Menunggu Angin Bertiup # 1
Oleh, Yuhardi Tanjung
Sorong, Papua Barat. 12 Februari 2011. Cuaca terasa panas sekali, angin yang bertiup hanya datang sekali-sekali namun terasa menyejukan badan. Jam waker telah menunjukan angka tiga pada sore itu, tetapi cuaca di luar belum menunjukan tanda-tanda akan meredup. Seekor burung terlihat terbang mencari tempat berlindung dari garangnya panas cuaca sore itu.
Aku masih duduk di beranda pondok ku. Dari radio tape milik tetangga sebelah masih terdengar alunan lagu-lagu Melayu lama. Suara nyanyian lagu itu membuat ingatanku menjalar ke masa silam, lama….. sungguh sudah lama sekali, tapi bagiku semua kenangan itu masih segar dalam ingatan ku.
Dia yang ku kenang sekarang adalah tetanggaku di kampung, dia tinggal tidak jauh dari rumah keluargaku, dekat, cuma hanya sekitar lima buah rumah saja jarak rumahnya dengan tempat tinggalku. Walaupun jarak tempat tinggal kami begitu dekat, namun belum pernah aku melihat dia sebelumnya, maklum saja kalau aku pulang ke kampung hanya sekejap, barang dua atau tiga hari saja. Karena di kampung yang tinggal hanya ada nenek dan kakekku waktu itu, sedangkan amak dan abakku menetap di kota P, dimana aku dibesarkan bersama dengan adik-adikku.
Tahun 1971 aku telah lulus dari Sekolah Menengah Atas. Karena keadaan ekonomi orang tuaku waktu itu jadi aku tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sambil menunggu-nunggu perkembangan selanjutnya, dan lagi pula ada waktu kosong yang panjang, maka aku putuskan untuk mencoba tinggal di kampung, coba merasakan bagaimana cara dan pola hidup di kampung bersama nenek.
Tinggal sementara bersama nenek terasa sangat menyenangkan. Pagi hari aku menyandang cangkul menuju ke sawah, membantu nenek menggarap sawah. Mengolah tanah yang becek berair di dalam sawah memang terasa berat bagiku, karena pekerjaan itu belum pernah aku lakukan sebelumnya. Adalah pada suatu saat, ketika aku selesai bekerja di sawah, kira-kira pukul setengah lima sore, aku melihat ada ramai para remaja berkumpul di sebuah lapangan volly yang berada di seberang jalan rumah nenek. Aku lihat mereka sedang latihan volly, ramai sungguh, juga ada banyak anak-anak ikut menonton dengan duduk berjejer di keliling lapangan. Merasa tertarik, segera aku melangkah keseberang jalan itu untuk menonton lajunya permainan lebih dekat lagi. Aku senang sekali berada di tempat itu. Aku lihat dua kelompok yang sedang berlatih tanding itu sama-sama tangkas dan gesit, saling tangkis dan saling balas memukul bola yang melesat di udara. Sungguh riang mereka bermain, penuh gelak dan tawa, terpancar jelas kegembiraan di wajah para pemain.
Cahaya matahari sore waktu itu bersinar cerah, suasana desa kami jadi terasa hidup seketika. Angin sore yang sejuk meniup daun-daun bambu dan pohon-pohon di sekitarnya. Kesegaran angin sore waktu itu terasa membawa ketentraman ke dalam kalbu. Pohon-pohon mangga yang sedang berbunga lebat seakan tersenyum memperhatikan para remaja yang sedang asik bermain volly.
Kutinggalkan lapangan volly itu dengan segudang keceriaan remaja yang sedang bermain di atasnya. Aku lantas berjalan menuju sebuah rumah yang tidak jauh dari lapangan itu, ke rumah salah seorang kerabat kami, orang sepersukuan dengan kami. Di rumah itu tinggal etek A yang bersuami dengan pak M, seorang guru sekolah dasar di T. mereka mempunyai dua orang anak laki-laki, masih kecil-kecil, mungkin masih berumur 3 dan 5 tahun kala itu.
“Assalam mualaikum” aku mengucapkan salam, dan “waalaikum salam” sebuah jawaban dari dalam rumah. “Ooo si Eddy rupanya” suara pak M yang keluar dari dalam rumah. “Mari naik” pak M mempersilahkan aku naik ke atas rumahnya. “Oh.. tidak usah pak, biar di sini saja” jawab ku sambil menghenyakan pantat di atas pale-pale bambu yang ada di bawah, di teras rumahnya.
“Bagaimana dengan pekerjaan sawah sekarang?” tanya pak M kepada ku sambil menemani ku duduk di pale-pale. “Ah… belum apa-apa pak, kami baru mulai mencangkul dan melunakan tanah dengan memasukan air” jawab ku. “Oooo” respon pak M sambil menganggukan kepala. Lama juga aku ngobrol dengan pak M waktu sore itu. Beliau menanyakan perihal kabar ayah dan ibuku serta juga adik-adikku, memang ayah dan ibu jarang sekali pulang ke kampung.
Dari rumah pak M masih terdengar sorak sorai remaja bermain bola volly, tidak terasa jam dinding di rumah pak M sudah menunjukan pukul 05.30 WIB. Ternyata permainan volly sudah usai. Nampak beberapa orang dari remaja itu lewat di depan rumah pak M. Pak M menyapa salah seorang diantara mereka, menanyakan kepadanya siapa yang menang dalam permainan tadi. “Si Emil dengan kelompoknya pak” jawab mereka hampir berbarengan, “wah seru sekali permainannya tadi” kata salah seorang lagi menambahkan. “Singgahlah dulu sebentar?” pak M menawarkan ajakan. “Terimakasih pak, kami mau pulang mandi dulu” jawab yang berambut pendek menolak basa basi pak M.
Sepeninggalan mereka tadi, sejenak keheninngan menggantung diantara aku dan pak M. Terdengar bunyi cericit burung pipit yang sedang bersarang di atas pohon pinang di samping rumah. Dan kemudian muncul sebuah bis antar kota dengan merek dinding “Teluk Raya” datang dari arah Pnn berhenti tepat di depan rumah pak M. Tak lama kemudian terdengar suara kenek atau stokar bis menokok dinding mobil dengan tangannya sebagai tanda supaya sopir bis dapat lagi melanjutkan perjalanannya terus ke arah Trs.
Seorang gadis yang baru turun dari bis itu, berbaju kurung dan mengenakan jilbab, menenteng sebuah koper agak besar. “Berat Wid…” pak M lalu menyapa diri si gadis. Dia lantas tersenyum sambil menjawab “O o ndak kok pak”. “Apa kamu sudah mulai libur Wid?” pak M melanjutkan pertanyaannya. “Sudah pak” si gadis menjawab sambil menyeberang jalan dengan menenteng kopernya menuju ke arah rumah pak M. Aku hanya diam saja dari tadi, hanya memperhatikan saja sosok gadis yang memakai jibab itu. Terasa enak sangat suara gadis itu terdengar di telingaku, wajahnya manis, hidung mancung dan berkulit sawo matang. Dia melirik kearah ku, tadi tidak terdengar ada suara keluar dari bibirnya yang menawan. Kemudian dia menghentikan langkahnya pas di depan rumah pak M, sambil berkata agak mengeluh dan mendesah “wah susah sekali dapat tumpangan tadi pak, itu bis-bis selalu saja penuh, satu jam sudah menunggu baru dapat tumpangan”. Sepertinya gadis itu agak letih, tampak dia menyeka keringat yang menetes di sudut pipinya. “Iyalah, sekolah-sekolah telah mulai libur, anak-anak sekolah tentu banyak yang pulang” jawab pak M.
Baru aku ingat bahwa sekarang sudah waktunya libur sekolah. Karena seminggu lagi bulan suci Ramadhan akan tiba. Dan segera kampung ini akan ramai dengan anak-anak sekolah yang kembali ke kampung untuk berlibur selama bulan Ramadhan sampai hari raya Idul Fitri tiba. Seketika itu pikiranku pun melayang jauh kembali ke P, kerumah orang tuaku, alangkah senangnya terasa hati kalau keluargaku ada bersama ku sekarang.
“Oh iya, Wid, ini dia si Eddy namanya, dari P. Anaknya uni N, cucunya etek T, masih kemenakan uncu A juga” tanpa basa basi pak M langsung mengenalkan aku dengan aku. Sontak aku tergagap dibuatnya, sama sekali tidak ku duga kalau pak M melakukan itu. Aku menganggukan kepala dan mau tidak mau aku harus mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan dia. Oh ternyata gadis itu tidak membalas uluran tangan ku, tapi dia hanya merapatkan dua telapak tangan di depan dada sebagai gantinya. Aku mengerti dan maklum. Sambil tersenyum gadis itu berkata kepada ku bahwa dia tidak bisa lama-lama “mau melanjutkan perjalanan” katanya. Aku bingung, aku bertanya “mau melanjutkan perjalanan kemana?” pertanyaa bodoh. Dia tidak menjawab pertanyaan ku, hanya pak M yang menjelaskan bahwa dia adalah tetangga pak M. Dan aku tidak dapat berkata apa-apa lagi selain mengangguk-anggukan kepala, sama seperti burung balam dalam sangkarnya.
Photo: Kamistad.net
0 Komentar
Penulisan markup di komentar