Menunggu Angin Bertiup
Oleh Yuhardi Tanjung
Part 7
Jaket ku diterimanya dan langsung dipakainya. Aduh hati ku senang sekali melihat dia dengan jaket itu. Jangankan gerimis, hujan deras pun aku rela menempuhnya saat ini.
Pagi sangat cerh sekali. Kicau burung-burung dan suara siamang dari kaki bukit menjadi musik alam yang mewarnai kehidupan di desa kami. Angin dari bukit bertiup lembut membawa membawa aroma segarnya tanah persawahan yang baru di bajak.
Sebahagian besar sawah di desa kami masih sawah tadah hujan, para petani masih mengharapkan turunnya air dari langit, agar sawah mereka tetap berair. Itulah sebabnya jumlah produksi padi di desa ku sangat kurang sekali. Hanya paling tinggi 2 kali dalam setahun orang memanen, itupun kalau tidak di serang oleh hama tikus.
Aku melanjutkan pekerjaan ku mencangkul penggalan-penggalan tanah sawah yang ku tinggal beberapa hari yang lalu. Pada bahagian yang sudah kucangkul tempo hari kulihat rumput-rumput sudah mulai naik lagi, dan tinggi. Terpaksa aku harus mengulang cangkul kembali ke area itu. Apa bila telah gembur tanah sawah barulah bisa di masukan air. Air digenangkan dalam selama beberapa hari, sehingga tanah sawah menjadi asam, rumputyang hidup akan mati sekaligus menjadi pupuk nantinya.
Suasana puasa sangat terasa, matahari waktu itu bersinar terik sekali, tidak ada sepotong awan yang merintangi sinarnya. Caping, topi petani yang melindungi dari panasnya sinar matahari sepertinya tidak kuasa melindungiku. Segera aku keluar dari sawah lalu kemudian berteduh dibawah pohon dalu-dalu yang tumbuh di tepi tali bandar. Seekor lintah yang telah lama lengket di betis kaki kiri ku, rupanya telah kekenyangan , badannya sudah gembung bulat sebesar jari kelingking.
Matahari telah condong ke barat, pekerjaan ku hampir selesai. Tinggal lagi membereskan pematang sawah, rumput-rumput yang tumbuh menutupi dinding pematang harus di cangkul, agar tikus-tikus tidak membuat sarang mereka disana. Kemudian menaikan lumpur sawah keatas sepanjang pematang. Kulihat matahari semakin condong saja. Aku menghentikan pekerjaan ku.
Diperjalanan pulang dari sawah, di simpang tiga, aku betemu dengan Wid. Dia sedang mengayuh sepedanya datang dari arah Sungai Talang. Aku tidak mengira bertemu dengan dia sebelumnya. Gadis itu menutup kepalanya dengan selendang dan berkain panjang. Tiba-tiba sudah berhenti di sampingku. “Aih… aku kira siapa tadi” aku berkata, “dari mana Wid…. tadi?” aku melanjutkan.
Dia sejurus melihatku, aku masih basah pulang dari sawah, kemudian dia tersenyum. “Aku baru saja dari Sungai Talang, dari rumah uda Edi” dia menjawab. Oya, aku ingat dia punya seorang kakak yang namanya sama dengan ku. “Ada apa dengan uda Edi?” aku bertanya lebih lanjut. “ O.o tidak, beliau baik-baik saja, uda Edi baru pulang dari Dumai” dia menjelaskan kepada ku. O.o aku mengerti. “Uda, uda… “ dia berkata terputus-putus. Aku melihat pada matanya. Ada sesuatu yang akan dia sampaikan kepada ku. “Ada apa, mengapa?” aku bertanya, takut kalau ada apa-apa dengannya. “Tidak… hanya itu… jaket uda belum aku cuci, nanti kalau sudah aku cuci baru ku kembalikan” dia menjelaskan alasannya mengapa dia bicara agak kikuk dan ragu tadi. “Ah.. itu saja kok susah amat” aku tertawa mendengarnya, dan dia pun tersenyum. “Meskipun tidak Wid kembalikan, asal kan Wid pakai juga tidak apa-apa” aku menambahkan. “Ah uda ini” dia tersenyum lagi sambil memalingkan dua pipinya yang sedikit memerah.
Dua ekor tupai berkejar-kejaran di atas pohon kelapa, suara mereka terdengar bercericitan. Mereka berlompatan diatas daun-daun kelapa. Cukup lama juga kami berjalan beriringan. Sambil menuntun sepedanya, Wid menanyakan perihal sawah ku. Aku menjawab apa adanya. Dan akhirnya dia permisi pulang, dan mengayuh sepedanya lagi sambil mengatakan “Uda nanti malam pergi ke mushola kan?” dan aku menjawab “Insyaallah”.
Hati ku berbunga-bunga. Yah, kenapa tidak, selama ini aku tidak pernah mendapatkan perhatian dari seorang gadis. Baik itu di sekolah maupun di sekitar tempat tinggal ku di P. Pernah juga aku tertarik pada seorang dara manis di sekolah, tapi semua itu aku pendam saja. Aku tidak berani mendekatinya, karena aku menyadari keadaan ekonomi keluarga ku. Masih untung aku bisa bersekolah di sana, karena nilai terakhirku cukup baik untuk diterima di sana. Sekolah ku boleh dikatakan sekolah anak orang-orang kaya, anak para pejabat, mereka suka bergaul sesama golongan mereka saja. Kalau jam istirahat mereka lebih suka berkumpul di warung sekolah, lain dengan diriku, aku lebih suka duduk di depan bioskop R. Salah satu bioskop terkenal di P, yang berada tepat di belakang sekolahku. Disitulah aku sering menghabiskan waktu istirahat sambil melihat-lihat photo atau poster film yang di pampang di dinding bioskop.
Pernah satu kali serombongan teman-teman sekolah itu datang mencariku ke rumah di Alang Lawas sana. Aku tahu, aku pergi lari saja, tidak mau bertemu mereka, aku malu, malu karena keadaan rumah ku, rumah ayah ibuuku yang berupa pondok kecil saja. Aku merasa rendah diri dihadapan mereka. Besoknya aku tidak menanyakan kepada mereka, kenapa mencariku. Anehnya, mereka juga tidak pernah menanyakan, ya sudahlah, akupun biasa saja.
Memang sebagai remaja, apalagi sedang masa puber, aku tidak pernah merasakan manisnya masa remaja. Waktu ku segaja aku habiskan dengan membaca cerita-cerita silat, novel dan segala yang bisa aku baca. Baik yang aku sewa maupun yang aku pinjam dari teman-teman. Sengaja seperti itu senghingga aku tidak peduli amat dengan yang namanya lawan jenis.
Aku berdoa kepada tuhan, semoga perasaan yang selama ini ada di dalam kalbuku tetaplah disana adanya, jangan pernah sirna, biarlah perasaan ini mekar bagaikan sekuntum bunga mawar, biarkanlah tumbuh memenuhi relung-relung kalbu ku hingga yang terdalam, biarkan aku tenggelam dalam perasaan itu.
Aduh, sebuah batu kecil membuyarkan lamunanku. Kaki kanan ku tersandung pada batu itu. Jempol kaki ku berdarah, ternyata kuku jempol ku terkelupas, aku tidak pakai sandal tadi, ketika pergi kesawah.
Dirumah, setelah mandi, baru aku ingat untuk mengobat kuku jari kaki ku. Aku ingat ada obatnya, adalah inai, daunnya ditumbuk, lalu ditempelkan pada jari kaki yang luka. Mudah-mudahan obat itu mujarab. Ingat kepada orang-orang tua dahulu, apabila kaki tertarung, maka cepat di kasi inai sebagai obatnya. Biasanya cepat sembuh.
Sambil menunggu waktu berbuka puasa, aku duduk di beranda. Kalau di P menunggu waktu berbuka sangatlah menyenangkan, melihat kegiatan teman-teman, ada yang berjualan es batangan, ada yang berjualan cendol, dan macam-macam makanan untuk berbuka puasa. Kalau di kampung aku tidak ada melihat orang yang menjual es batangan, kalau kelapa muda banyak dan kue-kue lain juga ada. Di kampung aku tidak melihat adanya makanan khas, oya ada satu, mungkin di daerah lain ini tidak ada. Itu dia, gulai langkitang namanya, enaknya dimakan dengan pepaya muda. Langkitang adalah sejenis siput air payau yang hidupnya ada di perairan atau rawa yang ditumbuhi banyak pohon nipah. Siput ini cangkangnya berwarna hitam. Aku dulu sering mandi di sungai dangkal di parak nipah. Sambil mandi kami mengumpulkan banyak langkitang.
Bersambung…..
Disalin Oleh Lucky Lukmansyah
0 Komentar
Penulisan markup di komentar