Menunggu Angin Bertiup, Oleh Yuhardi Tanjung
Part 5
Begitulah, pembacaan ayat-ayat Al quran masih berlanjut dengan pembacanya bergantian antara pria dan wanita. Aku masih terus menyimak dan memperhatikan tanda-tanda bacaan pada ayat Al quran. Ah .. alangkah ruginya aku tidak dapat belajar membaca Al quran dengan baik. Atau apakah ibu dan bapak ku tidak tahu kemana anak-anaknya harus pergi berguru?.
Tidak lama akhirnya giliran pembacaan pada wanita pun selesai, sang guru lalu menunjuk kepada ku untuk melanjutkan membaca. Aku.. aku terbata-bata dalam mengucapkan kata demi kata. Keringat dingin mengalir, aku tahu bahwa aku tidak bisa membaca dengan irama yang baik, apalagi dengan pengetahuan nahu, syaraf dan kiraat, karena memang aku tidak pernah mempelajarinya.
Tapi walau bagai manapun, aku tetap akan membacanya, sesuai dengan kemampuanku. Auzubillahi minasy syaithan nirajim.. aku baca kelanjutan ayat itu, dan memang suara ku yang membuat para hadirin mengikuti bacaan ku, dan memang bacaan banyak pula yang salah, .. itu dibetulkan secara bersama-sama oleh peserta. Pada bacaan ayat yang seterusnya suara ku agak meninggi sehingga salah seorang peserta wanita sempat berceletuk, …iiik… ya aku tahu orangnya, aku hanya tersenyum pencong saja.
“Kini giliran Wid yang membaca lagi” kata guru mengatur giliran. Semua hadirin terdiam waktu Wid mulai membaca. Suaranya memang khas, keheningan mulai terasa. Alunan suara Wid sangat merdu, membuat setiap orang yang hadir terpesona mendengarnya. Hampir tidak dijumpai kesalahan dalam setiap bacaan. Diakui memang Wid benar-benar telah menguasai seluk beluk tentang bacaan al quran yang baik, itu berkat latihan dan bakatnya.
Dari bisik-bisik yang sempat ku dengar, memang Wid telah beberapa kali memenangkan juara tilawatil quran antar kampung. Semua anak-anak PGA di kampung ku memang pintar-pintar dalam membaca al quran. Mudah-mudahan ini dapat membawa berkah bagi kampung kami… amin.
Setelah tadarus selesai, semua peserta pulang ke rumah masing-masing. Akupun pulang, dipersimpangan jalan, dalam kegelapan malam, jalan yang hanya diterangi oleh cahaya obor, ku lihat Wid berjalan di depanku bersama temannya, aku lantas menyapa dan sekaligus memujinya. “Wah..kalau ada tilawatil quran nanti kita wakilkan saja pada Wid”. “Insya Allah da” dia menjawab dengan kerendahan hati. Seketika gerimis jatuh membasahi bumi, cepat-cepat aku ayun langkah kaki ku pulang.
Dalam tidurku berbagai macam mimpi-mimpi yang menggoda, sering aku tersentak dari tidur, bermacam-macam mimpi menghiasi tidur ku hingga sampai pagi subuh menjelang. Badanku terasa melayang, ringan bagaikan bayang-bayang saja, tidak biasanya aku begini, pikiran ku menjalar kemana-mana. Selesai sholat subuh aku berdoa kepada Tuhan, semoga tuhan menunjukan aku ke jalan yang benar.
Pikiranku seperti terjerat, tidak bisa lepas lagi, semakin aku ingin lepas semakin kuat pula ikatan itu melilit, napas ku sesak, dimana-mana, kemana-mana atau bagaimanapun selalu ada dia, dia yang dengan senyumnya menawan membuat diriku seperti mabuk kepayang. Aku merasakan badanku sakit, makan rasanya tidak enak, minumpun demikian karena aku lagi berpuasa, sepanjang hari aku hanya tidur saja.
Telah dua hari aku tidak ikut tarawih di mushola. Sorenya Syahril datang ke rumah ku, dari dalam rumah sudah terdengar suaranya “Oii, oii, kemana ini orang tidak ada, apakah sudah pergi ke Pdg?” Aku keluar dari dalam kamar, kepalaku agak terasa berat. Kembali Syahril berceloteh, “kenapa, ada apa, kenapa tidak hadir bertarawih di mushola?… ada seseorang yang bertanya kenapa tidak kelihatan semalam?”. “Kepala ku terasa berat, mungkin karena hujan gerimis waktu pulang semalam” aku menjelaskan keadaan ku. “Oh iya…. siapa yang bertanya?” aku bertanya sambil mempersilahkan Syahril duduk. “Wah.. siapa lagi kalau bukan orang ujung bukit” katanya menjawab pertanyaan ku. Siapa orang “ujung bukit” yang dimaksudnya itu?. aku coba mengingat siapa saja orang yang tinggal di ujung bukit. Oya ada etek istri si Peo, ada mak Nurilam, ada si Tando yang punya warung disana, ada uni Ashi, ada anak yang namanya si Capoh.. dan ada lagi .. ah.. tidak mungin mereka menanyakan aku, tapi siapa ya. Aku masih pikir-pikir siapa-siapa yang belum aku ingat namanya. Syahril masih saja senyum-senyum menggodaku, aku jadi penasaran dalam hati, tapi aku pura-pura tidak ambil peduli, masih jaga gengsi untuk tidak ingin tahu siapa orangnya.
Diluar, di beranda angin berhembus pelan, ranting jambu biji mengangguk-angguk ditiup angin, terasa sejuk mengelus kulit.
Dalam benak ku tidak pernah terpikir oleh ku akan ada orang yang peduli kepada ku selama ini. Aku hanya hidup untuk orang saja, hidupku tidak memiliki sesuatu keinginan apapun untuk diri ku sendiri, mungkin dikarenakan pada waktu kecil kami sekeluarga hidup sangat prihatin sekali. Jadi pada saat itu aku tidak pernah punya keinginan-keinginan yang layak sebagai anak-anak. Hidup hanya untuk makan dan bersekolah rasanya sudah cukup bagi kami waktu itu. Begitu juga adik-adik ku mereka menerima saja keadaan kami yang demikian. Kami tahu bapak kami hanyalah seorang karyawan biasa bagian gudang disalah satu perusahaan negara. Posisi bapak di perusahaan itu tetap saja sebagai buruh angkat-angkat barang, tidak ada berubah dari tahun ke tahun. Keadaan ini disebabkan karena bapak tidak mempunyai pendidikan yang lebih tinggi, hanya sekolah kampung di zaman Belanda, masih syukur bapak masih bisa menulis dan membaca, dan tentunya pandai membaca Al quran.
Begitulah kehidupan yang kami lalui dengan kesederhanaan setiap hari di bilangan Alang Lawas, Kota P. Di belakang rumah gadang atap ijuk, atau dikenal orang rumah gadang batahuh. Kami tinggal di lingkungan orang keturunan bangsawan kota P, yang sebahagian besar mereka berprofesi sebagai pegawai negeri. Bapak menyewa sebuah pondok kecil ukuran 5x6 meter persegi, beratap daun rumbia, berdinding gedek, disanalah kami tinggal bersama, dengan total penghuninya ada 11 orang, dengan perincian 9 orang anak dan 2 orang dewasa, yaitu bapak dan ibu.
Lamunanku jadi buyar ketika Syahri melayangkan tangannya di depan mataku “Hei… kenapakah, apa yang si Eddy lamunkan?” “Ah tidak… tidak ada apa-apa” aku tersadar “Oya… nanti malam kita tarawih ya” katanya mengajak ke ke Mushola nanti malam. “Iya tentu, kalau badan ku ada sehat” aku mejawab. Rasanya aku ingin menanyakan lagi siapakah orang yang menanyakan tentang aku semalam, tapi aku merasa enggan. Herannya kenapa Syahril tidak lagi menyinggung tentang orang itu, aku jadi penasaran dalam hati.
Mushola kami belum lagi mempunyai kamar-kamar untuk beruduk, masih mempergunakan sumur yang airnya harus ditimba terlebuh dahulu, ini pun harus dipakai bergantian antara laki-laki dan perempuan.
Akupun ikutan antri mengambil wudhuk disumur itu, di dinding sumur terlihat beberapa mukena tersampir dan begitu juga di pagar sumur mushola. Berarti ada lebih dari empat orang wanita sedang mengambil wuduk. Ada dua buah lampu petromax yang tergantung di depan mushola, cahaya dari lampu itu menerangi sampai ke sumur. Seekor kupu-kupu gajah sedang terbang mengitari lampu itu. Apakah dia tidak tahu kalau lampu itu panas dan berbahaya bagi dirinya.
Di sumur tampak tinggal hanya satu orang lagi perempuan, aku bersiap-siap untuk mengambil giliran berudhuk, takut nanti banyak lagi orang yang akan masuk. Di luar, di depan pintu sumur aku berpapasan dengan orang yang terakhir dari sumur tadi. Oh.. ternyata dia. Wajahnya masih dibasahi oleh air wudhuk. Dia menatap ku, lalu dia berkata “ Aih uda rupanya… kenapa tidak tarawih kemaren malam?” dia bertanya. “Aku.. aku” timbul lagi gagap ku bila berhadapan dengannya. Rasanya lidahku ini tidak bisa di atur kalau sedang berhadapn dengan dia. “Ah.. aku.. aku sakit kepala, mungkin karena hujan gerimis waktu itu” aku menjelaskan dan dia pun tersenyum. “Oh apakah uda sekarang masih pusing?” katanya melanjutkan. “Alhamdulliah sudah baikan” kata ku menjawab.
Seperti biasa, setelah sholat tarawih kembali jamaah melanjutkan tadarus membaca ayat alquran. Para jamaah duduk membuat lingkaran dan bergantian membaca alquran dengan bimbingan guru mengaji. Menurut guru pembimbing, “kepada saudari eni dan Wid diharapkan dapat meningkatkan lagi teknik bacaannya, mudah-mudahan nanti pada tanggal 18 Ramadhan nanti kita akan menghadiri pertandingan tilawatil quran di mesjid Duku, tentunya kepada saudari Eni dan Wid diharapkan menjadi wakil dari mushola kita”.
Dengan kesempatan membaca Alquran dengan bertadarus, aku manfaatkan dengan baik kesempatan itu untuk menikmati merdunya suara Wid yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al quran. Oh seketika rasa berat di kepalaku hilang sirnah waktu itu, berganti dengan rasa bahagia timbul di hati ini.
Pada satu kesempatan dalam bertadarus itu aku sempat beradu pandang dengan dia, walaupun memang hanya sekejap mata, tapi momen itu sangat besar artinya bagi diriku. Di luar angin bertiup kuat, kedua lampu petromax bergoyang-goyang pada gantungan di tiup angin, sinarnya meredup, agaknya harus dipomp lagi, tambah angin.
Tidak lama kemudian suara guruh menderum diikuti dengan suara angin yang bertiup semakin kuat. Sebuah pohon rumbia yang berada dekat sumur gergoyang kencang, tamauknya hujan akan turun ke bumi. Jamaah tadarus memang sudah berhenti dari tadi, kami telah bersiap untuk pulang. Saat kami akan turun dari mushola, tiba-tiba hjan turun dengan deras, olala, ada sebagian teman-teman telah terlanjur keluar sampai di halaman terpaksa kembali lagi ke mushola.
Aku masih berdiri dekat jendela mushola memandang keluar, gelap, hujan yang turun membuat perasaan jadi tidak menentu, kulihat teman-teman duduk bergerombolan dekat mihrab, sedangkan para wanita kulihat asik bercerita sesama mereka sembari menunggu hujan mereda. Mungkin diantara mereka tidak ada yang membawa payung, karena dari berangkat ke mushola tadi cuaca sangat cerah sekali.
Tak terasa hujan pun telah reda, kami siap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing, tanah di halaman mushola telah becek, sandal susah dipakai karena lengket di tanah, terpaksa harus dijinjing saja.
Tanggal 18 Ramadhan, adalah saat-saat yang dinantikan oleh para remaja mushola Jabal Nur. Setelah sholat tarawih, beberapa orang teman telah bersiap-siap dengan sepedanya masing-masing, waktu itu belum ada seorangpun dari kami yang punya motor, apalagi mobil. Ada beberapa orang pemuda juga ikut dengan kami, mereka adalah sebagai pengawal kami nantinya, mana tahu ada saja orang yang jahil terhadap kami dalam perjalanan maupun pulang dari acara tilawatil quran di Duku.
Jarak yang akan kami tempuh menuju mesjid temapat acara tilawatil quran itu ada kurang lebih 8 Km dari tempat kami. Jauh juga memang, karena acaranya diselenggarakan pada malam hari, banyak ibu-ibu dan orang tua yang punya anak gadis jad ragu melepaskan mereka pergi bertanding kalau tidak ada yang menemani, apalagi sepanjang jalan belum ada lampu listrik untuk penerangan.
Aku bergonceng dengan Syahril, ku lihat Wid bergonceng dengan istri pak M, Eni dengan ibu yang namanya aku lupa, dan beberapa anak perempuan juga bergoncengan sesamanya. Anak lelakipun telah memilih teman lelaki pula. Kami beriringan ada sekitar 15 buah sepeda dengan dua orang setiap sepeda. Wah meriah juga dalam perjalanan menuju ketempat acara tersebut.
Di tempat acara kami disambut oleh panitia seksi penyambutan tamu, mereka telah mengatur tempat duduk kami, bahkan tempat penitipan sepeda juga telah diatur sedemikian rupa.
Bersambung,
Disalin oleh Lucky Lukmansyah
Photo: perigunawan.deviantart.com
0 Komentar
Penulisan markup di komentar