Menunggu Angin Bertiup # 3 Oleh Yuhardi Tanjung

22:58:00



Menunggu Angin Bertiup, Oleh Yuhardi Tanjung
 
Part 3

Dalam keramaian pasar, aku masuk ke dalam pasar mencoba mencari kedai penjual barang-barang pesanan nenek tadi. Puas juga aku berkeliling di dalam pasar untuk mencari barang-barang tersebut. Di waktu aku melewati deretan kios penjual kain dan baju, sesorang menyapa aku dari dalam salah satu kios tersebut, khas suara penjual pakaian kalau sedang menawarkan dagangannya. Awalnya aku menjawab biasa saja, karena memang aku tidak ada niat membeli, aku terus saja berlalu tanpa harus menoleh kepada si penjual yang menawarkan tadi. Tetapi tidak berapa langkah dari tempat itu, lantas aku teringat pada suara itu… suara itu yang membuatku semalam tidak dapat untuk memejamkan mata untuk tidur.

Oh.. suara itu… aku menghentikan langkah kakiku, aku teringat kepada siapa yang punya suara itu… aku berbalik kembali dan.. memang disana ada dia. Dia yang rupanya telah menantiku dengan kata-kata “ah uda sombong sekali, tidak menoleh sedikit pun kepada saya” gurauan dia sambil mempersilahkan aku duduk pada bangku kecil tempat dia duduk tadi. Sambil tergagap-gagap aku minta maaf sebesar-besarnya karena tidak melihat dia ada dalam kios itu. Sekali lagi aku minta maaf. Mungkin dia merasa geli karena melihat sikap ku yang bodoh itu.

Hari ini aku benar-benar merasa bersyukur kepada tuhan yang maha esa, ya karena pada hari ini aku benar-benar bisa berada dekat dengat dia, nyata ada di depan mataku, kami sedang berbincang berdua. Aku bisa memperhatikan kedua bola matanya, mimik wajahnya, hidungnya yang kalau dikatakan mancung tidak, tapi serasi dengan wajahnya. Betapa sang khalik telah menciptakan makhluknya dengan sempurna sesuai dengan apa yang dianugerahkan kepada masing-masing ciptaannya. Aku tidak banyak berkata-kata, hanya terpesona memperhatikan segala cara dan tutur bahasanya ketika melayani pembeli.

Cukup lama juga aku ada di kedai itu, akhirnya setelah melayani pembeli dia menanyakan apa yang aku cari di pasar ini. Aku menjawab hanya sekedar melihat-lihat dan kemudian membelikan pesanan si nenek. Hari ini aku baru tahu ceritanya, bahwa kedai itu disewa. Dia disana sedang membantu maknya. Pada hari-hari libur dia sering membantu maknya berjualan di pasar. Aku coba menanyakan perihal abaknya, yang notabene adalah mamak bagi suku kami juga. Kebiasaan di kampung kami kalau ada orang yang setingkat mamak levelnya maka dia harus dipanggil dengan sebutan “uncu”. Aku tidak tahu dari mana dan bagaimana asal usul kata tersebut, tapi memang demikianlah adanya.


“Uncu dimana sekarang? Apakah beliau ada sehat-sehat saja?” Aku berkata mencoba menanyakan keadaan abaknya. “Alhamdulliah, beliau ada sehat-sehat saja, sekarang beliau lagi ke pasar Brg Blt” dia menjawab pertanyaanku sambil melipat sehelai baju yang tadi tidak jadi dibeli orang.

“Apa boleh saya besok datang ke rumah?, saya ingin berjumpa dengan uncu” aku bertanya sambil melanjutkan lagi, “apakah ada yang marah?”

Dia melihat kepada ku dengan bola mata yang melebar sambil berucap “Aih.. siapa pula yang akan marah kalau kemenakan datang mengunjungi mamaknya”

Terus dia melanjutkan “entah uda sendiri yang tidak mau naik ke rumah kami, memang di rumah kami tidak ada kursi, maklum rumah orang kampung” begitu dia menambahkan. Ah aku memang tidak pandai menggunakan kata-kata bersayap seperti itu. Aku hanya tersenyum saja menjawab dengan meyakinkan, sekali lagi aku berujar “Besok aku ke rumah mu jam empat sore”
Di luar matahari sudah kelihatan tinggi, sebagian pengunjung pasar sudah pulang. Ingin aku mengetahui jam berapa sekarang, tetapi tidak ada weker atau jam besar di tengah pasar, kepada orang-orang lewat yang memakai arlogi aku enggan bertanya, akhirnya aku permisi kepadanya, aku ingin pulang ke rumah.

Sore semakin layu, matahari sudah semakin condong ke Barat, sedangkan pekerjaanku masih ada sekitar penggal lagi yang belum tercangkul. Rencanaku dari kemarin hendak pergi ke rumahnya pukul empat sore hari ini. Cepat-cepat aku cuci kaki dan tangan di tali bandar sawah, airnya mengalir sangat jernih sekali. Hari ini nenek tidak ikut ke sawah, beliau sibuk bekerja di rumah, mungkin ada yang sedang beliau persiapkan untuk bulan Ramadhan yang sebentar lagi sudah di ambang pintu.

Setelah mandi kemudian sholat asyar, ku lihat nenek sedang sibuk di dapur, beliau sedang meniup api tungku dengan menggunakan sepotong bambu agar apinya bisa menyala dengan baik.

Aku minta izin lebih dahulu kepada nenek sehubungan dengan niatku untuk pergi berkunjung ke rumah uncu A. Aku mengutarakan niat ku kepada nenek. Nenek terbatuk-batuk, entah kemasukan asap atau dikarenakan yang lain aku tidak tahu. Beliau belum menjawab permintaan ku, bahkan sebaliknya beliau bertanya “ke rumah siapa?” aku menjawab “ke rumah uncu A”. Beliau melihat kepada ku sambil memperhatikan menatap wajahku, seakan-akan ada sesuatu yang beliau cari di situ. Kemudian beliau ber gumam “pergilah, tapi jangan lama-lama, cepat pulang yah, nenek ada buat kue talam” Kue talam rupanya, aku suka sekali kue talam, kue talam buatan nenek memang terkenal enak. “ya nek” aku menjawab sambil mencari sendalku.

Dalam perjalanan ke rumahnya yang tidak jauh memang, hanya sekitar 500-600 meter saja dari rumah nenek ku. Aku berpikir apa yang akan ku bicarakan nanti sesampai di rumahnya, atau apa dan bagaimana menjawab kalau sekiranya ada pertanyaan yang muncul nanti. Ah .. aku terlalu merisaukan semua hal yang belum ter jadi, biarlah semuanya berlalu seperti air mengalir.

Seiring dengan waktu suasana sore telah mengambang, cahaya matahari meredup tertutupi oleh mega. Pikiranku jadi berpendar-pendar, bunyi lonceng sepeda berdenging di belakang ku. Aku terkejut dan langsung menoleh ke belakang. Ternyata yang membunyikan lonceng sepeda itu adalah Syahril, teman ku, anak etek R, yang bersekolah di SPMA - Pdg. Oh ternyata dia telah di kampung rupanya. “Oi.. kapan pulang?” aku menyapanya. Dia tersenyum ramah sambil turun dari sepedanya. Syahril anak yang baik, tidak suka macam-macam, orangnya bersih, necis sekali, rambut selalu tersisir rapi, Syahril sering berkunjung ke rumah ku di Pdg. Dia kos bersama teman-temannya di Alai, sekolahnya memang dekat dengan lokasi tempat kosnya.

“Kemaren sore” kata dia menjawab pertanyaan ku tadi. “Oh iya si Eddy mau kemana?” tanya dia menambahkan. Syahril anak yang sopan, dia selalu menyebut nama ku sebagai kata ganti kamu, situ, waang atau engkau terhadap ku. Mungkin dia segan atau merasa kasar kalau mengucapkan kata-kata tersebut, seperti yang jadi kebiasaan dikalangan teman-teman lain di kampung. Syahril sendiri adalah anak pisang kami, karena dia adalah cucu dari mamak kami yang kawin dengan neneknya.

“Aku hendak pergi ke rumah uncu A” Aku menerangkan maksud ku. “Apa si Eddy perlu ditemani?” dia menawarkan diri untuk menemani ku. “Wah dengan segala senang hati” aku langsung menerima tawarannya itu.

Tidak lama kemudian kami berdua sudah berada di halaman rumahnya, sebuah rumah kayu model lama dengan atap seng model bungkus nasi. Aku lihat tepat di sudut rumahnya ada tumbuh kembang sepatu yang sedang berbunga berwarna putih. Halaman rumah itu cukup luas, banyak ditumbuhi dengan tebu, yang melindungi rumah jika dilihat dari jalan raya, dan ada pula sebatang pohon mangga sedang berbunga lebat memberi keteduhan kepada rumahnya.

Seorang anak laki-laki sedang bermain di bawah pohon mangga itu melihat ke arah kami, dia tidak berkata apa-apa kepada kami, cuma hanya berteriak memberitahu ke atas rumah “uni ada orang datang”. Terdengar jawaban dari dalam rumah, suara laki-laki, disertai muncul sebuah kepala dari jendela.

“Assalam mualaikum” Syahril yang lebih dahulu yang mengucapkan salam. “Alaikum salam” bapak itu menjawab salam dari Syahril sambil mempersilahkan kami naik ke dalam rumah. Seorang laki-laki tua, berkulit gelap, sedikit kurus, bersarung dan ber kaos singlet mempersilahkan kami duduk pada kursi tamu yang terbuat dari rotan. Seikat daun nipah dan segulung tembakau terletak berdampingan di atas meja kecil yang bahagian atasnya kaca bening memakai kain taplak meja sebagai alas.


“Bagaimana kabar uncu sekarang? Apakah ada sehat-sehat saja?” Kembali syahril membuka pembicaraan, aku selalu saja ketinggalan dalam hal ini. “Alhamdulillah saya ada baik-baik saja, dan kalau kesehatan, maklum sudah tua, beginilah keadaannya, memang tidak selalu sehat” jawab bapak itu. Aku berpikir apakah orang tua itu yang disebut sebagai uncu A yang aku belum kenal. Saat itu aku belum terlibat dalam “pembukaan” aku masih saja sebagai pendengar. Angin membelai daun-daun tebu yang tumbuh subur di halaman, seekor burung balam hinggap di pelepah daun kelapa di seberang jalan.

“Ah.. orang jauh rupanya datang” Dia berkata sabil berjalan ke ruang tamu sambil membawa baki dan beberapa gelas yang berisi minuman. Sambil meletakan minuman dia berujar lagi, “Sudah lama uda Syahril di kampung?” kemudian dia berkata kepada ku, “Apakah uda tidak tersesat waktu pergi kesini?”. “Alhamdulilah, tadi ada yang memandu jalan saya sampai ke rumah ini” Aku menjawab sambil mengerling kepada Syahril. Dia tersenyum sambil masuk ke dalam rumah kembali. Bersambung.

Disalin oleh Lucky Lukmansyah
 
Photo: flickr.com

Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © Simple SEO ✔