Menunggu Angin Bertiup # 4 Oleh Yuhardi Tanjung
“Ayo silahkan diminum airnya, oh iya, kawan Syahril ini siapa namanya?” Bapak itu mempersilahkan kami minum dan sekaligus ingin tahu mengenai diri ku. Untung ada Syahril yang dapat menjelaskan tentang diriku, tentang aku cucu siapa dan juga tentang nama ibu dan bapak ku. Syahril menjelaskan sejelas-jelasnya sehingga bapak tua itu mengangguk-anggukan kepalanya.
“Jadi si Eddy masih terbilang kemenakan saya, karena saya adalah Tanjung di Karang, orang Tanjung di Karang berdunsanak dengan orang Tanjung di Parik” Dia menjelaskan lebih jauh. Tanjung di Karang maksudnya adalah bahwa suku Tanjung yang mendiami kampung Karang, sedangkan Tanjung di Parik adalah orang suku Tanjung yang tinggal di kampung Parik. Kini ganti aku yang mengangguk-anggukan kepala. “Jadi si Eddy harus memanggil Uncu kepada saya” dia menjelaskan lagi statusnya dalam suku Tanjung.
Sambil meraih rokok nipah, kemudian dia menggulungnya di telapak tangan, beliau menanyakan perihal ayahku, “apakah beliau ada sehat-sehat saja? lalu bagaimana dengan sekolah mu, apakah sudah selesai?”. Bau khas rokok nipah dengan tembakau yang dihisapnya menyerang hidung kami. Syahril terbatuk-batuk waktu asap rokok itu menyentuhnya. Ya memang Syahril tidak merokok, walaupun hanya sekali belum pernah aku melihatnya menghisap rokok.
“Saya sudah tamat SMA uncu, sekarang sedang menganggur” aku menjelaskan keadaan ku, beliau mengangguk lagi memahami apa yang sedang ku katakan. “Dan kau Syahril, kapan kapan kau tamatnya?” Kini pertanyaan uncu beralih kepada Syahril “Kalau saya masih satu tahun lagi uncu” Syahril menjawab. Benar, kalau Syahril satu tahun lagi baru akan tamat, dia setahun di bawah ku, aku setahun dahulu masuk sekolah dari dia.
Setelah meminum air teh yang disajikan tadi, kami minta izin pamit kembali pulang ke rumah. Lantas uncu mengizinkan kami balik, sembari dia berpesan agar kami sering-sering berkunjung ke rumahnya. “Insya Allah” jawab kami serentak, aku dan Syahril jadi kaget dengan jawaban kami yang berbarengan secara tidak sengaja bisa begitu, lantas kami tertawa ketika menyadarinya.
Syahril mengambil sepedanya yang tadi dia sandarkan pada pohon mangga. Dan aku sempat melihat dia berdiri dekat jendela memandang kami pergi.
“Ayo Eddy singgah dulu ke rumah saya!” Syahril menawarkan agar aku bertandang ke rumahnya. “Besok saja, besok Insya Allah, aku pasti datang” aku meyakinkan Syahril, dia tersenyum sambil mulai mengayuh sepedanya. Aku juga mengayunkan langkah menuju rumah ku.Aku teringat pada kue talam nenek, bayangan kue itu terlintas di benak ku, membuat perut ku jadi terasa lapar, tak sadar langkah kaki ini semakin cepat, diri ingin segera sampai di rumah.
Suara beduk pertanda masuknya waktu Magrib pada awal bulan Ramadhan telah berbunyi, aku bergegas menuju mushola, di persimpangan jalan arah ke mushola aku bertemu dengan Syahril, kami beriringan menuju mushola.
Di teras mushola kulihat ada Wid yang lagi berbicara dengan seorang temannya. Sebelum masuk mushola, aku berhenti sejenak dekat mereka berdua. Malu-malu mereka menghentikan pembicaraan sambil menoleh kepada ku. Wid lantas mengenalkan ku pada temannya, itu gadis bernama Eni. Kami tidak bersalaman, cuma hanya saling mengangguk saja.
Syahril rupanya sudah kenal dengan Eni, temannya wid itu. “Eh.. uda Syahril rupanya” gadis itu berkata pada Syahril. Temannya itu, teman satu sekolah dengan Wid, cantik juga orangnya, kulitnya putih.
Muazin telah mulai iqamat, kami segera masuk kedalam mushola, sholat magrib segera dimulai. Setelah selesai sholat, seorang pengurus mushola kembali mengumumkan bahwa kegiatan musholla selama bulan ramadhan dimulai hari ini dengan melaksanakan sholat tarawih.
Listrik pada waktu itu belum lagi masuk ke desa kami. Sebagai alat penerangan dipakai lampu petromax. Di dalam mushola di pasang 2 buah, dan di luar juga 2 buah. Bulan Ramadhan sangat terasa kemeriahannya, baik di mushola maupun di rumah-rumah, anak-anak begitu gembira sekali, mereka berkejaran sesama mereka di halaman mushola, para remaja pun kelihatan ramai yang datang.
Sebagai kegiatan rutin dalam bulan ramadhan adalah bertadarus Al quran setelah selesai sholat tarawih berjamaah. Secara bergiliran, pembacaan kitab suci Al quran ini diusahakan bisa dikhatamkan sampai akhir bulan ramadhan, kesempatan ini dianggap sebagai mencari pahala sebanyak mungkin dan latihan bagi qari dan qariah dalam rangka menghadapi tilawatil Al quran.
Aku diajak oleh Syahril untuk ikut bertadarus Al quran, sebenarnya aku tidak pernah belajar Al quran dengan baik. Di Pdg, aku hanya belajar batangnya saja, aku tidak belajar mengenai irama, nahwu, syaraf, kiraat dan lain-lain. Tapi dengan mendengar orang membaca Al quran kita akan dapat pahala, apalagi mampu menyimak bacaannya. Untuk malam itu, awal pertama, jadilah aku duduk bersama teman-teman lainnya, duduk dengan membuat lingkaran dan menghadap ketengah lingkaran. Para remaja putri dan ibu-ibu duduk di depan para laki-laki. Ternyata ibu-ibu juga bersemangat pula mengikuti kegiatan tadarus ini, apalagi para remaja putri, semua tampak antusias sekali.
Sebagai pembaca al quran pertama yang diminta oleh guru atau yang dianggap guru oleh peserta yaitu saudari Eni, teman Wid. Dimulai dengan ta’awuz, dia melantunkan suaranya dengan membaca Al baqarah ayat pertama. Suaranya yang awalnya lambat kemudian meningkat meninggi, menurun dan mendatar, meninggi lagi. Semua hadirin benar-benar hanyut terbawa irama suaranya yang benar-benar memukau, dan tidak terasa bacaannya telah selesai. Secara serentak bersama ucapan shadaqallahul azim, tanda akhir sebuah bacaan telah diucapkan. Kemudian sang guru telah melihat-lihat siapa lagi yang akan melanjutkan bacaan si En tadi. Dan akhirnya beliau memintak Syahril untuk melanjutkan. Bersambung,
Disalin oleh Lucky Lukmansyah
Photo oleh www.satuislam.org
0 Komentar
Penulisan markup di komentar