Menanti Angin Bertiup
Oleh Yuhardi Tanjung
Part 12
Waktu masih berlalu seperti biasanya, aku sibuk dengan pekerjaan ku. Wid sudah pulang kee kampung, dia juga sibuk mengisi waktunya menjadi guru agama di MIS (Madrasah Islamiah Swasta) di Ampang Pulai, Trs. Disinilah letak kelalaian ku, entah karena sibuk dalam pekerjaan ku, aku pada akhir-akhir hubungan ku dengan Wid, tidak lagi menulis surat padanya, dan jarang pula ke kampung untuk menjengukya.
Pernah satu kali aku pulang ke kampung. Sore itu aku duduk-duduk pada palanta rumah tek Cilan di Pasa, aku melihat Wid bergoncengan, sepertinya dengan seorang laki-laki, yang datang dari arah Kapuh. Aku senyum saja melihatnya, dia tidak membalas, mungkin dia tidak tahu akan ke hadiranku. Tapi kemudian dia sadar akan keberadaan ku di pasar, di palanta itu, langsung saja dia memutar sepedanya waktu melihat kehadiranku di situ. Dengan gembira dan wajah merona Wid datang menghampiri diri ku yang sudah berdiri di seberang jalan menunggunya.
“Bilo uda pulang?” Wid menanyai ku setelah dia sampai di hadapan muka ku, “Baru sajo tibo” aku menjawab. “Wid dari mana? Kok teman nya ditinggal saja” aku bertanya sambil menggodanya. “Oo dia, itu kami tadi jumpa di Pulai” Wid menjelaskan kepada ku tentang teman laki-lakinya itu.
Begitulah, aku pulang ke kampung hanya untuk menghilang rindu ku padanya. Jika aku telah berjumpa dengan Wid, rasanya hilang sudah segala hal yang menyesak di dalam dada, lega, dan lapang terasa di hati. Semua hal terasa indah bagi ku apabila telah bertemu dengan dia. Sore itu aku sangat terpesona sekali dengan cara berpakaian, berkain panjang, dan berselendang menutupi kepalanya. Keteduhan pandangannya dan kelembutannya wajahnya membuat hati ku menjadi tentram, besar harapan ku kepadanya. Aku tidak bertanya lagi kepada Wid tentang laki-laki yang bergonceng di sepedanya tadi. Aku tahu kalau dia bilang dari Kapuh, berarti dia baru saja dari rumah eteknya, saudara kandung ibunya. Pastilah laki-laki itu sepupunya Wid.
….……………….
Hari itu adalah hari terakhir bertemu dengannya. Semenjak aku bekerja di pulau Pagai, memang jarang aku memberi kabar kepadanya, bahkan boleh dikatakan tidak ada kabar apa-apa dari ku. Sampai saudara Pir datang ke Pagai untuk bekerja sebagai Tally Sheet. Pir datang sambil membawa sepucuk surat dari Wid. Ah aku memang tidak mengerti dengan pikiran ku sendiri, sampai si Pir kembali pulang ke kampung tidak sedikitpun aku berniat untuk membalas surat Wid waktu itu. Aku khawatir ini akan jadi hal yang akan merusak hubungan antara aku dan Wid nanti. Kepada Wid, inilah kesalahan terbesar yang telah ku perbuat kepadanya, pertama aku tidak memberikan kabar kepadanya, kemudian surat itu, tidak pula aku sempatkan membalasnya. Maka tersiarlah kabar yang beredar di kampung bahwa aku telah sedang berpacaran dengan seseorang di pulau Pagai.
Ah.. aku akui, bahwa aku memang tidak lagi mempedulikan Wid. Karena masa itu pikiran ku sedang dilanda beban berat tentang adik ku. Adik perempuan ku yang no dua. Dia sebentar lagi akan melangsungkan perkawinnan dengan laki-laki pilihannya sendiri. Tahulah aku, bapak dan ibu tentu tidak sanggup menanggung beban ini. Jadilah aku sebagai anak tertua yang harus memikirkan biayanya. Ditambah lagi dengan persyaratan dari tek Nani dan suaminya, kalau keluarga ku ingin memakai rumah elitnya untuk acara pernikahan boleh, asal kami bisa menyembelih seekor sapi untuk pesta tersebut. Kenapa? Karena beliau keduanya adalah orang berpangkat, undangan dari pihak beliau sangat lah banyak. Dan para tamu yang akan datang menghadiri pesta itu pastilah bukan orang sembarangan.
Yah… apa boleh buat, kesepakatan telah telah bulat antara keluarga ku dan tek Nani, mau bilang apa lagi, terpaksa syarat itu aku harus penuhi, disebabkan alasan karena kami tidak punya tempat tinggal yang layak untuk menyelenggarakan perhelatan “alek”.
Acara pestanya diselenggarakan di Padang saja, di rumah tek Nani. Segala perhitungan dan persyaratan dengan keluarga pembelai laki-laki telah bulat, waktu yang ditetapkan semakin dekat, tidak bisa dirubah lagi.
Pada hari menjelang hari H perkawinan adik ku, ku lihat banyak orang-orang kampung datang untuk membantu urusan pesta perkawinan tersebut. Yah karena begitulah kebiasaan orang-orang di kampung kami. Diantara orang-orang kampung yang datang kulihat amaknya Wid juga hadir untuk menyumbangkan tenaganya. Waktu itu aku pikir sebaiknya aku menanyakan perihal tentang Wid ke pada ibu itu. Tapi entah kenapa, aku terlalu pengecut untuk bertanya hal-hal seperti itu kepadanya. Sampai pada acara pesta selesai dan orang-orang itu pulang kembali ke kampung, pertanyaan itu tetap tinggal dalam benakku, tidak pernah terucapkan lagi.
Entah mengapa keberanian ku tidak pernah muncul sedikitpun, dan lagi pula aku tidak pernah menerima dorongan dari ibuku mengenai hubungan ku dengan Wid. Baik itu dari adik sepupu ibuku maupun famili ibu yang lain tidak pernah aku mendengar secara langsung maupun berupa kata-kata sindiran, entahlah. Seakan-akan aku sedang berjalan ditengah malam gelap gulita tanpa sedikitpun ada secercah pelita menerangi, bayang-bayang pun sesekali tak mau menemani langkah kaki ku. Terus terang aku malu untuk mengatakan isi hati ini kepada orang lain, entah lah aku harus bagaimana lagi.
Tak berapa lama setelah hari perkawinan adikku, tanpa selamat tinggal kepada Wid yang di kampung, aku langsung melenyapkan diri lagi, tenggelam dalam riuhnya pekerjaan di pulau Pagai. Di pulau Pagai yang jauh dari peradaban kota, di balik samudera itu aku merasa hati ku hampa, dingin, rasanya benar-benar sudah putus hubungan dengan Wid. Karena tiada kabar berita dari ku, entah mengapa hati ku benar-benar telah dingin kepadanya. Tidak berapa lama aku berada di pulau Pagai, sekembali aku dari Pdg, terdengar kabar dari adik ku, bahwa Wid akan melangsungkan pernikahan dengan saudara Amran, seorang guru yang sama mengajar dengan diri nya. Oh… aku betul-betul telah ditinggalkannya… aku jadi linglung, tidak tahu apa yang akan ku perbuat saat itu. Tapi aku mengerti kenapa dia mau menyetujui menikah dengan seseorang. Ya.. tentu saja, kalau lah aku menjadi dia, tentu jalan itu juga yang akan ku tempuh. Dari pada menunggu seseorang yang tidak pasti. Seakan-akan dia digantung tapi tergantung tidak ada sehelai tali yang ada pada dirinya, mungkin kah seperti itu, tapi begitulah kenyataannya.
Aku mengirimkan uang kepada adik ku, aku minta tolong belikan kain untuk bisa membuat satu stel baju guntuing ala malaysianantinya. Sebagai kado buat Wid nantinya. Ditambah sebuah kartu pos yang bergambar bunga mawar yang sedang mekar dengan ucapan “Selamat Berbahagia”.
Selang tidak lama setelah hari perkawinannya, aku pun minta izin cuti dari perusahaan sekitar dua minggu. Aku pulang ke kampung untuk menyampaikan ucapan selamatku pada Wid. Di kampung ku tidak langsung ke rumahnya, aku pergi dulu ke rumah famili-famili ku di kampung. Tujuan ku adalah untuk mencari tahu kabar berita seputar perkawinan Wid dengan Amran, yang biasanya ada-ada saja akan disampaikan mereka kepada ketelinga ku nantinya.
Memang ada kabar tentang dia yang sempat mampir ditelinga ku mengenai proses perkawinan Wid dengan Amran ini. Ada berita bahwa sempat tidak diterimanya hantaran kue oleh keluarga Wid kepada keluarga Amran. Berhubungan Amran ini sudah dicalonkan dengan perempuan lain. Kemudian aku ketahui bahwa Amran ini tidak punya ibu kandung, karena sudah lama meninggal. Amran ini tinggal dengan adik-adik ibunya. Tapi entah bagaimana pernikahan mereka dapat berjalan dengan baik. Selanjutnya aku tidak mendapatkan berita yang pasti. Aku tidak lagi mencari tahu lagi berita seputar pernikahan mereka. Cukup sudah, bagi ku mereka sudah resmi berkawin, sebagai suami istri. Yah … sudah lah biarkan saja, mereka sudah bahagia.
Sorenya aku ke rumah Wid, aku ditemani Alimar, familiku yang tinggal tidak jauh dari rumah Wid. Di rumah nya yang pertama aku temui adalah bapaknya Wid. Suasana rumahnya benar-benar baru selesai perhelatan. Masih kulihat kertas-kertas hias yang terpasang pada dinding rumah, dan kertas gaba-gaba masih melilit pada tiang dan tonggak rumah. Ada rasa pedih dan ngilu di hatimkusaat itu.
Yang pertama kutanyakan adalah menanyakan perihal “uda”nya atau suaminya. “Ma uda Wid?” dia tidak menjawab, mulutnya tertutup. Matanya tidak melihat ke arah ku, dia diam saja. Ada galau menyelimuti hatinya. Sampai aku pulang dari rumahnya tetap dia hanya diam seribu bahasa. Hanya bapaknya saja yang melawan aku bicara di rumah itu. Walau pun ada ketawa keluar dari mulut ku dalam perbincangan berdua dengan ayahnya hari itu, tapi itu hanya di luarnya saja yang tampak, sedangkan dalam aku telah hancur luluh, berantakan.
Sejak hari itu aku tidak lagi bertemu dengan Wid. Ada kegalauan yang aku alami, aku hanya diam saja dirumah. Aku betul-betul terpuruk.rupanya perihal diriku yang demikian menjadi perhatian oleh adik sepupu ibu ku. Dia menaruh perhatian pada kondisiku, etek Lis, dialah orangnya, seorang guru SD, dia merasa prihatin pada keadaaan ku. Pada hari kemudian, tek Lis datang kepada ku, dia menawarkan ku untuk melihat seorang perempuan yang mungkin bisa aku lamar. Dengan separoh hati aku memenuhi ajakannya. Jadilah kami malam itu berangkat menuju ke rumah si Eti, nama perempuan yang akan aku lamar. Rumahnya cukup jauh dari tempat kami, yaitu di Karang. Dalam suasana gelapnya keadaan jalan di kampung kami pun berangkat, ada bertiga kami ke tempat itu, tek Lis dengan adiknya menemani aku.
Sesampai kami di rumahnya itu, rumah yang besar dan luas berandanya, rumah modal lama yang masih kokoh buatannya. Kami diterima oleh kakak si Eti, seorang perempuan yang rupanya juga seorang guru SD. Ternyata sebelumnya sudah ada pembicaraan pendahuluan mengenai diriku dengan tek Cilan, adik tek Lis sebelumnya. Aku hanya mendengar sambil mengangguk-anggukan kepala melihat mereka telah mulai bicara ke arah yang serius. Pikiran ku lagi sedang tidak di badan waktu itu.
Dalam kegalauan pikiran ku tiba-tiba suara gelas jatuh di muka ku. Rupanya air minum yang dibawa dengan baki keluar oleh seseorang dari dalam rumah tumpah semuanya, pas hidapanku. Karena waktu itu yang membawa baki yang berisi minuman itu tersandung kakinya pada kaki meja. Semua air tumpah membasahi lantai dan kaki celana ku.
Mungkin karena terkejut, tanpa disadari, tiba-tiba tek Lis terucap kata-kata olehnya “Ah… indak ka jadi ko doh” tapi malam itu pembicaraan mengenai cara-cara pelamaran diriku masih tetap diteruskan. Dari pihak si Eti, mereka akan mengunjungi ibuku yang berada di Pdg lebih dahulu.
Pembicaraan ini hanya sampai disitu saja dulu, karena pembicaraan selanjutnya akan dilakukan di Pdg. Kami pun kembali pulang, dalam perjalanan pulang, tidak sepatah pun kata yang keluar dari mulut kami. Suasana kelam disepanjang perjalanan, begitu pula kiranya suasana hati ku.
Kembali saja ke Pdg, begitulah keputusan ku, mudah-mudahan ini akan menjadi pengobat hati ku yang sedang gundah. Di Pdg aku bisa menghibur diriku dengan ke ramaian disana. Ya.. aku akan pergi jalan sendirian, pergi kepinggir laut, merasakan nyamannya tiupan angin laut membelai sekujur badan ku.
Telah lama hati ku kosong semenjak perkawinannya dengan Amran. Aku pikir apakah aku yang salah atau kah dia? Aku tidak tahu jawab nya, semuanya telah terjadi begitu saja. Sejak hari itu aku tidak banyak bicara lagi, hanya diam diri saja seperti batu. Memutuskan untuk tidak kembali lagi ke kampung. Ku habiskan masa bujang ku disana, di pulau itu, di balik samudera, di pulau Pagai namanya. Menimbun diriku dengan banyak pekerjaan setiap hari. Jarang pulang ke Pdg. Beberapa tahun kemudian aku pun melangsungkan pernikahan dengan kemenakan ayah ku yang tinggal di Jkt.
Tamat
Waktu masih berlalu seperti biasanya, aku sibuk dengan pekerjaan ku. Wid sudah pulang kee kampung, dia juga sibuk mengisi waktunya menjadi guru agama di MIS (Madrasah Islamiah Swasta) di Ampang Pulai, Trs. Disinilah letak kelalaian ku, entah karena sibuk dalam pekerjaan ku, aku pada akhir-akhir hubungan ku dengan Wid, tidak lagi menulis surat padanya, dan jarang pula ke kampung untuk menjengukya.
Pernah satu kali aku pulang ke kampung. Sore itu aku duduk-duduk pada palanta rumah tek Cilan di Pasa, aku melihat Wid bergoncengan, sepertinya dengan seorang laki-laki, yang datang dari arah Kapuh. Aku senyum saja melihatnya, dia tidak membalas, mungkin dia tidak tahu akan ke hadiranku. Tapi kemudian dia sadar akan keberadaan ku di pasar, di palanta itu, langsung saja dia memutar sepedanya waktu melihat kehadiranku di situ. Dengan gembira dan wajah merona Wid datang menghampiri diri ku yang sudah berdiri di seberang jalan menunggunya.
“Bilo uda pulang?” Wid menanyai ku setelah dia sampai di hadapan muka ku, “Baru sajo tibo” aku menjawab. “Wid dari mana? Kok teman nya ditinggal saja” aku bertanya sambil menggodanya. “Oo dia, itu kami tadi jumpa di Pulai” Wid menjelaskan kepada ku tentang teman laki-lakinya itu.
Begitulah, aku pulang ke kampung hanya untuk menghilang rindu ku padanya. Jika aku telah berjumpa dengan Wid, rasanya hilang sudah segala hal yang menyesak di dalam dada, lega, dan lapang terasa di hati. Semua hal terasa indah bagi ku apabila telah bertemu dengan dia. Sore itu aku sangat terpesona sekali dengan cara berpakaian, berkain panjang, dan berselendang menutupi kepalanya. Keteduhan pandangannya dan kelembutannya wajahnya membuat hati ku menjadi tentram, besar harapan ku kepadanya. Aku tidak bertanya lagi kepada Wid tentang laki-laki yang bergonceng di sepedanya tadi. Aku tahu kalau dia bilang dari Kapuh, berarti dia baru saja dari rumah eteknya, saudara kandung ibunya. Pastilah laki-laki itu sepupunya Wid.
….……………….
Hari itu adalah hari terakhir bertemu dengannya. Semenjak aku bekerja di pulau Pagai, memang jarang aku memberi kabar kepadanya, bahkan boleh dikatakan tidak ada kabar apa-apa dari ku. Sampai saudara Pir datang ke Pagai untuk bekerja sebagai Tally Sheet. Pir datang sambil membawa sepucuk surat dari Wid. Ah aku memang tidak mengerti dengan pikiran ku sendiri, sampai si Pir kembali pulang ke kampung tidak sedikitpun aku berniat untuk membalas surat Wid waktu itu. Aku khawatir ini akan jadi hal yang akan merusak hubungan antara aku dan Wid nanti. Kepada Wid, inilah kesalahan terbesar yang telah ku perbuat kepadanya, pertama aku tidak memberikan kabar kepadanya, kemudian surat itu, tidak pula aku sempatkan membalasnya. Maka tersiarlah kabar yang beredar di kampung bahwa aku telah sedang berpacaran dengan seseorang di pulau Pagai.
Ah.. aku akui, bahwa aku memang tidak lagi mempedulikan Wid. Karena masa itu pikiran ku sedang dilanda beban berat tentang adik ku. Adik perempuan ku yang no dua. Dia sebentar lagi akan melangsungkan perkawinnan dengan laki-laki pilihannya sendiri. Tahulah aku, bapak dan ibu tentu tidak sanggup menanggung beban ini. Jadilah aku sebagai anak tertua yang harus memikirkan biayanya. Ditambah lagi dengan persyaratan dari tek Nani dan suaminya, kalau keluarga ku ingin memakai rumah elitnya untuk acara pernikahan boleh, asal kami bisa menyembelih seekor sapi untuk pesta tersebut. Kenapa? Karena beliau keduanya adalah orang berpangkat, undangan dari pihak beliau sangat lah banyak. Dan para tamu yang akan datang menghadiri pesta itu pastilah bukan orang sembarangan.
Yah… apa boleh buat, kesepakatan telah telah bulat antara keluarga ku dan tek Nani, mau bilang apa lagi, terpaksa syarat itu aku harus penuhi, disebabkan alasan karena kami tidak punya tempat tinggal yang layak untuk menyelenggarakan perhelatan “alek”.
Acara pestanya diselenggarakan di Padang saja, di rumah tek Nani. Segala perhitungan dan persyaratan dengan keluarga pembelai laki-laki telah bulat, waktu yang ditetapkan semakin dekat, tidak bisa dirubah lagi.
Pada hari menjelang hari H perkawinan adik ku, ku lihat banyak orang-orang kampung datang untuk membantu urusan pesta perkawinan tersebut. Yah karena begitulah kebiasaan orang-orang di kampung kami. Diantara orang-orang kampung yang datang kulihat amaknya Wid juga hadir untuk menyumbangkan tenaganya. Waktu itu aku pikir sebaiknya aku menanyakan perihal tentang Wid ke pada ibu itu. Tapi entah kenapa, aku terlalu pengecut untuk bertanya hal-hal seperti itu kepadanya. Sampai pada acara pesta selesai dan orang-orang itu pulang kembali ke kampung, pertanyaan itu tetap tinggal dalam benakku, tidak pernah terucapkan lagi.
Entah mengapa keberanian ku tidak pernah muncul sedikitpun, dan lagi pula aku tidak pernah menerima dorongan dari ibuku mengenai hubungan ku dengan Wid. Baik itu dari adik sepupu ibuku maupun famili ibu yang lain tidak pernah aku mendengar secara langsung maupun berupa kata-kata sindiran, entahlah. Seakan-akan aku sedang berjalan ditengah malam gelap gulita tanpa sedikitpun ada secercah pelita menerangi, bayang-bayang pun sesekali tak mau menemani langkah kaki ku. Terus terang aku malu untuk mengatakan isi hati ini kepada orang lain, entah lah aku harus bagaimana lagi.
Tak berapa lama setelah hari perkawinan adikku, tanpa selamat tinggal kepada Wid yang di kampung, aku langsung melenyapkan diri lagi, tenggelam dalam riuhnya pekerjaan di pulau Pagai. Di pulau Pagai yang jauh dari peradaban kota, di balik samudera itu aku merasa hati ku hampa, dingin, rasanya benar-benar sudah putus hubungan dengan Wid. Karena tiada kabar berita dari ku, entah mengapa hati ku benar-benar telah dingin kepadanya. Tidak berapa lama aku berada di pulau Pagai, sekembali aku dari Pdg, terdengar kabar dari adik ku, bahwa Wid akan melangsungkan pernikahan dengan saudara Amran, seorang guru yang sama mengajar dengan diri nya. Oh… aku betul-betul telah ditinggalkannya… aku jadi linglung, tidak tahu apa yang akan ku perbuat saat itu. Tapi aku mengerti kenapa dia mau menyetujui menikah dengan seseorang. Ya.. tentu saja, kalau lah aku menjadi dia, tentu jalan itu juga yang akan ku tempuh. Dari pada menunggu seseorang yang tidak pasti. Seakan-akan dia digantung tapi tergantung tidak ada sehelai tali yang ada pada dirinya, mungkin kah seperti itu, tapi begitulah kenyataannya.
Aku mengirimkan uang kepada adik ku, aku minta tolong belikan kain untuk bisa membuat satu stel baju guntuing ala malaysianantinya. Sebagai kado buat Wid nantinya. Ditambah sebuah kartu pos yang bergambar bunga mawar yang sedang mekar dengan ucapan “Selamat Berbahagia”.
Selang tidak lama setelah hari perkawinannya, aku pun minta izin cuti dari perusahaan sekitar dua minggu. Aku pulang ke kampung untuk menyampaikan ucapan selamatku pada Wid. Di kampung ku tidak langsung ke rumahnya, aku pergi dulu ke rumah famili-famili ku di kampung. Tujuan ku adalah untuk mencari tahu kabar berita seputar perkawinan Wid dengan Amran, yang biasanya ada-ada saja akan disampaikan mereka kepada ketelinga ku nantinya.
Memang ada kabar tentang dia yang sempat mampir ditelinga ku mengenai proses perkawinan Wid dengan Amran ini. Ada berita bahwa sempat tidak diterimanya hantaran kue oleh keluarga Wid kepada keluarga Amran. Berhubungan Amran ini sudah dicalonkan dengan perempuan lain. Kemudian aku ketahui bahwa Amran ini tidak punya ibu kandung, karena sudah lama meninggal. Amran ini tinggal dengan adik-adik ibunya. Tapi entah bagaimana pernikahan mereka dapat berjalan dengan baik. Selanjutnya aku tidak mendapatkan berita yang pasti. Aku tidak lagi mencari tahu lagi berita seputar pernikahan mereka. Cukup sudah, bagi ku mereka sudah resmi berkawin, sebagai suami istri. Yah … sudah lah biarkan saja, mereka sudah bahagia.
Sorenya aku ke rumah Wid, aku ditemani Alimar, familiku yang tinggal tidak jauh dari rumah Wid. Di rumah nya yang pertama aku temui adalah bapaknya Wid. Suasana rumahnya benar-benar baru selesai perhelatan. Masih kulihat kertas-kertas hias yang terpasang pada dinding rumah, dan kertas gaba-gaba masih melilit pada tiang dan tonggak rumah. Ada rasa pedih dan ngilu di hatimkusaat itu.
Yang pertama kutanyakan adalah menanyakan perihal “uda”nya atau suaminya. “Ma uda Wid?” dia tidak menjawab, mulutnya tertutup. Matanya tidak melihat ke arah ku, dia diam saja. Ada galau menyelimuti hatinya. Sampai aku pulang dari rumahnya tetap dia hanya diam seribu bahasa. Hanya bapaknya saja yang melawan aku bicara di rumah itu. Walau pun ada ketawa keluar dari mulut ku dalam perbincangan berdua dengan ayahnya hari itu, tapi itu hanya di luarnya saja yang tampak, sedangkan dalam aku telah hancur luluh, berantakan.
Sejak hari itu aku tidak lagi bertemu dengan Wid. Ada kegalauan yang aku alami, aku hanya diam saja dirumah. Aku betul-betul terpuruk.rupanya perihal diriku yang demikian menjadi perhatian oleh adik sepupu ibu ku. Dia menaruh perhatian pada kondisiku, etek Lis, dialah orangnya, seorang guru SD, dia merasa prihatin pada keadaaan ku. Pada hari kemudian, tek Lis datang kepada ku, dia menawarkan ku untuk melihat seorang perempuan yang mungkin bisa aku lamar. Dengan separoh hati aku memenuhi ajakannya. Jadilah kami malam itu berangkat menuju ke rumah si Eti, nama perempuan yang akan aku lamar. Rumahnya cukup jauh dari tempat kami, yaitu di Karang. Dalam suasana gelapnya keadaan jalan di kampung kami pun berangkat, ada bertiga kami ke tempat itu, tek Lis dengan adiknya menemani aku.
Sesampai kami di rumahnya itu, rumah yang besar dan luas berandanya, rumah modal lama yang masih kokoh buatannya. Kami diterima oleh kakak si Eti, seorang perempuan yang rupanya juga seorang guru SD. Ternyata sebelumnya sudah ada pembicaraan pendahuluan mengenai diriku dengan tek Cilan, adik tek Lis sebelumnya. Aku hanya mendengar sambil mengangguk-anggukan kepala melihat mereka telah mulai bicara ke arah yang serius. Pikiran ku lagi sedang tidak di badan waktu itu.
Dalam kegalauan pikiran ku tiba-tiba suara gelas jatuh di muka ku. Rupanya air minum yang dibawa dengan baki keluar oleh seseorang dari dalam rumah tumpah semuanya, pas hidapanku. Karena waktu itu yang membawa baki yang berisi minuman itu tersandung kakinya pada kaki meja. Semua air tumpah membasahi lantai dan kaki celana ku.
Mungkin karena terkejut, tanpa disadari, tiba-tiba tek Lis terucap kata-kata olehnya “Ah… indak ka jadi ko doh” tapi malam itu pembicaraan mengenai cara-cara pelamaran diriku masih tetap diteruskan. Dari pihak si Eti, mereka akan mengunjungi ibuku yang berada di Pdg lebih dahulu.
Pembicaraan ini hanya sampai disitu saja dulu, karena pembicaraan selanjutnya akan dilakukan di Pdg. Kami pun kembali pulang, dalam perjalanan pulang, tidak sepatah pun kata yang keluar dari mulut kami. Suasana kelam disepanjang perjalanan, begitu pula kiranya suasana hati ku.
Kembali saja ke Pdg, begitulah keputusan ku, mudah-mudahan ini akan menjadi pengobat hati ku yang sedang gundah. Di Pdg aku bisa menghibur diriku dengan ke ramaian disana. Ya.. aku akan pergi jalan sendirian, pergi kepinggir laut, merasakan nyamannya tiupan angin laut membelai sekujur badan ku.
Telah lama hati ku kosong semenjak perkawinannya dengan Amran. Aku pikir apakah aku yang salah atau kah dia? Aku tidak tahu jawab nya, semuanya telah terjadi begitu saja. Sejak hari itu aku tidak banyak bicara lagi, hanya diam diri saja seperti batu. Memutuskan untuk tidak kembali lagi ke kampung. Ku habiskan masa bujang ku disana, di pulau itu, di balik samudera, di pulau Pagai namanya. Menimbun diriku dengan banyak pekerjaan setiap hari. Jarang pulang ke Pdg. Beberapa tahun kemudian aku pun melangsungkan pernikahan dengan kemenakan ayah ku yang tinggal di Jkt.
Tamat
0 Komentar
Penulisan markup di komentar