Menunggu Angin Bertiup
Oleh Yuhardi Tanjung
Part 11
Besok Pagi sewaktu aku mau berangkat ke kantor, ternyata Wid sudah menunggu aku di rumah kost tempat uni Zurma anaknya pak Kamar. Di situ aku terkejut melihatnya sudah berdiri menunggu ku. Ada apa gerangan? Kenapa dia menanti ku sepagi ini?
Dengan dada degdegan, aku melangkah menuju ke tempat kos itu. Aku berdiri saja di depan rumah, Wid juga berdiri saja, tidak mau menyediakan aku untuk duduk. “Ada apa Wid?” jantung ku dag dig dug menunggu dia yang ingin mengatakan sesuatu kepada ku. “Tidak ada apa-apa, uda”. Wah lega… ku kira tadi ada hal sangat penting mau dia sampaikan. Kemudian Wid melanjutkan omongannya, Wid mengatakan bahwa dia mau mengikuti test penerimaan guru agama di Departement Agama. Aku senang mendengar kabar itu darinya. Dia meminta aku mendoakan dirinya supaya bisa lulus dan diterima menjadi guru agama, karena itu adalah cita-citanya sedari dulu. “Semoga berhasil, Uda doa kan supaya Wid Lulus dalam test itu”.
Pada suatu kesempatan di kantor, aku bicara banyak hal dengan pak Yan Wirdan, memang kami bekerja dalam satu ruangan. Kepada pak Yan, entah mengapa aku sempat membicarakan banyak hal tentang Wid, Wid yang mau mengikuti test menjadi guru Agama. Aku senang pak Yan sangat merespon pembicaraan ku dengan serius. Bapak itu mendengarkan aku bicara panjang lebar tentang Wid. Begitulah hebatnya bapak itu, beliau sangat baik hati, meski cuma mendengar saja berita dari ku, tidak melihat dan mengetahui siapakah Wid, perempuan yang sedang aku ceritakan kepadanya, dia langsung mengambil kertas dan pena. Aku kira ada apa dengan bapak ini, mengapa dia mengeluarkan alat tulis itu. Dia seperti seorang jurnalis saja, seseorang yang sedang mengejar berita duduk di seberang meja kerja ku.
Oh tidak.. aku salah paham kepada pak Yan. Ternyata bapak ini sedang membuat sebuah surat kepada temannya yang bekerja di kantor Departement Agama, isi nya adalah untuk merekomendasikan Wid supaya bisa diterima bekerja di kantor tersebut. Menurut pak Yan teman yang dia surati itu memiliki cukup pengaruh dalam kantor departement itu. Wah baiknya bapak ini. Aku jadi segan dan hormat sangat kepadanya.
Kulihat cukup panjang surat yang ditulis oleh pak Yan kepada temannya yang di maksud, ada dua halaman kertas HVS panjangnya. Setelah surat dilipat dan dimasukan ke dalam amplop putih, di luar amplop dituliskan alamat si pengirim dan nama lengkap orang yang dimaksud pak Yan, lengkap dengan gelar dan title yang dia miliki dan alamat kantornya sekaligus. Surat itu pak Yan berikan kepada ku. Beliau berpesan “Bawalah surat ini oleh adik pak Eddy itu. Carilah bapak ini, berikan surat ini kepadannya. Mudah-mudahan teman ku itu bisa menempatkan adik pak Eddy itu nanti, semoga saja”.
“Yah Semoga saja pak, terimakasih banyak kebaikan pak Yan kepada kami” Aku terharu menerima begitu besarnya perhatian dari seorang kolega senior terhadap ku. Aku bangga kepada pak Yan, bangga bisa berada seruangan dengan dia. Walaupun umur kami terpaut begitu jauh, bisa dibilang seperti bapak dan anak, pak Yan tetap memanggil ku dengan sebutan pak.
Malam nya aku bertemu dengan Wid. Ku berikan surat titipan pak Yan kepada Wid. Wid begitu gembira menerima surat itu, terlihat sebuah harapan besar diwajahnya, apalagi aku. Kemudian Wid heran kenapa bapak itu baik sekali kepadanya, kenal tidak saudara juga tidak. Aku pun juga tak habis pikir. Wid bertanya kepada ku tentang siapakah bapak ini sebenarnya. Aku memberi tahu kepada Wid apa adanya sepengetahuan ku tentang pak Yan, bahwa kolega ku itu adalah seorang pensiunan kantor Gubernur Sumatera Barat, kalau tidak salah pangkat terakhirnya adalah Gubernur Muda. Hanya itu saja. Aku tidak tidak tahu apa maksud dari ‘Gubernur Muda’ yang dimaksud.
Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan dengan Wid pada malam itu aku tak kunjung juga bertemu dengan dia. Jumlah pekerjaan dikantor semakin meningkat, bahkan aku sering pulang hingga larut. Aku lupa menanyakan hasil test Wid yang ingin menjadi guru agama tempo hari. Sedangkan dia tidak juga datang ke tempat ku. Bahkan juga tak ku dengar dari kawannya, uni-uni, teman kost tempat dia sering main di situ kalau Wid mencari ku. Setiap pagi aku lewat di depan rumah kost itu, tapi tak ada seorangpun memanggil diri ku. Bahkan sengaja aku jalan pelan di depan rumah itu, berharap dapat berjumpa dengan Wid. Tapi pintu rumah itu tertutup saja. Biasanya pagi-pagi pas aku berangkat kerja, ku lihat mereka telah pula sibuk beraktifitas.
Sampailah pada suatu sore, aku pulang kantor cepat. aku mengayuh sepeda dengan santai, tidak pula terlalu lambat, sedang saja. Aku lewat jalan kampung Terandam I, tidak jauh dari Alang Lawas, disana memang banyak terdapat deretan rumah kost atau kontrakan. Sambil mengayuh sepeda, lamunan melayang terbang menuju kepada Wid, si gadis kampung nan sederhana, gadis pujaan hatiku. Sore itu aku berharap bisa bertemu dengan Wid. Entah mengapa ke dua tangan ku ingin sekali mengelokan stang sepeda agar lewat ke sebuah gang kecil, yang mana gang itu nantinya berujung di jalan belakang rumah ku. Aku jarang sekali lewat di gang itu, banyak anak-anak berlarian, bermain di jalan yang sempit. Aku biasanya lewat jalan besar, jalan utama, hingga sampai lewat di depan rumah Gadang Puti, lewat samping samping biasanya sampai lah di halaman rumah ku.
Tapi kali ini, aku lewat gang di depan rumah kos uni Mona, ketika melewati deretan rumah kos itu, aku mendengar suara-suara anak gadis sedang ketawa cekikikan di dalam sebuah rumah, aku lewat saja terus. Beberapa langkah jaraknya dari rumah itu, ada suara memanggil ku, “Uda… uda… uda Eddy.. tunggu!” Aku ingat, bahwa itu adalah suara Wid di belakang ku. Aku menoleh ke belakang, memang dia dengan baju kurung dan selendang berjalan agak tergesa menuju diri ku. Senyuman nya mengembang pas tangannya menyentuh dudukan belakang sepeda. “Uda kemana saja, kenapa jarang kelihatan?” Wid menyapa ku.
“Tidak, tidak kemana-mana, tapi memang belakangan hari ini sering kerja lembur, pulang sampai larut malam” aku menjelaskan kepada Wid tentang kesibukan ku akhir-akhir ini. “Bagaimana kabar Wid?” aku balas bertanya.
“Alhamdulilah… Wid ada sehat uda” Dia menjelaskan begitu. Akhirnya aku dan Wid dapat bertemu, walau hanya gombrol di jalan, di bawah pohon jengkol yang sedang berbuah lebat, beberapa meter saja jaraknya dari samping rumah kost uni Mona.
“Bagaimana hasil test di departemen agama waktu itu Wid?” Aku bertanya kepadanya. Aku penasaran, berharap sangat agar dia dapat diterima bekerja di departemen tersebut.
Bukannya gembira Wid aku bertanya akan hal itu, tapi malah dia jadi murung, rona wajahnya membayangkan kesedihan. Maka sadarlah aku apa yang telah dia alami selama seminggu kemarin. Dari rona wajah murungnya sudah dapat aku tebak apa jawabannya. Benar sudah, akhirnya dia mengatakan kepadaku bahwa dia tidak berhasil lulus dalam test kemarin. “Yah sudahlah Wid, relakan saja, buka rejeki itu namanya. Coba lagi tahun depan, mana tahu bisa berhasil, semoga saja” aku menghiburnya.
“Iya uda…. Wid akan coba lagi tahun depan, Wid akan tetap berusaha terus supaya bisa bekerja sebagai guru Agama. Walapun semuanya, pada akhirnya tuhan juga yang menentukan apa yang terbaik utnuk Wid” Wid menjelaskan kepada ku bahwa dia tidak patah arang menghadapi kegagalan yang pertama itu. Kulihat murung itu sudah sirnah dari wajahnya. Timbul sebuah harapan baru, dapat ku lihat dari sorot matanya yang membesar ketika bicara tadi di hadapan ku. Aku girang dan bangga melihat Wid punya semangat berjuang dalam hidupnya.
Bersambung....
0 Komentar
Penulisan markup di komentar