Menunggu Angin Bertiup
Oleh Yuhardi Tanjung
Part 8
Aku dulu sering mandi di sungai dangkal yang terdapat di parak nipah. Sambil mandi aku dan teman-teman ku mengumpulkan sebanyak-banyaknya langkitang dengan cara menyelam ke dasar sungai.
Langkitang juga dapat sebagai makanan tambahan lauk yang bergizi bagi orang kampung yang jarang memakan daging, sebab kalau daging biasanya di dapatkan pada waktu orang membantai, pada awal bulan puasa, kemudian menjelang lebaran, lalu hari raya kurban atau pada bulan Maulid.
Kalau mau memasak langkitang, pertama harus kita rendam dulu di air selama satu malam, supaya lumpur yang ada dalam cangkangnya bisa keluar. Dan juga bahagian cangkang belakang yang rucing itu harus di potong pertama-tama sekali, ini agar mudah mengeluarkan dagingnya nanti saat dimakan.
Beduk Magrib sudah berbunyi, tanda waktu untuk berbuka. Nenek sudah menyediakan air jus mentimun. Aduh sejuknya tenggorokan setelah disiram segelas jus mentimun. Begitulah rasanya berbuka puasa, dengan berpuasa tentulah kita dapat merasakan bagaimana rasa syukur setelah menahan dahaga selama seharian.
Sebagaimana kegiatan rutin selama Ramadhan, setelah selesai makan malam, ke mushola adalah kunjungan yang hampir merupakan kewajiban bagi ku.
Di mushola kelihatan sudah ramai, tampak beberapa anak laki-laki berkejar-kejaran di halaman mushola yang diterangi oleh cahaya lampu petromax. Cuaca kelihatan bagus sekali. Ku lihat Syahril telah berdiri dekat pintu masuk mushola, dari jauh rupanya dia telah melihat kedatangan ku, sepertinya dia mengatakan sesuatu, tapi karena masih jauh tidak dapat aku mendengarnya. Aku hanya memberikan isyarat saja supaya dia mau menunggu, karena aku hendak beruduk dulu.
Iqamat telah diperdengarkan, aku baru selesai berwuduk, ah tentu tidak sempat lagi untuk ngobrol barang sementar dengan Syahril. Biarlah, nanti habis tarawih aku temui dia, mudah-mudahan saja ada kabar baik dari dia.
Setelah sholat Magrib tak sabar aku bergeser duduk ke dekat Syahril, ku colek dia, lalu berbisik, “ada apa tadi?”. Dia hanya membalas dengan senyuman saja. “Tidak ada apa-apa, nanti saja kita bicara habis tarawih” dia berujar sambil merubah posisi duduknya, bergeser dari depan kebelakang, agar dapat duduk di samping ku.
“Tidak ada apa-apa, hanya saja aku mendengar kabar bahwa si Eddy mau ke Pdg lagi, kapan kah?” Sambil jalan pulang dari mushola Syahril menanyakan kepada ku berita yang diterimanya entah dari siapa. “Ooo itu” hilang penasaran ku setelah mendengarnya. “Benar. Aku memang akan kembali ke Pdg, tapi itu nanti, sekitar 4 atau 5 hari lagi sebelum lebaran” aku menjelaskan.
“Tidak lebaran di kampung kah si Eddy?” kulihat Syahril agak kecewa mendengarkan penuturan ku. Sebenarnya aku ingin sekali berlebaran di kampung ini, tapi Bapak, Ibu dan adik-adik ku ada di Pdg, ada kerinduan yang ku simpan di hati untuk segera berkumpul lagi bersama keluarga, tapi sebahagian hati ini mengatakan tetaplah disini saja, di kampung ini. Karena benih-benih cinta ku telah mulai tumbuh, dan itu membutuhkan air penyiram agar ia dapat tumbuh berkembang dan subur mekar merekah.
Sore hari setelah aku pulang dari sawah, seorang anak laki-laki kecil datang ke rumah ku sambil membawa sebuah bungkusan. Dia lah anak laki-laki itu yang pernah aku jumpai di rumah Wid waktu pertama kali berkunjung. Dia melihat, lalu berjalan ke arah tempat ku berdiri. “Uni menyuruh mengantarkan ini” berkata anak itu sambil menyodorkan bungkusan yang di bawanya. “Terimakasih” aku menerima bungkusan itu darinya. Dan ternyata isi bungkusan itu adalah jaket ku yang telah di cuci dan di seterika lagi, dan lalu ada sebuah amplop yang terselip dalam lipatan jaket, sepucuk surat dari Wid, berisikan:
Kepada Kakanda Eddy yang baik hati,
Bersama surat ini adinda kembalikan jacket kakanda. Terimakasih tak berhingga untuk kakanda yang telah sudi berbasah-basah untuk melindungi adinda dari hujan . Semoga budi baik kakanda akan dibalas oleh Allah Subhanawataala. Amin
Salam Adik,
Ttd
Aswidar
Surat itu pendek saja, tapi isinya cukup padat. Lama aku memandangi lembaran surat itu. Terbayang jelas olehku di dalam lembaran surat itu rawut wajahnya, senyum simpulnya yang selalu menawan hati ini. Ah.. aku terlalu hanyut dalam khayalan ku sendiri.
Semalam aku tak dapat tidur. Aku mencoba menuliskan balasan suratnya kemarin. Telah berkali-kali aku mencoba menuliskan kata-kata, namun menganggap tulisan ku itu selalu kurang baik bunyinya, dan berkali-kali aku merobek lembaran kertas yang berhiaskan motif berbunga di setiap sisinya itu. Setelah larut akhirnya aku tuliskan apa adanya saja
Grn Panjang, Oktober 1972
Adik Aswidar yang budiman
Sungguh semua yang kakanda lakukan itu adalah karena dorongan hati yang tidak ingin mendegar adik kelak menderita sakit karena berbasah-basah ke hujanan. Semoga budi sedikit dari kakanda itu tidaklah menjadi hal yang akan memberatkan adinda nantinya.
Wasalam.
Yah… sedikit dan pendek memang, tapi kalimat-kalimat itu cukuplah menunjukan perhatian ku kepadanya.
Surat itu kulipat dalam amplop Airmail, dilipat dalam bentuk biasa, surat itu ku simpan dulu dibawah bantal. Besok hari akan ku titipkan pada seseorang. Tapi kepada siapakah gerangan surat ini akan ku titipkan. Di kampung ini berkirim-kiriman surat antara gadis dan bujang masih perbuatan yang dianggap tabu. Aku pikir salah-salah surat itu akan jadi hal yang kurang elok, baik oleh yang menerima, maupun yang mengirimkan.
Seminggu lagi Ramadhan akan meninggalkan kita, barulah setahun kemudian akan muncul kembali. Apakah kita akan dapat lagi bersama-sama berada pada bulan yang mulia itu. Tidak seorang pun yang akan tahu, karena itu adalah rahasia Allah sang pencipta, Allah yang maha kuasa atas segalanya.
Demikian potongan ceramah wirid ramadhan yang disampaikan ustad. Aku terhanyut merenungkan ucapannnya itu. Entahlah, kapan lagi aku akan dapat merasakan suasana Ramadhan seperti saat ini di kampung? Yang betapa aku telah merasakan kehidupan dikampung dengan segala bentuk kesederhanaannya, dimana kadang-kadang kesederhanaan itu hampir mencapai titik ketiadaan. Tapi semua itu tidaklah menjadi beban yang berat bagiku, aku yakin itu hanyalah soal rejeki saja dari Tuhan. Selama ada usaha tetap akan ada rejeki, kerena semua sudah diatur oleh Nya.
Yah… selama Ramadhan ini aku dapat merasakan kebahagian dalam hati. Betapa aku merasakan benih-benih cintaku mulai bersemi dan menampakan tunas-tunasnya yang akan merekah didalam taman hati sanubari ku yang terdalam. Oh.. ternyata sura itu masih tetap dalam kantong baju ku. Aku berniat minta tolong kepada Syahril agar mau memberikannya kepada Wid.
Sore aku mengunjungi Syahril ke rumahnya. Syukurlah dia ada di rumah. Ku lihat dia sedang bekerja di halaman membuat bedeng untuk ditanami ubi jalar.
Dari jauh dia telah melihat kedatangan ku, dia menghentikan pekerjaannya. “Wah sepertinya ada sesuatu yang penting sekali nih” dia bicara seperti sudah menerka apa niat ku. “Ah.. tidak begitu penting” jawab ku. “Hanya sedikit perlu saja” Aku melanjutkan.
Wah.. penting dengan sedikit perlu apakah ada bedanya? Aku berpikir sendiri jadinya, ah tentulah ada bedanya, bedanya cuma cara penanganan masalahnya, betul bukan?
“Ayolah, kita naik ke rumah” Syahril mengajak masuk kerumahnya. “Ah tidak perlu, cukuplah di sini saja, dibawah batang rambutan itu saja” Aku menunjuk kesana, disitu ada paleh-paleh, tempat yang sengaja di buat untuk duduk-duduk santai. “ayo lah” Syahril mempersilahkan aku menuju ke tempat itu.
Di bawah pohon rambutan yang rindang itu, aku mengutarakan niat ku kepada Syahril. Syukurlah dia mau membantuku. Diterimanya suratku dan dia masukan ke dalam kantong celananya. Lalu Syahril bertanya lagi kepada ku tentang apakah benar aku akan kembali ke Pdg.
“Mungkin minggu depan” aku tidak menyebut kan tanggal berapa, hari apa, hanya perkiraan jasa. “Wah.. sayang sekali” Syahril menimpali ucapan ku.
“Eh.. kenapa?” aku bertanya. “Apakah ada sesuatu yang mungkin tidak lengkap apabila aku tidak ada?” Aku tambahkan.
“Tidak begitu, hanya saja lebaran besok jadi kurang meriah kalau si ddy tidak ada” Syahril menerangkan. “Sampai sebegitunya kah? Jangan lah” aku mengomentarinya. “Tentulah aku akan tetap balik ke kampung bila ada kesempatan” aku memberikan janji kepada Syahril.
“Memang kurang meriah kalau si Eddy tidak ada, begini, kami telah merencanakan lebaran besok pergi pesiar ke pantai Carocok” begitulah alasannya, Syahril menjelaskan kenapa tadi dia bilang ‘sayang sekali’ itu.
Aku jadi tercenung mendengar penjelasannya itu. Kenapa tidak, karena kalau aku ikut, mudah-mudahan Wid juga akan mau ikut bersama mereka, dan artinya adalah kesempatan emas bagiku untuk dapat lebih mempereratkan hubungan aku dengan dia.
Tapi aku teringat bapak, ibu dan adik-adik ku di Pdg, bagaimanakah keadaan mereka sekarang ini? Apakah bapak dapat memenuhi kebutuhan adik-adik ku saat hari lebaran nanti. Apakah adik-adik ku akan mendapatkan sesuatu yang membuat mereka bahagia atau senang hati pada waktu hari raya besok. Baju baru misalnya, atau makanan yang enak, entahlah. Aku sadar bahwa keadaan keluarga ku cukup memprihatinkan. Aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan yang maha esa selalu memberikan kelapangan rejeki kepada mereka, amin.
Rupanya dalam aku termenung tadi, Syahril dapat menangkap perubahan pada rawut wajah ku. Dia menanyakan lagi, “bagaimana? Mau ikutkan… ayolah!” dia bertanya dan sekaligus membujuk ku. Tapi aku benar-benar sedih memikirkan keadaan keluarga ku di Pdg, meskipun aku sendiri belum dapat membantu apa-apa, paling tidak hanya dengan doa saja yang ku panjatkan kepada Nya setelah aku selesai sholat. Namun aku tahu apa yang ku inginkan. Aku akan lebih bahagia berada bersama keluarga ku, meskipun sesulit apa keadaan yang akan kami hadapi dan jalani pada hari kedepan nanti.
“Begini Ril, aku sebenarnya ingin sekali ikut bersama teman-teman, betapa tidak, munkin itu hanya sekali terjad dalam hidup ku, tapi sayang Ril, aku harus kembali ke Pdg, berkumpul bersama keluarga ku, aku mengkhawatirkan keadaan mereka, entah bagaimana keadaan mereka sekarang ini” Ku jelaskan kepada Syahril alasan ku kenapa aku tidak dapat hadir bersama mereka nanti.
“Baiklah, kalau begitu alasannya, tentulah ada hal yang akan ku sampaikan kepada teman-teman nanti, kalau sekiranya mereka bertanya tentang si Eddy” terbayang rawut kekecewaan di wajah Syahril ketika dia menerima penjelasan ku tadi. Namun dengan lapang hatinya dia merelakan aku, kawan karibnya untuk kembali ke Pdg. Mungkin dia tahu bahwa bukanlah disini, di kampung ini kehidupan ku, melainkan di Pdg lah tempat ku yang sebenarnya.
Seperti biasa, masih pada bulan Ramadhan, pada senja waktu itu, setelah selesai berbuka aku bergegas menuju mushola untuk menunaikan sholat Magrib berjamaah. Di jalan ke mushola aku melihat perempuan, mungkin ibu-ibu, mungkin juga gadis, semuanya telah mengenakan mukena sedari rumahnya, mentuk mereka sama saja, kalau di lihat dari belakang. Aku mempercepat langkah ku supaya sampai di tangga dan pintu mushola. Ternyata air bak tempat pencuci kaki telah kosong, tidak tersisa sedikitpun. Mungkin belum ada orang yang mau mengisinya. Langsung saja aku ke sumur, ternyata tidak ada orang didalamnya, ada dua buah timba yang terbuat dari upih nibung yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan untuk menimba air. Timba yang terbuat dari upih nibung ini waktu itu masih banyak dijual di warung-warung kampung.
Yah… selama Ramadhan ini aku dapat merasakan kebahagian dalam hati. Betapa aku merasakan benih-benih cintaku mulai bersemi dan menampakan tunas-tunasnya yang akan merekah didalam taman hati sanubari ku yang terdalam. Oh.. ternyata sura itu masih tetap dalam kantong baju ku. Aku berniat minta tolong kepada Syahril agar mau memberikannya kepada Wid.
Sore aku mengunjungi Syahril ke rumahnya. Syukurlah dia ada di rumah. Ku lihat dia sedang bekerja di halaman membuat bedeng untuk ditanami ubi jalar.
Dari jauh dia telah melihat kedatangan ku, dia menghentikan pekerjaannya. “Wah sepertinya ada sesuatu yang penting sekali nih” dia bicara seperti sudah menerka apa niat ku. “Ah.. tidak begitu penting” jawab ku. “Hanya sedikit perlu saja” Aku melanjutkan.
Wah.. penting dengan sedikit perlu apakah ada bedanya? Aku berpikir sendiri jadinya, ah tentulah ada bedanya, bedanya cuma cara penanganan masalahnya, betul bukan?
“Ayolah, kita naik ke rumah” Syahril mengajak masuk kerumahnya. “Ah tidak perlu, cukuplah di sini saja, dibawah batang rambutan itu saja” Aku menunjuk kesana, disitu ada paleh-paleh, tempat yang sengaja di buat untuk duduk-duduk santai. “ayo lah” Syahril mempersilahkan aku menuju ke tempat itu.
Di bawah pohon rambutan yang rindang itu, aku mengutarakan niat ku kepada Syahril. Syukurlah dia mau membantuku. Diterimanya suratku dan dia masukan ke dalam kantong celananya. Lalu Syahril bertanya lagi kepada ku tentang apakah benar aku akan kembali ke Pdg.
“Mungkin minggu depan” aku tidak menyebut kan tanggal berapa, hari apa, hanya perkiraan jasa. “Wah.. sayang sekali” Syahril menimpali ucapan ku.
“Eh.. kenapa?” aku bertanya. “Apakah ada sesuatu yang mungkin tidak lengkap apabila aku tidak ada?” Aku tambahkan.
“Tidak begitu, hanya saja lebaran besok jadi kurang meriah kalau si ddy tidak ada” Syahril menerangkan. “Sampai sebegitunya kah? Jangan lah” aku mengomentarinya. “Tentulah aku akan tetap balik ke kampung bila ada kesempatan” aku memberikan janji kepada Syahril.
“Memang kurang meriah kalau si Eddy tidak ada, begini, kami telah merencanakan lebaran besok pergi pesiar ke pantai Carocok” begitulah alasannya, Syahril menjelaskan kenapa tadi dia bilang ‘sayang sekali’ itu.
Aku jadi tercenung mendengar penjelasannya itu. Kenapa tidak, karena kalau aku ikut, mudah-mudahan Wid juga akan mau ikut bersama mereka, dan artinya adalah kesempatan emas bagiku untuk dapat lebih mempereratkan hubungan aku dengan dia.
Tapi aku teringat bapak, ibu dan adik-adik ku di Pdg, bagaimanakah keadaan mereka sekarang ini? Apakah bapak dapat memenuhi kebutuhan adik-adik ku saat hari lebaran nanti. Apakah adik-adik ku akan mendapatkan sesuatu yang membuat mereka bahagia atau senang hati pada waktu hari raya besok. Baju baru misalnya, atau makanan yang enak, entahlah. Aku sadar bahwa keadaan keluarga ku cukup memprihatinkan. Aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan yang maha esa selalu memberikan kelapangan rejeki kepada mereka, amin.
Rupanya dalam aku termenung tadi, Syahril dapat menangkap perubahan pada rawut wajah ku. Dia menanyakan lagi, “bagaimana? Mau ikutkan… ayolah!” dia bertanya dan sekaligus membujuk ku. Tapi aku benar-benar sedih memikirkan keadaan keluarga ku di Pdg, meskipun aku sendiri belum dapat membantu apa-apa, paling tidak hanya dengan doa saja yang ku panjatkan kepada Nya setelah aku selesai sholat. Namun aku tahu apa yang ku inginkan. Aku akan lebih bahagia berada bersama keluarga ku, meskipun sesulit apa keadaan yang akan kami hadapi dan jalani pada hari kedepan nanti.
“Begini Ril, aku sebenarnya ingin sekali ikut bersama teman-teman, betapa tidak, munkin itu hanya sekali terjad dalam hidup ku, tapi sayang Ril, aku harus kembali ke Pdg, berkumpul bersama keluarga ku, aku mengkhawatirkan keadaan mereka, entah bagaimana keadaan mereka sekarang ini” Ku jelaskan kepada Syahril alasan ku kenapa aku tidak dapat hadir bersama mereka nanti.
“Baiklah, kalau begitu alasannya, tentulah ada hal yang akan ku sampaikan kepada teman-teman nanti, kalau sekiranya mereka bertanya tentang si Eddy” terbayang rawut kekecewaan di wajah Syahril ketika dia menerima penjelasan ku tadi. Namun dengan lapang hatinya dia merelakan aku, kawan karibnya untuk kembali ke Pdg. Mungkin dia tahu bahwa bukanlah disini, di kampung ini kehidupan ku, melainkan di Pdg lah tempat ku yang sebenarnya.
Seperti biasa, masih pada bulan Ramadhan, pada senja waktu itu, setelah selesai berbuka aku bergegas menuju mushola untuk menunaikan sholat Magrib berjamaah. Di jalan ke mushola aku melihat perempuan, mungkin ibu-ibu, mungkin juga gadis, semuanya telah mengenakan mukena sedari rumahnya, mentuk mereka sama saja, kalau di lihat dari belakang. Aku mempercepat langkah ku supaya sampai di tangga dan pintu mushola. Ternyata air bak tempat pencuci kaki telah kosong, tidak tersisa sedikitpun. Mungkin belum ada orang yang mau mengisinya. Langsung saja aku ke sumur, ternyata tidak ada orang didalamnya, ada dua buah timba yang terbuat dari upih nibung yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan untuk menimba air. Timba yang terbuat dari upih nibung ini waktu itu masih banyak dijual di warung-warung kampung.
Selesai aku mencuci kaki, di pintu sumur sudah ada berdiri seseorang yang dari tadi menunggu aku keluar dari sumur. Dia mengulurkan sebuah amplop. Aku terkejut dan tergagap waktu menerima amplop itu darinya. Dia berkata pelan sekali “Simpan dan baca di rumah saja ya da” Aku lipat amplop itu dan ku simpan dalam kantong celana. “Aduh… aku, Wid… ak.. aku kira siapa tadi….” aku berkata sambil menghilangkan gagap ku. Wid hany tersenyum saja, dan tidak berkata apa-apa lagi. Aku ingin mencoba bertanya barang sedikit, tapi sayang suara Iqamat sudah terdengar dari dalam mushola. Ya sudah, aku segera berlalu, dan Wid melanjutkan mengambil air untuk mencuci kakinya.
Aduh, .. sholat ku tidak khusuk, ingatan ku selalu pada surat itu saja. Selesai sholat aku raba kantong celana ku, apakah surat itu masih tetap di dalam, tidak hilang atau tercecer, aku cemas sekali. Surat itu penting sekali bagi ku, sama pentingnya sepertinya nyawa di urat leher ku, begitulah rasanya orang yang sedang di mabuk cinta.
Ah.. surat itu masih ada. Selesai berdoa aku lansung berdiri lagi untuk sholat sunat. Setelah itu aku bergegas pulang. Seseorang menyapaku, tapi dia tidak menjadi perhatian bagi ku. Aku terus saja menuju pintu mushola, di luar pintu disana ada sandalku yang ku tinggalkan tadi. Pada tempat semula, aku tidak lagi menemukan sandal itu. Aduh.. kemana perginya? Ku cari-cari masih belum ketemu juga, aku jadi bingung. Melihat aku yang sedang sibuk mencari sandal, ada seseorang menyarankan aku supaya mencarinya di bawah dekat bak air pencuci kaki. Ah .. benar juga. Ternyata sandal itu berada di bawah sana. Mungkin tadi ada orang yang memakainya tapi lupa meletakan kembali ke tempatnya semula.
Telah ku terima sepucuk surat dari Wid….
Gr Panjang, November 1972
Kakanda Eddy Yth,
Di Tempat,
Sungguh adik merasa tersanjung, betapa tidak, begitu besar perhatian kakanda terhadap adik. Sungguh adik merasa gamang, seorang anak desa yang sederhana mendapat perhatian dari seorang yang dibesarkan di kota. Adik menjadi takut sekali kakanda…, Takut kalau apa yang selama ini kakanda pikirkan tentang adik, ternyata jauh dari harapan. Maaf kakanda, bukan adik memberi petuah kepada kakanda. Adinda hanya mengingatkan saja. Semoga Allah Subhanawataala akan selalu menuntun kita kejalan yang benar. Amin
Wasalam.
Aku tercenung membaca suratnya, sungguh aku merasa kecil dihadapannya. Kecil dalam artian pemikiran. Dia telah dahulu menyampaikan pemikiran yang telah melampaui batas pandangan para remaja masa itu. Dan aku tidak pula pernah bertanya pada diri ku sendiri, menanyai tentang halitu. Yang aku tahu, saat itu aku sedang jatuh cinta kepadanya, dan aku tidak memikirkan hal-hal lain, selain mengagumi diri dia, si pujaan hati.
Bersambung
Aduh, .. sholat ku tidak khusuk, ingatan ku selalu pada surat itu saja. Selesai sholat aku raba kantong celana ku, apakah surat itu masih tetap di dalam, tidak hilang atau tercecer, aku cemas sekali. Surat itu penting sekali bagi ku, sama pentingnya sepertinya nyawa di urat leher ku, begitulah rasanya orang yang sedang di mabuk cinta.
Ah.. surat itu masih ada. Selesai berdoa aku lansung berdiri lagi untuk sholat sunat. Setelah itu aku bergegas pulang. Seseorang menyapaku, tapi dia tidak menjadi perhatian bagi ku. Aku terus saja menuju pintu mushola, di luar pintu disana ada sandalku yang ku tinggalkan tadi. Pada tempat semula, aku tidak lagi menemukan sandal itu. Aduh.. kemana perginya? Ku cari-cari masih belum ketemu juga, aku jadi bingung. Melihat aku yang sedang sibuk mencari sandal, ada seseorang menyarankan aku supaya mencarinya di bawah dekat bak air pencuci kaki. Ah .. benar juga. Ternyata sandal itu berada di bawah sana. Mungkin tadi ada orang yang memakainya tapi lupa meletakan kembali ke tempatnya semula.
Telah ku terima sepucuk surat dari Wid….
Gr Panjang, November 1972
Kakanda Eddy Yth,
Di Tempat,
Sungguh adik merasa tersanjung, betapa tidak, begitu besar perhatian kakanda terhadap adik. Sungguh adik merasa gamang, seorang anak desa yang sederhana mendapat perhatian dari seorang yang dibesarkan di kota. Adik menjadi takut sekali kakanda…, Takut kalau apa yang selama ini kakanda pikirkan tentang adik, ternyata jauh dari harapan. Maaf kakanda, bukan adik memberi petuah kepada kakanda. Adinda hanya mengingatkan saja. Semoga Allah Subhanawataala akan selalu menuntun kita kejalan yang benar. Amin
Wasalam.
Aku tercenung membaca suratnya, sungguh aku merasa kecil dihadapannya. Kecil dalam artian pemikiran. Dia telah dahulu menyampaikan pemikiran yang telah melampaui batas pandangan para remaja masa itu. Dan aku tidak pula pernah bertanya pada diri ku sendiri, menanyai tentang halitu. Yang aku tahu, saat itu aku sedang jatuh cinta kepadanya, dan aku tidak memikirkan hal-hal lain, selain mengagumi diri dia, si pujaan hati.
Bersambung
0 Komentar
Penulisan markup di komentar