ANAK LONTE
Chapter 1: Mr N
Oleh Lucky Lukmansyah
Aku, siapalah aku? “Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang” begitulah kata Chairil Anwar. Sama persis apa yang dikatakannya dengan apa yang aku sarakan pada hari ini. Langit tempat ku bergantung, bumi tempat ku berpijak. Hanya badan seorang yang ku bawa berjalan menempuh liku hidup yang tak tahu dimana ujungnya. Hanya perut yang sepetak ini menjadi tanggung jawab dalam hidup ku. Alangkah ringannya beban di pundak ku, alangkah entengnya kaki ku melangkah. Meskipun perjalananku masih jauh, jauh sekali, walau mungkin sampai ke ujung dunia. Tapi, ada kalanya saat ini aku harus berhenti sejenak, istirahat, mengumpulkan bekal dan tenaga serta belajar, mempelajari peta hidup ku, guna melanjutkan perjalanan berikutnya.
Aku ini tidaklah sama seperti mereka, mereka di luar sana yang harus saban hari bekerja membanting tulang demi mengharapkan upah dibawa pulang untuk makan anak dan istri. Sama halnya seperti almarhumah bunda ku tersayang, siang malam dia rela badannya dihina dan dinistakan oleh para lelaki hidung belang, berharap mereka mengeluarkan lembaran demi lembaran uang kertas dari dalam dompet mereka, guna dibelikan sekaleng susu untuk ku, dibawa pulang dan membayarkan uang kontrakan yang setiap awal bulan ditagih oleh si nenek yang punya rumah. Demi Anak bujang si mata wayangnya, beliau berharap kelak akan berubah nasib ku, hijrah dari tempat yang penuh kubangan lumpur, air comberan, dari sisa-sisa sumpah serapah manusia ke tempat yang lebih bermartabat.
Aku teringat perkataan bunda, “Nak nanti kalau bunda sudah punya uang, kita akan pindah dari sini, bunda akan membeli sebuah rumah bagus, dan lalu memasukan mu ke sekolah negeri yang terbaik di kota Padang”. Itu baru dua dari keinginan bunda, dan masih banyak lagi keinginan dan cita-cita nya terhadap diriku, terhadap anak bujangnya yang seorang ini. Biarlah kini semua apa yang telah bunda ucapkan tertanam dalam dasar hati sanubariku yang terdalam. Suatu saat nanti aku yakin pasti akan berbuah, lalu aku akan memetik buah itu dan aku persembahkan kepadanya yang telah terbaring tenang di alam damai pusaranya.
Bunda, damailah bunda dalam tidur panjang mu. Janganlah engkau risaukan anak mu ini, anak mu sudah besar, sekarang sudah tidak tinggal rumah dekat comberan itu lagi, dan janji tidak akan kembali ke tempat itu, seperti apa yang engkau inginkan dulu. Kini jalan ku teramat panjang bunda, mungkin lama aku akan berjumpa dengan kubur mu lagi. Tapi walau dimanapun aku berada, dirimu selalu ada dalam dalam diri ku.
Disinilah tempat ku saat ini, di sebuah pulau terpencil, tidak jauh dari kota Padang. Hanya sebuah pulau kecil, yang terletak dalam sebuah teluk, orang-orang disini menyebutnya teluk Mandeh. Di pulau ini aku tidak sendiri, ada banyak orang. Kami disini bekerja kepada seorang orang laki-laki tua yang bernama Mr. N, seorang warga negara Italy. Mr. N menyewa pulau ini dari masyarakat adat setempat, untuk dia dirikan sebuah resort. Yah, disinilah aku, bekerja sekarang sebagai tukang menjaga kebersihan di dalam area resort.
Mr. N orang yang baik sekali, mau memberikan tempat tinggal untuk karyawannya yang masih bujang seperti diriku. Bagi ku Mr. N aku anggap sebagai bapakku sendiri. Maklum saja selama ini aku hidup belum pernah merasakan belaian kasih sayang seorang ayah. Baru dari Mr. N ini aku bisa merasakannya. Beliau sangat memperhatikan semua karyawannya. Karena beliau jauh, jauh lebih tua dari kami, maka beliau menganggap kami sebagai anaknya sendiri. Semua perkataannya aku dengarkan dan apa yang disuruhkannya aku kerjakan dengan segera. Tidak berapalah gaji yang bisa aku harapkan dari orang tua itu, tapi yang terpenting aku bisa punya tempat untuk berteduh dan bisa makan dari tempat aku bekerja di resort ini.
Aku bersukur karena Tuhan telah mempertemukan aku dengan Mr. N. Setahun yang lalu, di sebuah hotel di jalan Diponegoro. Pada waktu itu aku adalah seorang alumni Diploma 3, jurusan Bahasa Asing yang sedang mencari kerja, mengajukan lamaran ke sana ke mari, ke berbagai macam perusahaan, hotel dan bahkan restaurant. Belum ada satupun perusahaan yang mau menerima. Kalau aku melamar kerja di restauran selalu saja aku ditolak dengan alasan karyawannya sudah cukup.
Entah mengapa pada hari itu, keadaan ku benar-benar miris. Keuangan ku benar sudah pada titik nadir, atau nihil sama sekali, tidak ada satu pun receh yang tersisa di kantong. Yang ada hanya sebuah buku catatan kecil, yang isinya nomor telephone orang-orang yang aku anggap penting dan sebuah pena yang tintanya sudah rekarat.
Dari sejak kemarin malam mulut ku belum mengunyah sepotongpun makanan, perutku perih, maag ku kambuh, aku pusing, dan mual-maul. Ingin rasanya mengadu minta tolong sama kawan-kawan karib, tidak pula ada nampak satupun batang hidung mereka pada hari itu. Karena hari itu adalah Sabtu, hari libur kuliah. Biasanya ada teman ku, konco karib ku si Karapai namanya, berdua dengan dia setiap hari kami ngamen di ruko-ruko sepanjang jalan Imam Bonjol. Di jalan itu ada banyak terdapat rumah makan dan kedai bakso. Selalu Karapai yang mainkan gitarnya aku yang nyanyikan lagu. Namun malang sekali hari ini, maupun gitar itu ataupun si Karapai tidak bersama ku. Aku benar-benar merasa pinjang tanpa dia.
Maka keluarlah aku dari sarang tempat persembunyianku, dari dalam kampus, dari ruangan sekretariat mahasiswa, dimana disitulah tempat aku menumpang tinggal, menumpang hidup sebagai penghuni illegal, untuk hanya sementara waktu sampai aku mendapatkan pekerjaan tetap. Suasana siang itu di kampus sangatlah sepi, semua pintu kelas terkunci rapat, tidak ada pegawai, dosen maupun mahasiswa, yang hanya ada seorang satpam selalu setia menjaga posnya. Satpam itu sebenarnya tidak suka akan keberadaan sebagai penghuni illegal di kampus itu. Alasan dia adalah sederhana saja, karena aku bukan mahasiswa lagi katanya. Seharusnya aku sudah berangkat pergi jauh-jauh dan tidak kembali lagi ke kampus. Tapi, untungnya ada seorang wakil ketua akademik yang dengan baik hati mau memberi izin kepada ku untuk tinggal sementara saja di sekre.
Kampus ku itu berada di jalan Chairil Anwar. Dari situlah aku melangkahkan kaki mencari orang-orang yang aku kenal, orang yang mau meminjamkan aku uang untuk bertahan hidup. Rencanaku di hari itu aku akan pergi ke Puruih, ke kampung yang dulu dimana kami, maksudnya aku dan bunda pernah tinggal bersama. Berdua menjalani hidup yang bisa dibilang sangat sederhana, cukup makan dan segala kebutuhan hidup kami berdua tinggal di sebuah sebuah rumah bedeng kontrakan. Yang aku harapkan pergi ke tempat itu supaya bisa bertemu dengan teman-teman bunda, semoga saja ada yang baik hati untuk tempat aku mengeluhkan nasibku kepada nya.
Dari lokasi kampus aku langsung menyeberang badan jalan, melangkah terus melewati sebuah taman, dan melewati sebuah museum barulah aku sampai dijalan Diponegoro, tidaklah pula jauh jaraknya. Saat itu kondisi badan ku mulai lemas, dan lunglai, tapi di dalam, hati ku pekat, tetap semangat untuk terus bertahan sampai kesempatan terbuka lebar untuk ku. Untung saja cuaca kota Padang pada siang itu tidak panas terik seperti biasanya, agak mendung sedikit. Angin yang datang dari arah laut berhembus sejuk membelai tubuh ku. Dalam hati aku berdoa semoga Tuhan yang maha pengasih membantu menyelesaikan masalah ku hari itu. Tidaklah berapa jauh aku berjalan menyusuri jalan Diponegoro, hapir sampai di perempatan, aku sudah berada di depan hotel D. Aku akan terus jalan lurus saja ke arah Puruih. Dari tempat ku berdiri itu, kuperkirakan mungkin ada 2 kilo jaraknya ke Puruih. Kalau ditempuh dengan jalan kaki bisa menghabiskan waktu setengah jam. Aku tegarkan semangat ku, dan terus jalan lagi.
Masih didepan hotel D, tiba-tiba sebuah angkot warna biru berhenti pas di samping kananku. “Kiri.. kiri.. orang cantik turun” kata si knek angkot kepada sang supir. Angkotpun berhenti, si knek menuntun penumpangnya turun dari angkot dengan hati-hati seperti memapah barang yang mudah pecah saja. Begitu sayup-sayup terdengar teriakan si knek, disela-sela bisingnya deru mesin kendaraan yang lalu-lalang. Aku penasaran, ingin tahu secantik apakah penumpang yang disebut si knek tadi. Maka hadirlah seorang perempuan muda di depan ku, bergaya bak seorang model, dengan sendal tinggi tumit, celana jean biru ketat, pantat bahenol, dipadu dengan T-shirt putih polos pas body, dada bengkak, kulit putih bersih, rambut ikal sebahu, bibir bergincu merah, mata bercelak, sedang menenteng tas bermerek, melangkah naik ke atas trotoar setelah se kenek mengetok kaca angkot itu dan lalu berteriak “Cabut…” dengan nada tinggi kepada si supir.
Sebagai seorang laki-laki normal, wajar saja mata ku tertarik kepada sosok pemandangan bagus, yang begitu saja muncul di depan mata ku. Samalah seperti orang Padang kalau berkata, “Mato condong ka nan rancak, salero condong ka nan lamak”, yah begitulah kiranya aku. Langkah ku berhenti sejenak, ingin mengagumi kecantikan perempuan yang ada di depan mata ku.
Sepertinya perempuan muda itu ingin segera masuk ke dalam hotel D, dia agak terburu-buru. Tapi dia tahu aku sedang memperhatikan dirinya dari belakang. Lantas dia melongokan mukanya ke arah ku. Aku kaget, dia kaget, kami saling bertatapan. Aku mengenal dia, begitu juga sebaliknya. Aku malu pada diri ku sendiri. Dia malah memutar badan jalan semakin mendekat ke arah ku. “Raka…. kau kah ini nduk?” perempuan itu berkata, dan langsung menyampari diri ku. Aku mengenal dia, dia adalah mbak Yani, salah seorang teman dekat bunda. Dulu waktu aku masih SMA dia sering nginap di rumah. Mbak Yani semakin mendekatkan wajahnya menatap ku. Aku mundur selangkah pada saat tangan mbak Yani mengapai daguku. Ada apa dengan expresi wajahnya sampai sendu begitu menatap diriku. Mungkin dia rindu. Melihat wajah ku terkenang dia pada almarhumah Bunda yang sudah tiada.
Alangkah baiknya mbak Yani itu, pada hari itu, disaat yang tepat, di saat aku benar-benar dalam ketiadaan, dia membawa aku masuk ke dalam hotel, masuk ke restaurannya, lalu memesankan makan siang untuk ku sepiring nasi goreng, dan teh manis. Aku bersyukur sangat kepada Tuhan atas reski yang aku terima pada siang yang mendung itu. Tuhan benar-benar telah mengulurkan tangannya untuk menolong seorang manusia yang kelaparan, yaitu aku sendiri. Aku nikmati santap siang ku sendiri di dalam restauran, sementara Mbak Yani meninggalkan aku sebentar, ada urusan katanya. Setelah makan siang ku selesai, aku tidak beranjak dari tempat duduk, beberapa saat kemudian akhirnya mbak Yani kembali menemuiku setelah dia menyelesaikan urusannya dengan seseorang di lobi hotel. Dia memilih duduk menghadap kepada ku, menatap wajah ku sekali lagi lebih dalam, lebih dalam lagi seperti dia sedang mencari sesuatu dari raut wajah ku.
“Apakabar mu nduk?” dia bertanya kepada ku, suaranya serak dengan logat jawanya yang kental sambil menghisap sebatang rokok. “Kemana saja kau selama ini?”. Aku hanya diam saja, masih sedang berpikir mencari penjelasan untuk dirinya yang sedang penasaran akan keadaan ku.
“Kau seperti baru saja keluar dari dalam perut bumi” dia kemudian menjawab sendiri pertanyaannya yang muncul dalam benaknya.
“Sudah tiga tahun sejak bunda mu mati, baru kini aku bisa berjumpa dengan kau, kemana saja kau? Jawablah pertanyaan ku, jangan kau diam saja!” Mbak Yani semakin penasaran.
Aku bingung, dari mana aku harus memulainya?. Bagaimana aku harus menjelaskan kepadanya? Jadi aku cuma bisa jawab, “aku kuliah mbak”.
Mendengar aku kuliah, mbak Yani membesarkan matanya menatap ku, mulutnya terbuka lebar, dia seperti tidak percaya kalau aku adalah seorang terpelajar, seseorang yang telah keluar dari dunia kegelapan. Lalu kemudian wajahnya memancarkan sinar penuh harapan kepada ku. Dia sambung lagi sebatang rokok ke bibir nya yang penuh gincu merah, menghisap rokok lebih dalam lagi hingga sampai ke akar paru-parunya, dan dia jadi semakin penasaran kepada ku, “kau kuliah di mana?”
“Di Akademi Bahasa Asing….” diam “kampusnya dekat taman Melati itu lo mbak”
“Waw… keren ya” dia senang mendengarnya.
Benar, aku tahu mbak Yani benar-benar senang, dan tidak ada raut wajah pura-pura di depan ku.
“Tapi sekarang aku sudah tamat mbak” aku menjelaskan lagi sebelum dia sempat bertanya lebih jauh.
“Wah… hebat dong, kau sudah jadi sarjana sekarang”
“Yah begitulah mbak, tapi sekarang aku belum mendapatkan pekerjaan, masih sedang mencari-cari”
“Kapan kau tamat dari kampus itu?”
“Dua bulan yang lalu”
“Tinggal di mana sekarang?
“Masih dikampus itu”
“lo kok bisa?” dia sepertinya bingung
Terus percakapan kami berlanjut, banyak pertanyaan dia lontarkan kepada ku. Hingga mbak Yani membawaku pada seputar kejadian tiga tahun yang lalu. Hal yang itu pasti akan membuat hati ku pilu, tersayat dan teriris-iris perih mendengarkan perempuan itu bicara tentang kejadian dimana bunda ku waktu itu ditemukan orang dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi. Mati secara tragis, di dalam kamar hotel, bersimbah darah, dengan beberapa luka menganga di bagian perut dan dada, bekas tusukan benda tajam, dan tanpa sehelaipun benang menutupi badannya. Alangkah tragisnya kematian bunda ku. Tidak pernah terbayangkan oleh ku dulu bahwa nasib begitu kejam terhadap ibu ku yang malang.
“Apakah sudah tertangkap pelakunya?”
Aku tak bisa menjawab lagi, cukup, aku diam seribu bahasa. Aku tidak sadar air mata ku sudah sudah jatuh membasahi pipiku.
“Maafkan aku nduk” mbak Yani tergesa pindah ke tempat duduk yang disamping ku. Dia rapatkan badannya, dirangkulnya pundakku, dia rebahkan kepala ku ke dadanya. “Maafkan mbak mu nduk… mbak janji tidak akan membahas itu lagi”.
Keesokan harinya, pada jam yang sama, selepas Lohor, aku kembali ke hotel D, karena mbak Yani menunggu aku disitu. Aku disuruhnya datang dengan membawa ijazah D3 ku. Ketika aku telah sampai di lobi hotel, pada saat bersamaan, mbak Yani turun dari lantai dua bersama seorang pria tua, bule tua. Awalnya aku berpikiran bahwa laki-laki bule itu adalah teman kencan mbak Yani. Aku salah sangka. Dia lah orangnya yang disebut Mr. N. kepada ini Mr. N mbak Yani merekomendasikan aku untuk dapat bekerja di hotelnya, atau resort kalau Mr. N bilang.
Sepertinya Mr. N bukan orang yang penuh basa basi. Pas berjumpa pertama kali, orang tua itu langsung membawa ku berdialog dalam bahasa Inggris. Tentu saja aku bisa meladeninya, karena memang itu bidang ku, meski walau aku bukan ahli, tapi aku bisa.
Mr. N membaca dengan teliti kartu identitas ku, ijazah ku, lalu dia diam sejenak. Entah apa, aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi mbak yang duduk disamping Mr.N tidak mau diam saja.
“Come on uncle, please, take him….. He is like my son” Mbak Yani membujuk Mr. N supaya mau menerima kubekerja di resort miliknya.
“All right son, tomorrow is Sunday right? You see me in Muara at 5 o’clock at HW Cafe, I’ll gonna take to the island by boat, and don’t be late, okay!”
“Yes sir” Aku berdiri memberi salut kepadanya
Senang sekali mbak Yani mendengar Mr. N besok akan membawa ku bekerja ke pulau C, dimana orang tua itu menjalankan usaha private resort nya untuk para turis-turis asing yang ingin berlibur di kota Padang.
“Thank you uncle, thank you, you are my man” Begitulah respon mbak Yani kepada Mr. N. Dipeluknya Mr.N dan diciumnya pipi keriput orang tua itu persis di hadapan ku tanpa ragu. Dari situlah aku tahu, bahwa Mr. N bukan tipe laki-laki hidung belang seperti yang aku sangka sebelumnya. Dari cara mbak Yani memeluk dan mencium pipinya aku dapat menilai bahwa Mr. N telah menganggap mbak Yani seperti anaknya sendiri. Laki-laki tua itu tampak memiliki kepribadian kuat,penyayang, dan mengayomi semua orang-orang yang dekat dengan dirinya. Memang ini adalah jumpa pertama ku dengan Mr. N. Dari pertemuan pertama ini dia memberikan telah kesan bahwa dia mau menjaga ku, mau mendidik ku untuk menjadi orang yang lebih baik kedepannya.
Photo oleh: www.anneahira.com
Aku, siapalah aku? “Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang” begitulah kata Chairil Anwar. Sama persis apa yang dikatakannya dengan apa yang aku sarakan pada hari ini. Langit tempat ku bergantung, bumi tempat ku berpijak. Hanya badan seorang yang ku bawa berjalan menempuh liku hidup yang tak tahu dimana ujungnya. Hanya perut yang sepetak ini menjadi tanggung jawab dalam hidup ku. Alangkah ringannya beban di pundak ku, alangkah entengnya kaki ku melangkah. Meskipun perjalananku masih jauh, jauh sekali, walau mungkin sampai ke ujung dunia. Tapi, ada kalanya saat ini aku harus berhenti sejenak, istirahat, mengumpulkan bekal dan tenaga serta belajar, mempelajari peta hidup ku, guna melanjutkan perjalanan berikutnya.
Aku ini tidaklah sama seperti mereka, mereka di luar sana yang harus saban hari bekerja membanting tulang demi mengharapkan upah dibawa pulang untuk makan anak dan istri. Sama halnya seperti almarhumah bunda ku tersayang, siang malam dia rela badannya dihina dan dinistakan oleh para lelaki hidung belang, berharap mereka mengeluarkan lembaran demi lembaran uang kertas dari dalam dompet mereka, guna dibelikan sekaleng susu untuk ku, dibawa pulang dan membayarkan uang kontrakan yang setiap awal bulan ditagih oleh si nenek yang punya rumah. Demi Anak bujang si mata wayangnya, beliau berharap kelak akan berubah nasib ku, hijrah dari tempat yang penuh kubangan lumpur, air comberan, dari sisa-sisa sumpah serapah manusia ke tempat yang lebih bermartabat.
Aku teringat perkataan bunda, “Nak nanti kalau bunda sudah punya uang, kita akan pindah dari sini, bunda akan membeli sebuah rumah bagus, dan lalu memasukan mu ke sekolah negeri yang terbaik di kota Padang”. Itu baru dua dari keinginan bunda, dan masih banyak lagi keinginan dan cita-cita nya terhadap diriku, terhadap anak bujangnya yang seorang ini. Biarlah kini semua apa yang telah bunda ucapkan tertanam dalam dasar hati sanubariku yang terdalam. Suatu saat nanti aku yakin pasti akan berbuah, lalu aku akan memetik buah itu dan aku persembahkan kepadanya yang telah terbaring tenang di alam damai pusaranya.
Bunda, damailah bunda dalam tidur panjang mu. Janganlah engkau risaukan anak mu ini, anak mu sudah besar, sekarang sudah tidak tinggal rumah dekat comberan itu lagi, dan janji tidak akan kembali ke tempat itu, seperti apa yang engkau inginkan dulu. Kini jalan ku teramat panjang bunda, mungkin lama aku akan berjumpa dengan kubur mu lagi. Tapi walau dimanapun aku berada, dirimu selalu ada dalam dalam diri ku.
Disinilah tempat ku saat ini, di sebuah pulau terpencil, tidak jauh dari kota Padang. Hanya sebuah pulau kecil, yang terletak dalam sebuah teluk, orang-orang disini menyebutnya teluk Mandeh. Di pulau ini aku tidak sendiri, ada banyak orang. Kami disini bekerja kepada seorang orang laki-laki tua yang bernama Mr. N, seorang warga negara Italy. Mr. N menyewa pulau ini dari masyarakat adat setempat, untuk dia dirikan sebuah resort. Yah, disinilah aku, bekerja sekarang sebagai tukang menjaga kebersihan di dalam area resort.
Mr. N orang yang baik sekali, mau memberikan tempat tinggal untuk karyawannya yang masih bujang seperti diriku. Bagi ku Mr. N aku anggap sebagai bapakku sendiri. Maklum saja selama ini aku hidup belum pernah merasakan belaian kasih sayang seorang ayah. Baru dari Mr. N ini aku bisa merasakannya. Beliau sangat memperhatikan semua karyawannya. Karena beliau jauh, jauh lebih tua dari kami, maka beliau menganggap kami sebagai anaknya sendiri. Semua perkataannya aku dengarkan dan apa yang disuruhkannya aku kerjakan dengan segera. Tidak berapalah gaji yang bisa aku harapkan dari orang tua itu, tapi yang terpenting aku bisa punya tempat untuk berteduh dan bisa makan dari tempat aku bekerja di resort ini.
Aku bersukur karena Tuhan telah mempertemukan aku dengan Mr. N. Setahun yang lalu, di sebuah hotel di jalan Diponegoro. Pada waktu itu aku adalah seorang alumni Diploma 3, jurusan Bahasa Asing yang sedang mencari kerja, mengajukan lamaran ke sana ke mari, ke berbagai macam perusahaan, hotel dan bahkan restaurant. Belum ada satupun perusahaan yang mau menerima. Kalau aku melamar kerja di restauran selalu saja aku ditolak dengan alasan karyawannya sudah cukup.
Entah mengapa pada hari itu, keadaan ku benar-benar miris. Keuangan ku benar sudah pada titik nadir, atau nihil sama sekali, tidak ada satu pun receh yang tersisa di kantong. Yang ada hanya sebuah buku catatan kecil, yang isinya nomor telephone orang-orang yang aku anggap penting dan sebuah pena yang tintanya sudah rekarat.
Dari sejak kemarin malam mulut ku belum mengunyah sepotongpun makanan, perutku perih, maag ku kambuh, aku pusing, dan mual-maul. Ingin rasanya mengadu minta tolong sama kawan-kawan karib, tidak pula ada nampak satupun batang hidung mereka pada hari itu. Karena hari itu adalah Sabtu, hari libur kuliah. Biasanya ada teman ku, konco karib ku si Karapai namanya, berdua dengan dia setiap hari kami ngamen di ruko-ruko sepanjang jalan Imam Bonjol. Di jalan itu ada banyak terdapat rumah makan dan kedai bakso. Selalu Karapai yang mainkan gitarnya aku yang nyanyikan lagu. Namun malang sekali hari ini, maupun gitar itu ataupun si Karapai tidak bersama ku. Aku benar-benar merasa pinjang tanpa dia.
Maka keluarlah aku dari sarang tempat persembunyianku, dari dalam kampus, dari ruangan sekretariat mahasiswa, dimana disitulah tempat aku menumpang tinggal, menumpang hidup sebagai penghuni illegal, untuk hanya sementara waktu sampai aku mendapatkan pekerjaan tetap. Suasana siang itu di kampus sangatlah sepi, semua pintu kelas terkunci rapat, tidak ada pegawai, dosen maupun mahasiswa, yang hanya ada seorang satpam selalu setia menjaga posnya. Satpam itu sebenarnya tidak suka akan keberadaan sebagai penghuni illegal di kampus itu. Alasan dia adalah sederhana saja, karena aku bukan mahasiswa lagi katanya. Seharusnya aku sudah berangkat pergi jauh-jauh dan tidak kembali lagi ke kampus. Tapi, untungnya ada seorang wakil ketua akademik yang dengan baik hati mau memberi izin kepada ku untuk tinggal sementara saja di sekre.
Kampus ku itu berada di jalan Chairil Anwar. Dari situlah aku melangkahkan kaki mencari orang-orang yang aku kenal, orang yang mau meminjamkan aku uang untuk bertahan hidup. Rencanaku di hari itu aku akan pergi ke Puruih, ke kampung yang dulu dimana kami, maksudnya aku dan bunda pernah tinggal bersama. Berdua menjalani hidup yang bisa dibilang sangat sederhana, cukup makan dan segala kebutuhan hidup kami berdua tinggal di sebuah sebuah rumah bedeng kontrakan. Yang aku harapkan pergi ke tempat itu supaya bisa bertemu dengan teman-teman bunda, semoga saja ada yang baik hati untuk tempat aku mengeluhkan nasibku kepada nya.
Dari lokasi kampus aku langsung menyeberang badan jalan, melangkah terus melewati sebuah taman, dan melewati sebuah museum barulah aku sampai dijalan Diponegoro, tidaklah pula jauh jaraknya. Saat itu kondisi badan ku mulai lemas, dan lunglai, tapi di dalam, hati ku pekat, tetap semangat untuk terus bertahan sampai kesempatan terbuka lebar untuk ku. Untung saja cuaca kota Padang pada siang itu tidak panas terik seperti biasanya, agak mendung sedikit. Angin yang datang dari arah laut berhembus sejuk membelai tubuh ku. Dalam hati aku berdoa semoga Tuhan yang maha pengasih membantu menyelesaikan masalah ku hari itu. Tidaklah berapa jauh aku berjalan menyusuri jalan Diponegoro, hapir sampai di perempatan, aku sudah berada di depan hotel D. Aku akan terus jalan lurus saja ke arah Puruih. Dari tempat ku berdiri itu, kuperkirakan mungkin ada 2 kilo jaraknya ke Puruih. Kalau ditempuh dengan jalan kaki bisa menghabiskan waktu setengah jam. Aku tegarkan semangat ku, dan terus jalan lagi.
Masih didepan hotel D, tiba-tiba sebuah angkot warna biru berhenti pas di samping kananku. “Kiri.. kiri.. orang cantik turun” kata si knek angkot kepada sang supir. Angkotpun berhenti, si knek menuntun penumpangnya turun dari angkot dengan hati-hati seperti memapah barang yang mudah pecah saja. Begitu sayup-sayup terdengar teriakan si knek, disela-sela bisingnya deru mesin kendaraan yang lalu-lalang. Aku penasaran, ingin tahu secantik apakah penumpang yang disebut si knek tadi. Maka hadirlah seorang perempuan muda di depan ku, bergaya bak seorang model, dengan sendal tinggi tumit, celana jean biru ketat, pantat bahenol, dipadu dengan T-shirt putih polos pas body, dada bengkak, kulit putih bersih, rambut ikal sebahu, bibir bergincu merah, mata bercelak, sedang menenteng tas bermerek, melangkah naik ke atas trotoar setelah se kenek mengetok kaca angkot itu dan lalu berteriak “Cabut…” dengan nada tinggi kepada si supir.
Sebagai seorang laki-laki normal, wajar saja mata ku tertarik kepada sosok pemandangan bagus, yang begitu saja muncul di depan mata ku. Samalah seperti orang Padang kalau berkata, “Mato condong ka nan rancak, salero condong ka nan lamak”, yah begitulah kiranya aku. Langkah ku berhenti sejenak, ingin mengagumi kecantikan perempuan yang ada di depan mata ku.
Sepertinya perempuan muda itu ingin segera masuk ke dalam hotel D, dia agak terburu-buru. Tapi dia tahu aku sedang memperhatikan dirinya dari belakang. Lantas dia melongokan mukanya ke arah ku. Aku kaget, dia kaget, kami saling bertatapan. Aku mengenal dia, begitu juga sebaliknya. Aku malu pada diri ku sendiri. Dia malah memutar badan jalan semakin mendekat ke arah ku. “Raka…. kau kah ini nduk?” perempuan itu berkata, dan langsung menyampari diri ku. Aku mengenal dia, dia adalah mbak Yani, salah seorang teman dekat bunda. Dulu waktu aku masih SMA dia sering nginap di rumah. Mbak Yani semakin mendekatkan wajahnya menatap ku. Aku mundur selangkah pada saat tangan mbak Yani mengapai daguku. Ada apa dengan expresi wajahnya sampai sendu begitu menatap diriku. Mungkin dia rindu. Melihat wajah ku terkenang dia pada almarhumah Bunda yang sudah tiada.
Alangkah baiknya mbak Yani itu, pada hari itu, disaat yang tepat, di saat aku benar-benar dalam ketiadaan, dia membawa aku masuk ke dalam hotel, masuk ke restaurannya, lalu memesankan makan siang untuk ku sepiring nasi goreng, dan teh manis. Aku bersyukur sangat kepada Tuhan atas reski yang aku terima pada siang yang mendung itu. Tuhan benar-benar telah mengulurkan tangannya untuk menolong seorang manusia yang kelaparan, yaitu aku sendiri. Aku nikmati santap siang ku sendiri di dalam restauran, sementara Mbak Yani meninggalkan aku sebentar, ada urusan katanya. Setelah makan siang ku selesai, aku tidak beranjak dari tempat duduk, beberapa saat kemudian akhirnya mbak Yani kembali menemuiku setelah dia menyelesaikan urusannya dengan seseorang di lobi hotel. Dia memilih duduk menghadap kepada ku, menatap wajah ku sekali lagi lebih dalam, lebih dalam lagi seperti dia sedang mencari sesuatu dari raut wajah ku.
“Apakabar mu nduk?” dia bertanya kepada ku, suaranya serak dengan logat jawanya yang kental sambil menghisap sebatang rokok. “Kemana saja kau selama ini?”. Aku hanya diam saja, masih sedang berpikir mencari penjelasan untuk dirinya yang sedang penasaran akan keadaan ku.
“Kau seperti baru saja keluar dari dalam perut bumi” dia kemudian menjawab sendiri pertanyaannya yang muncul dalam benaknya.
“Sudah tiga tahun sejak bunda mu mati, baru kini aku bisa berjumpa dengan kau, kemana saja kau? Jawablah pertanyaan ku, jangan kau diam saja!” Mbak Yani semakin penasaran.
Aku bingung, dari mana aku harus memulainya?. Bagaimana aku harus menjelaskan kepadanya? Jadi aku cuma bisa jawab, “aku kuliah mbak”.
Mendengar aku kuliah, mbak Yani membesarkan matanya menatap ku, mulutnya terbuka lebar, dia seperti tidak percaya kalau aku adalah seorang terpelajar, seseorang yang telah keluar dari dunia kegelapan. Lalu kemudian wajahnya memancarkan sinar penuh harapan kepada ku. Dia sambung lagi sebatang rokok ke bibir nya yang penuh gincu merah, menghisap rokok lebih dalam lagi hingga sampai ke akar paru-parunya, dan dia jadi semakin penasaran kepada ku, “kau kuliah di mana?”
“Di Akademi Bahasa Asing….” diam “kampusnya dekat taman Melati itu lo mbak”
“Waw… keren ya” dia senang mendengarnya.
Benar, aku tahu mbak Yani benar-benar senang, dan tidak ada raut wajah pura-pura di depan ku.
“Tapi sekarang aku sudah tamat mbak” aku menjelaskan lagi sebelum dia sempat bertanya lebih jauh.
“Wah… hebat dong, kau sudah jadi sarjana sekarang”
“Yah begitulah mbak, tapi sekarang aku belum mendapatkan pekerjaan, masih sedang mencari-cari”
“Kapan kau tamat dari kampus itu?”
“Dua bulan yang lalu”
“Tinggal di mana sekarang?
“Masih dikampus itu”
“lo kok bisa?” dia sepertinya bingung
Terus percakapan kami berlanjut, banyak pertanyaan dia lontarkan kepada ku. Hingga mbak Yani membawaku pada seputar kejadian tiga tahun yang lalu. Hal yang itu pasti akan membuat hati ku pilu, tersayat dan teriris-iris perih mendengarkan perempuan itu bicara tentang kejadian dimana bunda ku waktu itu ditemukan orang dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi. Mati secara tragis, di dalam kamar hotel, bersimbah darah, dengan beberapa luka menganga di bagian perut dan dada, bekas tusukan benda tajam, dan tanpa sehelaipun benang menutupi badannya. Alangkah tragisnya kematian bunda ku. Tidak pernah terbayangkan oleh ku dulu bahwa nasib begitu kejam terhadap ibu ku yang malang.
“Apakah sudah tertangkap pelakunya?”
Aku tak bisa menjawab lagi, cukup, aku diam seribu bahasa. Aku tidak sadar air mata ku sudah sudah jatuh membasahi pipiku.
“Maafkan aku nduk” mbak Yani tergesa pindah ke tempat duduk yang disamping ku. Dia rapatkan badannya, dirangkulnya pundakku, dia rebahkan kepala ku ke dadanya. “Maafkan mbak mu nduk… mbak janji tidak akan membahas itu lagi”.
Keesokan harinya, pada jam yang sama, selepas Lohor, aku kembali ke hotel D, karena mbak Yani menunggu aku disitu. Aku disuruhnya datang dengan membawa ijazah D3 ku. Ketika aku telah sampai di lobi hotel, pada saat bersamaan, mbak Yani turun dari lantai dua bersama seorang pria tua, bule tua. Awalnya aku berpikiran bahwa laki-laki bule itu adalah teman kencan mbak Yani. Aku salah sangka. Dia lah orangnya yang disebut Mr. N. kepada ini Mr. N mbak Yani merekomendasikan aku untuk dapat bekerja di hotelnya, atau resort kalau Mr. N bilang.
Sepertinya Mr. N bukan orang yang penuh basa basi. Pas berjumpa pertama kali, orang tua itu langsung membawa ku berdialog dalam bahasa Inggris. Tentu saja aku bisa meladeninya, karena memang itu bidang ku, meski walau aku bukan ahli, tapi aku bisa.
Mr. N membaca dengan teliti kartu identitas ku, ijazah ku, lalu dia diam sejenak. Entah apa, aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi mbak yang duduk disamping Mr.N tidak mau diam saja.
“Come on uncle, please, take him….. He is like my son” Mbak Yani membujuk Mr. N supaya mau menerima kubekerja di resort miliknya.
“All right son, tomorrow is Sunday right? You see me in Muara at 5 o’clock at HW Cafe, I’ll gonna take to the island by boat, and don’t be late, okay!”
“Yes sir” Aku berdiri memberi salut kepadanya
Senang sekali mbak Yani mendengar Mr. N besok akan membawa ku bekerja ke pulau C, dimana orang tua itu menjalankan usaha private resort nya untuk para turis-turis asing yang ingin berlibur di kota Padang.
“Thank you uncle, thank you, you are my man” Begitulah respon mbak Yani kepada Mr. N. Dipeluknya Mr.N dan diciumnya pipi keriput orang tua itu persis di hadapan ku tanpa ragu. Dari situlah aku tahu, bahwa Mr. N bukan tipe laki-laki hidung belang seperti yang aku sangka sebelumnya. Dari cara mbak Yani memeluk dan mencium pipinya aku dapat menilai bahwa Mr. N telah menganggap mbak Yani seperti anaknya sendiri. Laki-laki tua itu tampak memiliki kepribadian kuat,penyayang, dan mengayomi semua orang-orang yang dekat dengan dirinya. Memang ini adalah jumpa pertama ku dengan Mr. N. Dari pertemuan pertama ini dia memberikan telah kesan bahwa dia mau menjaga ku, mau mendidik ku untuk menjadi orang yang lebih baik kedepannya.
Photo oleh: www.anneahira.com
0 Komentar
Penulisan markup di komentar