Anak Lonte: Chapter 2 - Kakus

02:13:00 Add Comment






Anak Lonte:  Chapter 2
 
"Kakus"

Lucky Lukmansyah


Almarhumah ibuku namanya Marsinah. Kalau di Puruih dia biasa dipanggil dengan sebutan mbak Asih atau Uni Asih. Tapi aku memanggilnya dengan sebutan Bunda saja. Bundaku paling sering dan biasa dipanggil mbak dari pada uni seperti awamnya para perempuan Padang. Biasanya orang yang baru mengenal Bunda tentu akan memanggilnya dengan uni, nanti kalau sudah kenal, maka ketahuan dari logat bicaranya yang medok, layaknya orang Jawa, maka orang itu akan langsung memanggil Bunda dengan sebutan mbak.



Tapi ada juga sebagian orang Padang yang punya penglihatan jeli dapat membedakan, mana perempuan Minang, dan mana perempuan Jawa Padang, yang biasa dipanggil mbak. Menurut kata guru SMA ku dulu, mudah saja membedakannya. Lihat saja pada garis wajahnya, kalau perempuan Minang garis wajahnya lurus dan tajam, sedangkan perempuan Jawa bulat atau melengkung dari pipi hingga ke dagu. Entah itu benar atau tidak, yang pasti aku menemukan hal itu pada wajah bunda yang bundar, serasi dengan hidungnya yang bulat kecil, bibirnya pun kecil pula.



Bunda meninggal dunia pada usia sekitar 35 tahun. Hal itu sangat ku sesalkan sekali, mengapa beliau harus kembali kepada Nya dalam usia yang masih sangat terlalu muda, meninggalkan aku sendiri berjalan mengarungi alam dunia yang maha luas ini. Sungguh aku gamang dalam menghadapi kenyataan ini. Namun inilah kenyataan hidup yang tetap harus aku jalani.



Ingin rasanya aku jalan menelusuri jejak-jejak langkah yang telah pernah dilewati mendiang ibuku semasa hidupnya dulu. Tapi tidak banyak informasi tentang latar belakang kehidupannya tersimpan di otak ku. Benar Bunda adalah orang Jawa, tapi sayang dia tidak pernah bilang dimana tanah asalnya. Yang aku tahu dulu Bunda pernah mengatakan bahwa orang tuanya diboyong oleh pemerintah untuk menetap tinggal di pedalaman Sitiung, di daerah lintas Sumatera bagian tengah, sebagai orang transmigrasi yang menggarap sekapling tanah untuk ditanami pohon kelapa sawit. Hanya itu saja yang ku tahu tentang latar belakang bunda, tidak lebih.



Tentang mengapa Bunda bisa sampai tinggal di Padang, sendiri, menanggung beban membesarkan aku, putra si mata wayangnya, tanpa suami ataupun saudara di dekatnya, Bunda tidak pernah sekalipun menjelaskan tentang itu kepada ku. Bunda cuma bilang kalau dia tidak suka tinggal dengan bapak dan simbok. Perkataan itu kemudian menimbulkan pertanyaan dalam benak ku.



Aku melihat disekeliling tempat tinggal ku dulu, semua anak perempuan hidup aman dan damai dalam lindungan kasih sayang orang tua, walaupun nanti mereka akan punya suami, dan punya keturunan, tetap akan tinggal dalam lingkungan keluarga, sampai nanti ibu bapaknya meninggal dunia, maka merekalah, para perempuan itu yang akan mewarisi segala harta benda peninggalan orang tua mereka. Kenapa ibu tidak demikian? Kelak baru aku ketahui ternyata perempuan Padang, atau perempuan Minang tidak sama dengan ibu ku, orang Jawa. Orang Jawa melakukan hal sebaliknya, anak laki-laki yang tinggal di rumah orang tuanya, yang perempuan keluar atau ikut dengan suaminya.



Lalu apakah dulu Bunda pindah ke Padang ini karena mengikut pada suaminya? Siapa suaminya? Siapakah bapak ku? Bunda tidak pernah bilang siapa ayah ku. Dulu waktu aku sekolah di taman kanak-kanak, aku memperhatikan teman-teman ku diantar jemput ke sekolah oleh kedua orang tua mereka, kadang ayah, terkadang ibu mereka yang datang menjemput. Tapi aku tidak. Selalu saja Bunda yang setia berada di sisiku. Waktu itu aku mulai bertanya kepada Bunda tentang siapa bapak dan dimana bapak. Tapi bunda diam saja, tidak menjawab dan bahkan tidak mau menjelaskan, selalu diam saja, lalu kemudian mengalihkan topik pembicaraan ke hal-hal lain. Kalau seandainya dulu Bunda bilang ayah ku sudah mati, itu cukup bagi ku, atau seandainya bilang sajalah ayah ku pergi dan tidak akan pernah kembali lagi. Itu saja juga sudah cukup bagi ku.



Puruih, adalah sebuah kampung nelayan yang terletak di sepanjang pinggiran pantai Padang. Disitulah aku dilahirkan. Disitu pertama kali mataku ini menatap dunia, menatap wajah ibu ku yang sendu. Aku tumbuh besar dalam belaian kasih Bunda seorang. Senantiasa tetap dalam perlindungannya hingga aku semakin tumbuh besar untuk memulai bersosialisasi dengan manusia lain, selain Bunda, dan berinterasi dengan alam sekitar yang didominasi oleh laut, pantai, dan rumah-rumah gubuk para nelayan yang beratap daun rumbia.



Di kampung Puruih kami berdua tinggal menghuni sebuah rumah bedeng kontrakan yang terbuat dari dari susunan balok-balok kayu, dinding papan, lantai papan dan atap asbes sebagai tempat berlindung dari terik matahari dan hujan. Rumah kontrakan tempat tinggal kami itu ada enam pintu berjejer memanjang ke belakang. Pemiliknya adalah seorang nenek tua yang tinggal di rumah besar semi permanen, berada di tepi jalan aspal yang lurus arah ke pantai, jalan aspal itu menghubungkan antara pantai dengan jalan utama, jalan Veteran. Si nenek tinggal berdua saja dengan si bungsu, anak gadisnya yang menderita keterbelakangan mental, idiot. Suaminya sudah lama meninggal, sedangkan anak-anak yang lain sudah pada pergi merantau mencari penghidupan mereka masing-masing. Kata orang anak-anak si nenek banyak tiggal di Jakarta, berjualan kain di pasar Tanah Abang.





Di rumah kontrakan si nenek yang enam pintu itu, aku dan bunda menghuni petakan nomor 6, paling ujung dekat dengan kamar mandi, WC umum dan comberan yang airnya mengalir turun ke kali kecil yang berada hanya berjarak sepuluh meter saja dari jendela kamar tempat tinggal kami. Kalau pada hari musim panas, bau pesing bercampur busuk dari sisa-sisa kotoran manusia merambat naik melewati jendela, hingga menusuk rongga-rongga hidung orang-orang penghuni rumah kontrakan. Mereka selalu mengeluh tentang polusi udara yang disebabkan oleh lubang kakus itu dibarengi air liur yang mereka buang ke tanah. Keluhan mereka hanya pada saat itu saja, nanti akan berlalu seperti angin yang berhembus datang dari laut.



Kalau musim hujan lain lagi ceritanya, itu, sisa-sisa itu bisa saja hanyut terbawa oleh air kali yang melimpah ke jalan, dihanyutkan air hujan hingga teronggok pelek dekat tangga rumah atau di jalan. Maka selalu saja setiap hari hujan, semua penghuni rumah kontrakan akan waspada, mata selalu awas, jangan-jangan nanti ada saja “ranjau darat” tergeletak di jalan sempit menuju rumah yang setiap hari mereka lewati. Jangan kaki sampai terinjak “ranjau darat” itu, kalau kena habislah air simpanan dalam rumah untuk pencuci kaki. Pergi mencuci kaki ke kamar mandi itu sama saja percuma, karena lantai kamar mandi becek, penuh lumpur hitam dari comberan yang melimpah masuk ke dalam situ dan akan mengendap.



Ada baik dan buruknya tinggal dekat dengan kamar mandi dan wc umum. Kalau yang buruknya sudah diceritakan tadi sebelumnya. Kalau hal baik ya tentu selalu saja ada. Setiap kali kebelet ingin buang air besar, tak perlu lari-lari masuk ke wc, tinggal turun tangga rumah dan langsung masuk ke dalam kakus. Kalau mencuci pakaian tinggal rendam baju dan celana ke dalam baskom, campur dengan bubuk deterjen lalu diamkan dan letakan di depan tangga rumah. Tak perlu menunggu antrian di kamar mandi untuk mencuci pakaian. Nanti itu ruangan kamar mandi, apa bila matahari mulai beranjak naik, akan sepi dengan sendirinya dari orang-orang yang setiap pagi rebutan untuk dapat memakai kamar mandi duluan.



Kamar mandi umum itu terbagi dua partisi. Satu kamar mandi yang paling besar, itu untuk perempuan dan yang kecil untuk laki-laki. Sengaja kamar mandi perempuan dibuat lebih besar, luas dan lapang, karena perempuan biasanya punya banyak urusan di kamar mandi. Cuci inilah, cuci itulah, sampai memandikan anak juga masih juga urusan mereka. Kalau para laki-laki ya tinggal mandi saja di dalam kamar mandi mereka, lalu cabut keluar sambil menenteng ember atau gayung di tangan sama handuk di pundak, terus langsung naik ke rumah.



Kamar mandi umum adalah hal yang selalu menjadi sumber konflik diantara para penhuni kontrakan setiap pagi. Setiap pagi ada saja keributan kecil terjadi di situ, biasanya terjadi antar sesama perempuan. Seseorang pasti merasa jengkel, kesal kepada orang yang kelamaan memakai kamar mandi. Ditambah lagi dengan suara anak perempuan yang merengek, mengadu kepada ibunya kalau orang yang di dalam situ lama sekali, dia mau cepat mandi agar tidak telat ke sekolah. Tidak jarang dinding seng kamar mandi di gedor-gedor hingga membuat suara gaduh oleh seseorang dari luar. Menyuruh orang yang di dalam supaya cepat keluar, karena anak gadisnya mau mandi karena mau pergi ke sekolah. “Salah sendiri, kenapa tidak lebih pagi mandinya kalau takut terlambat ke sekolah” Nah, itulah jawaban yang selalu terdengar dari dalam kamar mandi.



Kenapa harus kamar mandi saja yang menjadi sumber konfik, sementara kakus tidak di persoalkan. Mudah saja jawabnya, “pergi sana, berak saja di laut” begitu lah kata orang yang sedang keenakan nongkrong di dalam kakus kalau ada orang yang dari luar menyuruhnya supaya cepat. Memang laut dekat sekali dari tempat ku, hanya beberapa puluh meter jaraknya dari rumah. Kalau kakus sedang di isi oleh orang, aku ataupun siapa saja boleh tinggal lari saja ke pantai, nonkrong di atas batu-batu grit, membuang kotoran, membiarkan itu hanyut di lamun oleh ombak. Begitu lah keadaan kampung ku dulu. Tidak jarang orang bilang kalau kampung ku itu mempunyai sebuah wc terpanjang di dunia, tercanggih dan paling mutakhir karena tidak perlu capek menggosok atau membersihkan, di situ sudah ada ombak laut disediakan oleh alam yang bertugas membersihkan kotoran-kotoran yang tertinggal di bibir pantai. Ya begitulah, itulah sebuah bentuk karunia yang dipersembahan oleh alam kepada manusia yang tinggal tepi laut. Sudah selayaknya manusia itu bersyukur kepada Tuhan yang telah menciptakan alam untuk kebaikan semua yang tinggal di atasnya.






ANAK LONTE Chap: 1 MR. N

20:54:00 Add Comment




ANAK LONTE

Chapter 1: Mr N
Oleh Lucky Lukmansyah

Aku, siapalah aku? “Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang” begitulah kata Chairil Anwar. Sama persis apa yang dikatakannya dengan apa yang aku sarakan pada hari ini. Langit tempat ku bergantung, bumi tempat ku berpijak. Hanya badan seorang yang ku bawa berjalan menempuh liku hidup yang tak tahu dimana ujungnya. Hanya perut yang sepetak ini menjadi tanggung jawab dalam hidup ku. Alangkah ringannya beban di pundak ku, alangkah entengnya kaki ku melangkah. Meskipun perjalananku masih jauh, jauh sekali, walau mungkin sampai ke ujung dunia. Tapi, ada kalanya saat ini aku harus berhenti sejenak, istirahat, mengumpulkan bekal dan tenaga serta belajar, mempelajari peta hidup ku, guna melanjutkan perjalanan berikutnya.


Aku ini tidaklah sama seperti mereka, mereka di luar sana yang harus saban hari bekerja membanting tulang demi mengharapkan upah dibawa pulang untuk makan anak dan istri. Sama halnya seperti almarhumah bunda ku tersayang, siang malam dia rela badannya dihina dan dinistakan oleh para lelaki hidung belang, berharap mereka mengeluarkan lembaran demi lembaran uang kertas dari dalam dompet mereka, guna dibelikan sekaleng susu untuk ku, dibawa pulang dan membayarkan uang kontrakan yang setiap awal bulan ditagih oleh si nenek yang punya rumah. Demi Anak bujang si mata wayangnya, beliau berharap kelak akan berubah nasib ku, hijrah dari tempat yang penuh kubangan lumpur, air comberan, dari sisa-sisa sumpah serapah manusia ke tempat yang lebih bermartabat.



Aku teringat perkataan bunda, “Nak nanti kalau bunda sudah punya uang, kita akan pindah dari sini, bunda akan membeli sebuah rumah bagus, dan lalu memasukan mu ke sekolah negeri yang terbaik di kota Padang”. Itu baru dua dari keinginan bunda, dan masih banyak lagi keinginan dan cita-cita nya terhadap diriku, terhadap anak bujangnya yang seorang ini. Biarlah kini semua apa yang telah bunda ucapkan tertanam dalam dasar hati sanubariku yang terdalam. Suatu saat nanti aku yakin pasti akan berbuah, lalu aku akan memetik buah itu dan aku persembahkan kepadanya yang telah terbaring tenang di alam damai pusaranya.



Bunda, damailah bunda dalam tidur panjang mu. Janganlah engkau risaukan anak mu ini, anak mu sudah besar, sekarang sudah tidak tinggal rumah dekat comberan itu lagi, dan janji tidak akan kembali ke tempat itu, seperti apa yang engkau inginkan dulu. Kini jalan ku teramat panjang bunda, mungkin lama aku akan berjumpa dengan kubur mu lagi. Tapi walau dimanapun aku berada, dirimu selalu ada dalam dalam diri ku.



Disinilah tempat ku saat ini, di sebuah pulau terpencil, tidak jauh dari kota Padang. Hanya sebuah pulau kecil, yang terletak dalam sebuah teluk, orang-orang disini menyebutnya teluk Mandeh. Di pulau ini aku tidak sendiri, ada banyak orang. Kami disini bekerja kepada seorang orang laki-laki tua yang bernama Mr. N, seorang warga negara Italy. Mr. N menyewa pulau ini dari masyarakat adat setempat, untuk dia dirikan sebuah resort. Yah, disinilah aku, bekerja sekarang sebagai tukang menjaga kebersihan di dalam area resort.



Mr. N orang yang baik sekali, mau memberikan tempat tinggal untuk karyawannya yang masih bujang seperti diriku. Bagi ku Mr. N aku anggap sebagai bapakku sendiri. Maklum saja selama ini aku hidup belum pernah merasakan belaian kasih sayang seorang ayah. Baru dari Mr. N ini aku bisa merasakannya. Beliau sangat memperhatikan semua karyawannya. Karena beliau jauh, jauh lebih tua dari kami, maka beliau menganggap kami sebagai anaknya sendiri. Semua perkataannya aku dengarkan dan apa yang disuruhkannya aku kerjakan dengan segera. Tidak berapalah gaji yang bisa aku harapkan dari orang tua itu, tapi yang terpenting aku bisa punya tempat untuk berteduh dan bisa makan dari tempat aku bekerja di resort ini.



Aku bersukur karena Tuhan telah mempertemukan aku dengan Mr. N. Setahun yang lalu, di sebuah hotel di jalan Diponegoro. Pada waktu itu aku adalah seorang alumni Diploma 3, jurusan Bahasa Asing yang sedang mencari kerja, mengajukan lamaran ke sana ke mari, ke berbagai macam perusahaan, hotel dan bahkan restaurant. Belum ada satupun perusahaan yang mau menerima. Kalau aku melamar kerja di restauran selalu saja aku ditolak dengan alasan karyawannya sudah cukup.



Entah mengapa pada hari itu, keadaan ku benar-benar miris. Keuangan ku benar sudah pada titik nadir, atau nihil sama sekali, tidak ada satu pun receh yang tersisa di kantong. Yang ada hanya sebuah buku catatan kecil, yang isinya nomor telephone orang-orang yang aku anggap penting dan sebuah pena yang tintanya sudah rekarat.



Dari sejak kemarin malam mulut ku belum mengunyah sepotongpun makanan, perutku perih, maag ku kambuh, aku pusing, dan mual-maul. Ingin rasanya mengadu minta tolong sama kawan-kawan karib, tidak pula ada nampak satupun batang hidung mereka pada hari itu. Karena hari itu adalah Sabtu, hari libur kuliah. Biasanya ada teman ku, konco karib ku si Karapai namanya, berdua dengan dia setiap hari kami ngamen di ruko-ruko sepanjang jalan Imam Bonjol. Di jalan itu ada banyak terdapat rumah makan dan kedai bakso. Selalu Karapai yang mainkan gitarnya aku yang nyanyikan lagu. Namun malang sekali hari ini, maupun gitar itu ataupun si Karapai tidak bersama ku. Aku benar-benar merasa pinjang tanpa dia.



Maka keluarlah aku dari sarang tempat persembunyianku, dari dalam kampus, dari ruangan sekretariat mahasiswa, dimana disitulah tempat aku menumpang tinggal, menumpang hidup sebagai penghuni illegal, untuk hanya sementara waktu sampai aku mendapatkan pekerjaan tetap. Suasana siang itu di kampus sangatlah sepi, semua pintu kelas terkunci rapat, tidak ada pegawai, dosen maupun mahasiswa, yang hanya ada seorang satpam selalu setia menjaga posnya. Satpam itu sebenarnya tidak suka akan keberadaan sebagai penghuni illegal di kampus itu. Alasan dia adalah sederhana saja, karena aku bukan mahasiswa lagi katanya. Seharusnya aku sudah berangkat pergi jauh-jauh dan tidak kembali lagi ke kampus. Tapi, untungnya ada seorang wakil ketua akademik yang dengan baik hati mau memberi izin kepada ku untuk tinggal sementara saja di sekre.

Kampus ku itu berada di jalan Chairil Anwar. Dari situlah aku melangkahkan kaki mencari orang-orang yang aku kenal, orang yang mau meminjamkan aku uang untuk bertahan hidup. Rencanaku di hari itu aku akan pergi ke Puruih, ke kampung yang dulu dimana kami, maksudnya aku dan bunda pernah tinggal bersama. Berdua menjalani hidup yang bisa dibilang sangat sederhana, cukup makan dan segala kebutuhan hidup kami berdua tinggal di sebuah sebuah rumah bedeng kontrakan. Yang aku harapkan pergi ke tempat itu supaya bisa bertemu dengan teman-teman bunda, semoga saja ada yang baik hati untuk tempat aku mengeluhkan nasibku kepada nya.



Dari lokasi kampus aku langsung menyeberang badan jalan, melangkah terus melewati sebuah taman, dan melewati sebuah museum barulah aku sampai dijalan Diponegoro, tidaklah pula jauh jaraknya. Saat itu kondisi badan ku mulai lemas, dan lunglai, tapi di dalam, hati ku pekat, tetap semangat untuk terus bertahan sampai kesempatan terbuka lebar untuk ku. Untung saja cuaca kota Padang pada siang itu tidak panas terik seperti biasanya, agak mendung sedikit. Angin yang datang dari arah laut berhembus sejuk membelai tubuh ku. Dalam hati aku berdoa semoga Tuhan yang maha pengasih membantu menyelesaikan masalah ku hari itu. Tidaklah berapa jauh aku berjalan menyusuri jalan Diponegoro, hapir sampai di perempatan, aku sudah berada di depan hotel D. Aku akan terus jalan lurus saja ke arah Puruih. Dari tempat ku berdiri itu, kuperkirakan mungkin ada 2 kilo jaraknya ke Puruih. Kalau ditempuh dengan jalan kaki bisa menghabiskan waktu setengah jam. Aku tegarkan semangat ku, dan terus jalan lagi.


Masih didepan hotel D, tiba-tiba sebuah angkot warna biru berhenti pas di samping kananku. “Kiri.. kiri.. orang cantik turun” kata si knek angkot kepada sang supir. Angkotpun berhenti, si knek menuntun penumpangnya turun dari angkot dengan hati-hati seperti memapah barang yang mudah pecah saja. Begitu sayup-sayup terdengar teriakan si knek, disela-sela bisingnya deru mesin kendaraan yang lalu-lalang. Aku penasaran, ingin tahu secantik apakah penumpang yang disebut si knek tadi. Maka hadirlah seorang perempuan muda di depan ku, bergaya bak seorang model, dengan sendal tinggi tumit, celana jean biru ketat, pantat bahenol, dipadu dengan T-shirt putih polos pas body, dada bengkak, kulit putih bersih, rambut ikal sebahu, bibir bergincu merah, mata bercelak, sedang menenteng tas bermerek, melangkah naik ke atas trotoar setelah se kenek mengetok kaca angkot itu dan lalu berteriak “Cabut…” dengan nada tinggi kepada si supir.


Sebagai seorang laki-laki normal, wajar saja mata ku tertarik kepada sosok pemandangan bagus, yang begitu saja muncul di depan mata ku. Samalah seperti orang Padang kalau berkata, “Mato condong ka nan rancak, salero condong ka nan lamak”, yah begitulah kiranya aku. Langkah ku berhenti sejenak, ingin mengagumi kecantikan perempuan yang ada di depan mata ku.



Sepertinya perempuan muda itu ingin segera masuk ke dalam hotel D, dia agak terburu-buru. Tapi dia tahu aku sedang memperhatikan dirinya dari belakang. Lantas dia melongokan mukanya ke arah ku. Aku kaget, dia kaget, kami saling bertatapan. Aku mengenal dia, begitu juga sebaliknya. Aku malu pada diri ku sendiri. Dia malah memutar badan jalan semakin mendekat ke arah ku. “Raka…. kau kah ini nduk?” perempuan itu berkata, dan langsung menyampari diri ku. Aku mengenal dia, dia adalah mbak Yani, salah seorang teman dekat bunda. Dulu waktu aku masih SMA dia sering nginap di rumah. Mbak Yani semakin mendekatkan wajahnya menatap ku. Aku mundur selangkah pada saat tangan mbak Yani mengapai daguku. Ada apa dengan expresi wajahnya sampai sendu begitu menatap diriku. Mungkin dia rindu. Melihat wajah ku terkenang dia pada almarhumah Bunda yang sudah tiada.



Alangkah baiknya mbak Yani itu, pada hari itu, disaat yang tepat, di saat aku benar-benar dalam ketiadaan, dia membawa aku masuk ke dalam hotel, masuk ke restaurannya, lalu memesankan makan siang untuk ku sepiring nasi goreng, dan teh manis. Aku bersyukur sangat kepada Tuhan atas reski yang aku terima pada siang yang mendung itu. Tuhan benar-benar telah mengulurkan tangannya untuk menolong seorang manusia yang kelaparan, yaitu aku sendiri. Aku nikmati santap siang ku sendiri di dalam restauran, sementara Mbak Yani meninggalkan aku sebentar, ada urusan katanya. Setelah makan siang ku selesai, aku tidak beranjak dari tempat duduk, beberapa saat kemudian akhirnya mbak Yani kembali menemuiku setelah dia menyelesaikan urusannya dengan seseorang di lobi hotel. Dia memilih duduk menghadap kepada ku, menatap wajah ku sekali lagi lebih dalam, lebih dalam lagi seperti dia sedang mencari sesuatu dari raut wajah ku.


“Apakabar mu nduk?” dia bertanya kepada ku, suaranya serak dengan logat jawanya yang kental sambil menghisap sebatang rokok. “Kemana saja kau selama ini?”. Aku hanya diam saja, masih sedang berpikir mencari penjelasan untuk dirinya yang sedang penasaran akan keadaan ku.

“Kau seperti baru saja keluar dari dalam perut bumi” dia kemudian menjawab sendiri pertanyaannya yang muncul dalam benaknya.

“Sudah tiga tahun sejak bunda mu mati, baru kini aku bisa berjumpa dengan kau, kemana saja kau? Jawablah pertanyaan ku, jangan kau diam saja!” Mbak Yani semakin penasaran.

Aku bingung, dari mana aku harus memulainya?. Bagaimana aku harus menjelaskan kepadanya? Jadi aku cuma bisa jawab, “aku kuliah mbak”.

Mendengar aku kuliah, mbak Yani membesarkan matanya menatap ku, mulutnya terbuka lebar, dia seperti tidak percaya kalau aku adalah seorang terpelajar, seseorang yang telah keluar dari dunia kegelapan. Lalu kemudian wajahnya memancarkan sinar penuh harapan kepada ku. Dia sambung lagi sebatang rokok ke bibir nya yang penuh gincu merah, menghisap rokok lebih dalam lagi hingga sampai ke akar paru-parunya, dan dia jadi semakin penasaran kepada ku, “kau kuliah di mana?”


“Di Akademi Bahasa Asing….” diam “kampusnya dekat taman Melati itu lo mbak”

“Waw… keren ya” dia senang mendengarnya.

Benar, aku tahu mbak Yani benar-benar senang, dan tidak ada raut wajah pura-pura di depan ku.

“Tapi sekarang aku sudah tamat mbak” aku menjelaskan lagi sebelum dia sempat bertanya lebih jauh.

“Wah… hebat dong, kau sudah jadi sarjana sekarang”

“Yah begitulah mbak, tapi sekarang aku belum mendapatkan pekerjaan, masih sedang mencari-cari”

“Kapan kau tamat dari kampus itu?”

“Dua bulan yang lalu”

“Tinggal di mana sekarang?

“Masih dikampus itu”

“lo kok bisa?” dia sepertinya bingung


Terus percakapan kami berlanjut, banyak pertanyaan dia lontarkan kepada ku. Hingga mbak Yani membawaku pada seputar kejadian tiga tahun yang lalu. Hal yang itu pasti akan membuat hati ku pilu, tersayat dan teriris-iris perih mendengarkan perempuan itu bicara tentang kejadian dimana bunda ku waktu itu ditemukan orang dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi. Mati secara tragis, di dalam kamar hotel, bersimbah darah, dengan beberapa luka menganga di bagian perut dan dada, bekas tusukan benda tajam, dan tanpa sehelaipun benang menutupi badannya. Alangkah tragisnya kematian bunda ku. Tidak pernah terbayangkan oleh ku dulu bahwa nasib begitu kejam terhadap ibu ku yang malang.

“Apakah sudah tertangkap pelakunya?”

Aku tak bisa menjawab lagi, cukup, aku diam seribu bahasa. Aku tidak sadar air mata ku sudah sudah jatuh membasahi pipiku.

“Maafkan aku nduk” mbak Yani tergesa pindah ke tempat duduk yang disamping ku. Dia rapatkan badannya, dirangkulnya pundakku, dia rebahkan kepala ku ke dadanya. “Maafkan mbak mu nduk… mbak janji tidak akan membahas itu lagi”.

Keesokan harinya, pada jam yang sama, selepas Lohor, aku kembali ke hotel D, karena mbak Yani menunggu aku disitu. Aku disuruhnya datang dengan membawa ijazah D3 ku. Ketika aku telah sampai di lobi hotel, pada saat bersamaan, mbak Yani turun dari lantai dua bersama seorang pria tua, bule tua. Awalnya aku berpikiran bahwa laki-laki bule itu adalah teman kencan mbak Yani. Aku salah sangka. Dia lah orangnya yang disebut Mr. N. kepada ini Mr. N mbak Yani merekomendasikan aku untuk dapat bekerja di hotelnya, atau resort kalau Mr. N bilang.

Sepertinya Mr. N bukan orang yang penuh basa basi. Pas berjumpa pertama kali, orang tua itu langsung membawa ku berdialog dalam bahasa Inggris. Tentu saja aku bisa meladeninya, karena memang itu bidang ku, meski walau aku bukan ahli, tapi aku bisa.

Mr. N membaca dengan teliti kartu identitas ku, ijazah ku, lalu dia diam sejenak. Entah apa, aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi mbak yang duduk disamping Mr.N tidak mau diam saja.

“Come on uncle, please, take him….. He is like my son” Mbak Yani membujuk Mr. N supaya mau menerima kubekerja di resort miliknya.

“All right son, tomorrow is Sunday right? You see me in Muara at 5 o’clock at HW Cafe, I’ll gonna take to the island by boat, and don’t be late, okay!”

“Yes sir” Aku berdiri memberi salut kepadanya

Senang sekali mbak Yani mendengar Mr. N besok akan membawa ku bekerja ke pulau C, dimana orang tua itu menjalankan usaha private resort nya untuk para turis-turis asing yang ingin berlibur di kota Padang.

“Thank you uncle, thank you, you are my man” Begitulah respon mbak Yani kepada Mr. N. Dipeluknya Mr.N dan diciumnya pipi keriput orang tua itu persis di hadapan ku tanpa ragu. Dari situlah aku tahu, bahwa Mr. N bukan tipe laki-laki hidung belang seperti yang aku sangka sebelumnya. Dari cara mbak Yani memeluk dan mencium pipinya aku dapat menilai bahwa Mr. N telah menganggap mbak Yani seperti anaknya sendiri. Laki-laki tua itu tampak memiliki kepribadian kuat,penyayang, dan mengayomi semua orang-orang yang dekat dengan dirinya. Memang ini adalah jumpa pertama ku dengan Mr. N. Dari pertemuan pertama ini dia memberikan telah kesan bahwa dia mau menjaga ku, mau mendidik ku untuk menjadi orang yang lebih baik kedepannya.


Photo oleh: www.anneahira.com




















Menanti Angin Bertiup # 12 Oleh Yuhardi Tanjung

15:52:00 Add Comment



Menanti Angin Bertiup

Oleh Yuhardi Tanjung
 
Part 12
Waktu masih berlalu seperti biasanya, aku sibuk dengan pekerjaan ku. Wid sudah pulang kee kampung, dia juga sibuk mengisi waktunya menjadi guru agama di MIS (Madrasah Islamiah Swasta) di Ampang Pulai, Trs. Disinilah letak kelalaian ku, entah karena sibuk dalam pekerjaan ku, aku pada akhir-akhir hubungan ku dengan Wid, tidak lagi menulis surat padanya, dan jarang pula ke kampung untuk menjengukya.



Pernah satu kali aku pulang ke kampung. Sore itu aku duduk-duduk pada palanta rumah tek Cilan di Pasa, aku melihat Wid bergoncengan, sepertinya dengan seorang laki-laki, yang datang dari arah Kapuh. Aku senyum saja melihatnya, dia tidak membalas, mungkin dia tidak tahu akan ke hadiranku. Tapi kemudian dia sadar akan keberadaan ku di pasar, di palanta itu, langsung saja dia memutar sepedanya waktu melihat kehadiranku di situ. Dengan gembira dan wajah merona Wid datang menghampiri diri ku yang sudah berdiri di seberang jalan menunggunya.

“Bilo uda pulang?” Wid menanyai ku setelah dia sampai di hadapan muka ku, “Baru sajo tibo” aku menjawab. “Wid dari mana? Kok teman nya ditinggal saja” aku bertanya sambil menggodanya. “Oo dia, itu kami tadi jumpa di Pulai” Wid menjelaskan kepada ku tentang teman laki-lakinya itu.



Begitulah, aku pulang ke kampung hanya untuk menghilang rindu ku padanya. Jika aku telah berjumpa dengan Wid, rasanya hilang sudah segala hal yang menyesak di dalam dada, lega, dan lapang terasa di hati. Semua hal terasa indah bagi ku apabila telah bertemu dengan dia. Sore itu aku sangat terpesona sekali dengan cara berpakaian, berkain panjang, dan berselendang menutupi kepalanya. Keteduhan pandangannya dan kelembutannya wajahnya membuat hati ku menjadi tentram, besar harapan ku kepadanya. Aku tidak bertanya lagi kepada Wid tentang laki-laki yang bergonceng di sepedanya tadi. Aku tahu kalau dia bilang dari Kapuh, berarti dia baru saja dari rumah eteknya, saudara kandung ibunya. Pastilah laki-laki itu sepupunya Wid.



….……………….



Hari itu adalah hari terakhir bertemu dengannya. Semenjak aku bekerja di pulau Pagai, memang jarang aku memberi kabar kepadanya, bahkan boleh dikatakan tidak ada kabar apa-apa dari ku. Sampai saudara Pir datang ke Pagai untuk bekerja sebagai Tally Sheet. Pir datang sambil membawa sepucuk surat dari Wid. Ah aku memang tidak mengerti dengan pikiran ku sendiri, sampai si Pir kembali pulang ke kampung tidak sedikitpun aku berniat untuk membalas surat Wid waktu itu. Aku khawatir ini akan jadi hal yang akan merusak hubungan antara aku dan Wid nanti. Kepada Wid, inilah kesalahan terbesar yang telah ku perbuat kepadanya, pertama aku tidak memberikan kabar kepadanya, kemudian surat itu, tidak pula aku sempatkan membalasnya. Maka tersiarlah kabar yang beredar di kampung bahwa aku telah sedang berpacaran dengan seseorang di pulau Pagai.



Ah.. aku akui, bahwa aku memang tidak lagi mempedulikan Wid. Karena masa itu pikiran ku sedang dilanda beban berat tentang adik ku. Adik perempuan ku yang no dua. Dia sebentar lagi akan melangsungkan perkawinnan dengan laki-laki pilihannya sendiri. Tahulah aku, bapak dan ibu tentu tidak sanggup menanggung beban ini. Jadilah aku sebagai anak tertua yang harus memikirkan biayanya. Ditambah lagi dengan persyaratan dari tek Nani dan suaminya, kalau keluarga ku ingin memakai rumah elitnya untuk acara pernikahan boleh, asal kami bisa menyembelih seekor sapi untuk pesta tersebut. Kenapa? Karena beliau keduanya adalah orang berpangkat, undangan dari pihak beliau sangat lah banyak. Dan para tamu yang akan datang menghadiri pesta itu pastilah bukan orang sembarangan.

Yah… apa boleh buat, kesepakatan telah telah bulat antara keluarga ku dan tek Nani, mau bilang apa lagi, terpaksa syarat itu aku harus penuhi, disebabkan alasan karena kami tidak punya tempat tinggal yang layak untuk menyelenggarakan perhelatan “alek”.

Acara pestanya diselenggarakan di Padang saja, di rumah tek Nani. Segala perhitungan dan persyaratan dengan keluarga pembelai laki-laki telah bulat, waktu yang ditetapkan semakin dekat, tidak bisa dirubah lagi.

Pada hari menjelang hari H perkawinan adik ku, ku lihat banyak orang-orang kampung datang untuk membantu urusan pesta perkawinan tersebut. Yah karena begitulah kebiasaan orang-orang di kampung kami. Diantara orang-orang kampung yang datang kulihat amaknya Wid juga hadir untuk menyumbangkan tenaganya. Waktu itu aku pikir sebaiknya aku menanyakan perihal tentang Wid ke pada ibu itu. Tapi entah kenapa, aku terlalu pengecut untuk bertanya hal-hal seperti itu kepadanya. Sampai pada acara pesta selesai dan orang-orang itu pulang kembali ke kampung, pertanyaan itu tetap tinggal dalam benakku, tidak pernah terucapkan lagi.

Entah mengapa keberanian ku tidak pernah muncul sedikitpun, dan lagi pula aku tidak pernah menerima dorongan dari ibuku mengenai hubungan ku dengan Wid. Baik itu dari adik sepupu ibuku maupun famili ibu yang lain tidak pernah aku mendengar secara langsung maupun berupa kata-kata sindiran, entahlah. Seakan-akan aku sedang berjalan ditengah malam gelap gulita tanpa sedikitpun ada secercah pelita menerangi, bayang-bayang pun sesekali tak mau menemani langkah kaki ku. Terus terang aku malu untuk mengatakan isi hati ini kepada orang lain, entah lah aku harus bagaimana lagi.

Tak berapa lama setelah hari perkawinan adikku, tanpa selamat tinggal kepada Wid yang di kampung, aku langsung melenyapkan diri lagi, tenggelam dalam riuhnya pekerjaan di pulau Pagai. Di pulau Pagai yang jauh dari peradaban kota, di balik samudera itu aku merasa hati ku hampa, dingin, rasanya benar-benar sudah putus hubungan dengan Wid. Karena tiada kabar berita dari ku, entah mengapa hati ku benar-benar telah dingin kepadanya. Tidak berapa lama aku berada di pulau Pagai, sekembali aku dari Pdg, terdengar kabar dari adik ku, bahwa Wid akan melangsungkan pernikahan dengan saudara Amran, seorang guru yang sama mengajar dengan diri nya. Oh… aku betul-betul telah ditinggalkannya… aku jadi linglung, tidak tahu apa yang akan ku perbuat saat itu. Tapi aku mengerti kenapa dia mau menyetujui menikah dengan seseorang. Ya.. tentu saja, kalau lah aku menjadi dia, tentu jalan itu juga yang akan ku tempuh. Dari pada menunggu seseorang yang tidak pasti. Seakan-akan dia digantung tapi tergantung tidak ada sehelai tali yang ada pada dirinya, mungkin kah seperti itu, tapi begitulah kenyataannya.

Aku mengirimkan uang kepada adik ku, aku minta tolong belikan kain untuk bisa membuat satu stel baju guntuing ala malaysianantinya. Sebagai kado buat Wid nantinya. Ditambah sebuah kartu pos yang bergambar bunga mawar yang sedang mekar dengan ucapan “Selamat Berbahagia”.

Selang tidak lama setelah hari perkawinannya, aku pun minta izin cuti dari perusahaan sekitar dua minggu. Aku pulang ke kampung untuk menyampaikan ucapan selamatku pada Wid. Di kampung ku tidak langsung ke rumahnya, aku pergi dulu ke rumah famili-famili ku di kampung. Tujuan ku adalah untuk mencari tahu kabar berita seputar perkawinan Wid dengan Amran, yang biasanya ada-ada saja akan disampaikan mereka kepada ketelinga ku nantinya.

Memang ada kabar tentang dia yang sempat mampir ditelinga ku mengenai proses perkawinan Wid dengan Amran ini. Ada berita bahwa sempat tidak diterimanya hantaran kue oleh keluarga Wid kepada keluarga Amran. Berhubungan Amran ini sudah dicalonkan dengan perempuan lain. Kemudian aku ketahui bahwa Amran ini tidak punya ibu kandung, karena sudah lama meninggal. Amran ini tinggal dengan adik-adik ibunya. Tapi entah bagaimana pernikahan mereka dapat berjalan dengan baik. Selanjutnya aku tidak mendapatkan berita yang pasti. Aku tidak lagi mencari tahu lagi berita seputar pernikahan mereka. Cukup sudah, bagi ku mereka sudah resmi berkawin, sebagai suami istri. Yah … sudah lah biarkan saja, mereka sudah bahagia.

Sorenya aku ke rumah Wid, aku ditemani Alimar, familiku yang tinggal tidak jauh dari rumah Wid. Di rumah nya yang pertama aku temui adalah bapaknya Wid. Suasana rumahnya benar-benar baru selesai perhelatan. Masih kulihat kertas-kertas hias yang terpasang pada dinding rumah, dan kertas gaba-gaba masih melilit pada tiang dan tonggak rumah. Ada rasa pedih dan ngilu di hatimkusaat itu.

Yang pertama kutanyakan adalah menanyakan perihal “uda”nya atau suaminya. “Ma uda Wid?” dia tidak menjawab, mulutnya tertutup. Matanya tidak melihat ke arah ku, dia diam saja. Ada galau menyelimuti hatinya. Sampai aku pulang dari rumahnya tetap dia hanya diam seribu bahasa. Hanya bapaknya saja yang melawan aku bicara di rumah itu. Walau pun ada ketawa keluar dari mulut ku dalam perbincangan berdua dengan ayahnya hari itu, tapi itu hanya di luarnya saja yang tampak, sedangkan dalam aku telah hancur luluh, berantakan.

Sejak hari itu aku tidak lagi bertemu dengan Wid. Ada kegalauan yang aku alami, aku hanya diam saja dirumah. Aku betul-betul terpuruk.rupanya perihal diriku yang demikian menjadi perhatian oleh adik sepupu ibu ku. Dia menaruh perhatian pada kondisiku, etek Lis, dialah orangnya, seorang guru SD, dia merasa prihatin pada keadaaan ku. Pada hari kemudian, tek Lis datang kepada ku, dia menawarkan ku untuk melihat seorang perempuan yang mungkin bisa aku lamar. Dengan separoh hati aku memenuhi ajakannya. Jadilah kami malam itu berangkat menuju ke rumah si Eti, nama perempuan yang akan aku lamar. Rumahnya cukup jauh dari tempat kami, yaitu di Karang. Dalam suasana gelapnya keadaan jalan di kampung kami pun berangkat, ada bertiga kami ke tempat itu, tek Lis dengan adiknya menemani aku.

Sesampai kami di rumahnya itu, rumah yang besar dan luas berandanya, rumah modal lama yang masih kokoh buatannya. Kami diterima oleh kakak si Eti, seorang perempuan yang rupanya juga seorang guru SD. Ternyata sebelumnya sudah ada pembicaraan pendahuluan mengenai diriku dengan tek Cilan, adik tek Lis sebelumnya. Aku hanya mendengar sambil mengangguk-anggukan kepala melihat mereka telah mulai bicara ke arah yang serius. Pikiran ku lagi sedang tidak di badan waktu itu.

Dalam kegalauan pikiran ku tiba-tiba suara gelas jatuh di muka ku. Rupanya air minum yang dibawa dengan baki keluar oleh seseorang dari dalam rumah tumpah semuanya, pas hidapanku. Karena waktu itu yang membawa baki yang berisi minuman itu tersandung kakinya pada kaki meja. Semua air tumpah membasahi lantai dan kaki celana ku.


Mungkin karena terkejut, tanpa disadari, tiba-tiba tek Lis terucap kata-kata olehnya “Ah… indak ka jadi ko doh” tapi malam itu pembicaraan mengenai cara-cara pelamaran diriku masih tetap diteruskan. Dari pihak si Eti, mereka akan mengunjungi ibuku yang berada di Pdg lebih dahulu.

Pembicaraan ini hanya sampai disitu saja dulu, karena pembicaraan selanjutnya akan dilakukan di Pdg. Kami pun kembali pulang, dalam perjalanan pulang, tidak sepatah pun kata yang keluar dari mulut kami. Suasana kelam disepanjang perjalanan, begitu pula kiranya suasana hati ku.


Kembali saja ke Pdg, begitulah keputusan ku, mudah-mudahan ini akan menjadi pengobat hati ku yang sedang gundah. Di Pdg aku bisa menghibur diriku dengan ke ramaian disana. Ya.. aku akan pergi jalan sendirian, pergi kepinggir laut, merasakan nyamannya tiupan angin laut membelai sekujur badan ku.

Telah lama hati ku kosong semenjak perkawinannya dengan Amran. Aku pikir apakah aku yang salah atau kah dia? Aku tidak tahu jawab nya, semuanya telah terjadi begitu saja. Sejak hari itu aku tidak banyak bicara lagi, hanya diam diri saja seperti batu. Memutuskan untuk tidak kembali lagi ke kampung. Ku habiskan masa bujang ku disana, di pulau itu, di balik samudera, di pulau Pagai namanya. Menimbun diriku dengan banyak pekerjaan setiap hari. Jarang pulang ke Pdg. Beberapa tahun kemudian aku pun melangsungkan pernikahan dengan kemenakan ayah ku yang tinggal di Jkt.


Tamat









Menunggu Angin Bertiup #11 Oleh Yuhardi Tanjung

20:16:00 Add Comment


Menunggu Angin Bertiup
Oleh Yuhardi Tanjung

Part 11

Besok Pagi sewaktu aku mau berangkat ke kantor, ternyata Wid sudah menunggu aku di rumah kost tempat uni Zurma anaknya pak Kamar. Di situ aku terkejut melihatnya sudah berdiri menunggu ku. Ada apa gerangan? Kenapa dia menanti ku sepagi ini?

Dengan dada degdegan, aku melangkah menuju ke tempat kos itu. Aku berdiri saja di depan rumah, Wid juga berdiri saja, tidak mau menyediakan aku untuk duduk. “Ada apa Wid?” jantung ku dag dig dug menunggu dia yang ingin mengatakan sesuatu kepada ku. “Tidak ada apa-apa, uda”. Wah lega… ku kira tadi ada hal sangat penting mau dia sampaikan. Kemudian Wid melanjutkan omongannya, Wid mengatakan bahwa dia mau mengikuti test penerimaan guru agama di Departement Agama. Aku senang mendengar kabar itu darinya. Dia meminta aku mendoakan dirinya supaya bisa lulus dan diterima menjadi guru agama, karena itu adalah cita-citanya sedari dulu. “Semoga berhasil, Uda doa kan supaya Wid Lulus dalam test itu”.

Pada suatu kesempatan di kantor, aku bicara banyak hal dengan pak Yan Wirdan, memang kami bekerja dalam satu ruangan. Kepada pak Yan, entah mengapa aku sempat membicarakan banyak hal tentang Wid, Wid yang mau mengikuti test menjadi guru Agama. Aku senang pak Yan sangat merespon pembicaraan ku dengan serius. Bapak itu mendengarkan aku bicara panjang lebar tentang Wid. Begitulah hebatnya bapak itu, beliau sangat baik hati, meski cuma mendengar saja berita dari ku, tidak melihat dan mengetahui siapakah Wid, perempuan yang sedang aku ceritakan kepadanya, dia langsung mengambil kertas dan pena. Aku kira ada apa dengan bapak ini, mengapa dia mengeluarkan alat tulis itu. Dia seperti seorang jurnalis saja, seseorang yang sedang mengejar berita duduk di seberang meja kerja ku.

Oh tidak.. aku salah paham kepada pak Yan. Ternyata bapak ini sedang membuat sebuah surat kepada temannya yang bekerja di kantor Departement Agama, isi nya adalah untuk merekomendasikan Wid supaya bisa diterima bekerja di kantor tersebut. Menurut pak Yan teman yang dia surati itu memiliki cukup pengaruh dalam kantor departement itu. Wah baiknya bapak ini. Aku jadi segan dan hormat sangat kepadanya.

Kulihat cukup panjang surat yang ditulis oleh pak Yan kepada temannya yang di maksud, ada dua halaman kertas HVS panjangnya. Setelah surat dilipat dan dimasukan ke dalam amplop putih, di luar amplop dituliskan alamat si pengirim dan nama lengkap orang yang dimaksud pak Yan, lengkap dengan gelar dan title yang dia miliki dan alamat kantornya sekaligus. Surat itu pak Yan berikan kepada ku. Beliau berpesan “Bawalah surat ini oleh adik pak Eddy itu. Carilah bapak ini, berikan surat ini kepadannya. Mudah-mudahan teman ku itu bisa menempatkan adik pak Eddy itu nanti, semoga saja”.

“Yah Semoga saja pak, terimakasih banyak kebaikan pak Yan kepada kami” Aku terharu menerima begitu besarnya perhatian dari seorang kolega senior terhadap ku. Aku bangga kepada pak Yan, bangga bisa berada seruangan dengan dia. Walaupun umur kami terpaut begitu jauh, bisa dibilang seperti bapak dan anak, pak Yan tetap memanggil ku dengan sebutan pak.

Malam nya aku bertemu dengan Wid. Ku berikan surat titipan pak Yan kepada Wid. Wid begitu gembira menerima surat itu, terlihat sebuah harapan besar diwajahnya, apalagi aku. Kemudian Wid heran kenapa bapak itu baik sekali kepadanya, kenal tidak saudara juga tidak. Aku pun juga tak habis pikir. Wid bertanya kepada ku tentang siapakah bapak ini sebenarnya. Aku memberi tahu kepada Wid apa adanya sepengetahuan ku tentang pak Yan, bahwa kolega ku itu adalah seorang pensiunan kantor Gubernur Sumatera Barat, kalau tidak salah pangkat terakhirnya adalah Gubernur Muda. Hanya itu saja. Aku tidak tidak tahu apa maksud dari ‘Gubernur Muda’ yang dimaksud.

Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan dengan Wid pada malam itu aku tak kunjung juga bertemu dengan dia. Jumlah pekerjaan dikantor semakin meningkat, bahkan aku sering pulang hingga larut. Aku lupa menanyakan hasil test Wid yang ingin menjadi guru agama tempo hari. Sedangkan dia tidak juga datang ke tempat ku. Bahkan juga tak ku dengar dari kawannya, uni-uni, teman kost tempat dia sering main di situ kalau Wid mencari ku. Setiap pagi aku lewat di depan rumah kost itu, tapi tak ada seorangpun memanggil diri ku. Bahkan sengaja aku jalan pelan di depan rumah itu, berharap dapat berjumpa dengan Wid. Tapi pintu rumah itu tertutup saja. Biasanya pagi-pagi pas aku berangkat kerja, ku lihat mereka telah pula sibuk beraktifitas.

Sampailah pada suatu sore, aku pulang kantor cepat. aku mengayuh sepeda dengan santai, tidak pula terlalu lambat, sedang saja. Aku lewat jalan kampung Terandam I, tidak jauh dari Alang Lawas, disana memang banyak terdapat deretan rumah kost atau kontrakan. Sambil mengayuh sepeda, lamunan melayang terbang menuju kepada Wid, si gadis kampung nan sederhana, gadis pujaan hatiku. Sore itu aku berharap bisa bertemu dengan Wid. Entah mengapa ke dua tangan ku ingin sekali mengelokan stang sepeda agar lewat ke sebuah gang kecil, yang mana gang itu nantinya berujung di jalan belakang rumah ku. Aku jarang sekali lewat di gang itu, banyak anak-anak berlarian, bermain di jalan yang sempit. Aku biasanya lewat jalan besar, jalan utama, hingga sampai lewat di depan rumah Gadang Puti, lewat samping samping biasanya sampai lah di halaman rumah ku.

Tapi kali ini, aku lewat gang di depan rumah kos uni Mona, ketika melewati deretan rumah kos itu, aku mendengar suara-suara anak gadis sedang ketawa cekikikan di dalam sebuah rumah, aku lewat saja terus. Beberapa langkah jaraknya dari rumah itu, ada suara memanggil ku, “Uda… uda… uda Eddy.. tunggu!” Aku ingat, bahwa itu adalah suara Wid di belakang ku. Aku menoleh ke belakang, memang dia dengan baju kurung dan selendang berjalan agak tergesa menuju diri ku. Senyuman nya mengembang pas tangannya menyentuh dudukan belakang sepeda. “Uda kemana saja, kenapa jarang kelihatan?” Wid menyapa ku.

“Tidak, tidak kemana-mana, tapi memang belakangan hari ini sering kerja lembur, pulang sampai larut malam” aku menjelaskan kepada Wid tentang kesibukan ku akhir-akhir ini. “Bagaimana kabar Wid?” aku balas bertanya.

“Alhamdulilah… Wid ada sehat uda” Dia menjelaskan begitu. Akhirnya aku dan Wid dapat bertemu, walau hanya gombrol di jalan, di bawah pohon jengkol yang sedang berbuah lebat, beberapa meter saja jaraknya dari samping rumah kost uni Mona.

“Bagaimana hasil test di departemen agama waktu itu Wid?” Aku bertanya kepadanya. Aku penasaran, berharap sangat agar dia dapat diterima bekerja di departemen tersebut.

Bukannya gembira Wid aku bertanya akan hal itu, tapi malah dia jadi murung, rona wajahnya membayangkan kesedihan. Maka sadarlah aku apa yang telah dia alami selama seminggu kemarin. Dari rona wajah murungnya sudah dapat aku tebak apa jawabannya. Benar sudah, akhirnya dia mengatakan kepadaku bahwa dia tidak berhasil lulus dalam test kemarin. “Yah sudahlah Wid, relakan saja, buka rejeki itu namanya. Coba lagi tahun depan, mana tahu bisa berhasil, semoga saja” aku menghiburnya.

“Iya uda…. Wid akan coba lagi tahun depan, Wid akan tetap berusaha terus supaya bisa bekerja sebagai guru Agama. Walapun semuanya, pada akhirnya tuhan juga yang menentukan apa yang terbaik utnuk Wid” Wid menjelaskan kepada ku bahwa dia tidak patah arang menghadapi kegagalan yang pertama itu. Kulihat murung itu sudah sirnah dari wajahnya. Timbul sebuah harapan baru, dapat ku lihat dari sorot matanya yang membesar ketika bicara tadi di hadapan ku. Aku girang dan bangga melihat Wid punya semangat berjuang dalam hidupnya.
 
Bersambung....


Menunggu Angin Bertiup #10 oleh Yuhardi Tanjung

16:42:00 Add Comment

Menunggu Angin Bertiup

Oleh Yuhardi Tanjung

Part 10

Kini aku telah di Pdg, aku telah berkumpul kembali dengan bapak, ibu dan adik-adik. Mereka gembira dengan kedadiran ku di tengah-tengah mereka. Walau kehidupan kami sangat sangat sederhana sekali, tapi kami cukup bahagia walau itu ukurannya sangat relatif. Bagi ibu, walau kehidupan serba berkekurangan, tidak pernah ia sekalipun bertengkar dengan bapak. Ibu selalu diam saja walau penghasilan yang bapak bawa pulang tidak mencukupi untuk keperluan sehari-hari. Kasihan ibu, terpaksa ia harus berhutang, gali lobang tutup lobang ke warung Mak Tuo untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Biasanya habis bulan, setiap bapak terima gaji, bapak menyerahkan kepada ibu, dan langsung ibu setorkan ke Mak Tuo, si pemilik warung, dan sisanya hampir tidak ada, bahkan kadang-kadang tekor. Mak Tuo mengerti akan keadaan ibu, beliau selalu sabar menghadapi ibu yang sering mengeluh karena kekurangan.

Dulu ibu masih bisa pakai gelang dan dukuh emas, serta ibu juga punya mesin jahit bekas yang dia beli dari etek Si War, mama Si Vera yang tinggal di dekat rumah gadang itu.

Ibu pernah juga pakai sandal tinggi tumit yang waktu itu sangat model. Dari photo-photo yang tersimpan aku masih lihat sisa-sisa kebahagiaan ibu dan bapak. Betapa bapak yang kala itu masih kelihatan ganteng dan ibu yang masih muda ceria, berwajah manis dengan aku putra pertamanya yang duduk di tengah-tengah ketika masih berumur 2 tahun.

Ibu dengan umur yang semakin lanjut, memang banyak perubahannya. Sekarang kalau setiap selesai makan suka sekali menghisap rokok, rokok yang diminta dari bapak. Sambil menghisap rokok, setelah makan, ibu tampak sering bermenung. Mungkin banyak pikiran. Adikku yang nomor dua setelah aku telah pula beranjak dewasa, dan adik yang nomor tiga akan mengiringi di belakangnya. Sedangkan penghidupan kami masih belum ada perubahan kearah yang lebih baik. Mata pencaharian bapak sebagai pekerja gudang tidak seberapa penghasilannya.

Sering ku perhatikan ibu sedang sholat, beliau sholatnya lama sekali, bukan sholatnya yang lama, tapi berdoanya yang lama. Sering pula ku lihat ada bekas air mata beliau jatuh membasah tempat sujudnya. Aku tidak tahu apa yang beliau sedihkan. Dari keseharian ibu tidak pernah ada selisih paham dengan bapak. Tidak pernah ada pertengkaran yang terjadi antara bapak dan ibu.

Bisa jadi, mungkin, perkiraan ku ibu sedih memikirkan masa depan kami, anak-anaknya yang sembilan orang. Terutama mencemaskan keadaan anak gadisnya yang dua orang itu, yang mulai tumbuh dewasa. Tentu sebentar lagi akan datang jodoh mereka. Maka sebagai orang tua beliau berkewajiban untuk mengangkat ‘alek’, adatnya sebagai orang Minang menyelenggarakan pesta pernikahan. Tapi dengan apalah ‘alek’ itu akan dibuat, istilah orang kalau tak ada kayu jenjang di keping. Sayang sekali bagi ibu, jenjang itu betul yang tidak ada. Lalu apalah mau di buat. Begitulah kiranya gambaran keadaan keluarga kami.

Aku berusaha melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan dan instansi pemerintah, tapi tak satupun yang bersedia menerima ku. Pernah bapak membawa ku ke PT Tani Makmur, tempatnya ada di jalan Pemuda, waktu itu yang menjadi managernya adalah teman bapak. Entah apa ceritanya bapak dengan dia, aku dibawa ke sana. Pukul 8 pagi kami sudah sampai di tempat itu. Aku disuruh tinggal disana menunggu keputusan atasannnya teman bapak. Sedang bapak harus masuk kerja, sehingga harus pergi meninggalkan aku sendiri.

Sambil menunggu aku melihat koran yang aku paling tidak suka kalau tidak menyempatkan membacanya barang sebentar. Aku bacalah koran itu, sampai teman bapak itu mucul masih sedang baca koran juga. Mungkin ini menjadi suatu hal yang jelek di matanya. Masa seorang pelamar masih saja kerja membaca koran selagi menunggu keputusan diterima atau tidak dari calon atasan. Akhirnya aku disuruh pulang dulu sampai ada panggilan berikutnya dari perudahaan. Demikianlah sampai saat ini tidak ada panggilan dari perusahaan itu, aku dengar sekarang perusahaan itu sudah tidak ada lagi.

Adik ku yang di bawah ku, yang perempuan, pada pertengahan tahun 1972 telah menamatkan sekolah SPG. Dia langsung dilamar oleh seorang laki-laki, mantan gurunya. Lelaki itu bekerja di perusahaan Mac Dermot, perusahaan asing di bidang exploitasi minyak di Singapore. Tak lama menikah, adik ku langsung dibawa ke Jawa oleh suaminya itu. Waktu menyelenggarakan pernikahan itu aku tidak tahu bagaimana bapak dan ibu bisa dapat biayanya, aku tidak tahu sedikitpun.

Yang aku tahu waktu itu aku sempat selang beberapa hari, aku turut serta mengangkat perabot pinjaman dari seorang teman bapak di kampung ke rumah nenek, di kampung, karena acara pernikahan adik ku itu diadakannya di kampung. Aku tidak hadir waktu acara nikah itu. Mungkin ibu banyak pertimbangan begana dan begini untuk menutup biaya pernikahan adik ku.

Sementara, karena belum ada kepastian tentang lamaran-lamaran yang telah aku kirimkan ke perusahaan, aku mengisi waktu kosongku dengan bekerja sebagai pembantu tukang kayu, tukang batu, dan tukang tarik kabel pengambil batu untuk proyek pemasangan Krib pantai Padang di Indarung. Semua itu ku lalui dengan sabar di tahun 1972. di penghujung tahun 1973, aku diterima sebagai pegawai LLASPF sebagai tenaga honorer tanpa gaji, oleh seorang tetangga kami yang kasihan melihat ku tidak punya pekerjaan tetap.

Di kantor LLASDF yang baru membuka cabang di Pdg, tidak pula lama aku bekerja di sana. Hanya sampai tiga bulan saja. Kalau pergi ke kantor kau nebeng dengan bos naik motor, begitu juga kalau mau pulang, kadang-kadang harus jalan kaki dari kantor itu yang berlokasi di Pdg Baru ke Alang Lawas, cuku jauh juga, sehingga kaki ku jadi lecet, karena memakai sepatu kulit, bekas, pemberian pak Yus, suami etek ku, etek Nani.

Pernah Bos ku yang di LLASDF membawa aku kerja di Maninjau, tepatnya di tepi danau Maninjau, Agm, di desa Sungai Batang. Kurang lebih ada satu bulan kami di sana untuk memperkenalkan instansi baru yang akan bertugas mengawasi lalulintas perahu-perahu di perairan danau Maninjau. Di danau itu sarana perhubungan mengunakan perahu bermesin tempel.

Pada bulan Desember 1973, aku menerima panggilan kerja dari perusahaan Minas Lumber Corp. Perusahaan ini bergerak di bidang perkayuan, adanya di kepulaan Mentawai, tepatnya di pulau Pagai. Perusahaan mengadakan kerjasama dengan perusahaan asing. Aku diterima bekerja di perusahaan itu berkat bantuan etek Nani. Etek Nani bekerja sebagai pegawai negeri di badan Immigrasi Pdg. Perusahaan ini banyak mempekerjakan orang-orang asing, tentu saja mereka berurusan dengan kantor immigrasi. Di perusahaan ini pada mulanya aku di tempatkan sebagai Payroll Clerk. Alangkah senangnya hati ku, pada terima gaji bulan kedua aku sudah bisa membeli sebuah sepeda Phoenix baru. Aku pergi kerja tidak lagi dengan jalan kaki.

Beliau, bapak dan ibu senang tidak kepalang karena aku telah bekerja dan dapat membantu biaya hidup keluarga. Kami tidak lagi merasa kekurangan. Gaji ku sering aku berikan semuanya kepada ibu supaya dapat dipakai untuk belanja. Sedangkan bapak masih tetap bekerja di gudang itu.

Dengan penghasilan ku, aku telah dapat pula membeli empat kodi atap seng guna menganti atap rumah kami di kampung yang masih beratap rumbia. Ini merupakan cita-cita ibu yang sudah lama ingin memiliki rumah dengan atap seng.

Di Pdg, masih saja rumah yang kami tinggali ini adalah sewaan, rumah guduk kecil dan sempit. Tapi walaupun begitu, itu adalah rumah persinggah bagi orang-orang dari kampung yang sedang ada atau punya urusan di Pdg. Sering mereka datang ke kerumah kami untuk beristirahat barang semalam atau dua. Ibu tidak dongkol, sama sekali tidak, walaupun rumah kami kecil, dan sempit tetap pintu rumah akan selalu terbuka dengan senyuman ibu yang ramah bagi siapa saja yang datang. Bagi ku itu tidak masalah, aku sudah biasa tidur di surau kalau rumah benar-benar sudah sesak dengan para tamu. Bapak pun demikian, sama saja dengan ibu, selalu menerima tamu dengan senang hati. Rasanya tidak ada orang kampung kami yang belum pernah datang ke rumah kecil kami yang sederhana di Alang Lawas. Para tetangga di sekitar merasa heran, hampir setiap bulan ada saja orang yang datang untuk menginap.

Padahal, banyak juga orang sekampung kami di Pdg yang kaya, memiliki rumah besar, tapi entah mengapa mereka, orang kampung itu senang sekali ke tempat kami, bukan ke tempat saudara mereka yang lain. Aku tidak habis pikir bagaimana caranya ibu bisa memberi makan para tamu-tamunya. Tidak pernah ibu merasa berat sedikitpun, terlebih mengeluarkan omelan-omelan, tidak, tidak pernah. Kami saja anak-anak beliau yang terpaksa menahan hati melihat keadaan demikian.

Demikianlah hari berlalu, minggu berganti bulan, tanpa disadari, perlahan tapi pasti. Di suatu sore, tanpa ada kabar berita lebih dahulu, tiba-tiba gadis itu, Wid telah hadir di rumah ku. Dia datang dari arah belakang katanya, dari rumah saudara ayahnya yang kebetulan berada tidak jauh dari rumah ku di Alang Lawas.

Waktu itu aku baru saja sampai di rumah, pulang kerja, aku sedang kumpul dengan adik-adik ku. Wid tiba di rumah ku dan langsung mencari ibu. Yang dia tahu cuma ibu saja, dia tidak begitu kenal dengan adik-adik, memang adik-adik jarang pulang ke kampung, tentu mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.

Aku kaget dan langsung kikuk menghadapi kehadiran Wid di rumah, karena belum pernah aku mendapat pengalaman dikunjungi oleh seorang gadis yang sedang menjalin hubungan khusus dengan ku, apalagi itu di depan saudara-saudara ku. Mereka hanya tersenyum melihat keadaan itu.

Anehnya, aku tidak mengajaknya ngobrol, dia nya malah lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibu ku di dapur. Dalam hati aku merasa senang sekali mereka begitu akrab.

Waktu Wid mau balik ke rumah pamannya, aku sempatkan memberitahunya bahwa aku akan menjemputnya nanti untuk mengajaknya pergi nonton film ke bioskop. Dia senyum lagi dan menganggukkan kepalanya sedikit.

Pukul 19 kurang seperempat, selepas sholat Magrib, aku telah sampai di depan rumah pamannya. Aku memakai baju kaos warna putih, celana jean biru,dan sepatu sneaker. Menurutku, itu adalah pakaian yang paling bagus yang pernah aku milik. Sedangkan Wid malam itu memakai baju kurung warna putih juga, dengan selendang.

Aku minta izin kepada pamannya Wid untuk dibolehkan membawa ponakannya pergi nonton ke bioskop malam itu. Kami diizinkan oleh paman itu. Laki-laki separoh baya itu cuma bilang cepat pulang, jangan sampai larut malam, karena tidak baik di lihat orang sekitar. Aku tentu mengerti dengan perkataannya.

Malam itu aku merasa seperti seorang laki-laki gentleman, jantan dan penuh kharisma, karena telah berani memboyong seorang anak gadis keluar dari rumahnya. Belum pernah seumur-umur aku bembawa seorang anak gadis pergi nonton berduaan, malam itu aku membawanya.

Dari Alang Lawas kami naik bendi menuju ke bioskop Raya. Aku belum tahu film apa yang akan kami nonton di bioskop itu nanti. Yang aku tahu hanya aku cuma ingin berduaan menghabiskan waktu dengan gadis ku. Tidak peduli film apa yang akan kami nonton nanti. Dari Alang Lawas bendi membawa kami lewat jalan kampung Tarandam, keluar di jalan Agus Salim, belok kiri terus ke perempatan Simpang Kandang, teru akhirnya kami sampai di halaman Bioskop Raya.

Belum masuk kedalam bioskop, kami masih berdiri di halaman. Ku lihat pada poster kain besar yang terpasang pada dinding reklame luar, ada film barat yang tayang malam itu, sepertinya film bertema perbudakan negeri Paman Sam, aktor dan aktrisnya semua berkulit hitam, entah apa lah judulnya, aku tidak peduli, yang penting malam itu aku ingin nonton film berdua dengan Wid. Wid hanya diam saja, dia menurut saja. Aku langsung bergegas membawa Wid kedalam. Kubeli karcis kelas satu dua lembar. Wid tidak ngomong apa-apa, ikut saja di samping ku.

Di dalam bioskop, kami duduk tenang menonton film yang sedang diputarkan. Kami tidak banyak bicara. hanya sekali-kali mata ku dan matanya saling bertatapan. Sebenarnya aku sadar bahwa film yang sedang kami tonton itu benar sangat membosankan. Tapi itu tidaklah menjadi hal yang berarti bagi ku. Yang sangat berarti adalah waktu kami berduaan. Sepanjang film berjalan, tetap saja Wid tidak bicara. Dalam keremangan dalam bioskop, dapat juga kutangkap senyuman manisnya dan anggukan kepalanya mengiyakan teguran suara ku.

Ah… aku benar-benar kehabisan bahan obrolan untuk berbincang-bincang dengan Wid. Aduh.. bodohnya aku, sebenarnya ingin sekali aku mengungkapkan betapa bahagianya aku malam itu bisa berduaan dengan dirinya. Tapi kena aku begitu bodoh, tidak dapat memanfaatkan kesempatan terbaik itu untuk bicara kepadanya. Dia nya malah diam saja, sepertinya menunggu perkataan yang ingin meloncat keluar dari mulut ku yang sedang terkunci ini. Kebisuan melingkupi kami berdua di tengah-tengah bisingnya suara percakapan dan musik latar film yang sedang berlangsung. Dalam benak dan batin ku sebenarnya sedang terjadi interaksi gaib antara aku dengan Wid yang sedang duduk tenang kursi sebelah. Hanya saja badan kami jasa yang sepertinya duduk diam dan mata lurus memandang ke layar bioskop. Aku merasa kedua mata ku seperti orang yang terkena hipnotis, sama seperti mata ikan asin yang dijual orang di pasar, terbuka lebar tapi tidak melihat apa-apa, memandang kosong dan hampa.

Sampai pulang pun Wid juga masih membisu tidak berkata apa-apa. Aku coba untuk mencari kata-kata agar dapat memecahkan suasana di antara kami. Dalam benak ku banyak pilihan topik pembicaraan, tapi mulut ku terasa masih kaku, terkunci rapat, tidak mengeluarkan suara apa-apa. Ah.. apakah ini artinya? apakah ini yang di namakan orang dengan cinta, atau grogi, atau juga malu-malu.

Ah… bagi ku ini suatu keanehan, mengapa jika aku sendiri macam-macam saja pikiran berseliwiran di kepalaku. Rasa rindu ku kepada Wid seperti ingin meledak keluar dari rongga dada ku. Tapi sekarang aku sedang berduan dengan dia. Aneh, lidah ku kelu, bibir ku kaku. Hingga sampai akhirnya aku antarkan Wid kembali ke pamannya. Tetap saja Wid cuma membalas ku dengan senyuman di bibirnya. Lalu aku pulang, kesunyian belum juga lepas membelenggu aku. Dalam hati ku aku merasa menyesal sekali. Aku tidak habis pikir, ada apa dengan diriku.

Pada liburan berikutnya, Wid juga datang lagi ke rumah ku. Dan begitu juga aku datang berkunjung ke rumah pamannya Wid. Kali ini aku tidak mengajaknya untuk pergi nonton. Tahu kenapa? Karena aku takut kalau kejadian waktu itu terjadi lagi, takut kalau-kalau mulut ku ini tidak mau diajak bekerja sama menyampaikan segala pikiran dan perasaan yang berkecamuk dalam dada ku. Kali ini aku mengajaknya jalan-jalan, jalan kaki berdua menyusuri sepanjang jalan aspal Pantai Padang.

Ah.. sama saja, aku dan Wid sama saja, kami tidak bicara apa-apa. Kejadian yang sama akhirnya terjadi kembali. Mulut ini juga masih terkunci. Tapi walaupun begitu, saat ini adalah lebih baik dari yang waktu di bioskop tempo hari.

Tahu kenapa? Hahaha….. karena kami jalan bergandengan tangan, bagaikan sepasang sejoli dalam film Romeo dan Juliet. Aduh… aku senang sekali dalam hati. Biarlah.. biar saja mulut kami terkunci, kaki kami capek, keram dan lecet, tidaklah apa-apa, tidak terasa sakit, masih bisa ditahan sampai di rumah nanti. Yang penting malam ini kami berdua bahagia, lihat Wid juga senang sekali waktu aku menggandeng tangannya. Dia tersipu-sipu malu. Sesekali kepalanya menoleh memperhatikan orang sekeliling. Walupun dia malu-malu, tapi aku tahu dia bahagia, dia senang sekali.

Bersambung......












Menunggu Angin Bertiup # 9 Oleh Yuhardi Tanjung

05:36:00 Add Comment



Menunggu Angin Bertiup

Oleh Yuhardi Tanjung

Part 9

Ramadhan tinggal 3 hari lagi. Besok rencana ku aku akan kembali ke Pdg. Sudah hampir sebulan lebih aku tanggal di kampung. Rindu ku kepada Bapak, ibu serta adik-adik membuat hati ku resah.
 
Angin siang berhembus pelan, sepoi-sepoi, sarang burung tempua yang tergantung di ujung daun kelapa di seberang jalan berayun pelan. Kampung terlihat lengang, orang-orang mungkin sedang istirahat di dalam rumah. Mobil hanya sekali-kali lewat, berlalu kencang meninggalkan debu berterbangan di belakang. Seekor anjing berlari dengan lidah terulur, sepertinya haus dan kelelahan.

Hari ini aku tidak ke sawah. Besok rencana ku akan kembali ke Pdg. Aku berharap hari ini aku bisa berjumpa dengan Wid. Aku ingin mengatakan perasaan ku kepadanya. Ada rasa yang tidak menentu, yang sedang bergelora di dalam hati ku. Untuk menghilangkan galau di hati, aku berjalan menuju ke Ujung Bukit, pergi ke rumah Syahril rencana ku. Kalau jalan ke sana tentu aku akan melewati rumah Wid. Mudah-mudahan nanti aku dapat melihat dia. Jangankan melihat dirinya, tampak atap rumahnya dari jauh pun tentulah akan sangat senang hati ini. Ingin rasanya singgah ke tempat Wid, tapi, ah… tidak enak nanti di lihat orang. Tapi aku sangat berharap bisa bicara dengan dia barang sebentar.

Kaki ini terus melangkah, sampai di depan rumahnya aku tidak melihat ada siapa-siapa disana. Suasana sepi sekali, biasanya ada anak laki-laki yang bermain di bawah pohon mangga itu. Ah… mungkin dia sedang pergi ke pasar, sedang membantu amaknya berjualan, … mungkin saja. Aku melanjutkan langkah kaki menuju ke rumah Syahril, mudah-mudahan Syahril ada dirumahnya.

Benar saja, alhamdulillah, Syahril ada di rumah, dia sedang menjemur padi di halaman rumah. Sesekali terdengar suaranya sedang mengusir ayam yang mendekat ingin makan padi. Cuaca memang sangat bersahabat, matahari bersinar terang. Dari jauh aku lihat dia sedang mengayunkan pelepah rumbia untuk mengusir ayam-ayam yang nakal itu.

“Hai.. apakabar?” dia menyapaku ketika aku telah sampai di hadapannya. Lalu dia panggil adiknya untuk menggantikan pekerjaannya menjaga padi dari ayam-ayam yang suka menguntil padi.

Langsung saja aku sampaikan maksud ku dengan menyebutkan berbagai macam alasan ku sekaligus kepada Syahril

Memang dia kawan ku yang baik itu agak kecewa, tapi akhirnya dia dapat memahami juga. “Jadi kapan si Eddy ke Pdg?” dia bertanya. Aku jawab “dua hari lagi” aku berkata kepadanya sambil mengusir seekor ayam yang coba mendekati hamparan padi yang sedang terjemur di atas tikar karung goni itu.

“Ayo Di kita jalan kebelakang sebentar, kita ke kebun, lihat apakah orang-orang sudah selesai memetik cabai” Syahril membuat suasana obrolan menjadi lebih santai dengan cara membawa aku berjalan ke belakang rumahnya. Di sana terdapat beberapa petak kebun cabai, dan para petani cabai itu sekarang sedang memanen buah cabainya.

Sesampai aku di belakang rumahnya, aku jadi terpana karena melihat rumpun tanaman cabe yang tumbuh di kebun itu begitu lebat buahnya. Setiap petak kebun cabe di tempat itu di penuhi oleh warna merah buah cabai. Kenapa tidak, setiap tanaman cabe menghasilkan buah yang lebat lagi rimbun, sampai-sampai pokok batangnya menjadi merunduk karenanya. Aku berdecak kagum dengan pemandangan ini. Akulihat orang-orang yang sedang bekerja memetik cabai itu tampak senang dan girang. Mereka adalah keluarga dan sanak famili Syahril. Tentu saja mereka senang, karena aku tahu menjelang hari lebaran esok harga cabai akan terus merangkak naik. Dan mereka akan mendapatkan untung berlipat ganda dari hasil panen mereka sekarang.

Aku telah puas mengelilingi kebun cabe itu, kemudian aku dibawa oleh Syahril memotong jalan, jalan pintas yang bisa tembus ke rumahnya Eni, temannya Wid. Sebuah rumah ditengah kerimbunan pepohonan, disambut dengan riuhnya suara ayam-ayam yang ribut berkotek-kotek, mungkin ada ayam yang baru bertelor di dalam kandang. Akhirnya kami pun sampai dekat sebuah rumah.

Di rumah itu tida ku lihat seorangpun, sepi, terasa di sekeliling. Memang rumah-rumah di kampung biasanya pada siang hari tidak ada orang, karena mereka lagi bekerja di sawah atau di ladang.

Aku tidak tahu mengapa Syahril mengajak ku lewat ke jalan belakang itu. Dan aku sendiri baru pertama kali lewat di situ, belum pernah sebelumnya. Di sekitar situ ada beberapa rumah yang jarak agak berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Rumah-rumah disini pada umumnya berada dalam parak atau kebun. Biasanya masing-masing kebun ada pagarnya, paling banyak dipagai dengan bambu, tapi ada juga yang memakai kawat berduri. Kalau jalan keluar dari parak harus lewat pintu pagar, yang diberi semacam injakan yang timbal balik, luar dalam, tempat kaki bisa berpijak dan melangkahi pagar tersebut. Tentu pintu pagar itu dibuat sedemikian rupa agar orang bisa lewat disitu, bukan untuk binatang yang suka menjarah isi parak, seperti kambing, sapi dan kerbau lepas. Dan aku telah melewati pintu demikian sebanyak tiga kali. Selagi asik melihat dan memperhatikan suasana kebun di sekeliling, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengucapkan salam, suara seorang wanita, aku tidak melihat orangnya. Tapi suara itu rasa-rasanya aku kenal. Aku masih saja tidak melihat sosok orangnya. Ku tanya Syahril, siapakah orang yang mengucapkan salam itu? Tapi Syahril tidak menjawab. Dia hanya senyum-senyum saja. Ah .. aku tidak puas, aku melihat bola matanya melirik ke arah sebuah rumah. Aku segera menuju ke rumah itu, untuk mencari tahu siapakah tadi yang memberi salam kepada ku.

Oh… ternyata ada yang keluar dari dalam rumah itu, dia, ternyata dia, Wid. Wid lah yang tadi memberi salam. Dia mengenakan kain panjang dan berselendang. Sambil tersenyum dia menyapa ku. Aku tergagap, lagi-lagi lidah ku kelu. Aku hanya menatap wajahnya. Dia menjadi risih juga. “Duh… kenapa uda? Kenapa memandang aku demikian?” ujar dia.

Oh aku tersadar, sadar dari tatapan pana ku ke wajah cantiknya, “maaf,.. maaf Wid, aku juga ingin bertanya kenapa Wid ada di sini?” dia tidak memberi jawaban, tapi dia malah balik bertanya, “Uda .. apa yang uda cari disini?” aku tidak memberi penjelasan apa-apa, yang aku tahu, aku tidak akan melepaskan kesempatan in untuk memberitahu dia bahwa besok aku berangkat ke Pdg.

“Syukurlah Wid, kita dapat bertemu disini, walau secara kebetulan, aku ingin berbicara dengan Wid” selepas mengatakan kata-kata itu aku merasa seperti terlepas dari ikata yang selama ini membelit badan ku. “Wid… aku.. eh kita .. mungkin akan berpisah sementara.” Aku menambahkan lagi. “besok mungkin aku akan ke Pdg.. dan berlebaran di sana..” Dia memandangi ku dengan bola matanya yang melebar. Sejurus kemudian dia berkata “Apakah uda…. akan tinggalkan kampung ini dan tidak kembali lagi?” kemudian “di Pdg tentu sudah ada ‘sendok’ manalah uda akan ingat lagi dengan ‘sanduak’” kata-katanya berkias, meluncur begitu saja dari bibirnya.

“bagaimana aku akan melupakan ‘sanduak’, karena dia lah yang pertama kali mengenalkan aku rasa kasih pada mu” aku hanya berkata dalam hati saja.

“Oo tidak Wid, tidak akan begitu mudah untuk melupakan kampung ini, disini adalah tempat aku dilahirkan dan tidak akan mudah begitu saja melupakan seseorang yang telah mengisi relung hati ku. Percayalah Wid tidak mudah bagi ku melupakan mu, hati ku telah tertinggal disini, bersama mu. Aku akan mencari pekerjaan di Pdg, pekerjaan yang sesuai dengan kondisi diri ku. Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan jalan yang akan ku tempuh. Pada mu Wid, kalau ada kesempatan kirimlah surat kepada ku untuk pengobat rinduku padamu”

Dia tidak menjawab, kulihat wajahnya muram, ada awan mendung yang sedang bergelantungan di langit hatinya. Sepatah katapun belum ada ucapan yang keluar dari bibirnya. Lama aku menunggu. Sepi mengantung diantara kami. Dari arah bukit batu terdengar suara tokok orang memecah batu. Seekor elang berputar-putar di udara, suaranya terdengar berkulik. Induk ayam memanggil anaknya untuk berlindung dibawah sayapnya.

Suasana kebekuan diantara kami akhirnya pecah, terdengar elahan napasnya, lalu suaranya, suara yang dari tadi aku tunggu-tunggu. “Uda… kalau jadi uda ke Pdg, entah kapan lagi kita akan bertemu. Ingatlah da, ingatlah selalu bahwa ada seseorang yang selalu menunggu kedatangan mu uda”

“Wid, sungguh berat rasanya perpisahan ini. Tapi sungguhpun berat, Pdg itu tidak jauh, hanya 60 Km saja. Jika Wid pergi ke Pdg nanti, datanglah ke rumah ku, kita dapat bertemu nanti”

“Insyaallah da, mudah-mudahan saya dapat pergi ke Pdg kalau libur sekolah nanti” katanya sambil berdiri dan memandangi aku. Senyum nya mengembang, aku meraih tangannya, menyalami nya, “Selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin” . dia menyambut dan mengucapkan salam yang sama, dan lalu “Selamat jalan uda, jangan lupa kirimkan Wid surat, Surat dari uda sangat ku nantikan”.

Bersambung


Menunggu Angin Bertiup # 8 Oleh Yuhardi Tanjung

05:20:00 Add Comment







Menunggu Angin Bertiup

Oleh Yuhardi Tanjung

Part 8

Aku dulu sering mandi di sungai dangkal yang terdapat di parak nipah. Sambil mandi aku dan teman-teman ku mengumpulkan sebanyak-banyaknya langkitang dengan cara menyelam ke dasar sungai.

Langkitang juga dapat sebagai makanan tambahan lauk yang bergizi bagi orang kampung yang jarang memakan daging, sebab kalau daging biasanya di dapatkan pada waktu orang membantai, pada awal bulan puasa, kemudian menjelang lebaran, lalu hari raya kurban atau pada bulan Maulid.

Kalau mau memasak langkitang, pertama harus kita rendam dulu di air selama satu malam, supaya lumpur yang ada dalam cangkangnya bisa keluar. Dan juga bahagian cangkang belakang yang rucing itu harus di potong pertama-tama sekali, ini agar mudah mengeluarkan dagingnya nanti saat dimakan.

Beduk Magrib sudah berbunyi, tanda waktu untuk berbuka. Nenek sudah menyediakan air jus mentimun. Aduh sejuknya tenggorokan setelah disiram segelas jus mentimun. Begitulah rasanya berbuka puasa, dengan berpuasa tentulah kita dapat merasakan bagaimana rasa syukur setelah menahan dahaga selama seharian.

Sebagaimana kegiatan rutin selama Ramadhan, setelah selesai makan malam, ke mushola adalah kunjungan yang hampir merupakan kewajiban bagi ku.

Di mushola kelihatan sudah ramai, tampak beberapa anak laki-laki berkejar-kejaran di halaman mushola yang diterangi oleh cahaya lampu petromax. Cuaca kelihatan bagus sekali. Ku lihat Syahril telah berdiri dekat pintu masuk mushola, dari jauh rupanya dia telah melihat kedatangan ku, sepertinya dia mengatakan sesuatu, tapi karena masih jauh tidak dapat aku mendengarnya. Aku hanya memberikan isyarat saja supaya dia mau menunggu, karena aku hendak beruduk dulu.


Iqamat telah diperdengarkan, aku baru selesai berwuduk, ah tentu tidak sempat lagi untuk ngobrol barang sementar dengan Syahril. Biarlah, nanti habis tarawih aku temui dia, mudah-mudahan saja ada kabar baik dari dia.

Setelah sholat Magrib tak sabar aku bergeser duduk ke dekat Syahril, ku colek dia, lalu berbisik, “ada apa tadi?”. Dia hanya membalas dengan senyuman saja. “Tidak ada apa-apa, nanti saja kita bicara habis tarawih” dia berujar sambil merubah posisi duduknya, bergeser dari depan kebelakang, agar dapat duduk di samping ku.

“Tidak ada apa-apa, hanya saja aku mendengar kabar bahwa si Eddy mau ke Pdg lagi, kapan kah?” Sambil jalan pulang dari mushola Syahril menanyakan kepada ku berita yang diterimanya entah dari siapa. “Ooo itu” hilang penasaran ku setelah mendengarnya. “Benar. Aku memang akan kembali ke Pdg, tapi itu nanti, sekitar 4 atau 5 hari lagi sebelum lebaran” aku menjelaskan.

“Tidak lebaran di kampung kah si Eddy?” kulihat Syahril agak kecewa mendengarkan penuturan ku. Sebenarnya aku ingin sekali berlebaran di kampung ini, tapi Bapak, Ibu dan adik-adik ku ada di Pdg, ada kerinduan yang ku simpan di hati untuk segera berkumpul lagi bersama keluarga, tapi sebahagian hati ini mengatakan tetaplah disini saja, di kampung ini. Karena benih-benih cinta ku telah mulai tumbuh, dan itu membutuhkan air penyiram agar ia dapat tumbuh berkembang dan subur mekar merekah.

Sore hari setelah aku pulang dari sawah, seorang anak laki-laki kecil datang ke rumah ku sambil membawa sebuah bungkusan. Dia lah anak laki-laki itu yang pernah aku jumpai di rumah Wid waktu pertama kali berkunjung. Dia melihat, lalu berjalan ke arah tempat ku berdiri. “Uni menyuruh mengantarkan ini” berkata anak itu sambil menyodorkan bungkusan yang di bawanya. “Terimakasih” aku menerima bungkusan itu darinya. Dan ternyata isi bungkusan itu adalah jaket ku yang telah di cuci dan di seterika lagi, dan lalu ada sebuah amplop yang terselip dalam lipatan jaket, sepucuk surat dari Wid, berisikan:

Kepada Kakanda Eddy yang baik hati,

Bersama surat ini adinda kembalikan jacket kakanda. Terimakasih tak berhingga untuk kakanda yang telah sudi berbasah-basah untuk melindungi adinda dari hujan . Semoga budi baik kakanda akan dibalas oleh Allah Subhanawataala. Amin

Salam Adik,

Ttd

Aswidar

Surat itu pendek saja, tapi isinya cukup padat. Lama aku memandangi lembaran surat itu. Terbayang jelas olehku di dalam lembaran surat itu rawut wajahnya, senyum simpulnya yang selalu menawan hati ini. Ah.. aku terlalu hanyut dalam khayalan ku sendiri.


Semalam aku tak dapat tidur. Aku mencoba menuliskan balasan suratnya kemarin. Telah berkali-kali aku mencoba menuliskan kata-kata, namun menganggap tulisan ku itu selalu kurang baik bunyinya, dan berkali-kali aku merobek lembaran kertas yang berhiaskan motif berbunga di setiap sisinya itu. Setelah larut akhirnya aku tuliskan apa adanya saja


Grn Panjang, Oktober 1972

Adik Aswidar yang budiman

Sungguh semua yang kakanda lakukan itu adalah karena dorongan hati yang tidak ingin mendegar adik kelak menderita sakit karena berbasah-basah ke hujanan. Semoga budi sedikit dari kakanda itu tidaklah menjadi hal yang akan memberatkan adinda nantinya.

Wasalam.
Yah… sedikit dan pendek memang, tapi kalimat-kalimat itu cukuplah menunjukan perhatian ku kepadanya.


Surat itu kulipat dalam amplop Airmail, dilipat dalam bentuk biasa, surat itu ku simpan dulu dibawah bantal. Besok hari akan ku titipkan pada seseorang. Tapi kepada siapakah gerangan surat ini akan ku titipkan. Di kampung ini berkirim-kiriman surat antara gadis dan bujang masih perbuatan yang dianggap tabu. Aku pikir salah-salah surat itu akan jadi hal yang kurang elok, baik oleh yang menerima, maupun yang mengirimkan.

Seminggu lagi Ramadhan akan meninggalkan kita, barulah setahun kemudian akan muncul kembali. Apakah kita akan dapat lagi bersama-sama berada pada bulan yang mulia itu. Tidak seorang pun yang akan tahu, karena itu adalah rahasia Allah sang pencipta, Allah yang maha kuasa atas segalanya.
Demikian potongan ceramah wirid ramadhan yang disampaikan ustad. Aku terhanyut merenungkan ucapannnya itu. Entahlah, kapan lagi aku akan dapat merasakan suasana Ramadhan seperti saat ini di kampung? Yang betapa aku telah merasakan kehidupan dikampung dengan segala bentuk kesederhanaannya, dimana kadang-kadang kesederhanaan itu hampir mencapai titik ketiadaan. Tapi semua itu tidaklah menjadi beban yang berat bagiku, aku yakin itu hanyalah soal rejeki saja dari Tuhan. Selama ada usaha tetap akan ada rejeki, kerena semua sudah diatur oleh Nya.

Yah… selama Ramadhan ini aku dapat merasakan kebahagian dalam hati. Betapa aku merasakan benih-benih cintaku mulai bersemi dan menampakan tunas-tunasnya yang akan merekah didalam taman hati sanubari ku yang terdalam. Oh.. ternyata sura itu masih tetap dalam kantong baju ku. Aku berniat minta tolong kepada Syahril agar mau memberikannya kepada Wid.

Sore aku mengunjungi Syahril ke rumahnya. Syukurlah dia ada di rumah. Ku lihat dia sedang bekerja di halaman membuat bedeng untuk ditanami ubi jalar.

Dari jauh dia telah melihat kedatangan ku, dia menghentikan pekerjaannya. “Wah sepertinya ada sesuatu yang penting sekali nih” dia bicara seperti sudah menerka apa niat ku. “Ah.. tidak begitu penting” jawab ku. “Hanya sedikit perlu saja” Aku melanjutkan.

Wah.. penting dengan sedikit perlu apakah ada bedanya? Aku berpikir sendiri jadinya, ah tentulah ada bedanya, bedanya cuma cara penanganan masalahnya, betul bukan?

“Ayolah, kita naik ke rumah” Syahril mengajak masuk kerumahnya. “Ah tidak perlu, cukuplah di sini saja, dibawah batang rambutan itu saja” Aku menunjuk kesana, disitu ada paleh-paleh, tempat yang sengaja di buat untuk duduk-duduk santai. “ayo lah” Syahril mempersilahkan aku menuju ke tempat itu.

Di bawah pohon rambutan yang rindang itu, aku mengutarakan niat ku kepada Syahril. Syukurlah dia mau membantuku. Diterimanya suratku dan dia masukan ke dalam kantong celananya. Lalu Syahril bertanya lagi kepada ku tentang apakah benar aku akan kembali ke Pdg.

“Mungkin minggu depan” aku tidak menyebut kan tanggal berapa, hari apa, hanya perkiraan jasa. “Wah.. sayang sekali” Syahril menimpali ucapan ku.

“Eh.. kenapa?” aku bertanya. “Apakah ada sesuatu yang mungkin tidak lengkap apabila aku tidak ada?” Aku tambahkan.

“Tidak begitu, hanya saja lebaran besok jadi kurang meriah kalau si ddy tidak ada” Syahril menerangkan. “Sampai sebegitunya kah? Jangan lah” aku mengomentarinya. “Tentulah aku akan tetap balik ke kampung bila ada kesempatan” aku memberikan janji kepada Syahril.

“Memang kurang meriah kalau si Eddy tidak ada, begini, kami telah merencanakan lebaran besok pergi pesiar ke pantai Carocok” begitulah alasannya, Syahril menjelaskan kenapa tadi dia bilang ‘sayang sekali’ itu.


Aku jadi tercenung mendengar penjelasannya itu. Kenapa tidak, karena kalau aku ikut, mudah-mudahan Wid juga akan mau ikut bersama mereka, dan artinya adalah kesempatan emas bagiku untuk dapat lebih mempereratkan hubungan aku dengan dia.


Tapi aku teringat bapak, ibu dan adik-adik ku di Pdg, bagaimanakah keadaan mereka sekarang ini? Apakah bapak dapat memenuhi kebutuhan adik-adik ku saat hari lebaran nanti. Apakah adik-adik ku akan mendapatkan sesuatu yang membuat mereka bahagia atau senang hati pada waktu hari raya besok. Baju baru misalnya, atau makanan yang enak, entahlah. Aku sadar bahwa keadaan keluarga ku cukup memprihatinkan. Aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan yang maha esa selalu memberikan kelapangan rejeki kepada mereka, amin.


Rupanya dalam aku termenung tadi, Syahril dapat menangkap perubahan pada rawut wajah ku. Dia menanyakan lagi, “bagaimana? Mau ikutkan… ayolah!” dia bertanya dan sekaligus membujuk ku. Tapi aku benar-benar sedih memikirkan keadaan keluarga ku di Pdg, meskipun aku sendiri belum dapat membantu apa-apa, paling tidak hanya dengan doa saja yang ku panjatkan kepada Nya setelah aku selesai sholat. Namun aku tahu apa yang ku inginkan. Aku akan lebih bahagia berada bersama keluarga ku, meskipun sesulit apa keadaan yang akan kami hadapi dan jalani pada hari kedepan nanti.


“Begini Ril, aku sebenarnya ingin sekali ikut bersama teman-teman, betapa tidak, munkin itu hanya sekali terjad dalam hidup ku, tapi sayang Ril, aku harus kembali ke Pdg, berkumpul bersama keluarga ku, aku mengkhawatirkan keadaan mereka, entah bagaimana keadaan mereka sekarang ini” Ku jelaskan kepada Syahril alasan ku kenapa aku tidak dapat hadir bersama mereka nanti.


“Baiklah, kalau begitu alasannya, tentulah ada hal yang akan ku sampaikan kepada teman-teman nanti, kalau sekiranya mereka bertanya tentang si Eddy” terbayang rawut kekecewaan di wajah Syahril ketika dia menerima penjelasan ku tadi. Namun dengan lapang hatinya dia merelakan aku, kawan karibnya untuk kembali ke Pdg. Mungkin dia tahu bahwa bukanlah disini, di kampung ini kehidupan ku, melainkan di Pdg lah tempat ku yang sebenarnya.


Seperti biasa, masih pada bulan Ramadhan, pada senja waktu itu, setelah selesai berbuka aku bergegas menuju mushola untuk menunaikan sholat Magrib berjamaah. Di jalan ke mushola aku melihat perempuan, mungkin ibu-ibu, mungkin juga gadis, semuanya telah mengenakan mukena sedari rumahnya, mentuk mereka sama saja, kalau di lihat dari belakang. Aku mempercepat langkah ku supaya sampai di tangga dan pintu mushola. Ternyata air bak tempat pencuci kaki telah kosong, tidak tersisa sedikitpun. Mungkin belum ada orang yang mau mengisinya. Langsung saja aku ke sumur, ternyata tidak ada orang didalamnya, ada dua buah timba yang terbuat dari upih nibung yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan untuk menimba air. Timba yang terbuat dari upih nibung ini waktu itu masih banyak dijual di warung-warung kampung.
Selesai aku mencuci kaki, di pintu sumur sudah ada berdiri seseorang yang dari tadi menunggu aku keluar dari sumur. Dia mengulurkan sebuah amplop. Aku terkejut dan tergagap waktu menerima amplop itu darinya. Dia berkata pelan sekali “Simpan dan baca di rumah saja ya da” Aku lipat amplop itu dan ku simpan dalam kantong celana. “Aduh… aku, Wid… ak.. aku kira siapa tadi….” aku berkata sambil menghilangkan gagap ku. Wid hany tersenyum saja, dan tidak berkata apa-apa lagi. Aku ingin mencoba bertanya barang sedikit, tapi sayang suara Iqamat sudah terdengar dari dalam mushola. Ya sudah, aku segera berlalu, dan Wid melanjutkan mengambil air untuk mencuci kakinya.


Aduh, .. sholat ku tidak khusuk, ingatan ku selalu pada surat itu saja. Selesai sholat aku raba kantong celana ku, apakah surat itu masih tetap di dalam, tidak hilang atau tercecer, aku cemas sekali. Surat itu penting sekali bagi ku, sama pentingnya sepertinya nyawa di urat leher ku, begitulah rasanya orang yang sedang di mabuk cinta.


Ah.. surat itu masih ada. Selesai berdoa aku lansung berdiri lagi untuk sholat sunat. Setelah itu aku bergegas pulang. Seseorang menyapaku, tapi dia tidak menjadi perhatian bagi ku. Aku terus saja menuju pintu mushola, di luar pintu disana ada sandalku yang ku tinggalkan tadi. Pada tempat semula, aku tidak lagi menemukan sandal itu. Aduh.. kemana perginya? Ku cari-cari masih belum ketemu juga, aku jadi bingung. Melihat aku yang sedang sibuk mencari sandal, ada seseorang menyarankan aku supaya mencarinya di bawah dekat bak air pencuci kaki. Ah .. benar juga. Ternyata sandal itu berada di bawah sana. Mungkin tadi ada orang yang memakainya tapi lupa meletakan kembali ke tempatnya semula.

Telah ku terima sepucuk surat dari Wid….

Gr Panjang, November 1972

Kakanda Eddy Yth,

Di Tempat,

Sungguh adik merasa tersanjung, betapa tidak, begitu besar perhatian kakanda terhadap adik. Sungguh adik merasa gamang, seorang anak desa yang sederhana mendapat perhatian dari seorang yang dibesarkan di kota. Adik menjadi takut sekali kakanda…, Takut kalau apa yang selama ini kakanda pikirkan tentang adik, ternyata jauh dari harapan. Maaf kakanda, bukan adik memberi petuah kepada kakanda. Adinda hanya mengingatkan saja. Semoga Allah Subhanawataala akan selalu menuntun kita kejalan yang benar. Amin

Wasalam.

Aku tercenung membaca suratnya, sungguh aku merasa kecil dihadapannya. Kecil dalam artian pemikiran. Dia telah dahulu menyampaikan pemikiran yang telah melampaui batas pandangan para remaja masa itu. Dan aku tidak pula pernah bertanya pada diri ku sendiri, menanyai tentang halitu. Yang aku tahu, saat itu aku sedang jatuh cinta kepadanya, dan aku tidak memikirkan hal-hal lain, selain mengagumi diri dia, si pujaan hati.

Bersambung