Cerita Orang Padang. Sumber Rezeki

22:33:00




Cerita Orang Padang

Sumber Rezeki

Telah 13 hari berlalu semenjak Rasid tiba di Padang. Rasyid tinggal di Kampung Baru, Kelurahan Belakan Tangsi di rumah ibu mertuanya Amak Rosna. Sembari menemani Fatimah sang istri dan menimangi si putra yang baru berusia 10 hari. Aura bahagia selalu terpancar di wajah Rasyid dan Fatimah. Rasa penat, letih dan pegal pasca melahirkan sudah lenyap dari badan Fatimah. Wajah dan kulit Fatimah sudah kembali putih bersih dan bercahaya. Bagaikan bunga yang mekar dan merekah di taman pada waktu pagi. Itulah kiasan yang sangat cocok bisa dipasangkan untuk menggambarkan kecantikan Fatimah. Alangkah beruntungnya si Rasyid memiliki istri secantik Fatimah.

Sinar matahari membanjiri rumah gadang Amak Rosna diwaktu pagi. Rasyid berjalan di halaman depan rumah menimang Ibrahim dan diiringi oleh Fatimah sambil bercanda dan bergurau riang dengan bayi kesayangannya dan juga sang suami. Sepasang suami istri itu berjalan pelan riang dan ceria mondar mandir di halaman membiarkan si bayi berjemur bermandikan sinar ultra violet yang kaya dengan vitamin D. Suatu kebiasaan yang dilakukan untuk bayi baru lahir supaya nanti si bayi akan menjadi anak yang sehat dan kuat. Tidak mudah terserang oleh penyakit kulit dan penyakit tulang seperti Polio.

Rasyid adalah sosok pria ber usia 30 tahun. Dia adalah sosok yang pintar dan pandai bertutur bahasa. Berbudi dan berperlaku baik. Berperangai santun, penyayang dan romantis kepada istri. Semenjak putranya lahir, Rasyid selalu di liputi perasaan bahagia. Sering kali dilakukannya, setiap dia menimang si Ibrahim, berulang-ulang dia melantunkan sepotong bait lagu dari Said Effendi. Said Effendi, sang laki-laki biduan pop melayu di era 50’an. Rasyid sangat gemar mendegarkan suara emas beliau. Begitu banyak syair-syair beliau terbenam dalam benak Rasyid.

Rasyid penuh kebahagiaan mengeluarkan suara emasnya. Dengan suara baritone bervibra, bak Said Effendi dia melantunkan sepotong lagu dengan napas sayup-sayup sampai untuk anak yang sedang ditimangnya.

Timang-timang anak ku sayang

Buah hati ayah’nda seorang

Jangan marah dan jangan merajuk sayang

tenanglah dikau dalam buaian

Betapa hati tak kan riang

Bila kau ber gurau dan tertawa

Semogalah jadi orang berguna sayang

Riang gembira sepanjang masa



Sepertinya dua manusia ini memendam mimpi cita-cita dan harapan besar untuk masa depan anak mereka. Mereka ingin kelak memperoleh banyak anak. Dan akan membangun tempat tinggal idaman untuk anak-anak mereka nanti. Tidak akan ngontrak, menyewa, atau menumpang di rumah orang. Rasyid berjanji kepada Fatimah “Fat…nanti, sabalun si Ibrahim ko tamat sakolah SD, uda usahakan kito alah punyo rumah surang” Rasyid meniatkan sebuah target usaha dalam batin agar kelak keluarganya sudah memiliki tempat bernaung sebelum anak sulungnya menyelesaikan pendidikan dasar. Alangkah girangnya hati Fatimah mendengar ikhtiar yang telah di ucapkan oleh si Uda. Maka semakin kuat semangat Fatimah menjalani roda kehidupan ini bersama-sama dengan Rasyid hingga sampai akhir hayatnya. “Mari Uda… kini mulai lah kito manabuang untuk masa depan kito basamo”. Mulai Fatimah merasa perlu untuk menabung agar terkumpul uang untuk membeli sebuah rumah.

Dalam benak Rasyid sekarang adalah bagaimana dia bisa bekerja dengan semangat, membanting tulang kuat-kuat untuk mencari nafkah dan menyisakan sebahagian gaji untuk di kumpulkan agar dapat membeli rumah. Tersadar dia bahwa masa cuti 15 hari yang ia minta ke induk semang tempat dia bekerja besok telah habis. Maka besok dia harus meninggalkan Fatimah dan Ibrahim untuk balik ketempat kerja.

“Fat…kini tanggal 17 kan?” Rasyid mengkonfirmasikan hari ke Fatimah. “Iyo ..uda” Fatimah membenarkan. “Waduh… tingga sa hari lai waktu cuti uda di siko…. Tanggal 19 uda harus melapor ke bos untuk masuk kantua”. Jatah cuti si Rasyid tinggal satu hari lagi. Berarti besok pagi tanggal 18 dia harus berangkat kembali ketempat kerja. Butuh waktu satu hari atau satu malam alias 12 jam dengan kapal mengarungi selat Mentawai di perairan tepi barat pulau Sumatera untuk sampai ke tempat dia bekerja.

Pulau Pagai adalah nama tempat itu. Pulau tropis nan elok dan eksotis, nun jauh diseberang laut kota Padang. Pulau nun jauh terbaring dibalik punggung Pulau Pandan dan Pulau Angsa Dua. Pulau Pagai adalah tempat bersemayamnya para roh-roh leluhur dan rumah bagi para Sikerei beserta anak dan cucu mereka, orang-orang suku pedalaman. Pulau Pagai adalah pulau yang mempunyai rimba belantara sangat luas dan lebat. Pulau yang memiliki banyak mata air beserta banyak sungai-sungai mengalir dalam rimbanya. Pulau yang dapat mempersembahkan segala kepunyaan dan isinya untuk seluruh mahluk hidup yang tinggal didalamnya. Pulau Pagai adalah pulau yang sangat subur, kaya akan suber daya alam yang melimpah ruah. Manusia-manusia yang hidup di pulau itu sepenuhnya total menggantungkan segala kebutuhan hidup kepada alam. Alam adalah ibarat ibu bagi mereka. Ibu yang merawat, membesarkan dan memberi makan putra dan putri mereka. Mereka ini di sebut dengan Orang Mentawai, manusia-manusia rimba, orang-orang yang merajah kulit badannya dengan tinta nila. Manusia-manusia yang tidak kenal dengan apa itu baju dan celana. Mereka hanya memakai kulit kayu dan dedaunan untuk menutupi organ reproduksi. Organ itu yang mereka anggap suci. Itulah mereka, orang-orang suku pedalaman di kepulauan Mentawai. Pulau Pagai adalah salah satu pulau yang terletak dalam barisan kepulauan Mentawai. Deretan kepulauan Mentawai adalah berada di sisi sebelah barat pulau Sumatera.

Rasyid bekerja di pulau Pagai, tepatnya pulau Pagai Utara, di desa Sikakap. Pulau Pagai Utara adalah salah satu pulau besar yang ada di barisan kepulauan Mentawai. Kepulauan Mentawai adalah masih dalam lingkup wilayah provinsi Sumatera Barat. Secara administrasi kepulauan Mentawai merupakan bagian dari kabupaten Padang Pariaman pada masa itu. Sekarang kepulauan mentawai sudah menjadi daerah kabupaten sendiri, yaitu kabupaten Mentawai, sudah belaku sejak masa pemerintahan presiden Megawati. Kepulauan Mentawai memiliki 4 pulau besar yang sudah berpenghuni, di antaranya adalah P. Siberut, P. Sipora, P. Pagai Utara, dan P. Pagai Selatan dan banyak lagi pulau-pulau kecil yang belum berpenghuni bertebaran di antara masing-masing pulau besar itu. Total keseluruhan jumlah pulau yang terdapat di kepulauan Mentawai adalah 70 buah.

Ada satu perusahaan swasta yang memiliki HPH, Hak Pengusahaan Hutan yang beroperasi meliputi dua pulau besar, yaitu P. Pagai Utara dan P. Pagai Selatan. Perusahaan ini di perbolehkan oleh pemerintah pusat untuk mengeksploitasi hutan. Menebangi pohon-pohon raksasa di dalam rimba, mengambil kayu-kayunya untuk di jual keluar negeri dan mengolah sebahagiannya untuk di jadikan triplek. Pemerintah mewajibkan perusahaan tersebut untuk membayar pajak yang sangat tinggi ke negara dan harus menanam kembali bibit pohon pada areal hutan yang sudah ditebangi atau disebut juga dengan reboisasi. PT. Minas Pagai Lumber adalah nama perusahaan tersebut. Di perusahaan itulah Rasyid bekerja membanting tulang mencari nafkah. Sudah 9 tahun lamanya dia meniti karir di perusahan itu. Awal dia bekerja di PT Minas adalah tahun 1973. Dua tahun setelah dia menamatkan sekolah di SMA 1 Padang.

Tahun 1973, Rasyid mengajukan lamaran kerja ke kantor pusat PT. Minas Pagai Lamber yang berada di hoek perempatan simpang Kandang, di ujung jalan H. Agus Salim. Pas berseberangan secara diagonal dengan gedung sekolah SMA 1 Padang, yang berada di pangkal jalan Sudirman. Bermodalkan keterampilan berbahasa Inggris lisan dan tulis, serta pandai mengoperasikan aplikasi Buku Besar Akuntansi, Rasyid dapat diterima bekerja di perusahaan kayu tersebut. Pada awal mula bekerja, induk semang Rasyid mempercayakan posisi jabatan Payroll kepadanya. Yaitu orang yang diberi tugas membayarkan daftar gaji karyawan dan belanja kebutuhan rutin perusahaan. Rasyid menerima upah sebesar 45 ribu per bulan. Karena Rasyid adalah orang yang jujur, ulet, disiplin serta piawai dalam bekerja. Karirnya melesat cepat meninggalkan kolega-kolega yang masih di berada posisi payroll. 3 tahun kemudian, Rasyid ditugaskan bekerja di pulau Pagai Utara, di desa Sikakap menjabat sebagai cashier. Sebuah jabatan beresiko tinggi, sedikit kesalahan bisa mengakibat dia di pecat dari pekerjaannya. Hanya Rasyid seorang yang bertanggung jawab mengenai keuangan dan menghitung data cashflow perusahaan. Dengan jabatan sebagai cashier Rasyid memperoleh gaji cukup besar, yaitu sebesar 70 ribu Rupih perbulan. 70 ribu rupiah adalah uang yang banyak pada masa itu.

Rasyid memang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Pada waktu usia lajang, Rasyid telah memperoleh gaji besar. Dia dapat membantu kebutuhan rumah tangga kedua orang tuanya. Yang utama adalah menyekolahkan 3 orang adik perempuan, yaitu Nela masih SMA, Yanti sekolah SMP dan si kecil Upik yang masih duduk dibangku SD. Masih sanggup juga membayar uang kuliah bagi Amran dan Rizal yang waktu itu sama-sama kuliah di Universitas Andalas jurusan Ilmu Hukum.

Mari Kita kembali ke kampung Baru, ke rumah Amak Rosna. “Baik lah adinda Fatimah….. tampaknyo uda harus pai ka Palinggam kini juo. Mangabari ibu baso uda barangkek ka Pagai bisuak Pagi” Rasyid memutuskan bahwa dia harus pergi ke rumah ibunya di Palinggam untuk memberitahu waktu keberangkatan besok pagi ke Pulau Pagai.

Jam 10.00 pagi. Selesai mandi Rasyid mematutkan badannya di depan kaca dengan sebuah kemeja putih model slim fit berlengan panjang dengan motif bergaris-garis horizontal di bagian dada dan saku baju. Kemeja model fit putih sangat cocok dengan bentuk tubuhnya yang ramping dengan tinggi sedang dan berkulit kuning langsat. Dia mengenakan celana panjang berbahan kardorai berwarna krem gelap dengan potongan cutbray pada ujung kaki. Ini adalah celana kesukaan si Rasyid. Sering Fatimah mengingatkan agar dia menghemat pemakaian celana itu. Takut nanti cepat rusak. Karena harganya mahal. Rasyid tidak menghiraukan omelan si istri. Lalu memasangkan tali ikat pinggang berbahan kulit. Bagian ujung kemeja tidak di masukkannya kedalam pinggang celana. Dibiarkan lepas terjuntai menutupi tali ikat pinggangnya. Kemudian Rasyid mengkilapkan rambut ikalnya yang panjang se tengkuk dengan Brisk Special. Sebuah produk minyak rambut kesukaan si Rasyid. Dia lalu menyisir rambut hitamnya yang ikal agak panjang, sibak kesamping kanan menutupi daun telinganya. Menyemprotkan minyak wangi ber aroma musk di leher. Mengenakan jam tangan petak persegi panjang merk Alba. Frame metal berwarna emas dengan tali yang terbuat dari bahan kulit buaya. Terakhir, dia berjalan luwes keluar kamar menuju langkan rumah gadang sambil menjinjing sepatu. Kemudian duduk dikursi kayu memasang sepatu pantofel putih berbahan kulit dengan hak sepatu setinggi 5 senti.

Fatimah cemburu. Dia berdiri di pintu kamar memperhatikan Rasyid dengan unjung matanya. Si uda akan keluar rumah bergaya “super dendi” bak seorang model fashion show berjalan di atas catwalk. seolah-olah akan mencari istri baru. Padahal cuma ingin pergi kerumah ibu untuk pamitan. Ya, begitulah Rasyid dengan cara dia berpenampilan kalau pergi keluar rumah untuk sesuatu urusan. Begitulah fashion yang digemarinya.

“Fat… Fatimah sayang….sayang uda!” Rasyid menyapa si istri dengan mesra untuk permisi mau turun tangga, mau berjalan. Fatimah hanya terdiam saja lalu merengut sambil merangkul tonggak kayu rumah gadang. Rasyid paham bahwa Fatimah sebenarnya ingin ikut. Lantas Rasyid kembali mendekati Fatimah, lalu mencium kening istrinya dan berkata “ Uda barangkek sayang….. ndak lamo doh… paling jam 1 lah balik karumah”. Dia minta permisi dan meyakinkan Fatimah bahwa dia pergi sebentar saja tidak lama, pukul 1 siang nanti dia sudah ada di rumah lagi.

Rasyid berjalan keluar dari Kampung Baru, Kelurahan Belakang Tangsi menuju bundaran simpang tiga jalan Bundo Kanduang. Sampai di simpang tiga, dia singgah dulu ke sebuah gudang distributor bahan pangan milik PT. Panca Niaga. Gudang yang luas dan lapang sarat dengan gundukan karung goni yang setinggi dua kali tinggi manusia. Bangunan dengan arsitektur gaya Belanda itu memiliki banyak pilar berjejer di terasnya. Disanalah dia menemui Abak, ayah kandungnya. Tampak Abak sedang antri bersama kelompok para kuli panggul yang sedang membongkar muatan tepung di belakang ombeng sebuah truk Mercy Bagong berwarna merah.

Rasyid berdiri di samping sebuah pilar. Menghadap ke arah kerumunan kuli panggul tadi. Melambaikan tangannya kepada Abak. Si Abak terkejut, ternyata putra sulungnya yang tampan, yang selalu dia bangga-banggakan, yang selalu dia ceritakan kepada seluruh kawan-kawan kulinya, sedang berdiri menunggu dirinya di depan pintu gudang tersebut. Abak membalas dengan lambaian telapak tangan. Memberikan kode “tunggu setelah yang satu ini”. Rasyid menunggu dengan sabar, mengeluarkan kotak rokok Lucky Strike dari saku bajunya. Habis sudah sebatang rokok Lucky Strike di nikmatinya barulah Abak datang mendekati si anak sulung.

Abak datang mendekat mengibas-ngibaskan handuk merah kecil yang tadi dia gunakan sebagai pelindung rambutnya supaya tidak putih karena serakan tepung terigu. Kemudian di sekakan handuk itu ke badannya yang sudah separoh baya. Abak sudah berumur 50 tahun. Tangannya memutih karena lengketan debu tepung. Bahu, punggung dan lehernya licin karena keringat mengucur dari pori-pori kulit. Abak tidak mau terlihat kumal didepan putra sulungnya. Dia senyum lebar sekali, dengan bangga menampakan gigi yang telah kuning kusam karena tembakau ke arah Rasyid.

“ha.ha. Apokaba nak…. Lai sehat se waang?... Ba po kaba cucu den? Lai dak banyak parangai nyo?” Abak menanyakan keadaan Rasyid kemudian keadaan cucunya. Adakah semuanya sehat dan baik-baik saja. “Alhamdulilah bak,…. berkat doa abak, kami sekeluarga lai sehat” begitulah jawaban Rasyid.

Rasyid menyampaikan kepada si ayah perihal keberangkatannya besok pagi ke pulau Pagai untuk kembali bekerja setelah cuti 15 hari selesai. Sekalian saja dia mohon pamit dan minta restu ke Abak, minta di doakan supaya perjalanan menuju ke pulau Pagai aman dan selamat sampai ditempat tujuan. “Jo kapa apo waang barangkek ka Pagai?” Tanya Abak tentang kapal apa yang akan di tumpangi anak sulungnya menuju ke pulau Pagai. “Ambo manumpang jo KM Sumber Rezeki, naik di Muaro bisuak pagi”. Rasyid menerangkan bahwa besok pagi dia berangkat dengan kapal KM Sumber Rezeki, kapal kayu yang biasa bersadar menunggu muatan barang dan penumpang di pelabuhan Muaro Padang. Kapal KM Sumber Rezeki biasa berlayar mengarungi laut Mentawai dari pelabuhan Muara Padang menuju pelabuhan Maileippet di muara Siberut Selatan. Kapal berlayar via Sikakap dan Sipora tiga kali seminggu bolak-balik.

“Pailah nak… Abak mandoakan waang supayo salamaik di perjalanan”. Abak merestui dan mendoakan perjalanan putranya, Rasyid. “Turuik lah Ibu waang ka rumah…. Liau lah batanyo waang se dari kapatang”. Abak menyuruh Rasyid untuk menjenguk Ibu dirumah, karena Ibu sudah rindu ingin bertemu dengan anak sulungnya.

“Iyo Bak.... Memang ambo dari tadi ba niek pai ka Palinggam, pai manamui Ibu” Tentu dari semula niat Rasyid ingin ke rumah Ibu untuk berbincang-bincang apa saja dengan perempuan yang sangat dia cintai. Tentang kesehatan abak dan Ibu, tentang pendidikan adik-adik, tentang semua biaya pengeluaran rumah tangga yang barus ibu keluarkan setiap bulannya. Tentang semangat belajar adik-adik, tentang cita-cita si Amran dan Rizal yang sama-sama ingin menjadi seorang pengacara, dan banyak hal lagi yang biasa mereka perbincangkan.

Rasyid permisi, kemudian memeluk badan Abak yang amis karena bau keringat yang telah mengering di kulitnya yang kering dan gelap karena terbakar matahari. “bak.. ambo jalan lai, bisuak kito dak batamu lai do. Jagolah kesehatan badan abak tu, jan banyak pulo marokok, jan Abak sampai sakik pulo”. Rasyid berpesan agar Abak selalu menjaga kesehatannya dan mengurangi konsumsi rokok. Kemudian dia melangkah meninggalkan gudang PT. Panca Nianga di belakang. Berjalan terus kearah Bank BNI 46 di simpang Dobi. Lalu dia menyeberangi jalan Pondok, berhenti pas di depan Bioskop Karya.

Berdiri di depan bioskop Karya untuk menyetop armada angkutan penumpang menuju kampung Palinggam. Sebuah kampung yang terletak di pinggiran sungai Batang Arau. Rasyid menaiki sebuah angkutan penumpang yaitu Bemo, sebuah kedaraan beroda tiga berwarna biru dengan moncong kabinnya bak paruh burung kakak tua. Agak lebih besar dari pada bajai. Bemo dapat mengangkut 8 orang dewasa. Di bak belakang bemo ada 6 penumpang duduk pada dua bangku yang amat rendah dan memanjang kebelakang saling berhadap-hadapan. Masing masing bangku diisi oleh 3 penumpang. Duduk seperti jongkok tapi tidak jongkok. Karena pantat beralaskan papan dan busa. Di platform penumpang dihiasi dengan kain merah berenda benang emas dengan manik-manik keemasan. Seperti hiasan pengantin pada pelaminan anak “daro dan marapulai”, maksudnya sepasang pengantin Minang. Dikabin ada satu satu orang lagi penumpang, duduk dengan santai dan lega disebelah pak sopir yang sedang mengendalikan kemudi. Membuat iri hati para penumpang yang duduk berdencitan dan bersesekan sangat rapat di bak belakang.

Bemo laju santai meniti jalan Pondok di kampung Cina dengan suara cempreng serta mengepulkan asap kenalpot yang menyengat hidung dan memperihkan mata para penumpang di bak belakang. Si-bemo terseok-seok, terengap-engap menggendong beban melewati kios-kios obat, kedai kopi dan kedai mie khas China. Terus belok ke kiri memasuki kampung Keling, kampungnya orang India dan orang Arab. Atmosfer berubah. Tampak orang-orang berpakaian ala timur tengah dengan baju berjubah putih hanya satu warna saja, bajunya lurus dari bahu hingga lengan, sampai kebetis kaki. Bebera Laki-laki Arab atau India, sedang ngobrol akrab di didepan sebuah mesjid. Di dinding beranda mesjid ada sebuah papan nama, bertuliskan “MESJID MUHAMMADAN”. Mereka memakai sorban dan memiliki janggut yang panjang. Wangi parfume Arab merebak di sepanjang jalan kampung Keling itu. Karena di jalan itu terdapat beberapa toko yang menjual minyak wangi dan perlengkapan sholat serta sovenir-sovenir dari Timur Tengah, khususnya dari kota Mekah.

Bemo terpapah-papah laju melewati kampung Keling. Lurus terus ke Pasar Gadang. Inilah daerah yang paling makmur dan kaya raya di kota Padang pada masa itu. Sebuah pasar yang riuh dan banyak kendaraan sedang bongkar muat disana. Pasar Gadang selalu diliputi dengan aroma wangi rempah, seperti cengkeh, kayu manis, biji pala, pinang, kopi dan banyak lagi jenis rempah yang di pergadangkan oleh para saudagar kaya di tempat ini. Ruko-ruko berlantai dua bergaya arsitektur kolonial berjejer rapi disepanjang sisi kiri dan kanan jalan Pasar Gadang. Lantai pertama dijadikan sebagai toko sekaligus gudang tempat penampungan berbagai macam rempah untuk diperjual belikan. Lantai dua dijadikan rumah tempat tinggal untuk anak-anak dan istri mereka. Para “Angku Haji”. Begitulah orang Padang memanggil sebutan untuk para saudagar kaya di Pasar Gadang. Mereka sudah dipastikan saja pernah menunaikan ibadah haji ke Mekah Al Mukaramah, sekali bahkan beberapa kali. Truk-truk besar beroda 6 bahkan tronton berjejer disepanjang bahu jalan Pasar Gadang. Tampak para kuli sibuk mondar mandir memanggul goni dari truk masuk ke gudang, atau sebaliknya. Banyak juga mobil-mobil sedan berbodi lebar dengan cat metalik mengkilau tersusun rapi di halaman ruko yang luas itu. Halaman parkir kendaraan sekaligus tempat para babu menjemur cengkeh dan pinang. Dari sepanjang jalan tadi, tampak mobil yang diparkir halaman toko kebanyakan dengan ber-merk Toyota. Ada Corolla, ada Crown, ada juga Mark II. Sepertinya para saudagar di pasar itu mengemari mobil sedan jenis Toyota. Terlihat di depan salah satu ruko seorang toke atau juragan yang memakai kopiah putih berdiri sambil menunjuk-nunjuk kepada salah seorang babu yang sedang memandikan sebuah mobil sedan bewarna biru metalik. Sepertinya sang juragan sedang memberi merintah kepada si babu agar mencuci mobilnya dengan hati-hati.

Rasyid terpaku melihat tingkah salah seorang angku haji tadi sambil dia berlalu di dalam bemo yang dia tumpangi. Karena melihat kemewahan dan gaya mentereng angku haji di Pasar Gadang itu, di dalam benak Rasyid timbul sebuah bayangan tentang seorang tokoh yang bernama Datuk Maringgih. Seorang saudagar kaya raya yang memiliki banyak toko di Pasar Gadang dan banyak pula istrinya. Cerita tentang Datuk Maringgih ini telah dikisahkan dalam roman Sitti Nurbaya, Kasih tak Sampai, karya seorang pujangga Padang, yang bernama Marah Rusli.

Pak supir tetap mengemudikan bemonya berjalan santai dengan mengeluarkan suara keras, cempreng dan berisik melewati keramaian di Pasar Gadang. Sambil berjalan bemo tetap saja mengeluarkan asap yang banyak dari lubang pantatnya. Ya seperti itulah bemo, selalu menimbulkan kegaduhan pada setiap perjalanannya. Tentulah sangat menggangu pendengaran dan pernapasan orang-orang yang sedang berbicara atau sedang bertransaksi di pinggir jalan Pasar Gadang. Bemo lalu menyeberang sebuah rel kereta api yang memisahkan antara Pasar Gadang dengan Pasar Hilir, pak supir memutar setir kekanan masuk ke sebuah gang. Tak jauh setelah gang tadi, barulah bemo sampai di kampung Palinggam. Sebuah kampung yang berada di pinggir sungai Batang Arau. Rasyid meminta tolong kepada seseorang yang duduk dekat kaca pembatas antara supir bemo dengan penumpang untuk memencet sebuah tombol bulat berwarna merah tertempel di belakang dinding kabin. Lalu sebuah lampu kecil 12 volt yang terpasang di spidometer si supir menyala terang. Itulah tanda bagi pak supir bahwa ada seorang penumpang yang tidak sabar lagi ingin turun atau telah sampai pada tujuan yang di inginkan.

Bemo berhenti pas di simpang tiga. Di hoek simpang tiga itu terdapat sebuah mesjid. Rasyid turun dari bemo. Lalu dia merogoh saku depan celana mencari beberapa uang receh. Di keluarkannya tiga buah uang koin berjumlah satu ringgit atau 250 rupiah. Lalu membayar ongkos kepada supir bemo. Bemo kemudian melaju terpapah-papah lagi meninggalkan asap dan desing suara berisik yang keluar dari kenalpot. Rasyid berjalan membelakangi bemo tadi. Dia berjalan santai dan melenggang bak seorang peragawan melewati deretan rumah-rumah, gubuk dan kedai. Tidak jauh berjalan, Rasyid telah sampai di depan rumah ibunda tercinta. Dia meniti tangga rumah itu yang terbuat dari kayu. Lalu mengetok pintu. “Assalammualaikum” mengucapkan salam sambil mengetok.

Terdengar hentak langkah kaki berjalan diatas lantai papan yang berdecit. Dari dalam rumah suara langkah kaki tadi mendekat kearah pintu depan. “Yo… sia tu?” suara Ibu terdengar dari dalam bertanya, siapakah gerangan yang telah mengetuk pintu. “Awak bu… Rasyid” jawab si Rasyid. Segera Ibu membuka pintu rumah lebar-lebar. “Ondeh nak kanduang…. Wa’ang ruponyo… masuak lah kadalam” Ibu dengan girang menyeru dan menyuruh putra sulungnya masuk kedalam rumah. “duduak lah, saba sabanta, ibu buek an wa’ang kopi sagaleh” Ibu menyuruh rasyid untuk duduk kemudian beliau pergi ke dapur untuk membuat secangkir kopi. Rasyid menganggukan kepala tanda ia setuju. Kemudian dia duduk di kursi meja makan. Hanya satu set perabotan itu saja yang terdapat diruang tamu, satu meja makan persegi dengan enam anak kursi kayu. Meja makan itulah yang sekaligus juga sebagai meja untuk menyambut tamu yang tersusun rapi diruangan depan di rumah Ibu. Rasyid membaca sebuah Koran HALUAN usang yang dari tadi sudah terlentang di meja makan. Aroma harum masakan merebak dari arah daupur, tercium menusuk rongga hidung Rasyid. Dia batalkan niatnya untuk membaca koran itu, lalu meletakan koran itu kembali pada tempat semula. Rasyid berjalan menuju dapur menemui ibunda yang sedang menyeduh kopi ke dalam cangkir. “Masak apo bu?... Tanya Rasyid kepada ibunda sambil melongok melihat isi kuali. Tampak kuah kuning penuh dengan minyak santan kental mengelegak menggelembungkan uap dan asap membubuhkan keatas loteng dapur yang telah menghitam. “Randang lokan” jawab Ibu.

Randang lokan adalah makanan kesukaan keluarga Rasyid. Ini adalah masakan tradisional yang diwarisi oleh keluarga turun temurun. Masakan yang berasal dari masyarakat pesisir pantai, daerah Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Pesisir Selatan, tepatnya di dusun Tarusan adalah kampung halaman kedua orang tua Rasyid. Randang lokan, lokan adalah sebuah protein makanan yang diperoleh dari kerang, yaitu daging kerang air tawar. Lalu lokan dimasak dengan pakis dan santan kelapa bersama dengan bumbu kunyit dan bawang yang telah digiling halus. Mereka dibaurkan kedalam kuali dimasak menjadi gulai. Gulai dimasak sampai kering sehingga menjadi hitam atau disebut juga dengan Rendang. Maka disebutlah masakan tadi sebagai Rendang Lokan.

Rasyid senang karena telah mengetahui bahwa si ibu sedang membuat rendang lokan. Lalu dia kembali keruang depan. Duduk di kursi kayu tadi sambil melihat ibu membawakan secangkir kopi hitam untuknya. “Minum lah kopi tu nak” ibu menyuguhkan kopi tadi yang panasnya sudah reda. Kemudian ibu kembali kedapur. Dari dapur terdengar suara piring dan gelas berdentang denting. Sepertinya ibu sedang mempersiapkan acara makan siang untuk putranya. Rasyid santai membaca koran Haluan. Dia biarkan saja ibu sibuk mengisi meja makan dengan semangkok nasi, semangkok gulai lokan yang masih panas, gulai yang belum menjadi rendang, piring, sedok, gelas, dan seceret air minum. Akhirnya hidangan sudah siap di santap. “Mari makan wak lai” ibu mengajak mengajak Rasyid untuk menyantap makan siang bersama-sama. Dengan rasa rindu akan enaknya rasa masakan ibundanya, Rasyid lahap menyuapkan nasi dan lauk kedalam mulutnya. Rasyid makan dengan hikmat dan penuh perasaan akan enak rasa masakan gulai lokan buatan ibunda. Sambil makan si Ibu menatap wajah Rasyid yang sudah jadi bapak orang. Terbayang di benak ibu sekilas wajah kecil Rasyid waktu dia masih 3 tahun. Ketika dia duduk melepok dilantai papan rumah sambil belajar makan mandiri. Sungguh cepat waktu berlalu. Seakan-akan kejadian itu terjadi beberapa hari yang lalu.

Pembicaraan di atas meja makan antara Rasyid dan ibunda: “Bu… jam bara adiak-adiak pulang sakolah?” Rasyid bertanya perihal adik-adiknya yang berlima. Tentang jam berapa mereka pulang kerumah setelah usai sekolah. Ibu memastikan, “habih suhur nan gadih-gadih tu lah pulang tu mah”. Terus Ibu menerangkan. “Si Amran jo si Rizal dak jaleh jam bara nyo sampai di rumah. kadang lah wakatu isha se anak nan baduo tu pulang. Si Amran kini sadang sibuk mangarajoan proyek penelitian dosennyo dikampus. kalau si Rizal, salai kuliah nyo karajo, katonyo nyo manyiar di radio ARBES, lah laruik malam se mangko tibo di rumah”. Ibu menjelaskan kepada putra sulungnya bahwa, ketiga adik perempuan Rasyid biasanya selesai waktu sholat lohor mereka telah sampai dirumah. Sedangkan Si Amran sekarang sedang sibuk mengerjakan project penelitian bersama dosennya sebagai asisten peneliti. Lalu si Rizal sekarang sudah mendapatkan pekerjaan, yaitu sebagai seorang penyiar radio di stasiun Radio ARBES. Waktu itu Radio ARBES berada pas di balik dinding pagar kampus fakultas Hukum Universitas Andalas, di jalan Pancasila di daerah Pantai Padang. Jadi anak bujang berdua itu sering pulang larut malam. Rasyid kemudian mengomentari berita yang ibunda sampaikan. “Wah… syukurlah bu.. nan bujang baduo tu lai baraka, lai mangarati jo susah hiduik”. “Tapi tolong ibu sampaikan ka mereka, jaan ba leha-leha kuliah, capek salasaikan kuliah, sudah tu cari karajo nan tatap”. “Jiko’ lah dapek karajo nan tatap, dak ba’a mereka di suruah ba bini, jiko’ lah tibo pulo jodoh mereka”. Rasyid mensyukuri atas perkembangan positif yang di alami oleh ke dua adik bujangnya. Bahwa Amran dan Rizal adalah anak yang mengerti bahwa bekerja sambil kuliah itu adalah perlu agar memperoleh sedikit uang supaya mereka bisa membiayai semua keperluan kuliah. Karena beban biaya kuliah bukan hanya sekedar iuran semester, namun banyak lagi, seperti buku sumber, alat tulis, pakayan dan tas. Begitulah beban kuliah, dan mereka menyadari bahwa Abak dan Ibu tidak akan sanggup untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut. Kemudian Rasyid berpesan kepada Ibu agar Amran dan Rizal dapat menyelesaikan kuliah mereka tepat waktu. Kemudian mereka harus mencari pekerjaan yang tetap. Baru mereka boleh menikah apa bila jodoh sudah datang menghampiri.

Topik pembicaraan waktu itu berpindah kepada Ibrahim, cucu si mata wayang Ibu. Ibu menanyakan perihal keadaan Ibrahim. “ba’a keadaan Ibrahim kini… lai sehat se cucu ibu?” “lai dak banyak ulah nyo?” “si Fatimah ba’a pulo keadaan nyo?” “lah kuek badan minantu ibu tu?”. Ibu memberondong Rasyid dengan pertanyan sekitar cucu dan menantunya. Apakah sehat semua, apakah Fatimah sudah kuat badan pasca melahirkan. Rasyid menjelaskan bahwa mereka berdua dalam keadaan sehat wal afiat. Kemudian ibu mengeluhkan suatu permasalahan kepada putranya. “Rasyid… alah duo minggu umua si Ibrahim kini dak?”. Ibu mengkomfirmasi perihal umur cucunya yang sudah berusia 2 minggu. Kemudia ibu menyampaikan masalah yang sebenarnya: “Nak… Ibu nio ka baranak pisang si Ibrahim”. Baranak pisang adalah sebuah prosesi adat orang Minangkabau. Yang di anjurkan untuk setiap nenek melalukan turun mandi atau memandikan dan memotong rambut cucunya. Khusus untuk anak dari anak laki-lakinya. Karena anak dari anak laki-laki dalam keluarga Minang di sebut dengan anak pisang. Dalam prosesi itu tentunya sinenek atau pihak Bako, pihak keluarga ayah akan memberikan suatu cindera mata kepada sang cucu. Biasanya para nenek memberikan cincin emas untuk cucu laki-laki atau anting emas untuk cucu perempuan.

Langsung saja Rasyid dapat menangkap maksud pembicaraan Ibu. Kemudian Rasyid menarik dompet dari saku belakang celana. Diserahkan uang beberapa uang kertas ke ibu. “Ko ado pitih awak duo puluah ribu, pakailah untuk baranak pisang”. Uang sejumlah 20 ribu rupiah dia serahkan kepada Ibu guna menyelenggarakan prosesi Baranak Pisang. “tarimokasih nak, semoga se banyak taruih razaki waang, dan sejahteralah anak bini waang”. Ibu menerima uang dan mendoakan semoga Rasyid selalu dilimpahi rezeki dan anak dan istrinya pun sejahtera.

Acara makan siang antara Rasyid dan Ibu sudah selesai. Topik-topik pembicaraanpun sudah melebar kemana-mana. Kemudian waktu sholat lohor sudah masuk, Rasyid melaksanakan sholat lohornya. Selesai sholat, ketiga adik perempuan yang ditunggu-tunggu belum juga menampakan batang hidung mereka satupun. Akhirnya Rasyid memutuskan untuk balik pulang kerumah Fatimah. “Bu… awak baliak lai yo, hari lah jam 1, awak janji ka pulang capek jo si Fatimah tadi”. Karena hari sudah pukul 1 siang, dia tadi berjanji ke Fatimah kalau jam 1 dia sudah kembali kerumah. Sebelum melangkah keluar Rasyid memeluk badan ibundanya yang kecil dan kurus. Lalu mencium kening si ibu yang sudah bergaris-garis karena usia tua. Akhirnya Rasyid bisa menyampaikan maksudnya semula, mohon pamit ke Ibu, karena besok pagi dia akan kembali ketempat kerja di Pulau Pagai. “Mohon Ibu mendoakan perjalanan ambo, supayo ambo salamaik sampai di tujuan”. Begitulah pinta Rasyid kepada si Ibu. Ibunda berlinang air mata. Mengalir tetesan air dari sudut mata ibu yang sudah keriput. Sebenarnya Ibu sudah tahu dari semula maksud kedatangan anak sulungnya. Itulah sebabnya dia memasak masakan Randang Lokan hari ini. Agar bisa dijadikan bekal makan dalam perjalanan Rasyid menuju Pulau Pagai. “Pailah nak, wak den selalu mendoakan wak ang, Salamaik lah wang sampai di Pagai” dengan doa dan restunya, ibu menyerah sebuah rantang yang berisi randang lokan. “Baok lah ko untuak baka di jalan”.

Rasyid mengucapkan salam “assalammualaikum” sebagai tanda dia berangkat. Rasyid turun meniti jenjang kayu rumah ibu. Dia berjalan melangkah pasti dan tenang. Dia tidak melihat lagi kebelakang. Tinggalah ibu sendiri duduk terpaku berurai air mata di jenjang rumah. Ibu hanya dapat mengantar langkah kaki putra sulungnya dengan tatapan panjang sampai ia pulut dari pandangan mata.

Pagi, pukul 06.30, Tanggal 18 Agustus 1982, sehari setelah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 37, di beranda rumah gadang Amak Rosna. Pagi nan lembab, berhujan rintik, rinai hujan membasahi pekarangan yang berpasir hitam. Amak Rosna bersama dua orang anak gadisnya, Ani dan si bungsu Linda duduk di sofa panjang yang melekat ke dinding papan rumah gadang. Mereka bertiga sedang mengawani Fatimah yang sedang melepas keberangkatan sang suami untuk kembali ke tempat kerjanya nan jauh di seberang laut.

Di jalan depan rumah gadang terlihat sebuah bendi, seekor kuda coklat tinggi sedang menarik kereta memasuki halaman rumah gadang. Ternyata di dalam bendi itu ada si Yusuf adik bujang Fatimah duduk disamping pak kusir. Bendi perlahan sampai di depan jenjang beton rumah gadang. Yusuf turun tergesa dari bendi menghindari rintik hujan, langsung naik kerumah gadang. Menyapa abang iparnya. “Tu bendi alah tibo da… siap-siap lah lai” lugas memberi tahu iparnya bahwa bendi sudah datang menjemput.

Dari tadi Rasyid sudah siap sedia akan berangkat ke pulau Pagai. Meninggalkan anak dan istrinya di rumah Amak Rosna di kampung baru. Sebelum berangkat, Fatimah menyerahkan Ibrahim kepelukan ayahnya. Ibrahim waktu itu tergelak riang berpindah dari pangkuan ibunda ke pelukan si ayah. Rasyid menimang bayi kesayangannya. Mencandai dan menciumi kedua pipi merah anaknya. “Oi … Ibrahim anak ayah… ayah ka pai karajo lai, lamo lai ayah ka pulang. Ibrahim jan banyak parangai, indak buliah sakik, capeklah gadang, yo… anak bujang ayah” Rasyid bicara seolah-olah Ibrahim yang masih bayi itu mengerti apa yang dia bicarakan. Rasyid menyampaikan pesan-pesan kalau Ibrahim tidak boleh sakit, tidak boleh banyak perangai, dan cepat besar.

Sudah puas hati Rasyid bercanda dengan anaknya, lalu dia kembalikan anak ke pangkuan Fatimah. Di cuim kening Fatimah, lalu berkata, “Uda barangkek lai, sayang”. Fatimah menangis berurai air mata di pipi. Dengan terisak tangis dia berkata, “salamaik jalan uda. Selamaik se uda sampai di Pagai…. Kirimi Tim surek kalau uda lah sampai”. Fatimah mendoakan keberangkat sang suami dan meminta sepucuk surat apa bila telah sampai di tujuan. Rasyid minta izin berangkat ke Amak Rosna dan seluruh adik iparnya. “Amak ambo pai lai,…. Sup, Ani, linda, tolong jago kakak kalian jo Ibrahim”. Rasyid menjinjing koper berwarna coklat, ringan menaikannya ke dalam bendi. Baru kemudian dia naik bendi dengan menjijing sebuah rantang. Rantang yang berisi nasi dan randang lokan. Makanan kesukaan Rasyid. Makanan yang telah dibuat dengan penuh cinta dan kasih sayang oleh ibudanya di Palinggam. Makanan yang menjadi bekal di perjalanan menuju pulau Pagai.

Kusir bendi mengantarkan Rasyid menuju pelabuhan kapal di dermaga Muara Padang. Suara hentak kaki kuda berlari-lari santai mengetuk-ngetuk punggung jalanan yang terbuat aspal. Rintik hujan pagi itu tetap menemani bendi melaju melewati Jalan Bundo Kanduang, terus ke jalan Gereja, menuju ke jalan Muara Padang.

Pukul 07.00 Rasyid telah sampai di dermaga. Tampak KM Sumber Rezeki telah bersandar di bibir dermaga. Mobil-mobil pick-up dan truk yang sarat dengan muatan barang sudah antri di dermaga. Pintu geladak kapal sedang terbuka lebar, menganga menunggu para kuli memasukkan barang muatan yang dipindahkan dari mobil kedalam perut kapal. Suara mesin diesel kapal telah menderu-deru. Cerobong kapal mengepulkan asap hitam ke udara. Dari dalam jendela kapal yang berjejer seperti jendela kandang burung dara, terlihat wajah-wajah para penumpang yang lemas dan gelisah kepanasan. Sepertinya mereka sudah tidak sabar lagi supaya kapal segera berlayar membawa mereka ketempat tujuan.

Rasyid melangkah ke loket membeli tiket kapal. Kemudian dia bejalan ke bibir dermaga. Berjalan hati-hati sambil menjijing koper dan rantang, meniti sebuah papan lentur sebagai jembatan masuk menuju ke geladak kapal. Sesampai di dalam kapal salah seorang ABK menghampiri Rasyid. Rasyid memperlihat tiket yang telah dibayarnya. Kemudian ABK tadi mengatarkan Rasyid ke sebuah bilik kecil yang terdapat dilantai dua. Didalam kamar nan sempit itu ada dua buah ambin bertingkat. Rasyid memilih untuk berbaring pada satu ambin di tingkat bawah saja. Ada dua buah jendela berderet menghadap ke Gunung Padang. Pada waktu pagi itu Gunung Padang tampak berwarna hijau kelabu karena di guyur hujan yang belum juga reda sejak subuh tadi. Di dalam relung geladak bising dengan dengung suara-suara. Suara deru mesin kapal berbaur dengan suara bincang-bincang para penumpang. Udara pengap dan berbau tidak nyaman. Semua bau dan aroma menyatu, seperti bau minyak angin, bau badan, bau solar, wangi parfum perempuan, wangi rempah, semua bercampur menjadi satu. Tercium aneh, menusuk rongga-rongga hidung.

Beberapa saat kemudian, ada tiga orang pemuda memasuki relung kamar sempit yang di huni oleh Rasyid. Seorang ABK memberitahu bahwa tiga buah ambin yang kosong itu adalah tempat mereka. Dua ambin di sebelah Rasyid, satu lagi di atas tempat Rasyid. Lalu mereka masuk dan meletakan tas ransel di atas ambin mereka masing-masing. Rasyid pada waktu itu sedang bersandar santai di dinding kamar. Pandangan matanya tetap mengarah keluar jendela, mengamati Gunung Padang yang sedang kedinginan di guyur hujan. Salah seorang dari pemuda tadi minta izin kepada Rasyid untuk memanjat ambin yang berada di tingkat atas. Tentu Rasyid mempersilahkan sambil menoleh kearahnya. Pemuda itu tersontak “Bah, tak ku sangka, ada pula abang kasir kita disini”. Rasyid juga kaget karenanya. Ternyata ada juga orang yang mengenal Rasyid di dalam kamar yang sempit itu. Dua pemuda lagi menoleh kearah Rasyid. “Bah, abang kasir kita rupanya... selamat pagi bang, sudah dari tadi kiranya abang disini?” seorang lagi dari mereka menyapa Rasyid. “Ya.. selamat pagi” Rasyid menjawab salam pemuda tadi sembari merubah posisi badan untuk memulai obrolan. Dalam ingatan Rasyid mereka bertiga adalah karyawan PT. Minas. Tapi Rasyid tidak tahu nama mereka. Hanya kenal wajah saja. wajah-wajah yang selalu hadir di ruangan kantor administrasi pada setiap awal bulan.

Tentulah setiap tiap karyawan PT. Minas mengenal Rasyid. Rasyid adalah seorang pejabat yang menguasai meja keuangan. Rasyid adalah seseorang yang sangat penting bagi kelangsungan hidup para karyawan. Seseorang yang dapat menentukan irama dompet para karyawan. Kantong mereka yang akan tebal dan membengkak pada tanggal 1. Kemudian menyusut dan tipis hingga kempes di akhir bulan. Sehingga di penuhkan lagi oleh Rasyid pada hari gajian. Namun kebanyakan dari sekian ribu karyawan PT. Minas hanya mengenal wajah Rasyid saja. Mereka tidak begitu mengenal nama dan kepribadian Rasyid. Begitulah selalu nasib seorang kasir. Orang yang sangat diperlukan pada setiap hari gajian.

Ketiga pemuda tadi akrab mengajak Rasyid berbicara. menanyakan ini dan itu. sering mereka menggunaka kata “bah” apa awal kalimat. Tak tahu Rasyid apa itu arti “bah”. Yang Rasid tahu adalah ketiga pemuda tadi berasal dari Sumatera Utara. Yang dapat terindentifikasi oleh Rasyid dari logat dan gaya bicara yang mereka gunakan.

Tidak lama waktu berselang, dua orang ABK mendorong papan titian agar terpisah dari kapal. Satu ABK lagi berada di haluan sedang melepaskan simpul tali kapal yang tadi terikat pada dermaga. Suara mesin diesel sudah terdengar sangat kuat meraung-raung. Pintu geladak sudah ditutup. Lampu-lampu yang terpasang di langit-langit geladak sudah dinyalakan. Kapten Kapal dari kamar kemudi memberitahu melalui speaker yang terpasang di beberapa sudut geladak bahwa KM. Sumber Rezeki akan segera berlayar menuju ke Mentawai. Suara horn menghentak udara dengan keras beberapa kali. Para penumpang yang tadi gelisah kepanasan di dalam geladak sekarang terlihat lega. Mereka mulai santai berbaring atau berselonjor kaki di ambin masing-masing. Akhirnya KM. Sumber Rezeki bergerak meninggalkan pelabuhan Muara Padang memasuki perairan laut Samudera Hindia. Dari jendela kapal, terlihat Gunung Padang masih terpaku di tempatnya, mengigil kedinginan di selimuti kabut dan di guyur hujan. Semakin lama tampak Gunung padang semakin kecil.

Hujan belum juga berhenti. Cuaca di laut pada waktu tidak begitu bagus. Angin bertiup kencang mengakibatkan gelombang laut agak tinggi. Sehingga membuat pergerakan kapal KM Sumber Rezeki terhayun kekiri dan kekanan, naik dan turun mengikuti lekuk-lekuk gelombang laut. Badan kapal yang tersusun dari kayu-kayu kokoh seperti menggigil karena dihempas gelombang. Susunan kayu pada lantai mengeluarkan suara derak dan decit. Sebagian penumpang ada yang cemas memikirkan apakah mereka akan selamat dalam perjalanan laut kali ini. Timbul suara-suara kegelisahan dari dalam ruang geladak. “Para penumpang KM. Sumber Rezeki diharapkan tenang dan tidak perlu kawatir. Karena sebentar lagi cuaca akan reda”. Salah seorang ABK meyakinkan penumpang bahwa perjalanan masih dalam keadaan baik.

Rasyid masih sedang mengobrol santai dan merasa aman-aman saja didalam kamarnya bersama tiga pemuda Sumatera Utara tadi. Karena mereka sudah biasa mengarungi laut bolak-balik dari Mentawai ke Padang. Mereka paham bagaimana cuaca yang baik dan yang tidak baik untuk pelayaran kapal.

Memang selang beberapa jam berlalu, gelombang tinggi, angin kencang disertai hujan tadi akhirnya berhenti. Awan kelabu desertai kabut tipis sudah tidak ada lagi. Hari sudah menunjukkan pukul 12 siang ditengah laut. Tidak ada tampak suatu daratan dan bahkan satupun pulau. Yang ada hanya matahari yang terik menerangi seluruh permungkaan laut nan luas dan biru. KM. Sumber Rezeki berlayar dengan kecepatan maksimal. Suara mesin dieselnya meraung-raung terdengar dari dalam geladak. Kapal penumpang ini seperti berlari sendiri kesepian di tengah laut. Para penumpang yang tadi berisik karena cemas sekarang sudah tenang. Mereka sibuk mengipasi badan mereka yang kepanasan dengan kipas atau koran, bahkan dengan potongan karton.

Menjelang magrib, Kapal sudah memasuki perairan kepulauan Mentawai. Pulau-pulau kecil sudah bermunculan satu-persatu dari dalam lautan. Kapal-kapal bagan, kapal-kapal penangkap ikan sudah kelihatan lalu-lalang mencari ikan. Beberapa kelihatan kapal penarik sedang menghela tongkangnya yang sarat dengan muatan kayu logging berpapasan dengan KM. Sumber Rezeki. Masing-masing kapten kapal saling menyapa dengan membunyikan suara horn.

Di laut hari sudah gelap, air laut sudah kelam. Dilangit ada bulan sabit yang di kelilingi taburan bintang. Disekitar perairan Mentawai terlihat kapal bagan dengan lampu-lampu sorot yang mengelilingi kapal itu sedang berhenti melepaskan jangkar. KM Sumber Rezeki semakin semangat dan kencang berlayar. Karena sang kapten kapal tahu bahwa sebentar lagi dia akan beristirahat sejenak di pelabuhan Sikakap dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju pulau Sipora dan terus ke pulau Siberut. (Lucky Lukmansyah)

Photo: KM. Sumber Rezeki di pelabuhan Muara Padang


Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © Simple SEO ✔