"Kakus"
Lucky Lukmansyah
Almarhumah ibuku namanya Marsinah. Kalau di Puruih dia biasa dipanggil dengan sebutan mbak Asih atau Uni Asih. Tapi aku memanggilnya dengan sebutan Bunda saja. Bundaku paling sering dan biasa dipanggil mbak dari pada uni seperti awamnya para perempuan Padang. Biasanya orang yang baru mengenal Bunda tentu akan memanggilnya dengan uni, nanti kalau sudah kenal, maka ketahuan dari logat bicaranya yang medok, layaknya orang Jawa, maka orang itu akan langsung memanggil Bunda dengan sebutan mbak.
Tapi ada juga sebagian orang Padang yang punya penglihatan jeli dapat membedakan, mana perempuan Minang, dan mana perempuan Jawa Padang, yang biasa dipanggil mbak. Menurut kata guru SMA ku dulu, mudah saja membedakannya. Lihat saja pada garis wajahnya, kalau perempuan Minang garis wajahnya lurus dan tajam, sedangkan perempuan Jawa bulat atau melengkung dari pipi hingga ke dagu. Entah itu benar atau tidak, yang pasti aku menemukan hal itu pada wajah bunda yang bundar, serasi dengan hidungnya yang bulat kecil, bibirnya pun kecil pula.
Bunda meninggal dunia pada usia sekitar 35 tahun. Hal itu sangat ku sesalkan sekali, mengapa beliau harus kembali kepada Nya dalam usia yang masih sangat terlalu muda, meninggalkan aku sendiri berjalan mengarungi alam dunia yang maha luas ini. Sungguh aku gamang dalam menghadapi kenyataan ini. Namun inilah kenyataan hidup yang tetap harus aku jalani.
Ingin rasanya aku jalan menelusuri jejak-jejak langkah yang telah pernah dilewati mendiang ibuku semasa hidupnya dulu. Tapi tidak banyak informasi tentang latar belakang kehidupannya tersimpan di otak ku. Benar Bunda adalah orang Jawa, tapi sayang dia tidak pernah bilang dimana tanah asalnya. Yang aku tahu dulu Bunda pernah mengatakan bahwa orang tuanya diboyong oleh pemerintah untuk menetap tinggal di pedalaman Sitiung, di daerah lintas Sumatera bagian tengah, sebagai orang transmigrasi yang menggarap sekapling tanah untuk ditanami pohon kelapa sawit. Hanya itu saja yang ku tahu tentang latar belakang bunda, tidak lebih.
Tentang mengapa Bunda bisa sampai tinggal di Padang, sendiri, menanggung beban membesarkan aku, putra si mata wayangnya, tanpa suami ataupun saudara di dekatnya, Bunda tidak pernah sekalipun menjelaskan tentang itu kepada ku. Bunda cuma bilang kalau dia tidak suka tinggal dengan bapak dan simbok. Perkataan itu kemudian menimbulkan pertanyaan dalam benak ku.
Aku melihat disekeliling tempat tinggal ku dulu, semua anak perempuan hidup aman dan damai dalam lindungan kasih sayang orang tua, walaupun nanti mereka akan punya suami, dan punya keturunan, tetap akan tinggal dalam lingkungan keluarga, sampai nanti ibu bapaknya meninggal dunia, maka merekalah, para perempuan itu yang akan mewarisi segala harta benda peninggalan orang tua mereka. Kenapa ibu tidak demikian? Kelak baru aku ketahui ternyata perempuan Padang, atau perempuan Minang tidak sama dengan ibu ku, orang Jawa. Orang Jawa melakukan hal sebaliknya, anak laki-laki yang tinggal di rumah orang tuanya, yang perempuan keluar atau ikut dengan suaminya.
Lalu apakah dulu Bunda pindah ke Padang ini karena mengikut pada suaminya? Siapa suaminya? Siapakah bapak ku? Bunda tidak pernah bilang siapa ayah ku. Dulu waktu aku sekolah di taman kanak-kanak, aku memperhatikan teman-teman ku diantar jemput ke sekolah oleh kedua orang tua mereka, kadang ayah, terkadang ibu mereka yang datang menjemput. Tapi aku tidak. Selalu saja Bunda yang setia berada di sisiku. Waktu itu aku mulai bertanya kepada Bunda tentang siapa bapak dan dimana bapak. Tapi bunda diam saja, tidak menjawab dan bahkan tidak mau menjelaskan, selalu diam saja, lalu kemudian mengalihkan topik pembicaraan ke hal-hal lain. Kalau seandainya dulu Bunda bilang ayah ku sudah mati, itu cukup bagi ku, atau seandainya bilang sajalah ayah ku pergi dan tidak akan pernah kembali lagi. Itu saja juga sudah cukup bagi ku.
Puruih, adalah sebuah kampung nelayan yang terletak di sepanjang pinggiran pantai Padang. Disitulah aku dilahirkan. Disitu pertama kali mataku ini menatap dunia, menatap wajah ibu ku yang sendu. Aku tumbuh besar dalam belaian kasih Bunda seorang. Senantiasa tetap dalam perlindungannya hingga aku semakin tumbuh besar untuk memulai bersosialisasi dengan manusia lain, selain Bunda, dan berinterasi dengan alam sekitar yang didominasi oleh laut, pantai, dan rumah-rumah gubuk para nelayan yang beratap daun rumbia.
Di kampung Puruih kami berdua tinggal menghuni sebuah rumah bedeng kontrakan yang terbuat dari dari susunan balok-balok kayu, dinding papan, lantai papan dan atap asbes sebagai tempat berlindung dari terik matahari dan hujan. Rumah kontrakan tempat tinggal kami itu ada enam pintu berjejer memanjang ke belakang. Pemiliknya adalah seorang nenek tua yang tinggal di rumah besar semi permanen, berada di tepi jalan aspal yang lurus arah ke pantai, jalan aspal itu menghubungkan antara pantai dengan jalan utama, jalan Veteran. Si nenek tinggal berdua saja dengan si bungsu, anak gadisnya yang menderita keterbelakangan mental, idiot. Suaminya sudah lama meninggal, sedangkan anak-anak yang lain sudah pada pergi merantau mencari penghidupan mereka masing-masing. Kata orang anak-anak si nenek banyak tiggal di Jakarta, berjualan kain di pasar Tanah Abang.
Di rumah kontrakan si nenek yang enam pintu itu, aku dan bunda menghuni petakan nomor 6, paling ujung dekat dengan kamar mandi, WC umum dan comberan yang airnya mengalir turun ke kali kecil yang berada hanya berjarak sepuluh meter saja dari jendela kamar tempat tinggal kami. Kalau pada hari musim panas, bau pesing bercampur busuk dari sisa-sisa kotoran manusia merambat naik melewati jendela, hingga menusuk rongga-rongga hidung orang-orang penghuni rumah kontrakan. Mereka selalu mengeluh tentang polusi udara yang disebabkan oleh lubang kakus itu dibarengi air liur yang mereka buang ke tanah. Keluhan mereka hanya pada saat itu saja, nanti akan berlalu seperti angin yang berhembus datang dari laut.
Kalau musim hujan lain lagi ceritanya, itu, sisa-sisa itu bisa saja hanyut terbawa oleh air kali yang melimpah ke jalan, dihanyutkan air hujan hingga teronggok pelek dekat tangga rumah atau di jalan. Maka selalu saja setiap hari hujan, semua penghuni rumah kontrakan akan waspada, mata selalu awas, jangan-jangan nanti ada saja “ranjau darat” tergeletak di jalan sempit menuju rumah yang setiap hari mereka lewati. Jangan kaki sampai terinjak “ranjau darat” itu, kalau kena habislah air simpanan dalam rumah untuk pencuci kaki. Pergi mencuci kaki ke kamar mandi itu sama saja percuma, karena lantai kamar mandi becek, penuh lumpur hitam dari comberan yang melimpah masuk ke dalam situ dan akan mengendap.
Ada baik dan buruknya tinggal dekat dengan kamar mandi dan wc umum. Kalau yang buruknya sudah diceritakan tadi sebelumnya. Kalau hal baik ya tentu selalu saja ada. Setiap kali kebelet ingin buang air besar, tak perlu lari-lari masuk ke wc, tinggal turun tangga rumah dan langsung masuk ke dalam kakus. Kalau mencuci pakaian tinggal rendam baju dan celana ke dalam baskom, campur dengan bubuk deterjen lalu diamkan dan letakan di depan tangga rumah. Tak perlu menunggu antrian di kamar mandi untuk mencuci pakaian. Nanti itu ruangan kamar mandi, apa bila matahari mulai beranjak naik, akan sepi dengan sendirinya dari orang-orang yang setiap pagi rebutan untuk dapat memakai kamar mandi duluan.
Kamar mandi umum itu terbagi dua partisi. Satu kamar mandi yang paling besar, itu untuk perempuan dan yang kecil untuk laki-laki. Sengaja kamar mandi perempuan dibuat lebih besar, luas dan lapang, karena perempuan biasanya punya banyak urusan di kamar mandi. Cuci inilah, cuci itulah, sampai memandikan anak juga masih juga urusan mereka. Kalau para laki-laki ya tinggal mandi saja di dalam kamar mandi mereka, lalu cabut keluar sambil menenteng ember atau gayung di tangan sama handuk di pundak, terus langsung naik ke rumah.
Kamar mandi umum adalah hal yang selalu menjadi sumber konflik diantara para penhuni kontrakan setiap pagi. Setiap pagi ada saja keributan kecil terjadi di situ, biasanya terjadi antar sesama perempuan. Seseorang pasti merasa jengkel, kesal kepada orang yang kelamaan memakai kamar mandi. Ditambah lagi dengan suara anak perempuan yang merengek, mengadu kepada ibunya kalau orang yang di dalam situ lama sekali, dia mau cepat mandi agar tidak telat ke sekolah. Tidak jarang dinding seng kamar mandi di gedor-gedor hingga membuat suara gaduh oleh seseorang dari luar. Menyuruh orang yang di dalam supaya cepat keluar, karena anak gadisnya mau mandi karena mau pergi ke sekolah. “Salah sendiri, kenapa tidak lebih pagi mandinya kalau takut terlambat ke sekolah” Nah, itulah jawaban yang selalu terdengar dari dalam kamar mandi.
Kenapa harus kamar mandi saja yang menjadi sumber konfik, sementara kakus tidak di persoalkan. Mudah saja jawabnya, “pergi sana, berak saja di laut” begitu lah kata orang yang sedang keenakan nongkrong di dalam kakus kalau ada orang yang dari luar menyuruhnya supaya cepat. Memang laut dekat sekali dari tempat ku, hanya beberapa puluh meter jaraknya dari rumah. Kalau kakus sedang di isi oleh orang, aku ataupun siapa saja boleh tinggal lari saja ke pantai, nonkrong di atas batu-batu grit, membuang kotoran, membiarkan itu hanyut di lamun oleh ombak. Begitu lah keadaan kampung ku dulu. Tidak jarang orang bilang kalau kampung ku itu mempunyai sebuah wc terpanjang di dunia, tercanggih dan paling mutakhir karena tidak perlu capek menggosok atau membersihkan, di situ sudah ada ombak laut disediakan oleh alam yang bertugas membersihkan kotoran-kotoran yang tertinggal di bibir pantai. Ya begitulah, itulah sebuah bentuk karunia yang dipersembahan oleh alam kepada manusia yang tinggal tepi laut. Sudah selayaknya manusia itu bersyukur kepada Tuhan yang telah menciptakan alam untuk kebaikan semua yang tinggal di atasnya.
Lucky Lukmansyah
Almarhumah ibuku namanya Marsinah. Kalau di Puruih dia biasa dipanggil dengan sebutan mbak Asih atau Uni Asih. Tapi aku memanggilnya dengan sebutan Bunda saja. Bundaku paling sering dan biasa dipanggil mbak dari pada uni seperti awamnya para perempuan Padang. Biasanya orang yang baru mengenal Bunda tentu akan memanggilnya dengan uni, nanti kalau sudah kenal, maka ketahuan dari logat bicaranya yang medok, layaknya orang Jawa, maka orang itu akan langsung memanggil Bunda dengan sebutan mbak.
Tapi ada juga sebagian orang Padang yang punya penglihatan jeli dapat membedakan, mana perempuan Minang, dan mana perempuan Jawa Padang, yang biasa dipanggil mbak. Menurut kata guru SMA ku dulu, mudah saja membedakannya. Lihat saja pada garis wajahnya, kalau perempuan Minang garis wajahnya lurus dan tajam, sedangkan perempuan Jawa bulat atau melengkung dari pipi hingga ke dagu. Entah itu benar atau tidak, yang pasti aku menemukan hal itu pada wajah bunda yang bundar, serasi dengan hidungnya yang bulat kecil, bibirnya pun kecil pula.
Bunda meninggal dunia pada usia sekitar 35 tahun. Hal itu sangat ku sesalkan sekali, mengapa beliau harus kembali kepada Nya dalam usia yang masih sangat terlalu muda, meninggalkan aku sendiri berjalan mengarungi alam dunia yang maha luas ini. Sungguh aku gamang dalam menghadapi kenyataan ini. Namun inilah kenyataan hidup yang tetap harus aku jalani.
Ingin rasanya aku jalan menelusuri jejak-jejak langkah yang telah pernah dilewati mendiang ibuku semasa hidupnya dulu. Tapi tidak banyak informasi tentang latar belakang kehidupannya tersimpan di otak ku. Benar Bunda adalah orang Jawa, tapi sayang dia tidak pernah bilang dimana tanah asalnya. Yang aku tahu dulu Bunda pernah mengatakan bahwa orang tuanya diboyong oleh pemerintah untuk menetap tinggal di pedalaman Sitiung, di daerah lintas Sumatera bagian tengah, sebagai orang transmigrasi yang menggarap sekapling tanah untuk ditanami pohon kelapa sawit. Hanya itu saja yang ku tahu tentang latar belakang bunda, tidak lebih.
Tentang mengapa Bunda bisa sampai tinggal di Padang, sendiri, menanggung beban membesarkan aku, putra si mata wayangnya, tanpa suami ataupun saudara di dekatnya, Bunda tidak pernah sekalipun menjelaskan tentang itu kepada ku. Bunda cuma bilang kalau dia tidak suka tinggal dengan bapak dan simbok. Perkataan itu kemudian menimbulkan pertanyaan dalam benak ku.
Aku melihat disekeliling tempat tinggal ku dulu, semua anak perempuan hidup aman dan damai dalam lindungan kasih sayang orang tua, walaupun nanti mereka akan punya suami, dan punya keturunan, tetap akan tinggal dalam lingkungan keluarga, sampai nanti ibu bapaknya meninggal dunia, maka merekalah, para perempuan itu yang akan mewarisi segala harta benda peninggalan orang tua mereka. Kenapa ibu tidak demikian? Kelak baru aku ketahui ternyata perempuan Padang, atau perempuan Minang tidak sama dengan ibu ku, orang Jawa. Orang Jawa melakukan hal sebaliknya, anak laki-laki yang tinggal di rumah orang tuanya, yang perempuan keluar atau ikut dengan suaminya.
Lalu apakah dulu Bunda pindah ke Padang ini karena mengikut pada suaminya? Siapa suaminya? Siapakah bapak ku? Bunda tidak pernah bilang siapa ayah ku. Dulu waktu aku sekolah di taman kanak-kanak, aku memperhatikan teman-teman ku diantar jemput ke sekolah oleh kedua orang tua mereka, kadang ayah, terkadang ibu mereka yang datang menjemput. Tapi aku tidak. Selalu saja Bunda yang setia berada di sisiku. Waktu itu aku mulai bertanya kepada Bunda tentang siapa bapak dan dimana bapak. Tapi bunda diam saja, tidak menjawab dan bahkan tidak mau menjelaskan, selalu diam saja, lalu kemudian mengalihkan topik pembicaraan ke hal-hal lain. Kalau seandainya dulu Bunda bilang ayah ku sudah mati, itu cukup bagi ku, atau seandainya bilang sajalah ayah ku pergi dan tidak akan pernah kembali lagi. Itu saja juga sudah cukup bagi ku.
Puruih, adalah sebuah kampung nelayan yang terletak di sepanjang pinggiran pantai Padang. Disitulah aku dilahirkan. Disitu pertama kali mataku ini menatap dunia, menatap wajah ibu ku yang sendu. Aku tumbuh besar dalam belaian kasih Bunda seorang. Senantiasa tetap dalam perlindungannya hingga aku semakin tumbuh besar untuk memulai bersosialisasi dengan manusia lain, selain Bunda, dan berinterasi dengan alam sekitar yang didominasi oleh laut, pantai, dan rumah-rumah gubuk para nelayan yang beratap daun rumbia.
Di kampung Puruih kami berdua tinggal menghuni sebuah rumah bedeng kontrakan yang terbuat dari dari susunan balok-balok kayu, dinding papan, lantai papan dan atap asbes sebagai tempat berlindung dari terik matahari dan hujan. Rumah kontrakan tempat tinggal kami itu ada enam pintu berjejer memanjang ke belakang. Pemiliknya adalah seorang nenek tua yang tinggal di rumah besar semi permanen, berada di tepi jalan aspal yang lurus arah ke pantai, jalan aspal itu menghubungkan antara pantai dengan jalan utama, jalan Veteran. Si nenek tinggal berdua saja dengan si bungsu, anak gadisnya yang menderita keterbelakangan mental, idiot. Suaminya sudah lama meninggal, sedangkan anak-anak yang lain sudah pada pergi merantau mencari penghidupan mereka masing-masing. Kata orang anak-anak si nenek banyak tiggal di Jakarta, berjualan kain di pasar Tanah Abang.
Di rumah kontrakan si nenek yang enam pintu itu, aku dan bunda menghuni petakan nomor 6, paling ujung dekat dengan kamar mandi, WC umum dan comberan yang airnya mengalir turun ke kali kecil yang berada hanya berjarak sepuluh meter saja dari jendela kamar tempat tinggal kami. Kalau pada hari musim panas, bau pesing bercampur busuk dari sisa-sisa kotoran manusia merambat naik melewati jendela, hingga menusuk rongga-rongga hidung orang-orang penghuni rumah kontrakan. Mereka selalu mengeluh tentang polusi udara yang disebabkan oleh lubang kakus itu dibarengi air liur yang mereka buang ke tanah. Keluhan mereka hanya pada saat itu saja, nanti akan berlalu seperti angin yang berhembus datang dari laut.
Kalau musim hujan lain lagi ceritanya, itu, sisa-sisa itu bisa saja hanyut terbawa oleh air kali yang melimpah ke jalan, dihanyutkan air hujan hingga teronggok pelek dekat tangga rumah atau di jalan. Maka selalu saja setiap hari hujan, semua penghuni rumah kontrakan akan waspada, mata selalu awas, jangan-jangan nanti ada saja “ranjau darat” tergeletak di jalan sempit menuju rumah yang setiap hari mereka lewati. Jangan kaki sampai terinjak “ranjau darat” itu, kalau kena habislah air simpanan dalam rumah untuk pencuci kaki. Pergi mencuci kaki ke kamar mandi itu sama saja percuma, karena lantai kamar mandi becek, penuh lumpur hitam dari comberan yang melimpah masuk ke dalam situ dan akan mengendap.
Ada baik dan buruknya tinggal dekat dengan kamar mandi dan wc umum. Kalau yang buruknya sudah diceritakan tadi sebelumnya. Kalau hal baik ya tentu selalu saja ada. Setiap kali kebelet ingin buang air besar, tak perlu lari-lari masuk ke wc, tinggal turun tangga rumah dan langsung masuk ke dalam kakus. Kalau mencuci pakaian tinggal rendam baju dan celana ke dalam baskom, campur dengan bubuk deterjen lalu diamkan dan letakan di depan tangga rumah. Tak perlu menunggu antrian di kamar mandi untuk mencuci pakaian. Nanti itu ruangan kamar mandi, apa bila matahari mulai beranjak naik, akan sepi dengan sendirinya dari orang-orang yang setiap pagi rebutan untuk dapat memakai kamar mandi duluan.
Kamar mandi umum itu terbagi dua partisi. Satu kamar mandi yang paling besar, itu untuk perempuan dan yang kecil untuk laki-laki. Sengaja kamar mandi perempuan dibuat lebih besar, luas dan lapang, karena perempuan biasanya punya banyak urusan di kamar mandi. Cuci inilah, cuci itulah, sampai memandikan anak juga masih juga urusan mereka. Kalau para laki-laki ya tinggal mandi saja di dalam kamar mandi mereka, lalu cabut keluar sambil menenteng ember atau gayung di tangan sama handuk di pundak, terus langsung naik ke rumah.
Kamar mandi umum adalah hal yang selalu menjadi sumber konflik diantara para penhuni kontrakan setiap pagi. Setiap pagi ada saja keributan kecil terjadi di situ, biasanya terjadi antar sesama perempuan. Seseorang pasti merasa jengkel, kesal kepada orang yang kelamaan memakai kamar mandi. Ditambah lagi dengan suara anak perempuan yang merengek, mengadu kepada ibunya kalau orang yang di dalam situ lama sekali, dia mau cepat mandi agar tidak telat ke sekolah. Tidak jarang dinding seng kamar mandi di gedor-gedor hingga membuat suara gaduh oleh seseorang dari luar. Menyuruh orang yang di dalam supaya cepat keluar, karena anak gadisnya mau mandi karena mau pergi ke sekolah. “Salah sendiri, kenapa tidak lebih pagi mandinya kalau takut terlambat ke sekolah” Nah, itulah jawaban yang selalu terdengar dari dalam kamar mandi.
Kenapa harus kamar mandi saja yang menjadi sumber konfik, sementara kakus tidak di persoalkan. Mudah saja jawabnya, “pergi sana, berak saja di laut” begitu lah kata orang yang sedang keenakan nongkrong di dalam kakus kalau ada orang yang dari luar menyuruhnya supaya cepat. Memang laut dekat sekali dari tempat ku, hanya beberapa puluh meter jaraknya dari rumah. Kalau kakus sedang di isi oleh orang, aku ataupun siapa saja boleh tinggal lari saja ke pantai, nonkrong di atas batu-batu grit, membuang kotoran, membiarkan itu hanyut di lamun oleh ombak. Begitu lah keadaan kampung ku dulu. Tidak jarang orang bilang kalau kampung ku itu mempunyai sebuah wc terpanjang di dunia, tercanggih dan paling mutakhir karena tidak perlu capek menggosok atau membersihkan, di situ sudah ada ombak laut disediakan oleh alam yang bertugas membersihkan kotoran-kotoran yang tertinggal di bibir pantai. Ya begitulah, itulah sebuah bentuk karunia yang dipersembahan oleh alam kepada manusia yang tinggal tepi laut. Sudah selayaknya manusia itu bersyukur kepada Tuhan yang telah menciptakan alam untuk kebaikan semua yang tinggal di atasnya.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar