Menunggu Angin Bertiup #2 Oleh Yuhardi Tanjung

01:47:00



Menunggu Angin Bertiup #2 Oleh Yuhardi Tanjung

Senja mulai jatuh, rona merah lembayung membias di atas bukit batu di desa kami, sekelompok burung bangau terbang pulang ke sarang, terdengar desah kepak sayapnya ketika terbang melintasi desa kami. Suara beduk diikuti azan bergema dari mushola kecil di desa kami memanggil umatnya.

Aku bergegas menuju mushola. Di jalan kulihat ibu-ibu dan beberapa anak-anak kecil berjalan beriringan menuju mushola untuk menunikan sholat. Anak-anak perempuan dan ibu-ibu masing-masing membawa mukenah yang disandang dibahu bahkan ada yang lansung memakainya, sedangkan anak-anak laki-laki memakai sarung dan peci.

Iqamat sudah diperdengarkan, tanda sholat Magrib berjamaah akan dimulai. Aku baru saja sampai di depan tangga mushola, aku lalu mengambil gayung di bak air samping tangga mushola. Baru aku selesai mencuci kaki, terdengar suara yang datang dari belakangku, “da, pinjam gayungnya” suara itu seperti aku kenal, aku menoleh kebelakang dan jantungku berdebar kencang, ternyata dia…. oh… ya… iya…. aku tergagap menjawab sambil memberikan gayung air itu.

Selesai sholat Magrib berjamaah, setelah imam berdoa, seorang pengurus mushola berdiri memberikan beberapa pengumuman mengenai rencana kegiatan mushola kami selama bulan ramadhan yang tak lama lagi akan datang dan juga membacakan beberapa undangan dari mesjid lain di sekitar desa kami. Undangan yang datang dari mesjid itu adalah berupa undangan untuk mengikuti pertandingan tilawatil Quran yang akan diselenggarakan di mesjid-mesjid tersebut. Biasanya memang mesjid-mesjid dan mushola-mushola pada bulan Ramadhan adalah kesempatan untuk mendapatkan dana bagi kelanjutan pembangunan pisik dengan cara menyelenggarakan perlombaan Nuzul Al quran.

Bagi mushola kami belum ada rencana atau kegiatan yang berkenaan dengan pembangunan pisik, semua akan dimusyawarahkan terlebih dahulu, pengurus mushola tadi mengajak para jemaah untuk duduk dahulu sebelum pulang ke rumah masing-masing dengan maksud untuk membicarakan kegiatan apa yang akan dilaksanakan dala bulan Ramadhan nanti.
 
Aku yang tadinya berniat akan berdiri untuk pulang, tapi seseorang menahanku, “nantilah pulang, sama-sama kita” kata pak M, dia yang dari awal sholat tadi duduk di sebelah kananku. Jadilah, akhirnya aku bergeser duduk dengan bersandar ke dinding mushola seperti jemaah laki-laki yang lain. Aku coba menghitung jumlah jemaah laki-laki waktu itu ada sekitar 30 orang, lumayan juga jumlahnya, pikirku sendiri. Pengurus yang tadi bicara sekarang melanjutkan lagi, dia meminta kepada ibu-ibu untuk menaikan kain pembatas shaf dengan jamaah laki-laki terlebih dahulu, karena pembicaaran akan segera dimulai. Setelah kain pembatas itu terbuka, maka terlihat ibu-ibu dan anak-anak perempuan tersenyum malu-malu, ada sekitar 20 orang jumlahnya dan masih tetap mengenakan mukenah.
 
Cukup lama juga acara tersebut selesai, pukul 20.00 Wib tepat baru usai dengan keputusan beberapa point yang dinyatakan sangat perlu dilaksanakan, mengingat kondisi mushola kami yang sangat lambat perkembangannya. Acara ditutup oleh pak M sebagi ketua pengurus dan langsung dilanjutkan dengan sholat Isya berjamaah, berhubung waktu Isya telah masuk.

Dalam perjalanan menuju rumah, jalan hanya diterangi oleh cahaya bintang dan sepotong sinar rembulan, yang kalau menurut perhitungan bulan arab seminggu lagi adalah akhir bulan Syakban. Beberapa ibu-ibu yang hendak pulang ke rumahnya memakai suluh dari daun kelapa kering yang dibakar sebagai penerang jalan. Suara kodok dan jangkrik bersahut-sahutan, terlintas dibenakku waktu itu kapankah listrik bisa masuk ke desa kami?.

Disebuah warung yang memakai lampu petromax untuk penerangan, kelihatan disana beberapa orang laki-laki sedang duduk minum kopi. Sebuah radio transistor yang terletak diatas rak barang-barang dalam warung itu terdengar sedang menyiarkan lagu-lagu melayu lama dari radio Malaysia siaran berbahasa Indonesia yang juga menjadi kesenangan ku yang salah satu penyiarnya yang terkenal pada waktu itu adalah Kamaruddin.

Di rumah nenek habis sholat Isya, nenek tidak ikut ke mushola karena kelelahan pulang dari sawah sore tadi. Nenek tinggal dengan seorang anak laki-lakinya, dia adalah adik dari ibuku yang biasa kami panggil dengan sebuatan “uan”. sedangkan kakek tidak lagi serumah dengan nenek, karena tidak lagi sehaluan, nenek sangat keras memegang prinsip, ya bagaimana lagi. Di kampung kakek ku memang terkenal dengan banyak istri dan banyak anak lagi, tetapi diantara anak-anaknya selalu terjalin rasa tersaudaraan yang kuat diantara mereka, mereka selalu kunjung-mengunjungi. Ibuku adalah salah satu anak kakek ku yang berada diluar kampung, di P. Kesanalah mereka sering datang kalau ada keperluan apa-apa di kota P.
 
Seperti biasa diatas meja makan sederhana, sudah tersedia nasi, ikan dan sayurannya berupa gulai pakis. Nenek sepulang dari sawah tidi sempat memetik daun pakis muda untuk dimasak. Pakis banyak tumbuh liar dipinggiran sawah dan tali bandar. Kalau ikan dibeli dari penjual disimpang pasa di depan sekolah dasar kampung kami. Biasanya kalau sudah sore penjual ikan sudah kumpul disana.

Malam mulai merangkak, dilaur gelap menyungkup desa kami, lampu pelita dari rumah-rumah penduduk desa terlihat cahayanya menyelinap kelap kelip lewat dinding yang berlobang atau kisi-kisi jendela, mungkin yang empunya rumah sudah tertidur pulas menghilangkan penat dari pekerjaan siang hari tadi.

Aku masih duduk di beranda rumah kami, angin malam bertiup lembut, aroma kembang melati yang tumbuh dibawah jendela rumah membawa kesegaran bagi pikiran dan perasaanku.

Benakku masih digelayuti oleh bayangan peremuan sore tadi, ah…. gadis itu siapa nama lengkapnya? Kenapa baru kali itu aku melihatnya? Sekolah di PGA kelas berapa? Tadi waktu aku di mushola mau mencuci kaki mau masuk dia ada di belakang ku. Aku semakin hanyut oleh pikiranku sendiri dan malam pun semakin larut. Dari pantai terdengar suara sayup-sayup suara ombak bergulung-gulung menghempas tepian pantai. Suaranya terdengar mendayu-dayu seperti suara seorang ibu yang sedang meratap beriba hati merindukan anak bujangnya yang tenggelam di laut yang tidak akan pernah kembali lagi saat mencari nafkah untuk ibu dan adik-adiknya. Mata ku semakin berat, kantuk memaksaku untuk segera merebahkan badan di atas tempat tidur.

Cahaya matahari bersinar cemerlang dari bukit Gandun, adalah salah satu anak bukit Barisan yang melintang berjejer sepanjang pulau Sumatra. Cahaya matahari begitu sangat indahnya, titik embun pagi memantulkan cahayanya, tampak seakan-akan sebuah butir mutiara yang menempel di ujung daun. Pagi nan indah sangat, terdengar celoteh burung-burung di atas ranting pepohonan, berkicau dengan ragam dan macam suaranya yang merdu. Dari jalan raya terdengar pula tingkah sepatu kuda dengan diiringi gemuruh suara roda bendi yang melaju menuju pasar Trs dengan muatan penuh ibu-ibu yang akan berbelanja di pasar Trs. O ya… aku baru ingat kalau hari ini adalah hari Selasa. Hari Selasa adalah hari pasar atau hari balai di kota kecamatan kami. Benar, hari Selasa hanya tinggal satu hari Selasa saja lagi pada bulan diluar Ramadhan. Hari Selasa yang akan datang sudah masuk bulan Ramadhan. Jadi kalau ingin belaja untuk kebutuhan bulan Ramadhan ya pada hari ini waktunya.

Terbersit keinginanku untuk merjalan-jalan melihat keramaian di pasar Trs. Aku minta izin kepada nenek untuk niat itu, Nenek mengizinkan ku sambil dia menitip belanjaan di pasar itu.

Sepeda tua pinjaman itu ku kayuh menuju pasar Trs. Angin pagi tersa menyegarkan rongga dada. Kulihat beberapa pedagang ayam yang bersepeda dengan menaruh barang dagangannya di belakang bahkan ada sebagian yang digantung di batang sepeda, mereka mengayuh sepedanya dengan laju mungkin agar cepat dapat sampai di pasar Trs menemui langganannya, karena ayam sangat laku keras sekali pada waktu-waktu menyabut Ramadhan, untuk bikin rendang tentunya.

Hampir masuk Pasar Trs aku berhenti sejenak di jembatan panjang yang masih merupakan jembatan bayley, karena jembatan lama sudah ambruk dilanda banjir besar tahun lalu. Air sungai yang mengalir kelihatan keruh kekuning-kuningan tapi tidak memperlihatkan tanda-tanda kegarangan yang membawa banjir lagi. Sebuah sampan tampak tenang bergerak kearah hilir muara sungai. Air sungai ini hulu nya berasal dari daerah Solok, tepatnya disekitar Air Sirah lewat panorama kalau kita jalan ke Solok, sedangkan muaranya berada di sekitar desa ku, di pinggir laut. Tiba-tiba lamunanku jadi buyar ketika ada sebuah mobil lewat di atas jembatan, terdengar bunyi keras karena pergesekan besi jembatan. Jembatan bayley hanya boleh dilewati satu-satu mobil secara bergantian. Mobil yang lewat jenis prah, truk yang bermuatan getah, yang ketahuan dari baunya yang sengit, ada dua penumpang di dalam mobil yang kelihatan sedang tertidur lelah sekali.

Keramaian pasar Trs sangat terkenal dari dahulu, sehingga ada sebuah senandung yang dinyanyikan oleh penyanyi lagu pop Minang zaman dulu Elly Kasim yang menyebutkan pada bait lagunya “Ramailah bana pasa rang Trs… yoo lalai, karuang jo sumpik yo lalai di tangah balai”. Memang sesuai apa yang disebutkan pada nyanyian itu terasa sekali keramaian pasar Trs. Sehingga saking ramainya jalan raya pun terpakai oleh para pedagang, sehingga kendaraan yang lewat terpaksa harus jalan pelan sekali. Besambung. 

Disalin oleh Lucky Lukmansyah
Photo oleh : .www.maduraexpose.com

Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © Simple SEO ✔