Tanggal 9, Agustus kami saya berdua dengan istri berangkat dari Padang menuju ke kota Palu. Tujuan pergi ke kota Palu adalah, pertama istri saya dalam melaksanakan tugasnya menyelenggarakan sebuah even pendidikan berskala nasional untuk satu minggu lamanya di bumi Tadulako ini. Kedua, saya ikut serta menemani istri dalam tugasnya di kota ini. Yang ke tiga, kami sekaligus pergi mengunjungi om dan tante kami, orang Padang, yang sudah lama sekali menetap di Palu. Sudah hampir dua puluh tahun lamanya mereka tinggal di Palu, inilah pertama kali kami pergi mengunjungi mereka. Menemui mereka, melihat saudara-saudara kami, yaitu anak-anak mereka sendiri, serta melihat tata cara kehidupan yang mereka jalani di rantau yang jauh dari kampung halaman, kota Padang, Sumatra Barat, melihat mereka hidup berbaur dengan peradaban dan kebudayaan orang-orang Sulawesi, terutama dengan orang-orang suku Kaili yang terkenal dengan keramah tamahan mereka, penduduk asli kota Palu.
Sebelum berangkat, istri saya bilang bahwa alangkah baiknya kita menyiapkan segala bumbu masakan serta bahan makan secukupnya untuk diolah di rumah tante nantinya. Dan sekaligus sebagai oleh-oleh dari kami untuk mereka, sekedar pelepas rindu mereka kepada masakan kampung halaman. Yah, biasalah, namanya kami adalah orang Padang, Minangkabau, selalu saja merasa superior dalam hal masakan. Kami kawatir kalau nanti masakan di Palu tidak sesuai dengan lidah kami yang sudah biasa dengan sambalado pedas. Maka berdua kami siapkan apalah itu cabe merah, cabe hijau, serta bumbu-bumbu gulai untuk membuat gulai ikan karang kalau sudah sapai di Palu nanti. Semua bahan-bahan masakan itu diolah oleh istri saya dengan digiling tangan, pakai batu giling. Tidak lupa juga kami bawa bawa ikan bilih yang sudah goreng secukupnya saja. Ikan bilih memang terkenal enak di Sumatra Barat. Ikan ini cuma bisa didapat di perairan danau Singkarak, Solok. Ikan ini setelah di goreng enaknya dimakan dengan sambalado.
Maka pada pukul 19.00, 9 Agustus, kami mendarat di bandara Mutiara SIS Al Jufri, Palu, setelah melalui 8 jam lama perjalanan dari Padang, transit 2 jam di bandara Cengkareng, Jakarta. Keluar dari bandara Palu, kami sudah ditunggu di depan pintu departure oleh om. Pas jumpa dengan si om, dia langsung tanya ke istri saya bagaimana perjalanan tadi, apakah baik dan aman?. istri saya jawab alhamdulilah perjalan tadi baik dan kami sampai dengan selamat. Kemudian istri saya bilang cuma dia merasa capek dan lapar setelah menempuh perjalanan jauh. “Baiklah” jawab si om, segera kami naik mobil dan langsung kami dibawanya ke tempat makan.
Dalam perjalanan menuju ke rumah makan, itu si tante nelpon si om, tante suruh om bawa kami pergi makan dulu, bawa kami ke warung yang jual ayam bakar, sekalian beli ayam bakar buat anak-anak di rumah, karena di rumah makanan tidak cukup. Mungkin tante takut kalau kami kelaparan nanti. Si om jawab tentu, pasti, karena memang sudah rencana dari tadi mau cari makan. Cuma jalan beberapa menit setelah keluar dari bandara, saya kaget, eh ternyata kami telah sampai di kota. Kemudian si om menjelaskan bahwa memang bandara di Palu letaknya di tengah kota. Oh begitu, jawab saya kepada om. Tidak lama kemudian om memberhentikan mobilnya di sebuah warung ayam bakar. Saya lupa namanya, tapi warung itu sepertinya menjual masakan khas jawa. Dalam pikiran saya wah pasti rasa masakannya manisi, tapi ya sudalah, tidak masalah, perut saya sudah keroncongan, caci didalamnya sudah pada meronta-ronta mintak makan. Akhirnya kami bertiga keluar dari mobil dan langsung masuk ke warung itu yang jual ayam bakar tersebut.
Om bicara kepada pelayan warung itu, pesan tiga porsi ayam bakar pake nasi terus tambah 3 ayam bakar bungkus bawa pulang. Kepada saya dan istri si om bilang silahkan pilih minuman sendiri yang tersedia di daftar menu. Pertama saya pilih minuman yang biasa saya, saya minta jus jeruk saja. Seterusnya istri saya maunya minum yang ganjil, atau yang specific dari warung itu. Dilihatnya ada sebuah minuman yang dikasi nama “oplosan”. Dia mintak itu oplosan kepada si pelayan. Wah gawat bilang saya ke dia, “kamu mau cari mati, minum miras oplosan, jauh-jauh datang ke Palu cuma buat minum barang oplosan”. Si om ketawa ngakak melihat saya cemas begitu. “Tidaaak” katanya dengan nada dan dialek orang Sulawesi yang berirama meliuk. Si Om menjelaskan bahwa oplosan itu artinya campur, berati itu adalah minuman es campur. Kalau di Bukittinggi namanya es tebak. Oh begitu, akhirnya saya mengerti. Begitulah kesan pertama saya sampai di kota bumi Tadulako ini.
Masih di warung makan ayam bakar itu. Ketiga menu ayam bakar yang tadi diminta si om akhirnya telah terhidang di meja kami. Pertama kali saya melihat ayam bakar itu, warnanya coklat kehitam-hitaman, sepertinya potong daging ayam itu dilumuri oleh kecap yang banyak sehingga terciptalah lapiasan karamel menempel daging ayam bakar tersebut. Tepat sudah dengan dugaan saya tadi waktu baru sampai di depan warung itu. Pasti masakan yang mereka hidangkan ada manis-manisnya. Tidak saya pikirkan lagi, saya tidak mau kompromi dengan lidah saya yang sudah terbiasa makan masakan pedas. Lebih baik saya kompromi dengan cacing di usus saya yang sedari tadi pada ribut minta makan.
“Ayo makan, tunggu apalagi?” Om mengajak kami menyantap hidangan yang sudah tersaji. Tanpa ragu saya langsung cuci tangan di kobokan dan langsung mencubit potongan daging ayam karamel itu. Sap pas daging ayam itu sampai di mulut saya, tidak disangka teryata lidah ini tidak menolak sama sekali. Memang ada terasa manisnya, tapi pedas juga ada, asam dan asin juga terasa, pokoknya pas mantap terasa, dan mulut dan lidah ini tidak mau berhenti untuk melumat daging ayam karamel tersebut. “Gimana? Ada enak?” tanya si om kepada saya dan istri. “Wah ini enak sekali om” jawab saya. Persis pula sama pendapat istri saya. “Kalau begitu, lebih enak lagi kalau dimakan pake sambal” saran si om kepada kami.
Awalnya saya tidak simpatik dengan sambal yang sudah terhidang di depan mata. Karena warna sambal itu tidak semerah dengan sambalado yang biasa saya lihat dan rasakan di kampung. Warnanya merahnya sambal tidak menyala, suram atau padam. Pasti sambal itu tidak pedas menurut saya. Tapi lidah saya memaksa untuk saya makan pake sambal. Dan juga saya lihat si om di sebelah makan sangat lahap sekali dengan sambal itu. Dan juga istri saya duluan mencoba sambal itu. “Gimana sambalnya?” tanya saya kepada istri. “Pedas juga” begitu katanya dengan biasa, seperti meremehkan. Tidak sabar lagi akhirnya saya sendoki sambal itu agak banyak ke piring makan. Karena saya yakin pasti sambal itu tidak akan mampu mengalahkan pedasnya sambalado orang Bukittinggi. Saya colek sambal tersebut, campur dengan nasi dan potongan danging ayam, begitulah cara makannya orang Padang, hap, nasi disuap, langsung masuk ke mulut. Nyam-nyam, lidah dengan enteng, menggerus dan melumat nasi yang berwarna kemerahan karena sambal.
Wah memang enak dimakan dengan sambal, bilang saya ke si om. Saya terus makan semakin lahap. Maklum selain doyan, saya juga lapar. Sambil makan keringat bercucuran dari kepala ke leher sampai membasahi punggung baju. Wah pedasnya bukan main, sambil makan bibir ini nyosor ke pipet minuman jus jeruk. “Waw, bukan main pedasnya sambal ini om” tukas saya kepada si om. Saya lirik istri saya juga tidak ada obahnya seperti saya. Sebentar-bentar tangan nya menggapai tisu buat menyapu keringat di keningnya. Si om malah makan dengan lahap dan santai. Beda sekali dengan kami yang sudah kewalahan melawan pedasnya sambalnya orang Palu ini. Sembari si om hampir selesai makan, dia malah ketawa melihat kami berdua yang kewalahan, dan sudah basah karena keringat. “Om kenapa pedas sekali sambalado ini om?” tanya saya. “Tentulah pedas, namanya juga sambal cabe rawit” om menjawab sambil menertawakan kami. Mungkin dia mengangap kami lucu. Orang Padang yang baru sekali datang ke Palu, kerepotan memakan pedasnya sambalnya orang Palu.
Wahdalah, gawat, mendengar kata si om bahwa sambal yang saya makan itu adalah sambal cabe rawit. Perut saya langsung ciut dan melintir. Maklum saja saya orang Padang tidak biasa makan rawit. Bisa-bisa nanti setelah makan saya bisa lari bolak balik ke kamar mandi. Apalagi istri saya paling tidak tahan dengan sambal rawit. Nanti pasti saya kerepotan mengurus dirinya yang biasanya rewel dan manja kalau perutnya sedang mulas.
Wah memang beda jenis sambal cabe rawit yang ada di pulau Sulawesi ini. Warnanya merah tapi tidak terang, alias padam. Kelihatan seperti seakan-akan seperti saos kiloan yang biasa di pake oleh para penjual mie ayam kalau di Padang. Tapi jangan salah. Itu adalah sambal terbuat dari cabe rawit merah. Pedasnya bukan kepalang. Kalau orang Padang seperti saya bisa terbirit-birit lari ke kamar mandi setelah memakannya. begitulah kesan kedua yang saya peroleh pada hari pertama saya menjejakan kami di kota Palu.
Dari cerita ini saya dapat menarik kesimpulan dan pesan Khususnya kepada orang-orangPadang, bahwa kalau anda pergi ke Sulawesi maka bersiaplah lidah anda, lidah anda yang sudah terbiasa dengan cabe merah pedas itu, melawan pedasnya sambal rawitnya orang Sulawesi yang jauh lebih pedas dari pada yang anda bayangkan. (Lucky Lukmansyah)
Palu. 15 Agustus 2016
Photo: mulhanan.blogspot.com
1 Komentar
datang lagi bang ke kota palu, jangan kapok 😁😁
BalasPenulisan markup di komentar