Bagi Boim sendiri tentu ada sebuah tempat bermain yang paling disukainya, sangat dirahasiakannya, dan dia sering pergi ketempat itu kalau dia sedang sendirian. Yaitu, sebuah tempat di mana ada sebuah dozer tua, rusak, lapuk dan berkarat teronggok di belakang sebuah gereja yang berada atas lereng bukit Sian, tepat di belakang komplek perumahan karyawan.
Dulu waktu Boim di usia 4 tahun, tiga tahun yang lalu, Boim pernah mengajak kawan-kawannya main di kawasan tempat dozer rongsokan itu, namun ada ibunya Tias bersama tetangganya uniang Eri datang menjemput mereka untuk pulang dengan marah besar kepadanya. Kuping Boim di jewel bundanya berkali-kali, tanda bundanya memang sangat marah dan jenkel sekali pada kelakuan Boim. Sejak hari itu Boim tidak mau lagi membawa teman-temannya main disana lagi. Dan begitu juga dengan anak-anak yang lain tidak pula mau main ke situ. Mereka takut, karena ditempat itu ada hantu, begitu kata mereka.
Oleh karena itu Boim hanya pergi sendiri saja, menyepi, menciptapakan hayalan bagi dirinya sendiri bermain dengan dozer tua rongsokan itu. Biasanya Boim pergi ke tempat sepi yang tidak pernah dilalui orang itu, sore, sekitar pukul 5, setelah ashar, selepas jam mengaji di surau. Mengapa si Boim sangat suka pergi ke tempat dozer rongsokan itu di sore hari, sendirian saja tanpa ada kawan bersamanya. Entahlah, tentu pasti ada yang dicarinya di tempat itu. Mungkin juga dia ada punya teman, mahluk yang tidak terlihat oleh kasat mata. Mungkin ia selalu menunggu anak kecil itu di sana, menunggu Boim supaya bisa mengajaknya bermain di sekitar dozer tua yang tidak akan bisa di perbaiki lagi. Entah lah itu hanya dugaan saja.
Dari dulu, dari masa kecil, sejak dia pertamakali menyentuh yang namanya mainan, Boim sudah suka dan menampakan ketertarikannya pada jenis alat berat. Oelh karena itu Tias membelikan Boim banyak mainan dengan bentuk alat berat mini yang terbuat dari plastik. Latar belakang kesukaan anak itu pada alat berat adalah karena di desa Sikakap ada banyak terdapat alat berat yang sedang beroperasi di berbagai tempat. Mudah sekali ditemukan keberadaan mesin-mesin itu sedang bekerja.
Namun bagi anak-anak, adalah dilarang untuk mendekat kepada mesin-mesin penggaruk bumi tersebut. Jangankan menyentuh mereka, mendekat saja di areal kerja alat berat sudah tentu terlarang bagi mereka. Karena sangat membahayakan diri mereka, kata para orang dewasa di sekitar. Itulah kata-kata yang tidak pernah masuk akal menurut jalan pikiran Boim, si bujang kecil yang tidak mau diatur oleh orang dewasa. Bahkan Rasyid dan Tias, orang tuanya sendiri sudah kewalahan untuk mendisiplinkan anak ini. Baru saja umurnya 7 tahun, sudah tidak mau diatur, apalagi kalau sudah besar nanti, entah bagaimana jadinya dia, si Boim itu.
Pernah dulu, setahun yang lewat, pada acara perayaan 17 Agustus-an, Tias pernah membawa Boim ke tempat parkiran berbagai macam jenis alat berat, di wilayah areal industri PT. Mentawai Land, tempat itu berada di puncak bukit Siyai, 6 kilometer jaraknya dari tempat pemukiman warga Sikakap. Ditempat itu, Boim diperkenalkan ibundanya tentang berbagai macam bentuk dan kegunaan dari masing-masing alat berat. Itulah hari yang sangat berkesan sekali bagi si bujang itu. Dia mengingat semua bentuk dan nama alat berat, mulai dari dozer, excavator, sampai grader dan grapple.
Sejak hari semua ingatan tentang bentuk dan nama-nama alat berat itu tinggal dan terekam jelas dalam benak si bujang kecil ini. Diam-diam boim berusaha untuk pergi kembali ke tempat parkir kendaraan operasional perusaahan yang sangat luas itu. Boim tau sekali bahwa tidak mungkin dia pergi ke tempat itu sendirian, melewari jalan aspal berbatu, melalui jalan berbukit, berlembah dan hutan belantara pulau pagai yang sepi dari lalu lalang kendaraan. Cuma ada satu cara supaya dia bisa pergi dan sampai ke tempat itu. Adalah dengan menumpang bus transport karyawan PT.
Adalah seorang sopir bus yang sangat dia kenal. Dia adalah laki-laki tua berkopiah haji, pak haji Umar nama orang itu. Haji Umar memang sudah akrab dengan keluarga Boim. Dia selalu menjemput dan mengatar ayahnya, Rasyid setiap hari, pagi dan petang. Apalagi kalau Rasyid sedang lembur sampai tengah malam, pada akhir dan awal bulan, tentu pak haji Umar yang senantiasa ngantar Rasyid dan juga koleganya untuk sampai ke rumah tengah-tengah malam.
Biasanya pak haji Umar kalau dia sedang istirahat siang, tidak ada jemputan, dia akan duduk santai di sebuah warung yang berada pasar mini untuk minum kopi dan bercengkrama dengan orang-orang di warung itu, sembari memarkirkan kendaran angkutannya disamping warung. Boim mencoba menyusun sebuah siasat, supaya dia bisa mendekati pak haji Umar. Meminta orang tua itu supaya bersedia memberikan dia tumpangan untuk sampai ke kantor pusat perusahaan. Atau sekedar minta ikut dibawa raun-raun, dengan busnya keliling daerah industri di atas itu, bukit Siyai dan sekitarnya.
Dengan tekat bulat, membaja Boim melangkah tenang dan pasti, masuk keladam warung tempat haji Umar sedang minum kopi, duduk santai dengan kawan-kawannya sambil menghisap rokok di warung yang menjual goerengan itu.
“Tek, beli goreng pisang satu” pertama sekali Boim membeli sebuah goreng pisang kepada Etek yang punya warung. lalu setelah dia membayar makanan itu dia duduk tenang sambil menghabiskan goreng pisangnya. Dia pilih untuk duduk pas di sampingnya pak umar yang sedang mengobrol ngalur ngidul bersama beberapa orang bapak dan pemuda di kedai itu.
“Pak” Boim menyapa santu kepada pak Umar.
“Eh... Ada nak bujang pak Rayid rupanya” Pak umar kaget ternyata ada seorang makluk kecil sedang duduk sambil makan goreng pisang di sebelahnya. “Tidak pergi sekolah kau hari ini nak” Pak Umar melanjutkan tanyanya penasaran kepada Boim.
“Sudah pulang pak”
“Baguslah nak, mana teman-teman kau? Mengapa kau sendirian saja, biasanya kau kulihat main keliaran bersama mereka di pasar ini”
“Tidak tau” Boim meneruskan makannya menghabiskan goreng pisangnya yang masih panas, dan baru saja keluar dari pengorengan itu.
“Anak siapa itu pak haji” salah seorang pemuda bertanya tentang Boim kepada pak umar penasaran.
“Ini dia anak pak Rasyid, kasir kita di perusahaan” jawab pak Umar dengan pasti.
“Oh... Iya baru tau saya, anak pak rasyid ternyata”
“lekas lah pulang ke rumah mu nak, nanti ibu mu cemas mencari mu” Pak haji Umar mengajurkan Boim untuk pulang kembali ke rumahnya.
“Baru saja keluar pak, tadi sudah bilang sama bunda kalau saya pergi main kesini” Boim bohong kepada pak Umar, padahal dia sudah seharian sejak pagi tadi bermain di luar rumah, habis mandi di laut bersama gerombolannya. Bajunya pun sudah kering di badan, badan bau amis air laut, kulit sudah gosong karena panas matahari. Seharian dia di luar tidak ingat pulang, bahkan untuk makan siang pun dia lupa. Kal;u dia pulang ke rumahnya sekarang, tentu dia tidak akan dapat lagi main keluar, karena si ibu, Tias akan mengunci pintu rapat-rapat.
“Pak!” tegur Boim kepada pak Umar yang lagi sedang asik melanjutkan pembicaraannya dengan orang-orang di warung.
“Apa” Pak Umar kembali menoleh ke arah Boim di sebelahnya.
“Mana mobil bapak?”
“Tu di sebelah, sedang tidur dia, istirahat, kenapa kamu tanya mobil saya?”
“Mobil bapak bagus”
“Ah.. Betul itu, mobil baru, baru dibelikan orang buat saya”
“Pak”
“apa lagi”
“Boleh saya ikut sama bapak” Boim dengan sangat berani mengajukan permintaannya kepada pak Umar.
“Ikut kemana?” tanya pak Umar lagi
“Ikut raun-raun sama bapak ke atas sana”
“Ooo mana boleh anak-anak naik ke mobil itu. Dengar ya nak, itu mobil angkutan khusus karyawan PT. Anak-anak tidak boleh naik, kecuali ada orang tuanya nya menemani, mengerti”
“Iya pak” jawab Boim mengangguk tanda setuju dengan pak Umar. Sementara orang-orang di warung semua tertawa melihat dan mendengar bicara dengan berani kepada pak Umar.
“Tapi saya kan anak bapak juga” Boim mulai lagi memutar cerita, supaya maksud dan tujuannya terkabulkan oleh pak Umar.
“Kata siapa kamu anak ku. Tu anak ku sudah besar-besar, sedang pada bekerja di perusahaan sekarang”
“Bapak kan teman sama ayah saya”
“ya memang, kamu memang dekat berkawan dengan ayah mu”
“Berarti saya juga anak bapak dong”
“Wah, wah, gawat ini” pak umar mengelengkan kepala, lalu mengangkat kopiah hajinya sambil mengarut kepalanya yang sudah putih karena ubanan. “Sejak kapan aku kawin sama ibu mu nak? Bisa marah ayah mu nanti ke aku”
Semua orang di warung kopi itu gelak tawa cekikikan melihat ulah Boim dan Pak Umar yang sedang mempermainkan anak bujang itu dengan kata2.
Mengetahui Pak Umar sedang mempermainkannya, Boim memutuskan untuk diam saja dan memasang wajah cemberut dan sedih kepada semua orang di dalam warung. Sementara pak Umar, orang tua itu jadi merasa bersalah dibuatnya.
“Ayo lah pak haji, akui saja kalu dia itu anak pak haji, berdosa pak haji nanti, masuk neraka tau” celetuk si etek yang punya warung kepada pak haji Umar. Dan semua orang menertawakan pak haji itu.
Sepertinya pak haji itu di sudutkan oleh semua orang yang ada di warung, dia di paksa untuk mengatakan iya kepada Boim, seorang anak yang sedang menyatakan perasaannya kepada pak tua yang memakai kopiah haji itu.
“Baiklah... Baiklah... Kalu begitu, salah pula aku jadinya gara-gara kau, baik lah kau memang anak ku juga, anak dari si Rasyid, sahabat ku. Dah sekarang puas kau?”
“Hehehehhe” Boim akhirnya tertawa cengengesan kepada pak haji. “kalau begitu boleh saya ikut raun dengan bapak ke atas sana?” sekali lagi Boim meminta pak haji untuk membawanya serta dalam tugasnya. “ayolah pak sekali saja, sekali saja”
Pak haji Umar jadi kebingungan di desakoleh Boim. Sedangkan semua orang, kawan-kawannya di warung itu pun sepertinya memihak kepada Boim, “Ayolah pak Umar, kabulkanlah permintaan anak itu. Entah itu permintaannya yang terakhir, menyesal pak haji nanti”
“Hus... Jaga mulut kau” pak haji menegur seseorang yang mengucapkan kata terakhir tadi.
“Baiklah, ikut lah kau dengan ku. Tapi sekali saja ya”
“hehehehe” Boim senang dan gembira, akal bulusnya ternyata ampuh untuk menaklukan hati pak haji Umar.
“Kapan kita pergi pak?”
“Nanti, satu jam lagi”
“Hore” Boim senang “Makasih ya pak, bapak baik sekali”
Sudah satu potong pisang goreng sebesar ukuran telapak tangan ditandaskan ke dalam perutnya, di tambah sepotong lagi singkong goreng potong sebelah, ukuran sejengkal tangan, habis sudah di lahapnya. Maka kenyang lah perut si bujang kecil, Boim itu. Itulah sebagai gantinya nasi yang seharusnya dia bisa pulang ke rumah ibunya untuk makan siangnya saat itu. Namun tidak dilakukan dia. Boim lebih senang makan di luar dengan makanan apa saja yang dijual orang di warung, dari pada harus pulang ke rumah ibunya, lalu dia tidak akan dapat lagi bermain keluar karena pintu rumah sudah terkunci.
“Sudah, sudah kau makan, sudah kenyang kau?” tanya pak haji Umar kepada Boim
“Sudah pak” jawab Boim setelah dia menyosor habis segelas air putih ke mulutnya. Karena minum tergesa-gesa, jatuh lah air minum itu membasahi baju dan celana pendek kumalnya yang tadi baru saja kering di badan.
“sekarang pergilah kau main dulu, nanti se jam lagi temui aku di sini” perintah haji Umar kepada Boim.
“Baik pak” Boim perlahan turun dari bangku pelanta warung, dia hendak membayar dua buah gorengan yang telah dimakannya tadi. “Tek, tambah goreng satu lagi, ni uangnya” Boim meletakan uang seratus rupiah di atas kaleng tempat si etek yang punya warung biasa menyimpan uang pencahariannya di dalam itu.
Se isi warung itu orang-orang sudah pada heran melihat gelagat dan perangai si bujang kecil, anak sulung Rasyid, yang biasa di kenal orang dengan sebutan “pak kasir”. Mungkin ada timbul berbagai macam pertanyaan di benak orang-orang tua yang sedang menghabiskan waktu rehat di warung itu. Berapakah umur anak itu sekarang? Kenapa dia tidak pulang ke rumah orang tuanya? Kenapa anak itu dibiarkan saja keluyuran di luar rumah, tengah hari panas terik begini? Kenapa anak itu kumal dan seperti tidak terurus? Dan banyak lagi pertanyaan orang-orang di warung kopi itu.
Boim berjalan keluar dari kedai sambil cengar-cengir karena girang dan senang, sebentar lagi apa yang dia idam-idamkan dalam hatinya selama ini akan dapat dia peroleh melalui kebaikan seorang orang tua yang baik hati, pak haji Umar.
Boim tidak mau pulang ke rumah ibunya, barang sebentar hanya untuk berganti pakaian. Dia habiskan waktu yang satu jam ke depan dengan bermain di halaman surau jamik, tempat disitu ada segerombolan anak-anak kawan bermainnya yang lain tampak sedang bermain kelereng. Boim tidak sedang membawa kelereng di kantong celananya. Dia hanya bisa ikut nimbrung bersama sebagian anak-anak yang menontong jalannya permainan bola-bola mini yang terbuat dari kaca itu.
Sabar dan tabah tidak ada pada sifat Boim, hanya sebentar saja dia menonton segerombolan kawan-kawannya yang sedang asik mengadu kecakapan mereka dalam memainkan kelereng di halaman surau itu. Kemudian Boim jalan membawa badannya ke tepi pantai. Ada tampak olehnya sekelompok orang tua sedang sibuk bekerja menarik pukat jala ikan laut dangkal ke darat. Ada dua belas orang bapak-bapak di situ, dua jalur, masing-masing enam orang yang sedang bekerja menarik pukat dengan serentak, dan ada ramai juga ibu-ibu yang sedang menunggu ikan duduk-duduk di tepi pantai dengan baskom di tangan masing-masing mereka.
Nanti apa bila pukat itu telah sepenuhnya sampai ke darat, tentu orang-orang akan berebut memilah dan memilih ikan yang mereka sukai sedang tersangkut di jaring pukat. Memilih seberapa mereka perlu, dipindahkan ikan ke dalam ember baskom yang sudah mereka sediakan, lalu mereka bayar kepada seorang toke yang pemilik pukat sesuai dengan berapa jumlah dan jenis ikan yang telah mereka masukan dalam ember baskom.
Di bawah pohon kelapa yang condong kelaut, dengan hembusan angin semilir, Boim duduk bersandar di bawah pohon itu sambil menonton kegiatan para pencari ikan yang dengan kekuatan tenaga mereka bersama-sama, dengan kompak dan teratur menarik pukat dengan tangan mereka yang kekar dan hitam legam mengkilat, karena keringat dan panas terik mentari siang hari nan cerah itu.
Belum sampai satu jam lamanya Boim duduk di pantai sambil menunggu waktu berangkatnya dengan menumpang bus karyawan itu, dia sudah merasa tidak kerasan disanan, ada perasaan khawatir kalau nanti pak Umar akan membohongi dirinya dan dia ditinggalkan oleh haji itu begitu saja. Oleh karena itu dia akhirnya kembali ke warung, berjalan di tepi pantai ke tempat di mana dia telah membuat janji dengan orang tua tadi, yang telah dibujuknya, dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri, karena memang pak haji Umar itu adalah kawan baik dari ayahnya, Rasyid.
Semakin dekat Boim berjalan ke warung itu, maka semakin terdengar olehnya suara bus dengan deru mesin diesel yang sedang mengepulkan asap hitam dari lubang kenalpotnya. Boim semakin cemas, kerena takut akan di tinggalkan oleh pak Umar. Boim berlari semakin kencang kearah mobil itu. Tampak olehnya pintu bus itu memang sedang terbuka lebar. Tidak ada seorang pun di dalam kecuali pak Umar sang sopir, pengemudinya. Suara bus itu semakin keras meraung, berada pas di tanah nan lapang di sebelah warung kopi itu. Boim berlari secepat-cepatnya melewati warung, melewati orang-orang yang sedang menakut-nakutinya sambil tertawa mengolok-olokan dirinya. “Hoi.... Bujang cepat lah kau naik ke mobil itu, orang tua itu mau berangkat meninggalkan kau”. Orang-orang itu tertawa terbahak-bahak melihat Boim yang pontang-panting seperti sedang dikejar anjing, tanpa alas kaki berlari sekuat tenaga dan langsung menghambur, loncat ke dalam bus karyawan itu.
“Bapak mau pergi ya?” tanya Boim sudah di dalam kabin, dengan cemas sambil terengap-engap dan bajunya basah kuyup karena keringat bejujuran deras di punggungnya.
Pertanyaan Boim nan lugu itu tidak di jawab sama sekali oleh pak Umar, di malah turun dari kursi kemudinya, keluar dan membiarkan mesin kendaraan roda enam itu nyala sendiri, sambil memanaskan rongga mesin. Dan Pak Umar kembali masuk ke dalam warung. Ketika sampai di warung dia kaget, karena tidak menyadari ternyata ada si bujang kecil sudah nangkiring di atas tangga naik ke dalam bus. “Wah.... Ku kira tuyul tadi yang di sana, hoi mengapa kau duduk di situ sendirian, sini lah kau duduk, belum berangkat aku” teriak pak Haji Umar kepada Boim, anak yang sedang cemas karena takut ditinggalkan. Semua orang di warung tertawa lucu karena melihat ekspresi wajah cemas dari Boim.
Akhirnya Boim lega karena pak Umar akan menepati janji yang telah di buatnya, dan dia turun dari bus dan langsung masuk ke warung, lalu duduk di sebelah pak haji Umar, ketika itu orang tua itu kembali menyalakan rokoknya sebatang lalu melanjutkan meneguk kopinya yang belum juga habis, tinggal setengah. “Ah duduk tenang kau bujang, oh ya, siapa nama mu tadi? Lupa aku” tanya sopir bus yang sudah tua itu sambil menenangkan perasaan si Boim.
“Boim.. “ Jawab Boim dengan singkat.
“Boim, ha... Tenanglah kau Boim, tidak akan ku tinggalkan kau begitu saja, kan bapak sudah janji sama kau. Sebentar yah.... Merokok aku dulu sebatang, baru sudah itu kita berangkat”
“Iya” Boim mengangguk tanda setuju dan menurut saja kepada sang sopir.
XXX
Tidak lama, setelah sebatang rokok habis, putungnya di jentikan oleh jari tua pak Umar ke pekarangan warung, kemudian orang tua itu merapihkan bajunya dan membetulkan kopiah hajinya yang sudah tidak ada lagi warna putih cerahnya, bisa dikatakan kuning, sekuning gading dan kumal karena dimakan usia. “ayo kita berangkat” pak Umar akhirnya memutuskan berangkat, mengajak Boim sembari melanjutkan tugasnya menjemput dan mengantar para karyawan, para penebang kayu yang sudah menunggu gilirang waktu shift kerja mereka di areal penebangan nan jauh di dalam pelosok hutan, di balik bukit dan lembah di jauh di pedalam pulau Pagai.
Boim di suruh pak Umar duduk untuk duduk dengan tenang di bangku paling depan, sebelah bangku kemudi, pas di samping kaca jendela. Sengaja pak Umar suruh anak bujang itu untuk di kursi itu, supaya dia bisa melihat, dengan puas dan leluasa mengamati setiap daerah, lokasi, lekuk dan sudut hutan dan bukit-bukit yang akan mereka lalui di sepanjang perjalanan.
“Boim kau duduk tenang di sana yah, jangan kau ber buat macam-macam, bapak sedang bertugas ini. Jangan kau bikin repot aku, kalau kau berulah nanti aku tidak akan segan-segan menurunkan kau dimana saja, mengerti kau!” Pak Umar memperingatkan Boim denga tegas sebelum dia menginjak pedal gas bus yang di kemudikannya.
Hati Boim sungguh sangatlah girang dan senang sekali. Bus akhirnya bergerak laju meninggalkan kedai kopi, dan meninggalkan kawasan pasar mini. Terlebih dahulu pak Umar membawa bus itu memasuki jalan-jalan utama di dalam kawasan komplek perumahan karyawan, dari komplek yang terdekat hingga ke komplek yang paling ujung letaknya, berada di atas lereng-lereng bukit Sian yang memanjang, melingkupi desa Sikakap. Satu persatu karyawan, pekerja sawmill, petugas kantor, dan penebang kayu masuk menaiki bus yang sedang di kemudikan oleh pak Umar. Seorang bapak yang sepertinya biasa dilihat oleh Boim setiap hari, sudah mengisi bangku kosong di sebelah Boim. “tumben ya pak, ada penumpang kecil bersama kita hari ini?” begitu tanya bapak itu kepada pak Umar.
“Biarlah sekali ini dia ikut saya, tadi dia merengek-rengek minta dibawa raun”
“Bukan kah dia ini anak pak kasir?”
“betul” jawab pak Umar yang sedang sibuk memutar stir busnya
“berani juga anak ini” tukas si bapak itu menanggapi keikutsertaan dalam menemani tugas pak Umar
Boim tidak menghiraukan obrolan antara bapak yang duduk di sebelahnya itu dengan sang sopir bus. Sekarang Boim sudah larut dalam dunia dan pandangan matanya sendiri, melihat keluar jendela bus, mengamati setiap lekuk dan kontur alam lingkungan sekitar komplek perumahan karyawan di desa Sikakap.
Pas ketika bus yang membawanya itu berhenti di depan rumahnya, untuk menaikan penumpang, dilihatnya, melalui kaca jendela bus, di dalam rumah nampak bundanya baju daster berwarna orange, kesukaannya, sedang bercanda-canda riang dengan adik perempuan kesayangan, Zulaika, sambil menyuapinya makan semangkok bubur tim.
Boim tetap, memperhatikan keluarganya, ibunda dan adiknya itu, diam dari dalam bus. Sepertinya pak Umar mengatakan sesuatu tentang bundanya sekarang. Tapi Boim tetap tidak menghiraukan. Dia tengok terus ibunya dan adiknya yang lucu dan imut, sedang duduk berselonjor di lantai rumah yang terbuat dari semen licin dingin dan mengkilat. Tidak lama akhirnya bus itu pun penuh dengan penumpangnya yang berdesak-desakan. Bus berangkat melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan nan jauh melewati lembah dan bukit nan berlapis-lapis di atas sana. Sebelum hilang pandangan rumah, tempat kediaman keuarganya, tak akan lepas mata anak bujang itu dirinya. Entahlah, apa yang sedang dirasakan di dalam hatinya sekarang. Tidak kah anak bujang itu ingin pulang dan makan barang sesuap nasi dari tangan ibu yang teramat mengasihinya. Dan tidak kah dia ingin bermain dan bercanda dengan adik perempuan yang begitu dia sayangi, entah lah.
Sepertinya misi hari ini lebih penting dari pada berkumpul dengan bunda dan adik perempuan Boim yang satu--satunya itu. Pada hari ini adalah Boim menjalankan misi untuk memuaskan hasrat dan ambisinya yang sudah lama dia pendam dalam hati. Adalah pergi raun melihat dan mengamati lingkungan nan jauh dari pengetahuan dia sebagai seorang anak kecil. Dia ingin melihat tempat-tempat yang sering dia dengar setiap hari dari pembicaraan orang-orang tua setiap hati, sambil melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana pula rupanya alat-alat berat yang sering omongkan orang itu bekerja di tempat-tempat nan jauh di dalam hutan sana.
Bus yang sedang di kemudikan pak haji Umar ini sekarang sedang sarat akan muatan penumpang. Pak Umar dengan keterampilannya membawa bus itu dengan tangkas melewati jalan-jalan aspal berkerikil, melewati tanjakan demi tanjakan dengan mulus dan bertenaga, menikungi tikungan dengan mulus dan cantik di sepanjan perjalanan enam kilo pertama menuju tempat perhentiannya yang pertama, adalah di bukit Siyai, di lokasi perkantoran dimana seluruh karyawan administrasi bekerja, disitu tempatnya. Bukit Siyai adalah tempat yang sangat familiar oleh Boim, adalah Boim pernah dibawa oleh ayahnya, Rasyid ke dalam bangunan kantor tempat si ayah itu bekerja.
Rute ke dua adalah dari bukit Siyai menuju Lokon. Jarak tempuh tidak begitu jauh, hanya sekitar 4 kilometer. Pada rute ini tidak ada pemandangan alam yang indah seperti bukit-bukit dan lembah yang baru saja di tengoknya pada rute pertama tadi. Hanya jalanan sangat lebar, sangat berdebu dan menurun, berkelok-kelok, dengan pemandangan hutan gundul, tanah merah tersibak kepermungkaan, sangat gersang sekali disekitar. Namun bagi Boim rute ini sangatlah istimewa sekali menurutnya. Di lokasi ini boleh dia jumpai ketika bus yang dia tumpangi berpapasan dengan berbagai macam bentuk truk trailer dengan ukurannya yang sangat besar, belum pernah dia temui sebelumnya, sangat pula panjang, hingga mencapai 30 meter lebih, sedang mengakut muatan kayu log sangat besar pula, bisa jadi sama besar dengan bus yang sedang dia tumpangi sekarang, pohon kayu itu kelihatan masih segar karena baru saja ditebang dari dalam hutan, nun dari pedalam rimba raya Pagai sana. Entah berapa jumlah roda truk yang membawa kayu log raksasa itu, mungkin lebih dari 20 buah, Boim tidak sempat menghitungnya.
Truk-truk trailer itu, yang Boim lihat sedang berpapasan dengan bus yang sedang dikemudikan pak Umar tampak begitu istimewa dan sangat gagah dengan berbagai macam warna, ada yang berwarna merah, hijau, kuning, dan abu-abu, semuanya dengan cat body metalic, mengkilat. Ada pula kendaraan itu punya dua buah cerobong kenalpot yang terpasang berdiri tegak tinggi di belakang setiap pintu kabinnya. Moncong truk trailer itu begitu panjang dan besar, ada sebuah grill besar berwarna perak mengkilat terpasang di depan moncongnya, guna sebagai penghias, untuk menutupi radiator mesinnya yang besar.
Apabila truk trailer itu sedang menanjak, maka ia akan meraung-raung dengan mengeluarkan suara deru mesin yang sangat besar, melebihi kerasnya suara alat berat, sehingga memekakan telinga. Tidak hanya itu, suara klatson nya tidak pula kalah besar, hampir sama besar bunyinya dengan suara klatson kapal.
Kendaraan itu memang sangat gagah. Boim berdecak kagum setiap melihat truk itu berpapasan. Begitu pula dengan semua orang yang ada dalam bus, semua mata orang akan memandang ke arahnya. Mungkin itulah truk trailer gagah perkasa yang sering jadi buah bibir oleh orang-orang di pemukiman warga di bawah sana. Menurut cerita yang pernah didengar oleh Boim, bahwa tidak sembarangan orang yang bisa mengemudikan truk pengangkut kayu log raksasa itu. Biasanya hanya orang-orang bule, atau orang Amerika saja yang bisa membawa truk istimewa tersebut.
“Yang itu Kenworth, yang ini Peterbilt, yang baru saja lewat itu Volvo” begitulah pak Umar menjelaskan nama-nama dari macan truk trailer yang sedang berpapasan dengan busnya. Entahlah Boim tidak paham dan tidak dapat membedakan yang mana Kenworth, Peterbilt atau Volvo. Baginya semua kendaraan truk trailer itu memang sangat istimewa. Lalu tiba pula keinginan di dalam hatinya untuk suatu saat nanti dia biasa naik ke dalam truk raksasa itu.
Akhirnya sampailah bus yang membawa karyawa PT di tempat tujuan kedua, adalah Lokon. Ternyata Lokon yang selama ini disebut-sebut oleh orang adalah sebuah dermaga. Dermaga besar, tempat kapal-kapal tongkang bersandar untuk memuat kayu-kayu log guna dikirim kesuatu tempat, yang entah dimana, mungkin keluar negeri.
Lokon tidak hanya sebuah dermaga, disana juga tempat merendam kayu-kayu log yang baru saja ditebang. Pohon kayu yang seukuran bus dan panjang bisa diangkat oleh alat berat, graple, yang memiliki capit, seperti kepiting. Batang kayu besar itu diangkatnya dengan mudah lalu kemudian dibuang nya ke dalam laut.
Di Lokon itu juga ada sebuah sawmil, pas di depan bangunan sawmill itu, pak haji Umar memberhentikan bus nya menurunkan para pekerja sawmill. Tinggalah di dalam bus hanya para penebang kayu. Dimana sebentar lagi pak Umar akan mengantar mereka ke lokasi penebangan, nun lebih jauh lagi tempatnya, masuk ke pedalaman pulau pagai.
Rute ke tiga, seperti yang telah disebutkan oleh pak Umar adalah perjalanan menuju kilometer 26, kemudian kilometer 40 dan yang terakhir kilometer 48.
Di depan sawmil, semua pekerja sawmill telah turun dari bus, mereka masuk bergegas kedalam sebuah bangunan besar, luas dan sangat lapang, tempat mereka di dalam situ bekerja dengan mesin gergaji memotong kayu-kayu log menjadi potongan-potongan papan, balok dan reng.
Tinggalah di dalam bus ada sekitar 20 orang operator penebang pohon, yang sedang duduk tenang sambil ngobrol santai di atas kursi jok bus yang berjejer kebelakang dengan tim mereka masing-masing, dan akan segera diantarkan oleh pak Umar ke tempat lokasi penebangan dimana mereka ditugaskan oleh perusahaan.
Boim tetap saja duduk dengan tenang, di kursi paling depan, sesuai dengan perintah sang sopir bus, pak Umar. Si bujang kecil itu duduk diam, tidak bicara sepatah kata pun. Hanya matanya saja yang liar menengok ke luar jendela bus,mengamati ke setiap tempat yang sedang dilewati oleh kendaraan penumpang itu.
Dalam rute ke tiga ini, pak Umar kembali memutar arah bus ke rute sebelumnya, melalui jalanan aspal kasar, lebar, kering kerontang, dan berpapasan lagi dengan Kenworth atau mobil pengankut kayu log sejenis, hingga kembali ke bukit Siyai.
Selepas dari bukit Siyai itu, baru lah bus melanjutkan perjalanannya menuju kilometer 26. Cukup jauh rasanya perjalanan yang akan ditempuh Boim. Bus yang sedang di kemudikan orang tua yang memakai kopiah haji itu memang dalam kondisi mesin yang prima. Wajar saja, karena mobil itu baru setahun beroperasi mengantar para karyawan di pulau Pagai semenjak keluar dari dealer. Setiap tanjakan tinggi dan tikungan mudah saja di lewatinya, walaupun ia kabinnya sedang disesaki oleh sarat penumpang.
Menjelang menuju kilometer 26, teryata rute yang ditempuh kendaraan itu cukup berat, banyak jalan dengan kontur mendaki dan melereng, melewati jurang-jurang dan dinding-dinding bukit. Seperti yang dikatakan oleh pak Umar bahwa sekarang bus sudah berada di puncak daratan pulau. Mungkin sudah berada pada ketinggian 500 meter dari permungkaan laut. Di sepanjang jalan sudah tampak pemandangan alam pulau Pagai yang indah dan sangat memukaukan mata. Di sisi sebelah jalan yang di lalui hanya ada dinding-dinding bukit dengan batu cadas yang sudah ditutupi oleh lumut hijau dan tanaman perdu, di sisi sebelahnya lagi adalah pemandangan sangat indah, lembah hutan belantara pulau Pagai nan hijau permai dan pemandangan laut biru samudera Hindia yang tak nampak tepinya, sudah pula kelihatan awan berarak berjejer bergelantungan di atas pulau-pulau kecil yang teronggok perairan Sikakap. Kapal-kapal nelayan, kargo dan tongkang pengangkut kayu log hanya tampak seperti benda kecil yang terapung-apung di tengah laut.
Tibalah pak Umar memberhentikan busnya pada pos KM 26. Itulah tempat nan paling pucak dari daratan pulau Pagai. Sementara para penebang hutan yang turun, dan ada pula yang pekerja yang naik ke dalam bus, berganti shift. Boim tetap saja di dalam, di atas bangkunya yang posisi paling depan, melayangkan mata ke sekeliling alam. Tampak olehnyanya, dari ketinggian, ada laut biru membentang, pulau-pulau besar dan kecil berjejer. “Di sebelah utara itu ada pulau Sipora dan sebelah selatan itu ada pulau Pagai Selatan” begitu pak Umar menjelaskan kepada si bujang kecil Boim.
Hanya beberapa saat bus berhenti, menurunkan dan menaikan penumpang. Kemudian pak Umar melanjutkan perjalanan, mengatarkan pekerja ke pos yang lebih jauh lagi, kilometer 40 dan 48. Menurut penuturan sang sopir ini, perjalan berikut ini adalah melewati jalanan yang menurun. Tidak akan ada lagi nampak pemandangan bagus di sekitar. Di sepanjang jalan yang akan kelihatan hanyalah hutan dan bukit. Sesekali akan tampak juga kendaraan alat berat seperti dozer atau grader yang rusak sedang di gendong oleh truck trailer, lewat berpapasan, balik ke base kamp untuk diperbaiki atau di maintain di gudang sparepart perusahaan.
Dalam perjalanan sepertinya para penumpang sudah mulai bosan dan tidak kerasan. Udara di dalam bus terasa semakin panas. Sebagian penumpang sudah merasa gerah. Ada yang sudah membuka bajunya, bertelanjang dada. Udara pengap dan bau amis, aroma keringat dari badan para pekerja yang sudah beberapa hari belum mandi, menyesak udara dalam kabin, belum lagi dengan bau solar bus yang bercampur dengan bau bensin yang tajam menyegat hidung dari jerigen-jerigen kosong, bahan bakar gergaji mesin yang dibawa oleh para penebang hutan di dalam bus. Kalau tidak tahan atau orang tidak biasa mungkin orang itu sudah mual, pusing dan muntah.
Semua jendela bus dibukakan lebar lebar oleh pemumpang. Biar udara baru berganti masuk. Namun tetap saja di dalam bus terasa panas. Sehingga pak Umar harus menyalakan sebuah baling angin yang terpasang di dasboard tempat dia mengemudi. Sepertinya tidak cukup hanya dengan baling angin. Kemudian pak Umar juga berusaha untuk menghibur diri dan juga para penumpangnya, dengan menyalakan sebuah musik, musik kesukaan orang banyak tentunya, musik dangdut, Terajana judulnya, sebuah nomor dari penyanyi dangdut legendaris pada masa itu, sang raja dangdut, Roma Irama.
Alunan suara gendang dan seruling serta dentingan suara gitar sang raja dangdut mengiringi perjalanan yang terasa semakin membosankan itu. Untunglah lagu terajana itu dapat kembali menumbuhkan gairah dan merubah keadaan, dari awalnya orang terasa ngatuk, menjadi terjaga dan mau pula ikut mengiringi lirik-lirik yang sedang dinyanyikan oleh sang penyanyi di dalam kaset itu.
Sementara Boim tidak tertarik sama sekali oleh hiburan musik dangdut, Terajana yang sedang di putar oleh sang sopir. Boim malah semakin mengantuk dalam perjalanan tersebut. Dia tidak menikmati sama sekali pada rute terakhir dalam perjalanan ini. Boim tertidur pulas di atas bangku bus paling depan itu. Pak Umar tetap melanjutkan tugasnya mengatar dan menjemput para pekerja hingga sampai ke pos terakhir di Km 48.
XXX
Sementara di desa Sikakap, di rumah, pintu rumah sudah terkunci, jendela sudah pula tertutup rapat, tidak ada orang di dalamnya. Tias dan putri kecilnya, Zulaikha telah meninggalkan rumah. Dia berjalan dengan menggendong Zulaikha dan melindungi anaknya dengan payung, keliling mengitari kampung, mencari-cari dimana Boim berada, mungkin ada di suatu tempat menurutnya, sedang asik bermain dengan gerombolannya, mungkin pantai atau mungkin di kali kecil belakang komplek, dan mungkin juga di pasar. Seharian sudah Boim tidak pulang, tidak ingat untuk makan dan lupa untuk pergi mengaji. Tias merasa kesal dan jengkel, kelakuan si Boim belum juga berubah.
Sekarang hari sudah sore, telah pula selesai Ashar, Boim belum juga dapat dia temukan batang hidungnya. Ditanya kesana kemari kepada kawan-kawannya yang biasa bermain dengan anaknya, tidak seorang pun yang tau di mana Boim berada. Sebentar lagi Rasyid ayahnya akan pulang. Tentu ayah itu akan marah besar kalau si bujangnya belum juga ada di rumah. Entahlah, kalau juga Boim dapat ditemukan, tak ayal Tias akan kena semprot oleh suaminya, karena tidak becus mengurus anak.
Hari telah pula sudah pukul 5 sore, ketika bus yang di kemudikan pak Umar dan ada Boim yang masih sedang tertidur di dalamnya di kursi paling depan. Bus berhenti pas di depan kantor administrasi perusahaan, di bukit Siyai. Pak Umar turun setelah memarkirkan kendaraannya, meninggalkan Boim sendirian sedang larut dalam tidurnya. Si supir tua itu langsung masuk kedalam kantor. Sekarang sudah jam 5, waktu para karyawan kantor pulang ke rumah mereka masing-masing.
Pak Umar langsung naik ke lantai dua, ke bagian keuangan. Di sana dia langsung menjumpai kawannya, sahabatnya, orang yang biasa membayarkan gajinya pada setiap tanggal 1, adalah Rasyid, pak kasir, yang tidk lain adalah ayah dari si bujang yang sekarang sedang tertidur di dalam busnya.
Tidak biasanya pak Umar duduk di depan meja kasir menghadapi Rasyid. Rasyid terkejut dengan kehadiran pak sang sopir bus karyawan itu sedang duduk di ruangannya. Biasanya, menurut Rasyid kalau ada karyawan menemuinya sore hari, pada jam akan kerja, tentu tidak bukan orang itu akan mengeluh dan ingin meminjam uang atau kas bon kepada dirinya.
Tapi sore itu pak Umar tidak akan ingin kas bon, ada maksud lain sepertinya. Rasyid langsung menanyakan ke pak Umar tentang sesuatu yang ada dikepalanya, yang hendak dia mau sampaikan. “Ada apa uda, tumben uda datang ke sini, kiranya ada hal penting yang hendak uda mau sampaikan”
“Begini adinda. Saya mau minta maaf kepada adinda” Pak Umar dengan wajah merasa bersalah dengan sangat hati-hati dan tenang dia menyusun kalimat di depan Rayid.
“Maaf kenapa? Uda tidak ada salah kepada saya”
Pak Umar kemudian menjelaskan kepada Rasyid perihal si Boim, anak bujang orang yang ada di hadapannya sekarang. Bahwa seharian tadi si Boim ikut bersamanya, dalam tugas mengatarkan dan menjemput karyawan. Dan sekarang pak Umar terus menjelaskan keberadaan Boim sedang tidur di dalam bus.
Alangkah terkejutnya si ayah itu mendegarkan penuturan sang sopir. “Mengapa Uda mengizinkan dia ikut tadi” Dengan wajah tegang agak emosi Rasyid menanyakan alasan kepada pak Umar.
“Saya sudah melarang anak itu, tapi dia merengek-rengek membujuk saya supaya di bolehkan ikut, dan akhirnya saya terpaksa membawa dia”
“Yah sudalah da, sudah kejadian mau bagaimana lagi, lain kali jangan uda izinkan anak itu kalau dia ingin ikut dengan bus uda”
“Ya tentu lah adinda, dia sudah janji tidak ikut lagi dengan saya”
Akhirnya sore itu Rasyid lah karyawan yang pertama kali keluar kantor dan langsung naik ke dalam bus. Dia jumpai anak sulungnya, si bujang yang baru berumur 7 tahun sedang tertidur pulas diatas bangku bus paling depan. Lansung saja Rasyid duduk disebelah Boim yang masih terlelap. Tidak dia bangunkan, karena sang ayah kasihan dan sekaligus marah kepada si anak yang kelihatan, lelah setelah bermain seharian, mengikuti perjalanan bus.
Pak Umar melanjutkan tugasnya mengantarkan para karyawan kantor untuk pulang beritirahat ke rumah mereka masing-masing.
Setelah bus berhenti sampai di depan rumah, tampak Tias telah berdiri di halaman, bersama Zulaikha, dan juga bersama ibu-ibu tetangga yang memang biasanya mereka berkumpul di halaman rumah itu di setiap sore dengan anak-anak mereka.
Rasyid turun dengan cara yang tidak biasa dari dalam bus. Tampak dari luar, Tias melihat suaminya sedang menggotong barang yang sangat berat. Ternyata bukan barang yang di gotong oleh Rasyid, tidak lain adalah anak bujangnya sendiri, yang sedang tidur terlelap pulas dalam pangkuan sang ayah.
Tias sangatlah terkejut melihat pemandangan yang sangat tidak biasa itu. “Uda” teriak Tias kepada suaminya. “apa yang terjadi dengan Boim?” dalam pikiran Tias sendiri Boim sedang celaka, dilihatnya anak bujangnya sedang terkulai lemas tidak berdaya di pangkuan sang ayah. “Astagfirullah, bujang..... Apa yang terjadi dengan waang?” alangkah sangat cemasnya Tias dan dia langsung mengejar kedua ayah dan anak bujang itu, sedang berjalan ke dalam pekarangan rumah.
Rasyid yang sedang menggendong Boim yang masih tertidur pulas, dengan wajah sangat masam memanjang tajam kearah istrinya. “Masuk lah ke rumah” dengan nada tinggi dan kecut Rasyid menyuruh Tias masuk.
Sampai di dalam rumah, pintu depan di banting keras oleh Rasyid dengan kakinya sambil mengendong si Boim. Tias sangat terkejut akan sikap suaminya, begitu juga orang-orang yang sedang asik menggosip di halaman, di bahwa pohon akasia itu.
Diletakan Boim di atas kursi sofa oleh si ayah. dan akhirnya Boim pun terjaga dari tidurnya. Langsung Boim di suruh mandi oleh Rasyid dengan cara yang kasar dan menghardiknya. “lekas kau mandi sana, sudah bau badan kau”
Tias dengan cemas, duduk di sofa, sambil menggendong Zulaikha nan manja, tidak amu lepas dari gendongan ibunya. “Uda apa yang terjadi uda?”
Dengan nada tinggi dan kasar Rasyid membentak sang istri, “tengoklah perangai anak kau itu”
“Ada apa denga dia uda, jelaskan lah dengan tenang, jangan emosi begitu?”
“Apa saja kerja kau di rumah? Mengapa kau biarkan dia keluyuran dengan bus si Umar sampai ke kilometer 48 nan jauh sana”
Alangkah terkesut sangat Tias mendengarkan penjelasan Rasyid yang sedang emosi kepada dirinya, dan menyatakan Tias sendiri tidak becus menjaga jaga anak.
Omelan demi omelan Rasyid belum juga berhenti mendera kepada telinga Tias dan Boim hingga sampai larut malam. Sehingga malam itu tidak ada rasa enak dan sedapnya masakan dan minuman yang telah dibuatkan oleh Tias untuk Rasyid sejak siang tadi. Suasana tidurpun dikamar pun tiada indahnya, hambar, hening dan suram. Yang ada hanya sindiran dari sang ayah atau si suami itu kepada anak dan istrinya. (Lucky Lukmansyah)
Diletakan Boim di atas kursi sofa oleh si ayah. dan akhirnya Boim pun terjaga dari tidurnya. Langsung Boim di suruh mandi oleh Rasyid dengan cara yang kasar dan menghardiknya. “lekas kau mandi sana, sudah bau badan kau”
Tias dengan cemas, duduk di sofa, sambil menggendong Zulaikha nan manja, tidak amu lepas dari gendongan ibunya. “Uda apa yang terjadi uda?”
Dengan nada tinggi dan kasar Rasyid membentak sang istri, “tengoklah perangai anak kau itu”
“Ada apa denga dia uda, jelaskan lah dengan tenang, jangan emosi begitu?”
“Apa saja kerja kau di rumah? Mengapa kau biarkan dia keluyuran dengan bus si Umar sampai ke kilometer 48 nan jauh sana”
Alangkah terkesut sangat Tias mendengarkan penjelasan Rasyid yang sedang emosi kepada dirinya, dan menyatakan Tias sendiri tidak becus menjaga jaga anak.
Omelan demi omelan Rasyid belum juga berhenti mendera kepada telinga Tias dan Boim hingga sampai larut malam. Sehingga malam itu tidak ada rasa enak dan sedapnya masakan dan minuman yang telah dibuatkan oleh Tias untuk Rasyid sejak siang tadi. Suasana tidurpun dikamar pun tiada indahnya, hambar, hening dan suram. Yang ada hanya sindiran dari sang ayah atau si suami itu kepada anak dan istrinya. (Lucky Lukmansyah)
0 Komentar
Penulisan markup di komentar