Tambo Alam Minangkabau
Ditulis oleh Ibrahim Dt. Sangguno Dirajo
Dewasa ini sangat minim sekali informasi mengenai adat yang kita dapati, seringkali kita mendengar Tambo alam Minangkabau, tapi kita tidak seperti apa isi tambo itu sebenarnya. Begitu juga dengan adat Minangkabau seperti apa adat tersebut. Mulai dari tulisan ini kami dari admin akan memuat tulisan dari Ibrahim Dt. Sangguno Dirajo dalam bukunya Curaian Adat Minangkabau. Serta ucapan terimakasih kepada penerbit Kristal Multimedia Bukittinggi yang telah berkenan memberi ijin untuk menyadur isi buku tersebut.
Dewasa ini sangat minim sekali informasi mengenai adat yang kita dapati, seringkali kita mendengar Tambo alam Minangkabau, tapi kita tidak seperti apa isi tambo itu sebenarnya. Begitu juga dengan adat Minangkabau seperti apa adat tersebut. Mulai dari tulisan ini kami dari admin akan memuat tulisan dari Ibrahim Dt. Sangguno Dirajo dalam bukunya Curaian Adat Minangkabau. Serta ucapan terimakasih kepada penerbit Kristal Multimedia Bukittinggi yang telah berkenan memberi ijin untuk menyadur isi buku tersebut.
Sedikit tentang penulis Ibrahim
dilahirkan di sungayang Sumatera Barat pada tahun 1858. Pendidikan
dimulai di Sekolah Government di Batusangkar, tamat tahun 1868. Pada
tahun 1870 beliau menjadi juru tulis Tuanku Titah di Sungai Tarab.
Tuangku ini ahli dibidang adat Minangkabau. Maka saat itu beliau
tertarik dan memperdalam pengetahuan dibidang Adat Minangkabau sehingga
beliau diangkat menjadi Penghulu Andiko pada tahun 1913 dengan gelar
datuak Sangguno Dirajo.
I. Pulau Andalas
Menurut bunyi Tambo Alam Minangkabau, adapun orang yang pertama datang mendiami pulau andalas adalah ninik kita Sri Maharaja Diraja namanya. Beliau datang datang kemari dari tanah besar Voor Indie, tanah Rum kata orang tua tua, dan beliau kesini bersama dengan ke enambelas orang laki laki perempuan dari kasta Cateri. Selain itu dibawanya juga Kucing Hitam, Harimau Campo, Kambing Hutan dan Anjing Muk Alam.
I. Pulau Andalas
Menurut bunyi Tambo Alam Minangkabau, adapun orang yang pertama datang mendiami pulau andalas adalah ninik kita Sri Maharaja Diraja namanya. Beliau datang datang kemari dari tanah besar Voor Indie, tanah Rum kata orang tua tua, dan beliau kesini bersama dengan ke enambelas orang laki laki perempuan dari kasta Cateri. Selain itu dibawanya juga Kucing Hitam, Harimau Campo, Kambing Hutan dan Anjing Muk Alam.
Dikatakan Kucing Hitam,
Harimau Campo dan lain lainnya itu, sekali kali bukanlah bangsa
binatang, tetapi manusia biasa juga. Mereka dijuluki dengan nama nama
seperti itu sesuai dengan tingkah laku dan perangai mereka. Semuanya
perempuan dan dipelihara oleh ninik Maharaja diraja seperti memelihara
anaknya sendiri.
Ninik Sri Maharaja Diraja berlayar dari tanah besar
itu dengan sebuah perahu kayu jati. Mula mula mereka berlayar melalui
pulau Jawa yang saat itu belum terlihat tanah pulau Jawa itu. Yang
tampak hanya puncak gunung Serang dan dipulau itu perahu beliau
tertumpuk batu karang sehingga mengalami kerusakan dan tidak
bisamelanjutkan perjalanan. Pada saat itu menitahlah ninik Sri Maharaja
Diraja kepada mereka yang berada diatas kapal itu “Barangsiapa yang
dapat memperbaiki kapal ini seperti sediakala, akan hamba ambil sebagai
menantu”
Mendengar titah itu beb erapa cerdik pandai segera berunding, mencari akal agar dapat memperbaiki perahu itu. Maka dengan karunia Allah, maka lima orang tukang segera bekerja dan kapal itu dapat diperbaiki kembali. Sri Maharaja merasa senang dan suka hati serta memuji kepandaian para tukang tersebut.
Mendengar titah itu beb erapa cerdik pandai segera berunding, mencari akal agar dapat memperbaiki perahu itu. Maka dengan karunia Allah, maka lima orang tukang segera bekerja dan kapal itu dapat diperbaiki kembali. Sri Maharaja merasa senang dan suka hati serta memuji kepandaian para tukang tersebut.
Kemudian perjalanan
dilanjutkan sampai pada suatu kektika mereka melihat sebuah gosong
tersembunyi di dalam laut. Tergilang gilang kelihatan dari jauh kira
kira sebesar telur ayam, hilang timbuldilamun ombak.
Setelah sampai
disitu kiranya ada tanah lebar dengan datarannya, berlabuhlah ninik Sri
Maharaja Diraja diatas gosong itu. Gosong itu adalah puncak gunung
merapi yang sekarang ini. Disanalah berdiam ninik Sri Maharaja Diraja
bersama dengan para pengikutnya. Itulah ninik kita yang mula mula
mendiami pulau Andalas ini, hingga menjadi juga oleh yang tua tua dengan
memakai pantun ibarat :
Dimana mulanya terbit pelita
Dibalik tanglun nan berapi
Dimana mulanya ninik kita
Ialah di puncak gunung Merapi
Kata orang yang menceritakan, takkala ninik Sri Maharaja Diraja berada di puncak gunung Merapi itu beliau berdo’ a supaya disusutkan air laut.
Dengan karunia Tuhan air laut semakin hari semakin susut juga
dan bertambah lebar tanah daratan sehingga nyatalah tempat tempat itu
adanya diatas gunung yang sangat besar.
Kata sahibulhikayat, takkala
beliau masih berdiam dipuncak gunung itu, dengan takdir Tuhan orang
orang yang bernama Kucing hitam, Harimau campo, Kambing hutan dan Anjing
Muk Alam masing masing melahirkan seorang anak perempuan. Begitu pula
istri Ninik Sri Maharaja Diraja melahirkan seorang anak perempuan pula.
Sekalian semua anak itu dipelihara oleh ninik Sri Maharaja Diraja dengan
kasih sayang yang tiada dibedakan. Kemudian kelak setelah anak anak itu
besar, mereka dinikahkan dengan 5 tukang yang memperbaiki kapal tadi.
II. Galundi Nan Bersela dan Guguk Ampang
Setelah beberapa lama mereka berdiam dipuncak gunung itu, air laut sudah berangsur susut juga dan bertambah besar juga tanah daratan, maka sekalian orang itu berpindah kesebuah lekung dipinggang gunung Merapi itu.
II. Galundi Nan Bersela dan Guguk Ampang
Setelah beberapa lama mereka berdiam dipuncak gunung itu, air laut sudah berangsur susut juga dan bertambah besar juga tanah daratan, maka sekalian orang itu berpindah kesebuah lekung dipinggang gunung Merapi itu.
Oleh Sri Maharaja Diraja tempat itu diberi nama Labuhan
Sitembaga. Disitulah pada masa dahulu ada Sirengkak nan Berdengkang.
Disitu pulauntuk pertama kalinya orang menggali sumur untuk tempat mandi
dan tempat mengambil air minum, karena disekitar tidak ada air tawar,
yang ada hanya air laut.
Selanjutnya mereka membuat sepiring sawah
bernama sawah setampang benih. Disebut setampang benih karena dengan
padi yang setampang itu sudah mencukupiuntuk makan orang disaat itu,
karena mereka belumbanyak. Padi itu pula menjadi asal padi yang ada
sekarang. Sepanjang cerita orang tua tua.
Lama kelamaan tumbuh pula
Galundi nan Bersela, air laut bertambah susut juga dan daratan bertambah
luas, maka Cateri Bilang Pandai mencari tanah yang lebih baik untuk
mereka huni.
Ditemukan sebuah guguk disebelah kanan dari Galundi nan Bersela tadi, dan sekalian orang yang berada di Galundi berpindah ke ketempat baru itu. Tempat itu diberi nama oleh ninik Sri Maharaja Diraja serta Cateri Bilang Pandai dengan nama Guguk Ampang.
III. Nagari Pariangan dan Padang Panjang
Tidak berapa lama antaranya, orang orang yang menetap di Guguk Ampang berpindah pula dengan membuat setumpak tanah yang datar di baruh Guguk Ampang itu.
Ditemukan sebuah guguk disebelah kanan dari Galundi nan Bersela tadi, dan sekalian orang yang berada di Galundi berpindah ke ketempat baru itu. Tempat itu diberi nama oleh ninik Sri Maharaja Diraja serta Cateri Bilang Pandai dengan nama Guguk Ampang.
III. Nagari Pariangan dan Padang Panjang
Tidak berapa lama antaranya, orang orang yang menetap di Guguk Ampang berpindah pula dengan membuat setumpak tanah yang datar di baruh Guguk Ampang itu.
Tanah disini lebih baik daripada tanah di Ampang Gadang.
Mereka pun berbondong bondong membuat tempat tinggal ditempat yang baru
ini dan oleh ninik Sri Maharaja Diraja beserta Cateri Bilang Pandai
tempat ini diberi nama Perhurungan. Guguk Ampang tadi pada saat ini
bernama kampung Guguk Atas. Lama kelamaan orangpun bertambah kembang
juga, dan kampung Perhurungan bertambah maju. Orang semakin hari semakin
riang pula.
Atas prakasa ninik Sri Maharaja Diraja beserta cerdik
pandai masa itu, dibuat semacam permainan anak negeri seperti Pencak
Silat, Tari Payung dan bermacam peralatan untuk gung dan talempong,
gendang, serunai rabab, kecapi dan lain lain sehingga menjadikan orang
bertambah riang juga disetiap waktu.
Suasana masyarakat yang selalu
dalam keadaan riang itu, menimbulkan keinginan dari ninik Sri Maharaja
Diraja dan Cateri Bilang Pandai untuk menganti nama kampung menjadi
Pariangan.
Kemudian karena bertambah kembang juga, seorang hulubalang ninik Sri Maharaja Diraja pergi membuat tempat tinggal dekat sebuah batu besar disuatu tanah disebelah kanan pariangan. Karena tempat itu baik pula, berdatangan orang pariangan membuat tempat tinggal disitu.
Kemudian karena bertambah kembang juga, seorang hulubalang ninik Sri Maharaja Diraja pergi membuat tempat tinggal dekat sebuah batu besar disuatu tanah disebelah kanan pariangan. Karena tempat itu baik pula, berdatangan orang pariangan membuat tempat tinggal disitu.
Lama
kelamaan tempat itu menjadi sebuah kampung yang ramai pula. Oleh Cateri
Bilang Pandai kampung itu diberi nama Padang Panjang. Sebab yang
pertama sekali menemukan daerah itu adalah hulubalang yang menyandang
gelar Pedang nan Panjang. Kampung Pariangan dan Padang Panjang semakin
hari semakin ramai, dan kedua kampung ini dibawah hukum ninik Sri
Maharaja Diraja.
Pada suatu hari bermusyawarahlah segala isi kampung
Pariangan dan Padang Panjang untuk mendirikan sebuah Balairung tempat
raja duduk menghukum (memerintah) beserta orang besar lainnya Datuk Suri
Diraja, Cateri Bilang Pandai yang bernama Indra Jati. Balairung itu
didirikan didalam kampung Pariangan, dihiasi dengan lapik lalang.
Ruangan
hanya sebuah saja sehingga sampai saat ini disebut orang Balai Saruang.
Disitulah tempat ninik Sri Maharaja Diraja dan orang orang besarnya
menghukumwaktu itu.
IV. Penghulu Pertama
Lama pula antaranya orangpun bertambah ramai pula. Pada suatu hari bermusyawarah pula ninik Sri Maharaja Diraja dengan Datuk Suri Diraja dan Cateri Bilang Pandai, serta segala orang banyak dari kampung Pariangan dan Padang Panjang di Balai Saruang tadi.
Musyawarah itu adalah untuk memilih orang yang akan menjadi yang memerintah dan menghukum dibawah raja.
IV. Penghulu Pertama
Lama pula antaranya orangpun bertambah ramai pula. Pada suatu hari bermusyawarah pula ninik Sri Maharaja Diraja dengan Datuk Suri Diraja dan Cateri Bilang Pandai, serta segala orang banyak dari kampung Pariangan dan Padang Panjang di Balai Saruang tadi.
Musyawarah itu adalah untuk memilih orang yang akan menjadi yang memerintah dan menghukum dibawah raja.
Adapun orang yang akan ditanam jadi ketua adalah orang yang akan menjadi penghulu orang banyak itu, dengan fungsi antara lain :
Kusuk yang akan menyelesaikan
Keruh yang akan menjernihkan
Sesat yang akan menghimbau
Terluncur yang akan menghelakan
Itulah orang yang akan memimpin orang banyak, dibawah ninik Sri Maharaja Diraja.
Didalam permusyawaratan itu dicapai kata sepakat yakni akan menanam dua orang ketua, seorang di Pariangan dan seorang di Padang Panjang. Hasil kesepakatan itu dikembalikanke kepada ninik Sri Maharaja diraja dan beliau menyetujui.
Pada kesempatan itu Datuk Suri Diraja bertitah
“Berbahagialah kamu sekalian, telah sama sama sepakat untuk menanam dua
orang ketua yang akan menjadi penghulu oleh kamu sekalian. Apa nama
pangilan dan apa nama pangkatnya bagi keduanya ?”
Mendengar titah
Datuk Suri Diraja itu, tidak ada yang dapat menjawab sebab belum ada
kata mupakat tentang itu. Sekalian orang banyak itu memohon kepada ninik
Sri Maharaja Diraja untuk kembali bermusyawarah untuk menetapkan apa
nama panggilan dan pangkat bagi keduanya tadi.
Tetapi setelah beberapa saat lamanya mereka duduk timbang menimbang, hasilnya nihil sama sekali. Akhirnya sekalian orang banyak itu memulangkan kata kepada ninik Sri Maharaja Diraja.
Tetapi setelah beberapa saat lamanya mereka duduk timbang menimbang, hasilnya nihil sama sekali. Akhirnya sekalian orang banyak itu memulangkan kata kepada ninik Sri Maharaja Diraja.
“Telah puas kami bersama sama mencari nama
pangkat dan nama pangilan bagi ketua kami, namun tidak dapat oleh kami,
melainkan sebuah kata ketua saja. Oleh sebab itu kami serahkan saja
kepada Tuanku semua, apa yang baik bagi Tuanku, kami akan menurut saja.”
Setelah
itu bertitahlah ninik Sri Maharaja Diraja kepada sekalian orang banyak
itu : “Adapun orang akan kita jadikan ketua itu tentulah akan dipilih
dari kita yang hadir disini, yaitu orang yang lebih pandai dan baik
tingkah lakunya. Sebab orang itu, pergi tempat kita bertanya, pulang
tempat kita beberita. Orang itulah yang akan memelihara buruk baiknya
kita sekalian, tempat kita mengadukan segala hal yang baik dan buruk. Orang itu yang akan menimbang mudharat danmanfaat diatas kita sekalian serta menghukum barang sesuatunya buruk dan baik.
Oleh
sebab itu sepanjang pendapat hamba, patutlah kita muliakan benar orang
itu dengan semulia mulianya daripada kita yang banyak ini. Kita tuakan
orang itu dengan kata mupakat bersama dan tuanya kita samakan dengan
orangtua ninik mamak kita yaitu ‘datuk’ namanya. Dengan demikian
kepadanya kita panggil Datuk meskipun umurnya lebih muda daripada kita.
Kita wajib menghormatinya, apa titahnya kita junjung, apa perintahnya kita turut, agar sentosa kita dari marabahaya selama hidup didunia ini. Jikalau kita tidak bertindak dan tiada turut menurut, niscaya tiadalah kita mendapat keselamatan”
Kita wajib menghormatinya, apa titahnya kita junjung, apa perintahnya kita turut, agar sentosa kita dari marabahaya selama hidup didunia ini. Jikalau kita tidak bertindak dan tiada turut menurut, niscaya tiadalah kita mendapat keselamatan”
Mendengar penitahan ninik Sri Maharaja
Diraja itu, senanglah hati sekalian orang banyak itu. Panggilan Datuk
sampai sekarang tidak berubah. Itulah asal mulanya maka segala penghulu
itu dipanggil Datuk dan disebut orang juga ninik mamak, ninik daripada
mamaknya orang banyak. Setelah putus kata mupakat, diadakan helat jamu
di kampung Pariangan dan Padang Panjang.
Pada masa itu ditetapkan
kedua penghulu tadi seorang di Pariangan bergelar Datuk Bandaharo Kayo
dan seorang lagi di Padang Panjang bergelar Datuk Maharaja Besar. Itulah
penghulu pertama yang ada dipulau andalas ini, yang disebut juga pulau
Perca.
Adapun Datuk Suri Diraja bukanlah penghulu yang diangkat
orang, beliau diberi nama seperti itu hanya karena beliau berkarib
dengan raja. Beliau dipanggil datuk karena tuanya saja, dan lagi beliau
adalah orang cerdik pandai, lubuk akal lautan budi, tempat orang berguru
dan bertanya pada waktu itu di Pariangan Padang Panjang, serta menjadi
guru oleh ninik Sri Maharaja Diraja.
Dengan bertambah ramainya orang
di Pariangan dan Padang Panjang, oleh ninik Sri Maharaja Diraja dengan
mupakat segala isi kampung diberi nama Nagari Parangan Padang Panjang.
Sampai saat ini nama itu tidak pernah dirubah orang dan itulah nagari
tertua di pulau Andalas ini.
Dari pernikahan ninik Sri Maharaja
Diraja dengan adik datuk Suri Diraja yang bernama Tuan Putri Indah
Jalia, lahirlah seorang yang bernama Sutan Paduka Besar.
V. Sungai Tarab Nagari Tua
Seiring dengan perkembangan waktu, masyarakat di Nagari Pariangan bertambah ramai juga, sedang nagari itu tidak begitu luas sehingga sudah penuh sesak oleh orang banyak. Maka bermusyawarahlah ninik Sri Maharaja Diraja dengan segala orang besarnya untuk memindahkan sebagian orang kedaerah baru.
V. Sungai Tarab Nagari Tua
Seiring dengan perkembangan waktu, masyarakat di Nagari Pariangan bertambah ramai juga, sedang nagari itu tidak begitu luas sehingga sudah penuh sesak oleh orang banyak. Maka bermusyawarahlah ninik Sri Maharaja Diraja dengan segala orang besarnya untuk memindahkan sebagian orang kedaerah baru.
Setelah bulat mupakat, mendakilah ninik Sri Maharaja Diraja ke
puncak gunung merapi hendak melihat dimana tanah yang baik dan subur
akan tempat memindahkan orang orang itu. Setibanya beliau dipuncak
gunung merapi, memandanglah beliau kesegala arah. Pandang jauh
dilayangkan pandangan dekat di tukikkan.
Kelihatan oleh beliau
setumpuk tanah tanah gosong yang ditumbuhi rimba di baruh gunung kearah
selatan yang kelihatannya tanahnya berpasir. Gosong gosong itu adalah
puncak puncak bukit yang tersembur dari permukaan laut waktu itu.
Setelah
itu beliau kembali turun, dan bersama sama dengan Cateri Bilang Pandai
beliau pergi melihat tanah itudengan berlayar. Pelayaran beliau itu
hanya menepi gunung merapi saja dan akhirnya beliau sampai ditepi
pantai, lalu berlabuh dan langsung memeriksa tanah tadi.
Didapati oleh beliau tanah itu lebih luas dari Pariangan Padang Panjang dan nampaknya lebih baik dan lebuh subur.
Disebelah
mudik tanah itu ada pula sebidang padang pasi yang amat luas yang
sangat baik untuk tempat orang bermain dan bergembira.
Setelah ada
keyakinan bagi ninik Sri Maharaja Diraja dan Cateri Bilang Pandai, lalu
keduanya kembali ke Pariangan Padang Panjang untuk menjeput orang orang
yang akan mendiami tempat tersebut.
Beliau membawa tujuh karib bai’id
beliau laki laki dan perempuan, begitupun Cateri bilang pandai membawa
pula enam belas orang, yaitu delapan pasang suami istri.
Setelah
mereka tiba ditanah tadi, mereka mulai membuka ladang, berladang
mencencang melateh, membuat teratak ditempat itu. Lama kelamaan teratak
menjadi sebuah dusun bernama dusun Gantang Tolan dan dusun Binuang Sati.
Kemudian
dusun itu bertambah lama bertambah ramai pula. Maka dibuat orang pula
dipinggir dusun itu sebuah koto tempat berkampung, berumah tangga. Dari
koto itulah orang orang berulang ulang keladangnya yang didusun tadi.
Semakin
lama didalam koto tadi orang semakin bertambah ramai juga, lalu koto
itupun dijadikan nagari, diberi nama nagari Bunga Setangkai. Kenapa
bunga setangkai, sebab sewaktu ninik Sri Maharaja Diraja sampai disitu
beliau mendapatkan setangkai bunga yang sangat harum baunya, dan dibawah
bunga itu ada pula sebuah batu luas dan datar. Panjangnya tujuh tapak
ninik Sri Maharaja Diraja, batu itu diberi nama oleh beliau “Batu Tujuh
Tapak” Sampai sekarang batu itu masih ada didalam nagari Bunga
Setangkai.
Adapun padang pasir yang di mudik nagari Bunga Setangkai,
lama-kelamaan ditumbuhi oleh kayu-kayuan, sehingga kemudian menjadi
rimba yang berkampung kampung. Pada akhirnya daerah itu menjadi koto,
lalu menjadi nangari yang diberi nama Pasia Laweh, takluk kepada nagari
Bunga Setangkai.
Didalam nagari Bunga Setangkai dibuat orang sebuah
balairung tempat ninik Sri Maharaja Diraja dan Cateri Bilang Pandai
menghukum. Dekat balairung itulah ninik Sri Maharaja Diraja membuat
istana tempatdiam.
Kemudian keluarlah sebuah mata air dibawah sebuah
pohon yang bernama tarab dihalaman istana ninik Sri Maharaja Diraja. Air
yang keluar sangat jernih dansejuk serta besar sehingga menjadi suatu
anak sungai, oleh sebab itu Cateri Bilang Pandai memberi nama Sungai
Tarab.
Karena Sungai itu sangat termasyhur nama Bunga Setangkai
dilupakan orang sehingga nagari itu berubah nama jadi nagari Sungai
Tarab.
Didalam nagari Sungai Tarab ditanam orang delapan orang
penghulu yang diambil dari dalam kaum orang yang delapan pasang, yang
mula mula mencencang melateh nagari tersebut. Penghulu yang delapan itu
memerintah orang dalam nagari Sungai Tarab dan menguasai masing masing
kaumnya. Penhulu itu bernama “Datuk nan Delapan Batur” Yakni delapan
batu kedudukan dahulu.
Kemudian setiap penghulu itu membuat pula
sebuah balairung sehingga disebut orang pula delapan balai kedudukan
Datuk Nan Delapan Batu.
Delapan balai kemudian menajdi delapan suku
yang terbagi atas 2 kampung. Satu kampung di mudik (Sungai Tarab) dengan
lima balai dan satu lagi di hilir dengan 3 balai sehingga kampung ini
disebut TigaBatur.
Setelah berkoto, bernagari dan berpenghulu yang
akan memelihara orang didalam Sungai Tarab, ninik Sri Maharaja diraja
merasa senang sekali dan beliau beserta Cateri Bilang Pandai kembali
lagi ke Pariangan Padang Panjang.
Meninggalnya Ninik Sri Maharaja Diraja
Ninik Sri Maharaja Diraja meninggal di Pariangan Padang Panjang, yaitu beberapa lalu kemudian setelah beliau kembali dari Sungai Tarab. Sepeninggal beliau jabatan raja di pariangan Padang Panjang tidak ada karena beliau tidak mempunyai waris. Posisi beliau dijabat oleh karib beliau yang ada di Sungai Tarab. Adapun yang memerintah di Pariangan Padang Panjang sepeninggal ninik Sri Maharaja Diraja adalah Datuk Bandaharo Kayo, Datuk Maharaja Besar, Datuk Suri Diraja, Cateri Bilang Pandai dan Cateri Rino Sudah. Sedangkan yang memerintah di Sungai Tarab dipegang oleh Datuk Delapan Batur, dibantu oleh Cateri Bilang Pandai mewakili karib ninik Sri Maharaja yang belom dewasa.
Ninik Sri Maharaja Diraja meninggal di Pariangan Padang Panjang, yaitu beberapa lalu kemudian setelah beliau kembali dari Sungai Tarab. Sepeninggal beliau jabatan raja di pariangan Padang Panjang tidak ada karena beliau tidak mempunyai waris. Posisi beliau dijabat oleh karib beliau yang ada di Sungai Tarab. Adapun yang memerintah di Pariangan Padang Panjang sepeninggal ninik Sri Maharaja Diraja adalah Datuk Bandaharo Kayo, Datuk Maharaja Besar, Datuk Suri Diraja, Cateri Bilang Pandai dan Cateri Rino Sudah. Sedangkan yang memerintah di Sungai Tarab dipegang oleh Datuk Delapan Batur, dibantu oleh Cateri Bilang Pandai mewakili karib ninik Sri Maharaja yang belom dewasa.
Tuan Putri Jamilan
Setelah beberapa lama ninik Sri Maharaja Diraja meninggal dunia, Tuan Putri Indah Jalia janda beliau kawin dengan Indra Jati yang bergelar Cateri Bilang Pandai.
Dari perkawinan itu beliau berputra enam orang, dua
orang laki laki, pertama bernama Sutan Balun dan yang kedua bernama
Sikalab Dunia dan empat orang perempuan bernama: Putri Reno Sudi, Putri
Reno Mandi, Putri Reno Judah dan si bungsu Puteri Jamilan. Tuan Putri
Jamilan ini kawin dengan karib ninik Sri Maharaja Diraja yang menjadi
raja di Sungai Tarab itu.
VI. Datuk Katumanggungan, Datuk Perpatih nan Sabatang, dan Datuk Sri Maharaja Nan Banaga Naga.
Menurut bunyi Tambo Alam Minangkabau dan curaian orang tua tua, setelah dewasa anak ninik Sri Maharaja Diraja yang bernama Sutan Paduka Besar dan anak anak Cateri Bilang Pandai bernama Sutan Balun dan Sikalab Dunia, atas kesepakatan anak nagari Pariangan Padang Panjang dan anak nagari Sungai Tarab, diangkat menjadi penghulu.
VI. Datuk Katumanggungan, Datuk Perpatih nan Sabatang, dan Datuk Sri Maharaja Nan Banaga Naga.
Menurut bunyi Tambo Alam Minangkabau dan curaian orang tua tua, setelah dewasa anak ninik Sri Maharaja Diraja yang bernama Sutan Paduka Besar dan anak anak Cateri Bilang Pandai bernama Sutan Balun dan Sikalab Dunia, atas kesepakatan anak nagari Pariangan Padang Panjang dan anak nagari Sungai Tarab, diangkat menjadi penghulu.
Sutan Paduka Besar bergelar datuak
Katumanggungan, Sutan Balun bergelar Datuak Parapatiah Nan Sabatang, dan
Sikalab Dunia bergelar Datuak Sri Maharaja nan Banaga naga.
Beliau
beliau itulah penghulu ninik kita, yang sangat cerdik pandai, lubuk akal
lautan budi, lagi keramat ketiganya. Meliau bertiga menata adat lembaga
untuk kita orang Alam Minangkabau.
Kata ahli adat, setelah Sutan
Balun diangkat jadi penghulu, beliau pergi berlayar keluar Pariangan
Padang Panjang, hendak pergi tamasya ke pulau Langgapuri(Serindip
Cylon).
Dalam perjalanan kembali pulang, ditengah lautan beliau
mendapat sebatang kayu yang berisi lengkap didalamnya segala perkakas
untuk pertukangan seperti kapak, lading, pahat dan perpatih. Oleh sebab
itu dia digelari Datuk Perpatih Nan sabatang Kayu, kemudian ditetapkan
dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang saja.
Adapun kayu yang berisi alat
perkakas ditemukannya itu berasal dari peninggalan nabi Nuh. Perkakas
itu diletakkan orang dalam lobang sebuah pohon kayu dan hanyut ke laut.
Dengan
karunia Allah kayu itulah yang didapatkan oleh Datuk Parapatiah Nan
Sabatang. Benar atau tidaknya cerita ini wallahu ‘alam.
Diceritakan
kembali, sesudah ninik yang bertigaitu diangkat orang jadi penghulu,
semenjak itulah beliau berusaha mencari ikhtiar memperbaiki nagari dan
memperluas jajahan di tanah Alam Minangkabau serta berusaha membuat
bermacam macam aturan adat lembaga yang akan dipakai orang didalam
Nagari yang telah beliau dirikan itu, untuk penjaga kesentosaan dan
keselamatan orang yang berada didalam nangari.
Adat lembaga yang
beliau tinggalkan menjadi pegangan bagi masyarakat Minangkabau sampai
sekarang, adat lembaga itu amat baik dan sempurna aturannya, tidak dapat
disanggah oleh jauhari pun, mempunyai akal budi yang sempurna. Bila ada
orang yang merubah atau merusak warisan beliau itu, tak dapat tidak
pastilah mendatangkan kesusahan dan kerugian besar bagi dirinya serta
bagi segala orang di dalam nagari sampai kepada anak cucunya.
VII. Nagari Limo Kaum
Kata ahli adat, pada suatu ketika ninik Parapatiah nan Sabatang bersama lima pasang suami istri berlayar keluar dari nagari Pariangan Padang Panjang menuju tanah lapang yang ditumbuhi rimba berkampung kampung. Di situ kelima pasang tadi mencencang melateh membuat ladang dan dusun tua. Disitu ninik Parapatiah Nan Sabatang membuat rumah dibawah kayu bodi nago taram, kemudian dibuatnya pula sebuah balai di dusun tua itu yang berparit dan berpagar batu.
Sebab itu balai tadi dinamakan balai batu, lalu dibuat pula sebuah kubu dibaruh dusun tua tadi, yang dinamai kubu raja.
VII. Nagari Limo Kaum
Kata ahli adat, pada suatu ketika ninik Parapatiah nan Sabatang bersama lima pasang suami istri berlayar keluar dari nagari Pariangan Padang Panjang menuju tanah lapang yang ditumbuhi rimba berkampung kampung. Di situ kelima pasang tadi mencencang melateh membuat ladang dan dusun tua. Disitu ninik Parapatiah Nan Sabatang membuat rumah dibawah kayu bodi nago taram, kemudian dibuatnya pula sebuah balai di dusun tua itu yang berparit dan berpagar batu.
Sebab itu balai tadi dinamakan balai batu, lalu dibuat pula sebuah kubu dibaruh dusun tua tadi, yang dinamai kubu raja.
Lama
kelamaan berkembang pula orang yang lima pasang tadi. Karena orang
sudah ramai dibuat pula lima buah kampung seedaran dusun tadi, yang
bernama kampung Balai Batu, Kampung Kubu Rajo, Kampung Belah Labuh,
Kampung Dusun Tua(Kota Gadis) dan Kampung Kampai (Piliang). Kelima
kampung ini akhirnya dinamakan Kampung Lima Kaum.
Kemudian menyusul
pula dua belas pasang suami istri dari Pariangan Padang Panjang yang
dipimpin oleh seorang Penghulu yang bergelar Datuk Tan Tejo Maharaja Nan
Gadang. Penghulung badanya besar dan panjang kira kira sepuluh hasta
panjangnya.
Sampai sekarang masih ada kubur beliau di kampung Pariangan, yang dikenal juga dengan kubur Datuk Tan Tejo Gurahana.
Mereka
sampai di nagari yang bernama Jambu sekarang ini dan tidak dapat
melanjutkan perjalanannya ke nagari Limo Kaum karena tidak ada jalan
kesana. Lalu berkata Datuk Tan Tejo kepada orang yang dibawanya itu,
katanya : “Kaniaklah (Kemarilah) kita berbalik” lalu surutlah mereka
kembali sampai kesebuah dusun yang mereka beri nama Keniak.
Rupanya
yang dimaksud dengan “ka niak” oleh datuk Tan Tejo tadi adalah kampung
tabek sekarang ini. Disitu mereka berladang dan membuat taratak. Datuk
Tan Tejo membuat sebuat tebat besar, lalu dibuat orang pula setumpak
sawah dekat tebatnya itu dan di mudik sawah itu dibuat pula sebuah
taratak, lama kelamaan taratak menjadi dusun dan dusun menjadi kampung
pula, yang bernama kampung sawah tanah. Akhirnya kedua belas pasang itu
terbagi dua. Sebagian tinggal bersama beliau dikampung Tebat dan
sebagian lagi menetao dikampung Sawah Tangah.
Lama kelamaan
berkembang pula orang dikampung Tabek dan kampungSawah Tangah itu. Datuk
Tan Tejo mendirikan sebuah balai dikampung Tabek yang tonggaknya dari
teras jilatang dan parannya dari akar lundang, sedang tabudnya dibuat
dari batang pulut pulut, yang digetang dengan jangat tuma dan gendangnya
dari padang seliguri.
Itulah keganjilan yang dibuat oleh Datuk Tan
Tejo Maharaja Nan Gadang. Sampai kini tonggak jilatang dan gendang
saliguri masih ada dikampung Tabek dan kampung Sawah Tangah. Selanjutnya
karena telah berkembang kampung Tabek dan kampung Sawah Tangah
dijadikan orang menjadi sebuah nagari yang bernama Nagari Tabek Sawah
Tangah.
Oleh karena Nagari Tabek Sawah Tangah itu menjadi ramai dan
sesak pula, mamak pecahan orang orang yang dua belas tadi pergi
berladang merambah rimba kecil di kepala dusun tua tempat ninik
Parapatiah Nan Sabatang tadi, tempat itu dinamai orang Parambahan.
Dari
parambahan itu dibuat sebuah labuh arah ke kubu raja, tetapi mereka
tidak berhasil karena karena terlalu susah, jalan mendaki dan menurun
serta berbelok belok. Dan labuh itu diberi nama Taratak labuh.
Karena
telah menjadi ramai pulang orang di taratak labuh, Parambahan dan Tabek
Sawah Tangah merekapun semakin berkembang dantelah menbuat 12 koto
disekitar nagari limo kaum. Kedua belas koto itu menurut penitahan ninik
Parapatiah Nan Sabatang, yaitu :
1. Labuah
2. Parambahan
3. Silebuk
4. Ampalu
5. cubadak
6. Sianyang
7. Rambatan
8. Padang Magek
9. Ngungun
10. Panti
11. Pabaluran
12. Sawah jauh
Lama kelamaan koto nan duabelas ini ramai pula. Oleh ninik Parapatiah nan Sabatang ke dua belas koto ini sampai ke Tabek Tangah sawah dijadikan satu dengan orang yang berada di Limo Kaum dengan nama Limo Kaum dua Belas Koto. Kemudian dipecah lagi menjadi Limo Kaum Dua Belas Koto dan Sembilam Koto Didalam.
1. Labuah
2. Parambahan
3. Silebuk
4. Ampalu
5. cubadak
6. Sianyang
7. Rambatan
8. Padang Magek
9. Ngungun
10. Panti
11. Pabaluran
12. Sawah jauh
Lama kelamaan koto nan duabelas ini ramai pula. Oleh ninik Parapatiah nan Sabatang ke dua belas koto ini sampai ke Tabek Tangah sawah dijadikan satu dengan orang yang berada di Limo Kaum dengan nama Limo Kaum dua Belas Koto. Kemudian dipecah lagi menjadi Limo Kaum Dua Belas Koto dan Sembilam Koto Didalam.
Adapun koto yang sembilan itu ialah dua-dua
satu bilang : Tabek Bata dan Sela Goanda; Beringin dan Koto baranjak;
Lantai Batu dan Bukit Gombak; Sungai Tanjung dan Barulak serta Raja
Dani.
Oleh Ninik Parapatiah Nan Sabatang masyarakat nagari Lima Kaum yang Dua Belas Koto itu sampai ke Tabek Sawah Tangah diberi pula satu pucuk pimpinan yaitu Penghulu dengan gelar Datuk Bendahara Kuning, berkedudukan di kubu raja Lima Kaum.
Oleh Ninik Parapatiah Nan Sabatang masyarakat nagari Lima Kaum yang Dua Belas Koto itu sampai ke Tabek Sawah Tangah diberi pula satu pucuk pimpinan yaitu Penghulu dengan gelar Datuk Bendahara Kuning, berkedudukan di kubu raja Lima Kaum.
Setelah teratur nagari Limo Kaum
Dua Belas Koto itu, maka senanglah Hati Ninik Parapatiah nan Sabatang
dan beliau kembali ke Pariangan Padang Panjang.
VIII. NAGARI SUNGAYANG
Kata orang yang menceritakan, tidak berapa lama kemudian ninik Parapatiah nan Sabatang berlayar pula membawa tujuh pasang suami istri. Mereka sampai pada suatu tanah menanjung kedalam sungai. Karena tanah itu baik dan subur, mereka menetap disana dan berladang membuat taratak. Tempat itu beliau beri nama Pangkal Bumi.
VIII. NAGARI SUNGAYANG
Kata orang yang menceritakan, tidak berapa lama kemudian ninik Parapatiah nan Sabatang berlayar pula membawa tujuh pasang suami istri. Mereka sampai pada suatu tanah menanjung kedalam sungai. Karena tanah itu baik dan subur, mereka menetap disana dan berladang membuat taratak. Tempat itu beliau beri nama Pangkal Bumi.
Kemudian menyusul pula duapuluh
tiga pasang suami istri dari Pariangan Padang Panjang yang ingin mencari
penghidupan disana karena di Pariangan sudah penuh sesak.
Mereka
menetap di daerah antara Pangkalan Bumi dan Sungai Tarap. Mereka bersama
sama dengan yang tujuh pasang suami istri berladang dan membuat
taratak.
Tempat mereka menambatkan perahu atau (jung) nya, dinamakan
“Tembatan Ajung”, lalu disingkat menjadi tabek Ajung. Sedangkan Pangkal
bumi berubah nama jadi Ujung Tanah.
Lama kelamanaan berkembang pula
orang orang yang di Taratak dan di lading padi tadi, taratak itu menjadi
dusun yang ramai, lalu dibuat orang dua buah koto dipinggir taratak
itu, yang bernama Tanjung dan Sungai Mangiang, sebab mata air yang
mengalir disana kerapkali jadi mangiang (pelangi) dan dari kedua koto
itulah orang pulang pergi ke taratak dan ladangnya masing masing.
Hingga
kini disitu masih adatempat yang bernama taratak dan lading.
Kemudian
sesuai dengan perkembangan manusia, koto itu dijadikan orang nagari,
oleh ninik Parapatiah Nan Sabatang nagari itu diberi namaTanjung
Sungayang Nan Batujuah., karena yang menetap di Nagari itu adalah orang
yang dua puluh tiga pasang ditambah tujuh pasang tadi.
Keturunan
mereka sampai kini masih ada di nagari itu. Itulah orang yang berhutan
tinggi dan berhutan rendah dan mereka ada berpangkat sepanjang adat di
dalam Nagari itu.
Kata ahli adat, sesudah sumur digali nagari
nagaridicecak dalam nagari Sungai Tarab, Lima Kaum dan Tanjung
Sungayang, dan di setiap nagari itu orang sudah begitu ramai, maka
bermupakatlah Datuk Katumanggugan, Datuk Parapatiah Nan Sabatang, Datuk
Ssri Maharaja nan banaga naga hendak mencari tanah yang baik untuk
memindahkan orang nagari tersebut. Setelah putus mupakat, beliau bertiga
berlayar bertiga menjalani teluk dan rantau.
Setelah tampak tanah
tanah yang dianggap baik ketiganya kembali lagi. Lalu dengan tiga buah
perahu, setiap perahu memuat lima puluh orang laki laki dan perempuan,
mereka menuju ketempat tempat yang sudah dilihat tadi. Disetiap tempat
itu beliau tempatkan sepasang, lima pasang, ada yang enam dan delapan
pasang tergantung dengan besar kecilnya tanah yang akan didiami itu.
Lama
kelamaan orang orang itupun berkembang pula dan tempat orang orang itu
dari taratak menjadi dusun, dusun menjadi koto, dan kemudian menjadi
nagari. Demikianlah caranya ninik moyang kita dalam memperluas daerahnya
di pulau perca ini.
Oleh karena asal orang orang itu dari nagari
Sungai Tarab, Lima Kaum, Tanjung Sungayang dalam Tambo Alam Minangkabau
nagari yang tiga ini disebut nagari tertua di alam Minangkabau ini.
Setelah selesai menempatkan orang orang didaerah yang baru itu, maka kembalilah ketiga ninik tadi ke Pariangan Padang Panjang. Mereka mulai bekerja membuat ketetapan hukum yang akan dipakai disetiap nagari yang baru tadi.
Setelah selesai menempatkan orang orang didaerah yang baru itu, maka kembalilah ketiga ninik tadi ke Pariangan Padang Panjang. Mereka mulai bekerja membuat ketetapan hukum yang akan dipakai disetiap nagari yang baru tadi.
Setelah itu mereka memohon kepada bapak beliau yang bernama
Indra Jati bergelar Cateri Bilang Pandai untuk pergi memeriksa keadaan
orang orang di nagari yang baru itu dan sekaligus menetapkan penghulunya
masing masing.
Permintaan anak anaknya dipenuhi oleh Cateri Bilang
Pandai. Berangkatlah beliau ke nagari nagari yang baru itu dan disetiap
nagari diangkat seorang penghulu untuk setiap kaumnya.
Penghulu
inilah “kusut yang akan menyelesaikan, keruh yang akan menjernihkan”
serta memelihara orang orang itu dari hal hal yang buruk dan baik dengan
mendirikan pusaka Alam Minangkabau.
Barangsiapa yang diangkat
menjadi penghulu diwajibkan terlebih dahulu mengisi adat menuai lembaga
kepada segala orang yang ada didalam nagari itulah yang mengendangkan
jadi penghulu.
Begitu juga barang siapa yang akan menjadi raja, wajib
pula mengisi adat menuang lembaga kepada isi alam takluk jajahannya,
memberi makan-minuman orang orang yang datang diwaktu raja dinobatkan
serta memotong kerbau dan sapi seberapa cukupnya. Selain itu raja itu
wajib mengeluarkan emas nan sesukat seulang aling, nan sekundi kundi,
sepating setali bajak namanya sebagai pengisi adat kepada penghulu dan
orang orang yang patut. Sebab orang orang itulah yang merajakannya.
Karena
banyaknya penghulu yang diangkat, banyak pula gelar penghulu ditiap
tiap suku atau nagari, namun gelar itu tidak boleh sama. Kalau ada yang
sama itu namanya sudah dibelah (dipecah)
IX. Luhak nan Tigo, Laras Nan Duo
Pada suatu ketika ninik yang bertiga ini naik pula ke puncak gunung merapi. Disana beliau menemukan tiga buah akar yang berjurai jurai. Sejurai menghadap kearah timur, Sejurai jatuh kebarat dan sejurai lagi jatuh ke utara. Maka memandanglah beliau kearah timur nampak rimba berkampung kampung.
IX. Luhak nan Tigo, Laras Nan Duo
Pada suatu ketika ninik yang bertiga ini naik pula ke puncak gunung merapi. Disana beliau menemukan tiga buah akar yang berjurai jurai. Sejurai menghadap kearah timur, Sejurai jatuh kebarat dan sejurai lagi jatuh ke utara. Maka memandanglah beliau kearah timur nampak rimba berkampung kampung.
Ditepi rimba itu sudah diisi oleh orang, begitu juga ketika
beliau memandang kearah barat dan utara, banyak pula tanah yang sudah
dihuni orang. Sedangkan disebelah selatan kelihatan puncak puncak gunung
yang tersembur dari dalam laut.
Maka mupakatlah ketiga ninik itu
untuk turun melihat tanah dan keadaan orang yang sudah didiami itu.
Ninik Katumangguangan berjalan ke arah barat, Ninik Parapatiah Nan
Sabatang berjalan kearah timur, dan Ninik Sri Maharaja berjalan kearah
utara.
Sekembalinya dari nagari nagari itu beliau kembali lagi dan
bertemu di Pariangan Padang Panjang lalu ninik bertiga menceritakan
pengamatan yang sudah dilakukan di daerah itu.
Diceritakan oleh Ninik
Parapatiah Nan Sabatang tanah berbukit bukit dan berlurah lurah, airnya
jernih ikannya jinak dan buminya dingin.
Diceritakan pula oleh ninik
Katumanggungan tanah yang disebelah barat gunung merapi airnya keruh
ikannya liar, buminya hangat dan orangnya keras hati, suka bermusuh
musuhan dan selalu berkelahi pada masing masing kaum.
Oleh ninik Sri
Maharaja Nan Banaga Naga diceritakan bahwa bahwa tanah sebelah utara
gunung airnya manis ikannya jinak, buminya tawar dan dulu orang yang
ditempatkan sebanyak lima puluh orang telah berkurang lima pasang,
hilang dipadang ribu ribu tampa tahu kemana perginyaorang itu.
Kemudian bermupakatlah ninik yang bertiga menceritakan itu kepada mamaknya datuk Suri diraja.
Kemudian bermupakatlah ninik yang bertiga menceritakan itu kepada mamaknya datuk Suri diraja.
Oleh datuk Suri diraja diberi nama :
-Luhak Tanah Datar untuk tanah yang sebelah timur gunung merapi yaitu tanah yang dijalani ninik Parapatiah nan Sabatang.
-Luhak Agam untuk daerah yang dijalani oleh ninik Katamanggungan.
-Luhak Limapuluh untuk daerah yang dijalani oleh ninik Sri Maharaja nan Banaga Naga.
Itulah asalnya maka alam Minangkabau ini terbagi atas tiga luhak. Masing masing luhak ini diperintah oleh ninik yang bertiga tadi. Selanjutnya oleh datuk Datuk Katamanggungan dan Datuk Parapatiah Nan Sabatang ketiga luhak dibagi jadi dua kelarasan, yaitu:
-Laras Koto Piliang, Pemerintahan Datuk Katumanggungan
-Laras Bodi Caniago, Pemerintahan Datuk Parapatiah nan Sabatang.
Nagari
nagari yang masuk kedalam laras koto Piliang adalah : Tanjung Gadang
Mudik sampai Laut nan Sedidih, gunung merapi hilir, keliling gunung
semuanya, sedangkan yang masuk bodi caniago adalah daerah Mudik hingga
Padang Tarab Hilir.
Meskipun sudah dibagi, disetiap nagari itu selalu
menyela orang yang dua kelarasan itu tetapi yang paling banyak adalah
kelarasan koto piliang.
Perbedaan jumlah pengikut ini mengakibatkan
terjadinya perselisihan antara datu Katumanggungan dan datuk Parapatiah
nan Sabatang. Perselisihan kedua orang besar itu tidak dapat didamaikan
oleh isi Alam Minangkabau karena keduanya sama sama keras.
Selanjutnya
terjadilah peperangan yang akhirnya dimenangkan oleh laras koto piliang
karena jumlah mereka lebih banyak dibandingkan pengikut kelarasan bodi
caniago.
Pada masa itu berdirilah pusaka perang, siapa yang kalah
harus mengisi penampun abu, bila tidak ada yang menang atau seri hanya
berjabat tangan.
Dengan kalahnya laras Bodi Chaniago, maka ia mengisi
penampun abu kepada laras Koto Piliang dibayar dengan enam ekor kuda
oleh datuk datuk lima kaum dua belas koto dan tiga ekor kuda putih dari
datuk nagari nan tiga, yaitu oleh datuk Nagari Tanjung Sungayang dan
Tanjung Gadang, semua kuda diberi bertali cindai, dibawa kedelapan batur
yakni nagari Sungai Tarab.
Menurut cerita orang tua, kekalahan laras
Bodi Chaniago membuat datuk Parapatiah Nan Sabatang merasa sakit hati.
Beliau berniat hendak membunuh datuk Katumangguangan.
Pada suatu
malam beliau menjarah ke dalam nagari Sungai Tarab mencari Datuk
Katumangguangan namum tidak bertemu. Dengan perasaan marah dan kecewa
itu maka ditikamnya lah satu batu besar dikampung Kurimbang Batu Halang
dengan kerisnya yang bernama Ganja Erak sehingga batu itu tembus.
Lalu
dihentakkan lagi dengan tongkat besinya sehingga tembus pula. Batu yang
ditikam itu sampai kini masih terdapat di tepi sawah di Ulak Kampung
Budi yang tidak seberapa jauh dari Kampung Kurimbang Batu Halang. Begitu
juga dengan batu yang ditikam di Lima Kaum sampai sekarang masih ada
dikampung Balai Batu. Kedua batu dinamakan orang Batu Batikam.
Nagari
Pariangan Padang Panjang tidak termasuk kepada nagari yang dibagi
menjadi dua kelarasan. Sebab nagari itu adalah nagari tertua dalam Alam
Minangkabau. Sehingga masyarakat disana mempunyai satu kelarasan yang
diberi nama oleh ninik yang berdua Laras Nan Panjang.
Nagari yang
termasuk kedalam laras Nan Panjang adalah sehiliran batang Bengkawas
sampai ke Guguk sikaladi Hilir, terus ke bukit tembesi bertupang mudik.
Oleh orang orang tua laras Nan Panjang itu disebutkan :
Pisang sikelat-kelat hutan
Pisang tembatu bergetah
Koto piliang dia bukan
Bodi Chaniago dia entah
Setelah Datuk Katumangguangan memenangkan peperangan itu, beliau memberi nama nagari Lima Kaum dua belas koto itu dengan nama Gadjah Gadang Patah Gadingnya, dan nagari Tanjuang Sungayang beliau namakan Tanjung Sungayang nan bertujuh.
Nagari tempat beliau menetap diberi
nama Sungai Tarab Darussalam. Pemberian nama nama baru itu sangat
menyakitkan hati Datuk Parapatiah Nan Sabatang. Begitulah yang
dicceritakan oleh orang orang tua, benar tidaknya wallahu’alam.
Permupakatan
antara Datuk Katumangguangan, datuak Parapatiah nan Sabatang dan Datuk
Sri Maharaja nan Banaga naga tentang menetapkan hukum setta cupak
gantang yang akan dipakai dalam luhak nan tiga laras nan dua adalah
sebagai berikut :
Cupak yang dipakai gantang yang dipicahan kepada
setiap luhak di dalam laras nan dua adalah cupak yang dua belas tail
isisnya, dan gantang yang kurang dua puluh lima tail genap isinya, serta
emas yang enam belas emas berat timbangannya, yang se emas empat
kupang, sekupang enam kundi merah, hitam bagian tampuknya. Setali tiga
uang, yang seuang satu kundi, yang seteang setenganh kundi, itulah yang
dipalut kata mupakat ninik yang bertiga tadi.
Meskipun sudah ada
kesepakatan selalu ada perbedaan pendapat diantara ninik yang bertiga
itu. Misalanya menurut pendapat datuak Katumangguangan setias orang yang
terpidana wajib bersumpah baginya.
Namum oleh datuk Parapatiah nan
sabatang sumpah itu tidaklah perlu, karena semua itu adalah anak cucu
kita juga. Oleh datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga perbedaan itu tidak
satupun disetujui maka pada waktu itu tidak tercapai kata sepakat.
Dengan
takdir Allah, maka keluarlah seekor ular dari laut. Ular itu menangkap
salah seorang anak datuk Katumangguangan dan dibawanya ke banir kayu
jati. Maka gemparlah orang pada masa itu, ninik yang bertiga kehilangan
akal karena anak telah di lilit ular.
Bertanya Datuk Katumangguangan kepada ninik yang berdua “apa akal kita untuk mengambil anak itu ?”
Menyahut
Datuk Parapatiah Nan Sabatang”Habis budi hamba melihat anak kita itu,
jika dibunuh ular itu maka niscaya matilah anak kita. Berkatalah datu
Sri Maharaja nan Banaga Naga: “Menurut pendapat hamba, kita ambil
ranting jawi-jawi, kita lontarkan kepada banir kayu itu, supaya ular itu
lari.”
Maka dibuat orang lah sebagaimana yang dikatakan Datuk Sri
Maharaja nan Banaga naga itu, lalu ranting jawi jawi itu dilontarkan
orang sekuat kuatnya kepada banir kayu tempat ular tadi. Ular itu
terkejut lalu lari meninggalkan anak Datuk Katumangguangan dengan tiada
kurang satu apapun.
Dengan kejadian itu Datuk Katumangguangan dan
Datuk Parapatiah nan Sabatang bertambah segan kepada datuk Sri Maharaja
nan Banaga Naga karena ketajaman akalnya.
Ular yang dipalut tidak mati
Pamalu tiada patah
Tanah yang dipalu tiada lembang.
Datuk yang berdua menyadari akibat yang timbul apabila mereka terus
berbantah bantahan, karena selalu berbeda pendapat dalam menetapkan
suatu hukum yang akan dipakai dalam masyarakat.
Mereka sepakat bahwa hukum itu harus di uji dan dibanding, setiap tandingannya dipakai pada tempatnya masing masing.
Adapun hukum yang akan dipakai di luhak nan tiga, laras nan dua terus ke Batang Rantau, ada tiga
perkara :
1. Hukum kitabullah
2. Hukum ijtihat
3. hukum serta saksi
2. Hukum ijtihat
3. hukum serta saksi
Setelah
putus mupakat itu, maka menghadaplah ninik yang bertiga itu kepada
Daulat yang dipertuan Agung ninik Sri Maharaja diraja untuk menyatakan
hukum itu. Sebelum hukum itu diberlakukan ketiga ninik diminta untuk
bersumpah bahwa hukum itu akan dipakai terus turun temurun dan tidak
boleh diubah ubah selamanya.
Setelah itu berjalanlah Daulat yang
dipertuan Agung keluhak dan laras, kesetiap nagari untuk memasyarakatkan
hukum yang sudah ditetapkan itu. Ditanam kayu nan sabatang disetiap
nagari untuk tempat mempertaruhkan hukum yang adil, syarak yang
dilazimkan dan adat yang kawi.
Yang dimaksud kayu nan sabatang itu adalah orang orang sebagai penghulu atau kadhi atau orang orang besar yang akan menghukum didalam tiap tiap nagari, sebagai wakil raja bila raja berhalangan, atau sebagai raja apabila dinagari itu tidak ada raja.
Yang dimaksud kayu nan sabatang itu adalah orang orang sebagai penghulu atau kadhi atau orang orang besar yang akan menghukum didalam tiap tiap nagari, sebagai wakil raja bila raja berhalangan, atau sebagai raja apabila dinagari itu tidak ada raja.
Dengan
demikian penghulu yang dijadikan pucuk atau kepala suku, kepala payung
dan kadhi didalam suatu nangari, bukan saja sebagai kepala kaumnya
masing masing, tetapi berfungsi juga sebagai raja yang akan memegang
kata, memegang hukum yang sudah ditetapkan oleh kerapatan penghulu
penghulu
X. Pulau Perca disebut Alam Minangkabau.
Kata ahli adat setelah Datuk Katumangguangan dan datuak Parapatiah nan Sabatang mendirikan luhak nan tiga dan membagi laras nan dua yaitu koto Piliang dan Bodi Chaniago.
X. Pulau Perca disebut Alam Minangkabau.
Kata ahli adat setelah Datuk Katumangguangan dan datuak Parapatiah nan Sabatang mendirikan luhak nan tiga dan membagi laras nan dua yaitu koto Piliang dan Bodi Chaniago.
Kira kira 5 tahun kemudian, datanglah
seorang nakhoda dari laut membawa seekor kerbau panjang tanduk serta
runcing. Ia menetap di bukit Gombak dan memandikan kerbaunya disungai
emas. Perahu nakhoda itu ditambatkan di kaki bukit Patah.
Sewaktu
bertemu dengan kedua ninik Datuk Katumangguangan dan Datuk Parapatiah
nan Sabatang, ia menantang beliau untuk bertaruh mengadu kerbau, jikalau
kalah kerbau kami, miliki oleh datuk segala isi perahu kami.
Tantangan nakhoda itu diterima oleh ninik yang berdua orang besar besar: “Baiklah, tetapi beri janji kami selama tujuh hari.”
Dalam
tujuh hari bemupakatlah isi luhak nan tiga laras nan dua, lalu dicari
se ekor anak kerbau yang sedang kuat menyusu. Dibuat orang topang besi
bercabang sembilan dan runcing ujungnya. Besi serampang itu bernama
minang.
Setelah sampai tujuh hari, maka semalam-malam hari yang
ketujuh anak kerbau tidak dicampur dengan induknya. Setelah hari pagi,
tupang besi tadi dipasang di mulut anak kerbau tadi, lalu dibawa
ketengah medan yang sudah dihiasi sebagai tempat pertarungan kedua kedua
kerbau itu yakni di balai Sidusun. Semua orang laki perempuan tumpah
ruah ke medan itu, begitu juga segala isi perahu dan nakhoda tadi keluar
membawa kerbau besarnya itu.
Setelah tiba ditengah medan itu, kedua
kerbau itu dilepas orang. Sebentar itu juga anak kerbau yang sudah
kelaparan berlari kekerbau besaryang dikiranya sebagai induknya untuk
menyusu.
Sekali saja anak kerbau itu menyusu, maka larilah kerbau besar itu, keluar perutnya berjurai jurai, lalu matilah kerbau itu.
Sekali saja anak kerbau itu menyusu, maka larilah kerbau besar itu, keluar perutnya berjurai jurai, lalu matilah kerbau itu.
Melihat
kerbaunya sudah mati, nakhoda tadi pergi ke laut dan pulang ke
negerinya. Mungkin karena sangat malunya, sangkar ayam tertinggal ditepi
sungai, dekat medan mengadu kerbau tadi. Ditempat itu sekarang ada
sebuah kampung bernama kampung “Sangkayan”, yang asalnya dari sangkar
ayam nakhoda itu.
Sesudah mengadu kerbau itu bermupakatlah segala
orang luhak nan tiga laras nan dua memberi nama pulau perca ini dengan
nama alam Minangkabau, sampai sekarang tidak berubah rubah.
Cateri Reno sudah, menerka kayu tataran naga pihak. Menurut bunyi Tambo alam minangkabau, tidak berapa lama setelah mengadu kerbau tadi nakhoda itu kembali lagi dengan membawa kayu tataran naga pihak, dimana ujung dan pangkalnya sama besar, sulit ditebak mana ujung mana pangkalnya.
Cateri Reno sudah, menerka kayu tataran naga pihak. Menurut bunyi Tambo alam minangkabau, tidak berapa lama setelah mengadu kerbau tadi nakhoda itu kembali lagi dengan membawa kayu tataran naga pihak, dimana ujung dan pangkalnya sama besar, sulit ditebak mana ujung mana pangkalnya.
Dia pun menetapkan bukit gombak, lalu ia masuk kedalam nagari Lima Kaum dan bertemu dengan datu Suri Diraja.
Ia
mengajak datuk Suri di Raja berteka teki dengan taruhan limapuluh kati
emas. Oleh datuk Suri diraja teka teki itu diterima dengan syarat harus
dilaksanakan ditengah medan.
Lalu datuk Suri Diraja menghimpun segala orang yang patut patut, ia pun berkata ” Timbang olehmu akan kayu itu ditengahnya. Mana yang berat itulah pangkalnya dan yang ringan itulah ujungnya”.
Setelah sampai waktunya, maka berdatanganlah segala orang besar besar dan patut patut ke medan yang baik itu, yaitu Dusun Tua namanya. Begitu juga segala isi nagari laki laki perempuan datang bersama sama ke medan itu. Setelah cukup semuanya, bertanya Cateri Reno kepada nakhoda itu :
“Apa maksud tuan datang kemari ?”
Lalu datuk Suri Diraja menghimpun segala orang yang patut patut, ia pun berkata ” Timbang olehmu akan kayu itu ditengahnya. Mana yang berat itulah pangkalnya dan yang ringan itulah ujungnya”.
Setelah sampai waktunya, maka berdatanganlah segala orang besar besar dan patut patut ke medan yang baik itu, yaitu Dusun Tua namanya. Begitu juga segala isi nagari laki laki perempuan datang bersama sama ke medan itu. Setelah cukup semuanya, bertanya Cateri Reno kepada nakhoda itu :
“Apa maksud tuan datang kemari ?”
Sahut nakhoda itu :
“Kami sengaja datang kemari karena kami dengar disini banyak orang cerdik pandai. Segala orang itulah yang hendak kami jelang. Jika Datuk suka, cobalah datuk terka akan kayu kami ini, mana ujung dan mana pangkalnya.” Sambil mengeluarkan kayu yangia bawa.
“Kami sengaja datang kemari karena kami dengar disini banyak orang cerdik pandai. Segala orang itulah yang hendak kami jelang. Jika Datuk suka, cobalah datuk terka akan kayu kami ini, mana ujung dan mana pangkalnya.” Sambil mengeluarkan kayu yangia bawa.
“Apabila terterka oleh kami, apa yang akan menjadi hukumnya?” tanya Cateri Reno.
Dijawab oleh nakhoda “Miliki oleh Datuk segala isi perahu kami.”
Dijawab oleh nakhoda “Miliki oleh Datuk segala isi perahu kami.”
Setelah
taruhan ditampin, maka kayu tataran naga pihak itu diambil oleh Cateri
Reno sudah. Tepat ditengah tengah kayu itu di ikatnya dengan tali yang
halus dan kuat. Setelah itu ujung tali pengikat itu diangkatnya keatas,
kelihatan oleh orang banyak kayu itu berat sebelah. Lalu diterkalah oleh
Cateri Reno menunjukkan kepada nakhoda itu, katanya “yang berat itu
adalah pangkalnya dan yang ringan adalh ujung kayu itu.”
Nakhoda itu
sangat malu atas kekalahannya ini ditinggalkan segala taruhan tadi dan
iapun kembali kelaut pulang ke negerinya. Sungai Mas tempat ia
menambatkan perahunya diberi nama Kepala Padang Ganting.
Sepeninggal
nakhoda tadi, taruhan tadi dibagi oleh orang luhak nan tiga laras nan
dua, sebagian kepariangan Padang Panjang, dan sebagian lagi dibagi tiga,
sebagian tinggal di lima kaum, sebagian di Sungai Tarab dan sebagian
lagi untuk Tanjung Sungayang.
Cateri Reno Sudah Menerka Dua Ekor Burung Yang Serupa
Tidak puas dengan kekalahannya itu, nakhoda kapal balik lagi ke pulau perca dengan membawa dua ekor burung, satu jantan dan lainnya betina. Kedua ekor itu sama rupa bulunya, sama besarnya dan bunyinya pun serupa.
Cateri Reno Sudah Menerka Dua Ekor Burung Yang Serupa
Tidak puas dengan kekalahannya itu, nakhoda kapal balik lagi ke pulau perca dengan membawa dua ekor burung, satu jantan dan lainnya betina. Kedua ekor itu sama rupa bulunya, sama besarnya dan bunyinya pun serupa.
Nakhoda
menetap di nagari Tanjung Sungayang dan perahunya ditanbatkannya di
Pangkal Bumi disitu pula bertemu kembali dengan Cateri Reno Sudah. Pada
kesempatan itu ia kembali mengajak berteka teki.
Cateri Reno Sudah
menanyakan apa lagi yang akan diterkanya, dan dijawab oleh nakhoda itu
yaitu menerka kedua ekor burung yang dibawanya.
Ada dua ekor burung yang sama rupa dan bangunnya. Terkalah oleh Datuk mana yang jantan dan mana yang betina.”
Ada dua ekor burung yang sama rupa dan bangunnya. Terkalah oleh Datuk mana yang jantan dan mana yang betina.”
Menyahut
Cateri Reno Sudah : “Kalau begitu kata tuan , teka teki ini kami
terima, tetapi harus dilakukan ditengah medan agar dapat disaksikan oleh
orang banyak.
Syarat itu diterima oleh nakhoda tadi dan merekapun
menetapkan perjanjian kapan teka teki itu dilaksanakan. Sementara itu
pergilah orang besar besar dan patut patut menghadap kepada Datuk Suri
Diraja dan menceritakan hal itu. Datuk Suri Diraja berkata :
” Beri
makan kedua burung itu pada satu tempat, mana yang cepat makannya dan
kuat, tandanya burung jantan, sedangkan yang lemah adalah burung
betina.”
Setelah tiba waktunya, maka berhinpunlah segala orang di
medan yang sudah dihiasi yaitu balai gadang namanya terletak diantara
Tanjung dan Sungayang. Setelah itu bertanya lagi Cateri Reno Sudah
kepada Nakhoda tadi: Apakah kehendak tuan datang ke negeri kami ini?”
Sahut nakhoda itu: Saya membawa dua ekor burung, cobalah terka oleh datuk mana yang burung jantan mana yang betina”
Setelah itu Cateri Reno Sudah mengambil kedua burung itu, lalu diberinya makan pada suatu tempat yang sempit.
Kedua
burung itupun berebut makan sampai berdesak desakan, edar mengedar dan
tendang menendang. Tidak lama setelah itu terlihat salah satu keletihan,
dan oleh Cateri Reno Sudah ditunjuknya sebagai burung betina dan yang
masih kuat ditunjuk sebagai burung Jantan.
Maka kalahlah nakhoda itu
sehingga tiada termakan nasi olehnya, setelah itudiambilnya kedua burung
tadi, lalu dikurungnya dan dibawanya kembali ke dalam perahunya. Dari
sana ia bertolak dan perahu itu ditinggalkan ditepi bukit, dan dia
dengan segala anak buahnya pergi menuju ke kampung Minangkabau yaitu
kekaki bukit batu patah.
Disana mereka bersumpah untuk tidak kembali
lagi ke pulau perca ini, karena orang disini banyak yang pintar cerdik
pandai. Setelah itu ia pulang kenegerinya dan tidak pernah muncul lagi
ke alam Minangkabau.
XI. Adityawarman Datang ke Pulau Perca
Menurut kata ahli adat, pada masa itu datang orang berlayar dari laut menepat ke nagari Pariangan Padang Panjang, lalu ke galundi nan bersela sela dan bertemu dengan datuk yang bertiga yakni Datuk Katumangguangan, datuak Parapatiah nan Sabatang dan Datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga. Orang yang datang itu dimuliakan oleh datuk yang bertiga itu dengan patutnya.
XI. Adityawarman Datang ke Pulau Perca
Menurut kata ahli adat, pada masa itu datang orang berlayar dari laut menepat ke nagari Pariangan Padang Panjang, lalu ke galundi nan bersela sela dan bertemu dengan datuk yang bertiga yakni Datuk Katumangguangan, datuak Parapatiah nan Sabatang dan Datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga. Orang yang datang itu dimuliakan oleh datuk yang bertiga itu dengan patutnya.
Mereka
datang beramai ramai dalam satu kapal lengkap dengan hamba sahayanya
(bangsa sekawak), yang menjadi orangsuruhan oleh kepala kapal itu,
bernama Adityawarman bergelar Sri Paduka Berhala.
Disaat itu timbul
perbantahan diantara ninik yang bertiga mengenai Adityawarman. Datuak
Katumangguangan mengatakan bahwa dia adalah Raja, sedangkan menurut
Datuk Parapatiah nan Sabatang orang itu bukan raja melainkan manti saja,
dan menurut Datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga orang itu hanya seorang
utusan raja.
Akhirnya datuk yang berdua menurut kepada apa yang
dikatakan Datuk Katumangguangan karena beliau berniat akan mengambil
orang itu sebagai semendanya, akan suami dari adiknya yang bernama Tuan
Putri Reno Mandi.
Rencana Datuk Katumangguangan itu diterima oleh
Adityawarman, hingga bulatlah perundingan masa itu dikawinkanlah
Adityawarman dengan Tuan Putri Reno Mandi menurut sepanjang adat yang
patut.
Semenjak itu Adityawarman yang bergelar Sri PadukaBerhala itu
dianggap oleh orang Pariangan Padang Panjang seperti rajanya. Sungguhpun
ia datang dari tanah jawa, tetapi asal usulnya ia datang dari
hindustan, keturunan raja juga. Dia dan teman temannya itu berdiam di
Pariangan Padang Panjang menurut adat lembaga orang dalam nagari itu,
menetap selamanya sebagai bumi putera disana.
Kelak anak cucu
Adityawarman yang menjawat waris Datuk Katumangguangan, Datuk Parapatiah
nan Sabatang, Datuk Sri Maharaja nan Banaga Naga dan Datuk Suri Diraja.
Menurut Tambo adat alam Minangkabau, asal orang Minangkabau yang telah berkembang biak diseluruh pulau andalas (tanah Alam Minangkabau) itu ialah :
Menurut Tambo adat alam Minangkabau, asal orang Minangkabau yang telah berkembang biak diseluruh pulau andalas (tanah Alam Minangkabau) itu ialah :
Pertama sekali yang datang adalah Ninik Sri Maharaja Diraja,
dengan menbawa orang Kasta Cateri menepat diatas puncak gunung merapi,
semasa alun baralun bumi akan bersentak turun. Langit akan bersentak
naik. Pada masa baru laut semata mata tanah pulau andalas ini, yang ada
baru puncak gunung merapi yang ada tanah daratannya. Keturunan bangsa
Cateri ini yang terbilang cerdik pandai. Mereka suka berkelompok sesama
kasta Cateri.
Selanjutnya datang bangsa Hindustan yang datang bersama
Adityawarman. Kesukaannya berkumpul sehindu hindu atau sesama bangsa
hindustan saja. Termasuk juga bangsa sekawak yang ikut dengan rombongan
Adityawarman, yang menjadi orang hamba sahaya. Bangsa sekawak ini
semenjak datang jadi hamba sahaya orang turun temurun yang disebut juga
budak, atau istilah adatnya kemenakan bawah lutut dari tuannya.
Mereka dapat diperjual belikan, dijadikan hadiah dan persembahan kepada orang besar besar, untuk pembayar hutang.
Dikatakan
bangsa kasta Cateri tadi adalah asal raja raja dan orang cerdik pandai,
dan orang orang bangsa hindustan itu bangsa penghulu besar batuah di
dalam tiap tiap nagari. Pada saat itu kedua keturunan itu tidak dapat
lagi dibedakan karena sudah lama bercampur baur menjadi satu.
Kedua
keturunan ini sudah tarik menarik, semenda menyemenda dan sama sama
berpenghulu kedua belah pihak, yang adatnya tiada berkurang sedikit
juga.
Kedua bangsa itulah yang dikatakan orang baik turun temurun
diseluruh minagkabau ini, yang teratur adat lembaganya oleh ninik yang
bertiga.
XII. Amanat Ninik Yang Bertiga
Amanat Datuk Suri Diraja
Berkata Datuk Suri Diraja kepada segenap pwnghulu dan orang orang patut di Pariangan Padang Panjang
Dengarlah ibarat kata hamba oleh segala penghulu dan orang yang mempunyai bicara:
XII. Amanat Ninik Yang Bertiga
Amanat Datuk Suri Diraja
Berkata Datuk Suri Diraja kepada segenap pwnghulu dan orang orang patut di Pariangan Padang Panjang
Dengarlah ibarat kata hamba oleh segala penghulu dan orang yang mempunyai bicara:
Sutan Kayo di Koto alam
Kayu mati diperumahannya
Jika engkau kaya didalam alam
Akan mati juga kesudahannya
Berbuak kayu di Koto Alam
Buahnya tindih bertindih
Jika engkau bertuah didalam alam
Hanya tuah itu silih berganti
Kayu Pantai di Koto Alam
Pantainya sandi basandi
Jika engkau pandai didalam alam
Patah tumbuh hilang berganti.
Pikirkanlah sungguh sungguh oleh segala yang mempunyai bicara akan ibarat kata hamba itu.
Selanjutnya disaat Datuk Suri Diraja akan meninggal beliau berkata kepada segala raja raja dan segala penghulu dari laras koto piliang dan laras bodi chaniago :
“Adapun kita segala yang disungkup langit, yang ditanahi
bumi lalu ke mekah dan medinah sekalian, sedikitpun tiada yang lebih dan
kurangnya. Jika dikatakan lebih ada kekurangannya, dikatakan kurang ada
kelebihannya, dikatakan tinggi ada rendahnya dikatakan rendah ada
tingginya.
Jika dikatakan raja lebih tinggi dan orang besar besar itu
ada kelebihannya, terlalu rendah pada bathinnya karena barang siapa
yang hendak menjadi raja atau orang besar besar itu, hanya mengisi adat
menuang lembaga kepada alam, kepada setiap luhak atau laras atau nagari,
itulah rendahnya. Oleh sebab itu janganlah engkau berdengki dengkian,
karena malu belum dibagi oleh ninik Datuk Katumangguangan dan Datuk
Parapatiah nan Sabatang.
Meskipunsawah ladang, emas perak, segala
ternak dan pakaian juga dibagi, demikian pula didalam laras Koto Piliang
dan Bodi chaniago, jika tanah sudah berkabung, padi sudah bergantang,
jarum sudah terbentuk seorang, hanya malu yang belum dibagi.
Oleh
sebab itu janganlah engkau bercerai berai sepeninggal kami. Payung yang
mempunyai kerajaan adalah Datuk Katumangguangan. Jika berang laras Bodi
Caniago kepada larasnya, mengadunya ke laras Koto Piliang, begitu pula
sebaliknya, itulah sumpah ninik moyang berdua, yang tiada lapuk oleh
hujan tiada lekang oleh panas, digali dalam digantung tinggi, itulah
mulanya jadi persemandanan laras Koto Piliang dan laras Bodi chaniago.
Bagi
laras Bodi Chaniago, penghulunya oleh yang sekata, tuahnya karena
mupakat, celakanya oleh bersilang, apabiladapat kerja semupakat, jadilah
barang kerjanya, barang ke mana mana, maksudnyapun sampai.
Adapun
laras Koto Piliang orang beraja: apabila hendak menyusun larasnya
berkirim surat kepada Datuk Pamuncak Alam di Sungai Tarab, Datuk Indomo
di Saruaso dan tuan Khadi di Padang Ganting diatas daulat yang
dipertuan. Maka barang apa apa kerjanya pun jadi berkat pekerjaannya.
Pamuncak alam di Sungai Tarab
Payung panji di Saruaso
Suluah bendang di Padang Ganting
Cermin cina di Singkarak Saningbakar
Harimau Campo di Batipuah
Tangkai alam di Pariangan Padang Panjang
Pasak kungkung di Sungai Jambu
Raja besar di Bukit Batu Patah
Jika berkata dengan orang yang tahu, lebih bak santan dengan tanguli, dan berkata dengan orang yang tidak tahu, lebih bak antan pencungkil duri. Oleh sebab itu baik baiklah engkau mencari salak silik, baik baiklah engkau mencari kata pusaka, supaya selamat kamu dialam ini.
Amanat datuak Katumangguangan
Disampaikan saat beliau akan meninggal dunia didepan segala penghulu dan orang orang besar dalam laras Koto Piliang:
Sekali
kali hindarkan perceraian dengan orang laras bodi Chaniago, karena
merekalah yang mengisi cukai adat lembaga kepada kita. Merekalah yang
mendirikan kerajaan kita, dan kalau dihiasinya akan tempat kita duduk.
Payung ubur ubur itu milik orang laras Bodi chaniago, maka dari itu
janganlah kamu bercerai sepeninggal kami berdua.
baik baiklah engkau
memelihara isi alam, isi nagari, segala anak kemenakan, pikir benar
sungguh sungguh supaya kalian jangan kena sumpah ninik moyang. Berbuatlah
seperti lauttiada penuh oleh air, seperti bumi tiada penuh oleh tumbuh
tumbuhan. Apabila kalian jadi penghulu dalam laras Koto Piliang
janganlah memakan menghabiskan, jangan menebang merebahkan, jangan
mencencang memutuskan, karena bicara tiada sekali dapat.
Jadikan nabi
Allah jadi suri teladan. Kasih kalian kepada isi alam sebagai kasih
nabi kepada umatnya. Hati adalah palinggam Allah, teraju palinggam mata,
sebab itu peliharalah lidahmu dengan baik, begitu pula kaki dan
mulutmu. Jika tertarung panyambahan badan tanggungannya, mulut emas
padahannya, tertarung kaki inai padahannya.
Memutih padi orangdi Kamang, melekang panas sehari, berbelok belok alang samat, ranting berbelok kepangkalnya. Berdentung gegar dilaut, merentang rupanya kilat, kalang kambut rupanya langit, berputar rupanya angin timur. Pikir jualah sungguh sungguh, lemak liuk kayu akar kelimpang, itulah patut bicara.”
Datuk
Katumangguangan meninggal di koto Ranah yakni di Kampung Minangkabau
sampai sekarang kuburan beliau masih ada disana dikenal dengan kubur
yang dipertuan yang bersusu empat.
Amanat Datuak Parapatiah Nan Sabatang
Pesan ini disampaikan kepada penghulu yang berempat dan yang berlima sekota, serta orang orang cerdik pandai dan orang orang bertuah dalam laras Bodi Caniago, beliau berkata:
Amanat Datuak Parapatiah Nan Sabatang
Pesan ini disampaikan kepada penghulu yang berempat dan yang berlima sekota, serta orang orang cerdik pandai dan orang orang bertuah dalam laras Bodi Caniago, beliau berkata:
“Rasanya umurnya hamba tidak akan lama
lagi, hamba hendak pergi ke Solok Selayo, entah kembali entah tidak,
oleh sebab itu hendaklah pegang pitaruh hamba oleh segala penghulu dan
orang cerdik pandai :
Pertama hendaklah kalian kasih kepada nagari,
kepada isi nagari, kepada orang orang kaya, kepada orang orang bertuan,
kepada tukang, kepadan segala penghulu, kepada orang yang mempunyai
bicara meskipun ia kanak kanak sekalipun.
Apabila dia mempunyai
bicara, ikuti olehmu karena ia itulah tangkai nagari dan tangkai alam
janganlah kalian ubahi sepeninggal hamba supaya selamat apa apa yang
kalian kerjakan.
Malu orang kepada kalian yang mempunyai bicara ada enam perkara :
1. Kuat melawan kepada yang benar.
2. Kuat membelanjakan kepada segala yang baik.
3. Memperbaiki parit pagar keliling nagari
4. Kuat mengusahakan pekerjaan
5. Tahu kepada yang benar
6. Kuat menyelesaikan yang kusut dalam nagari dantahu dengan basa basi.
Apabila terpakai niscaya jadilah kalian panglimabesar dalam nagari, menjadi ikutan segala isi alam dan luhak, dan kalian lah penghulu pilihan dalam alam ini.
Kata empat yang dipakai :
1. Janganlah berdengki dengkian
2. Jangan hina menghinakan
3. Jangan bertolong tolongan kepada maksiat
4. Jangan menghasut orang dalam nagari untuk berkelahi.
Jagalah dua belas perkara yang akan dipakai :
1. Kuat memberi makan isi nagari
2. Benci kepada segala kejahatan
3. Banyak harta
4. Banyak ilmu pengetahuan yang baik
5. Berhati baik kepada orang banyak
6. Giat berusaha
7. menerima umpat puji dengan lapang dada
8. Kasih sayang kepada orang teraniaya
9. Pandai berbicara
10. Pasihat lidah
11. Tahu kepada yang benar
12. Ingat ingat pada kata kias
Setelah beramanat itu Datruak Parapatiah Nan Sabatang berjalan ke negeri Malaka, berdiam dinegeri Sembilan dan beliau meninggal di Negeri Sembilan itu. Sepanjang cerita orang kuburan beliau masih ada disana yang oleh orang Negeri Sembilan dinamakan Kuburan Patih.
Malu orang kepada kalian yang mempunyai bicara ada enam perkara :
1. Kuat melawan kepada yang benar.
2. Kuat membelanjakan kepada segala yang baik.
3. Memperbaiki parit pagar keliling nagari
4. Kuat mengusahakan pekerjaan
5. Tahu kepada yang benar
6. Kuat menyelesaikan yang kusut dalam nagari dantahu dengan basa basi.
Apabila terpakai niscaya jadilah kalian panglimabesar dalam nagari, menjadi ikutan segala isi alam dan luhak, dan kalian lah penghulu pilihan dalam alam ini.
Kata empat yang dipakai :
1. Janganlah berdengki dengkian
2. Jangan hina menghinakan
3. Jangan bertolong tolongan kepada maksiat
4. Jangan menghasut orang dalam nagari untuk berkelahi.
Jagalah dua belas perkara yang akan dipakai :
1. Kuat memberi makan isi nagari
2. Benci kepada segala kejahatan
3. Banyak harta
4. Banyak ilmu pengetahuan yang baik
5. Berhati baik kepada orang banyak
6. Giat berusaha
7. menerima umpat puji dengan lapang dada
8. Kasih sayang kepada orang teraniaya
9. Pandai berbicara
10. Pasihat lidah
11. Tahu kepada yang benar
12. Ingat ingat pada kata kias
Setelah beramanat itu Datruak Parapatiah Nan Sabatang berjalan ke negeri Malaka, berdiam dinegeri Sembilan dan beliau meninggal di Negeri Sembilan itu. Sepanjang cerita orang kuburan beliau masih ada disana yang oleh orang Negeri Sembilan dinamakan Kuburan Patih.
Masyarakat
di negeri sembilan itu beradat seperti kita orang alam Minangkabau juga,
berpusaka kepada kemenangan menurut aturan Ninik Parapatiah nan
Sabatang.
Disadur oleh : Dewis Natra
Sumber : Buku Curaian Adat Minangkabau
Penerbit : Kristal Multimedia Bukittinggi
Sumber : rofara.blogspot.co.id
Disadur oleh : Dewis Natra
Sumber : Buku Curaian Adat Minangkabau
Penerbit : Kristal Multimedia Bukittinggi
Sumber : rofara.blogspot.co.id
0 Komentar
Penulisan markup di komentar