Menunggu Angin Bertiup #10 oleh Yuhardi Tanjung

16:42:00

Menunggu Angin Bertiup

Oleh Yuhardi Tanjung

Part 10

Kini aku telah di Pdg, aku telah berkumpul kembali dengan bapak, ibu dan adik-adik. Mereka gembira dengan kedadiran ku di tengah-tengah mereka. Walau kehidupan kami sangat sangat sederhana sekali, tapi kami cukup bahagia walau itu ukurannya sangat relatif. Bagi ibu, walau kehidupan serba berkekurangan, tidak pernah ia sekalipun bertengkar dengan bapak. Ibu selalu diam saja walau penghasilan yang bapak bawa pulang tidak mencukupi untuk keperluan sehari-hari. Kasihan ibu, terpaksa ia harus berhutang, gali lobang tutup lobang ke warung Mak Tuo untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Biasanya habis bulan, setiap bapak terima gaji, bapak menyerahkan kepada ibu, dan langsung ibu setorkan ke Mak Tuo, si pemilik warung, dan sisanya hampir tidak ada, bahkan kadang-kadang tekor. Mak Tuo mengerti akan keadaan ibu, beliau selalu sabar menghadapi ibu yang sering mengeluh karena kekurangan.

Dulu ibu masih bisa pakai gelang dan dukuh emas, serta ibu juga punya mesin jahit bekas yang dia beli dari etek Si War, mama Si Vera yang tinggal di dekat rumah gadang itu.

Ibu pernah juga pakai sandal tinggi tumit yang waktu itu sangat model. Dari photo-photo yang tersimpan aku masih lihat sisa-sisa kebahagiaan ibu dan bapak. Betapa bapak yang kala itu masih kelihatan ganteng dan ibu yang masih muda ceria, berwajah manis dengan aku putra pertamanya yang duduk di tengah-tengah ketika masih berumur 2 tahun.

Ibu dengan umur yang semakin lanjut, memang banyak perubahannya. Sekarang kalau setiap selesai makan suka sekali menghisap rokok, rokok yang diminta dari bapak. Sambil menghisap rokok, setelah makan, ibu tampak sering bermenung. Mungkin banyak pikiran. Adikku yang nomor dua setelah aku telah pula beranjak dewasa, dan adik yang nomor tiga akan mengiringi di belakangnya. Sedangkan penghidupan kami masih belum ada perubahan kearah yang lebih baik. Mata pencaharian bapak sebagai pekerja gudang tidak seberapa penghasilannya.

Sering ku perhatikan ibu sedang sholat, beliau sholatnya lama sekali, bukan sholatnya yang lama, tapi berdoanya yang lama. Sering pula ku lihat ada bekas air mata beliau jatuh membasah tempat sujudnya. Aku tidak tahu apa yang beliau sedihkan. Dari keseharian ibu tidak pernah ada selisih paham dengan bapak. Tidak pernah ada pertengkaran yang terjadi antara bapak dan ibu.

Bisa jadi, mungkin, perkiraan ku ibu sedih memikirkan masa depan kami, anak-anaknya yang sembilan orang. Terutama mencemaskan keadaan anak gadisnya yang dua orang itu, yang mulai tumbuh dewasa. Tentu sebentar lagi akan datang jodoh mereka. Maka sebagai orang tua beliau berkewajiban untuk mengangkat ‘alek’, adatnya sebagai orang Minang menyelenggarakan pesta pernikahan. Tapi dengan apalah ‘alek’ itu akan dibuat, istilah orang kalau tak ada kayu jenjang di keping. Sayang sekali bagi ibu, jenjang itu betul yang tidak ada. Lalu apalah mau di buat. Begitulah kiranya gambaran keadaan keluarga kami.

Aku berusaha melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan dan instansi pemerintah, tapi tak satupun yang bersedia menerima ku. Pernah bapak membawa ku ke PT Tani Makmur, tempatnya ada di jalan Pemuda, waktu itu yang menjadi managernya adalah teman bapak. Entah apa ceritanya bapak dengan dia, aku dibawa ke sana. Pukul 8 pagi kami sudah sampai di tempat itu. Aku disuruh tinggal disana menunggu keputusan atasannnya teman bapak. Sedang bapak harus masuk kerja, sehingga harus pergi meninggalkan aku sendiri.

Sambil menunggu aku melihat koran yang aku paling tidak suka kalau tidak menyempatkan membacanya barang sebentar. Aku bacalah koran itu, sampai teman bapak itu mucul masih sedang baca koran juga. Mungkin ini menjadi suatu hal yang jelek di matanya. Masa seorang pelamar masih saja kerja membaca koran selagi menunggu keputusan diterima atau tidak dari calon atasan. Akhirnya aku disuruh pulang dulu sampai ada panggilan berikutnya dari perudahaan. Demikianlah sampai saat ini tidak ada panggilan dari perusahaan itu, aku dengar sekarang perusahaan itu sudah tidak ada lagi.

Adik ku yang di bawah ku, yang perempuan, pada pertengahan tahun 1972 telah menamatkan sekolah SPG. Dia langsung dilamar oleh seorang laki-laki, mantan gurunya. Lelaki itu bekerja di perusahaan Mac Dermot, perusahaan asing di bidang exploitasi minyak di Singapore. Tak lama menikah, adik ku langsung dibawa ke Jawa oleh suaminya itu. Waktu menyelenggarakan pernikahan itu aku tidak tahu bagaimana bapak dan ibu bisa dapat biayanya, aku tidak tahu sedikitpun.

Yang aku tahu waktu itu aku sempat selang beberapa hari, aku turut serta mengangkat perabot pinjaman dari seorang teman bapak di kampung ke rumah nenek, di kampung, karena acara pernikahan adik ku itu diadakannya di kampung. Aku tidak hadir waktu acara nikah itu. Mungkin ibu banyak pertimbangan begana dan begini untuk menutup biaya pernikahan adik ku.

Sementara, karena belum ada kepastian tentang lamaran-lamaran yang telah aku kirimkan ke perusahaan, aku mengisi waktu kosongku dengan bekerja sebagai pembantu tukang kayu, tukang batu, dan tukang tarik kabel pengambil batu untuk proyek pemasangan Krib pantai Padang di Indarung. Semua itu ku lalui dengan sabar di tahun 1972. di penghujung tahun 1973, aku diterima sebagai pegawai LLASPF sebagai tenaga honorer tanpa gaji, oleh seorang tetangga kami yang kasihan melihat ku tidak punya pekerjaan tetap.

Di kantor LLASDF yang baru membuka cabang di Pdg, tidak pula lama aku bekerja di sana. Hanya sampai tiga bulan saja. Kalau pergi ke kantor kau nebeng dengan bos naik motor, begitu juga kalau mau pulang, kadang-kadang harus jalan kaki dari kantor itu yang berlokasi di Pdg Baru ke Alang Lawas, cuku jauh juga, sehingga kaki ku jadi lecet, karena memakai sepatu kulit, bekas, pemberian pak Yus, suami etek ku, etek Nani.

Pernah Bos ku yang di LLASDF membawa aku kerja di Maninjau, tepatnya di tepi danau Maninjau, Agm, di desa Sungai Batang. Kurang lebih ada satu bulan kami di sana untuk memperkenalkan instansi baru yang akan bertugas mengawasi lalulintas perahu-perahu di perairan danau Maninjau. Di danau itu sarana perhubungan mengunakan perahu bermesin tempel.

Pada bulan Desember 1973, aku menerima panggilan kerja dari perusahaan Minas Lumber Corp. Perusahaan ini bergerak di bidang perkayuan, adanya di kepulaan Mentawai, tepatnya di pulau Pagai. Perusahaan mengadakan kerjasama dengan perusahaan asing. Aku diterima bekerja di perusahaan itu berkat bantuan etek Nani. Etek Nani bekerja sebagai pegawai negeri di badan Immigrasi Pdg. Perusahaan ini banyak mempekerjakan orang-orang asing, tentu saja mereka berurusan dengan kantor immigrasi. Di perusahaan ini pada mulanya aku di tempatkan sebagai Payroll Clerk. Alangkah senangnya hati ku, pada terima gaji bulan kedua aku sudah bisa membeli sebuah sepeda Phoenix baru. Aku pergi kerja tidak lagi dengan jalan kaki.

Beliau, bapak dan ibu senang tidak kepalang karena aku telah bekerja dan dapat membantu biaya hidup keluarga. Kami tidak lagi merasa kekurangan. Gaji ku sering aku berikan semuanya kepada ibu supaya dapat dipakai untuk belanja. Sedangkan bapak masih tetap bekerja di gudang itu.

Dengan penghasilan ku, aku telah dapat pula membeli empat kodi atap seng guna menganti atap rumah kami di kampung yang masih beratap rumbia. Ini merupakan cita-cita ibu yang sudah lama ingin memiliki rumah dengan atap seng.

Di Pdg, masih saja rumah yang kami tinggali ini adalah sewaan, rumah guduk kecil dan sempit. Tapi walaupun begitu, itu adalah rumah persinggah bagi orang-orang dari kampung yang sedang ada atau punya urusan di Pdg. Sering mereka datang ke kerumah kami untuk beristirahat barang semalam atau dua. Ibu tidak dongkol, sama sekali tidak, walaupun rumah kami kecil, dan sempit tetap pintu rumah akan selalu terbuka dengan senyuman ibu yang ramah bagi siapa saja yang datang. Bagi ku itu tidak masalah, aku sudah biasa tidur di surau kalau rumah benar-benar sudah sesak dengan para tamu. Bapak pun demikian, sama saja dengan ibu, selalu menerima tamu dengan senang hati. Rasanya tidak ada orang kampung kami yang belum pernah datang ke rumah kecil kami yang sederhana di Alang Lawas. Para tetangga di sekitar merasa heran, hampir setiap bulan ada saja orang yang datang untuk menginap.

Padahal, banyak juga orang sekampung kami di Pdg yang kaya, memiliki rumah besar, tapi entah mengapa mereka, orang kampung itu senang sekali ke tempat kami, bukan ke tempat saudara mereka yang lain. Aku tidak habis pikir bagaimana caranya ibu bisa memberi makan para tamu-tamunya. Tidak pernah ibu merasa berat sedikitpun, terlebih mengeluarkan omelan-omelan, tidak, tidak pernah. Kami saja anak-anak beliau yang terpaksa menahan hati melihat keadaan demikian.

Demikianlah hari berlalu, minggu berganti bulan, tanpa disadari, perlahan tapi pasti. Di suatu sore, tanpa ada kabar berita lebih dahulu, tiba-tiba gadis itu, Wid telah hadir di rumah ku. Dia datang dari arah belakang katanya, dari rumah saudara ayahnya yang kebetulan berada tidak jauh dari rumah ku di Alang Lawas.

Waktu itu aku baru saja sampai di rumah, pulang kerja, aku sedang kumpul dengan adik-adik ku. Wid tiba di rumah ku dan langsung mencari ibu. Yang dia tahu cuma ibu saja, dia tidak begitu kenal dengan adik-adik, memang adik-adik jarang pulang ke kampung, tentu mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.

Aku kaget dan langsung kikuk menghadapi kehadiran Wid di rumah, karena belum pernah aku mendapat pengalaman dikunjungi oleh seorang gadis yang sedang menjalin hubungan khusus dengan ku, apalagi itu di depan saudara-saudara ku. Mereka hanya tersenyum melihat keadaan itu.

Anehnya, aku tidak mengajaknya ngobrol, dia nya malah lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibu ku di dapur. Dalam hati aku merasa senang sekali mereka begitu akrab.

Waktu Wid mau balik ke rumah pamannya, aku sempatkan memberitahunya bahwa aku akan menjemputnya nanti untuk mengajaknya pergi nonton film ke bioskop. Dia senyum lagi dan menganggukkan kepalanya sedikit.

Pukul 19 kurang seperempat, selepas sholat Magrib, aku telah sampai di depan rumah pamannya. Aku memakai baju kaos warna putih, celana jean biru,dan sepatu sneaker. Menurutku, itu adalah pakaian yang paling bagus yang pernah aku milik. Sedangkan Wid malam itu memakai baju kurung warna putih juga, dengan selendang.

Aku minta izin kepada pamannya Wid untuk dibolehkan membawa ponakannya pergi nonton ke bioskop malam itu. Kami diizinkan oleh paman itu. Laki-laki separoh baya itu cuma bilang cepat pulang, jangan sampai larut malam, karena tidak baik di lihat orang sekitar. Aku tentu mengerti dengan perkataannya.

Malam itu aku merasa seperti seorang laki-laki gentleman, jantan dan penuh kharisma, karena telah berani memboyong seorang anak gadis keluar dari rumahnya. Belum pernah seumur-umur aku bembawa seorang anak gadis pergi nonton berduaan, malam itu aku membawanya.

Dari Alang Lawas kami naik bendi menuju ke bioskop Raya. Aku belum tahu film apa yang akan kami nonton di bioskop itu nanti. Yang aku tahu hanya aku cuma ingin berduaan menghabiskan waktu dengan gadis ku. Tidak peduli film apa yang akan kami nonton nanti. Dari Alang Lawas bendi membawa kami lewat jalan kampung Tarandam, keluar di jalan Agus Salim, belok kiri terus ke perempatan Simpang Kandang, teru akhirnya kami sampai di halaman Bioskop Raya.

Belum masuk kedalam bioskop, kami masih berdiri di halaman. Ku lihat pada poster kain besar yang terpasang pada dinding reklame luar, ada film barat yang tayang malam itu, sepertinya film bertema perbudakan negeri Paman Sam, aktor dan aktrisnya semua berkulit hitam, entah apa lah judulnya, aku tidak peduli, yang penting malam itu aku ingin nonton film berdua dengan Wid. Wid hanya diam saja, dia menurut saja. Aku langsung bergegas membawa Wid kedalam. Kubeli karcis kelas satu dua lembar. Wid tidak ngomong apa-apa, ikut saja di samping ku.

Di dalam bioskop, kami duduk tenang menonton film yang sedang diputarkan. Kami tidak banyak bicara. hanya sekali-kali mata ku dan matanya saling bertatapan. Sebenarnya aku sadar bahwa film yang sedang kami tonton itu benar sangat membosankan. Tapi itu tidaklah menjadi hal yang berarti bagi ku. Yang sangat berarti adalah waktu kami berduaan. Sepanjang film berjalan, tetap saja Wid tidak bicara. Dalam keremangan dalam bioskop, dapat juga kutangkap senyuman manisnya dan anggukan kepalanya mengiyakan teguran suara ku.

Ah… aku benar-benar kehabisan bahan obrolan untuk berbincang-bincang dengan Wid. Aduh.. bodohnya aku, sebenarnya ingin sekali aku mengungkapkan betapa bahagianya aku malam itu bisa berduaan dengan dirinya. Tapi kena aku begitu bodoh, tidak dapat memanfaatkan kesempatan terbaik itu untuk bicara kepadanya. Dia nya malah diam saja, sepertinya menunggu perkataan yang ingin meloncat keluar dari mulut ku yang sedang terkunci ini. Kebisuan melingkupi kami berdua di tengah-tengah bisingnya suara percakapan dan musik latar film yang sedang berlangsung. Dalam benak dan batin ku sebenarnya sedang terjadi interaksi gaib antara aku dengan Wid yang sedang duduk tenang kursi sebelah. Hanya saja badan kami jasa yang sepertinya duduk diam dan mata lurus memandang ke layar bioskop. Aku merasa kedua mata ku seperti orang yang terkena hipnotis, sama seperti mata ikan asin yang dijual orang di pasar, terbuka lebar tapi tidak melihat apa-apa, memandang kosong dan hampa.

Sampai pulang pun Wid juga masih membisu tidak berkata apa-apa. Aku coba untuk mencari kata-kata agar dapat memecahkan suasana di antara kami. Dalam benak ku banyak pilihan topik pembicaraan, tapi mulut ku terasa masih kaku, terkunci rapat, tidak mengeluarkan suara apa-apa. Ah.. apakah ini artinya? apakah ini yang di namakan orang dengan cinta, atau grogi, atau juga malu-malu.

Ah… bagi ku ini suatu keanehan, mengapa jika aku sendiri macam-macam saja pikiran berseliwiran di kepalaku. Rasa rindu ku kepada Wid seperti ingin meledak keluar dari rongga dada ku. Tapi sekarang aku sedang berduan dengan dia. Aneh, lidah ku kelu, bibir ku kaku. Hingga sampai akhirnya aku antarkan Wid kembali ke pamannya. Tetap saja Wid cuma membalas ku dengan senyuman di bibirnya. Lalu aku pulang, kesunyian belum juga lepas membelenggu aku. Dalam hati ku aku merasa menyesal sekali. Aku tidak habis pikir, ada apa dengan diriku.

Pada liburan berikutnya, Wid juga datang lagi ke rumah ku. Dan begitu juga aku datang berkunjung ke rumah pamannya Wid. Kali ini aku tidak mengajaknya untuk pergi nonton. Tahu kenapa? Karena aku takut kalau kejadian waktu itu terjadi lagi, takut kalau-kalau mulut ku ini tidak mau diajak bekerja sama menyampaikan segala pikiran dan perasaan yang berkecamuk dalam dada ku. Kali ini aku mengajaknya jalan-jalan, jalan kaki berdua menyusuri sepanjang jalan aspal Pantai Padang.

Ah.. sama saja, aku dan Wid sama saja, kami tidak bicara apa-apa. Kejadian yang sama akhirnya terjadi kembali. Mulut ini juga masih terkunci. Tapi walaupun begitu, saat ini adalah lebih baik dari yang waktu di bioskop tempo hari.

Tahu kenapa? Hahaha….. karena kami jalan bergandengan tangan, bagaikan sepasang sejoli dalam film Romeo dan Juliet. Aduh… aku senang sekali dalam hati. Biarlah.. biar saja mulut kami terkunci, kaki kami capek, keram dan lecet, tidaklah apa-apa, tidak terasa sakit, masih bisa ditahan sampai di rumah nanti. Yang penting malam ini kami berdua bahagia, lihat Wid juga senang sekali waktu aku menggandeng tangannya. Dia tersipu-sipu malu. Sesekali kepalanya menoleh memperhatikan orang sekeliling. Walupun dia malu-malu, tapi aku tahu dia bahagia, dia senang sekali.

Bersambung......












Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © Simple SEO ✔