Menunggu Angin Bertiup
Oleh Yuhardi Tanjung
Part 6
Pak M langsung mendaftarkan nama Wid dan Eni kepada panitia untuk memperoleh nomor peserta Tilawatil Quran tingkat remaja, hanya tingkat remaja yang bisa diikutkan sebagai wakil, untuk tingkat dewasa belum ada yang bisa.
Beberapa rombongan dari mesjid lain tidak lebih dahulu datang dan mengisi tempat duduk. Rombongan kami hanya kebagian tempat agak kebelakang, tapi syukur masih dapat tempat duduk.
Suara musik berirama padang pasir ikut menyemarakan suasana, yang dimainkan oleh group pemain musik Qasidah dari kota P yang cukup terkenal, yang biasa di panggil untuk acara-acara tertentu, tentunya dangan harga panggilan yang lumayan. Musik Qasidah juga dibantu oleh group rebana lokal dengan sejumlah dara-dara manis.
Pada pembukaan acara, musik berhenti sejenak, terlihat ketua panitia acara membacakan laporan kepada hadirin, laporan tentang jumlah peserta dengan menyebutkan nama-nama mesjid dan mushola yang mengikutkan qari dan qariah dalam acara tersebut.
Kemudian kata sambutan dan pengarahan dari muspika kecamatan atau yang mewakili, dimana beliau langsung membuka acara sekaligus.
Lampu-lampu petromax yang dipasang di beberapa tempat, membuat lokasi menjadi terang benderang, para atamu undangan sangat antusias sekali menyaksikan acara perlombaan Tilawatil Quran ini.
Pembaca pertama dengan nomor peserta 10 diwakili oleh seorang dara dari mesjid Istiqlal Kapuh, peserta ini memakai baju kurung berwarna kuning bercorak kembang dengan jilbab bewarna kuning serasi dengan bajunya. Tubuhnya yang lansing semampai melangkah santai menuju mimbar tilawah, tempat pembacaan ayat-ayat suci yang sengaja dibuat sedemikian rupa.
Pembaca kedua, ketiga dan keempat telh berlalu dengan segala teknik dan irama yang memukau. Mereka telah menimbulkan harapan-harapan untuk bisa meraih kemenangan bagi masing-masing mesjid atau mushola yang diwakili.
Tibalah saatnya Wid naik ke mimbar tilawah sebagai pembaca urutan ke lima. Wajahnya sedikit tegang, dia berdiri sambil merapikan pakaiannya. Seorang ibu yang duduk disampingnya terlihat menggenggam tangan Wid sambil mengucapkan sesuatu. Wid menganggukan kepala sedikit, sambil mengucapkan bismilah, dia melangkahkan kakinya menuju pentas, tenang dan penuh percaya diri.
Aku berdoa semoga dia dapat membaca dengan baik, dan memenangkan perlombaan ini untuk tingkat remaja. Syahril yang duduk disampingku juga menyampaikan dukungannya dengan mengucapkan “Ayo Wid, jangan ragu”. dia melihat kami dengan senyumnya. Aku tidak berkata apa-apa, hanya mengangkat kedua jempol tangan menunjukan kepadanya bahwa aku mendukungnya.
Bagi orang-orang yang telah pernah mengikuti perlombaan Tilawatil Quran tentu hal ini merupakan pengalaman biasa, tapi bagi orang yang pertama kali mengalaminya tentu akan merasa beban mental.
Begitu juga dengan Wid, semua dapat dilewati dengan lancar tanpa ada rasa gugup atau kikuk, sampai dengan penutup ayat, sadaqallahul azim. Rasa lega semburat di wajahnya, sedikit keringat yang ada di dahinya berkilauan ditimpa cahaya lampu petromax.
Kembali sambutan berupa uluran tangan dari kami menyambutnya waktu berjalan ke kursinya kembali. Ada harapan yang terpancar dari wajahnya sebagai pemenang dalam perlombaan ini.
Malam bertambah larut, gerimis turun membasahi bumi. Qariah yang ke dua sesudah Wid pun telah selesai melaksanakan bacaan dengan baik. Hari pertama perlombaan tilawatil alquran telah selesai dilaksanakan. Nilai dari para peserta telah dalam kantong para juri.
Kami bersiap-siap untuk pulang, gerimis masih belum reda. Sebagian dari kami kelihatan kedinginan, tidak seorangpun dari kami ada yang membawa mantel atau barang yang sejenis. Aku coba melihat jam dinding yang tergantung di dinding mesjid. Jarum jam telah menunjukan pukul 11.30. dising semakin menusuk kedalam tulang, sebagian dari teman-teman mengusulkan supaya gerimis ini ditempuh saja. Banyak yang setuju, akhirnya kami pun sepakat menempuh gerimis ini kembali pulang.
Ku lihat Wid, dia berdiri dekat pintu keluar, dia dari tadi tidak bersuara, tidak ikut memutuskan apakah kami menempuh gerimis atau tidak, dia ikut saja. Aku mencoba mendekatinya, “Kita pulang ya Wid” kata ku. Dia melihat padaku. “Tapi rinai ko ma da” dia melayangkan pandangnya keluar. Aku ingat aku ada memakai jaket. “Ayo Wid, pakai jaket ini” Aku membuka jaket ku dan mengulurkan kepadanya. “Uda ba’a?” kelihatannya dia ragu-ragu menerima uluran jaket ku. Terdengar suara dari samping ku. “Tarimo lah Wi, ada niat baik dari seseorang” ternyata oleh A yang berkata tadi. Dia menoleh kepadaku sambil tersenyum penuh arti.
Bersambung..
Disalin oleh Lucky Lukmansyah
Photo: Flickr
0 Komentar
Penulisan markup di komentar