Tadulako
Dari sekian banyak hasil peninggalan masa Megalitik di Behoa, ada
sebuah patung peninggalan purba yang menunjukkan patung manusia tegak
lurus dengan langit, tingginya 2 meter. Patung itu memiliki energi
secara kultural dan filosofi bagi etnis Kaili, Kulawi, Napu, Behoa,
Bada, Mori dan Pamona di Sulawesi Tengah. Secara arkeologi dan
antropologi dari peninggalan Megalitik tersebut menjadikan penelusuran
awal untuk memahami asal-usul istilah Tadulako yang menjadi legenda.
Bagi masyarakat, Tadulako melambangkan pemimpin perang yang penuh
kharisma, ksatria, perkasa, adil, dan bijaksana. Di sekitar patung
Tadulako terdapat dua buah Kalamba yang berukuran besar, satu terbuka
dan satunya tertutup.
Kalamba yang terbuka berisi air hujan, sedang yang tertutup tidak
diketahui isi dalamnya karena materi batu yang sangat berat hingga tidak
pernah dibuka. Sehingga semakin menambah misteri apa yang terdapat di
dalamnya, kecuali beberapa kalamba tanpa penutup di ekitar Lembah Behoa
sudah diketahui, diantaranya berupa tulang-tulang manusia yang pada
tahun 2000 tulang-tulang tersebut di bawa ke Jakarta oleh tim peneliti
kepurbakalaaan.
Tadulako adalah ksatria yang jasa-jasanya menyatukan
suku-suku yang dulunya bertikai kini menjalin kekerabatan. Oleh
masyarakat Behoa dibuatlah Patung Megalit Tadulako di bukit Bulili, Desa
Doda Kecamatan Lore Tengah.
Tadulako secara harfiah adalah gelar yang diberikan kepada pemimpin karena keberanian dan kepahlawanan membela tanahnya.
Cerita Tadulako Doda
Alkisah, di Desa Doda hidup suami istri yang cukup lama
belum dianugrahi anak, dengan doa dan takdir cinta mereka dikaruniai
seorang putra. Mereka memberinya nama Lengkatuwo. Lengka artinya purnama
dan tuwo artinya hidup. Bila dipadankan dua kata tersebut bermakna
hidup sempurna. Lengkatuwo ini adalah nama lain dari Tadulako.
Waktu demi waktu berlalu Tadulako beranjak dewasa berbagai
ilmu kanuragan, beladiri, menombak dan memanah ia kuasai dengan detil.
Keahliannya itu cepat tersebar ke berbagai kampung. Suatu waktu, ia
diundang untuk membantu suku Bada menghadapi serangan orang-orang
Waebonta di wilayah Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Sebelum berangkat ke
medan perang, ibunya berpesan bila selesai tugas cepat pulang, sebab
tunangannya sudah menunggu di tanah kelahiran.
Tadulako melawan para musuhnya diakhiri dengan kemenangan
demi kemenangan. Bahkan perdamaianpun terjalin, sehingga orang Bada
merasa berhutang budi padanya. Ia diminta untuk menikahi putri raja
yang jelita dan menetap di Bada. Dilema terjadi dalam diri Tadulako.
Namun ia putuskan untuk menerima pinangan itu.
Suatu hari tadulako bersama istrinya yang hamil pulang ke
Behoa. Kedatangannya dijemput dengan upacara kebesaran sebagai ksatria
perang, meski demikian orangtuanya kecewa terlebih sang kekasih yang
sudah lama menunggu. Beberapa waktu kemudian, Tadulako bertandang ke
rumah kekasih lamanya yang saat itu sedang asik menumbuk padi dengan
lesung. Tiba-tiba saja,sang mantan yang murka itu menghujamkan alu ke
kepala Tadulako. Tak ayal, Tadulako yang terkenal sakti tersungkur ke
tanah. Pendudukpun gempar, ahli perang yang tak mudah ditaklukan
musuh-musuhnya tewas di tangan seorang wanita.
Meskipun cerita legenda di atas berakhir tragis, kita dapat Memetik pelajaran dari sikap pantang menyerah Tadulako dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Cerita Tadulako Bulili
Di desa suatu desa bernama Bulili hiduplah 3 orang tadulako atau panglima perang. Mereka masing-masing bernama: Bantaili, Makeku dan Molove. Mereka
terkenal sangat sakti dan pemberani. Tugas utama mereka adalah menjaga
keselamatan desa itu dari serangan musuh.
Pada suatu hari Raja Sigi mempersunting seorang gadis cantik Bulili. Mereka tinggal untuk beberapa bulan di desa itu hingga gadis itu mengandung. Pada saat itu Raja Sigi meminta ijin untuk kembali ke kerajaannya. Dengan berat hati perempuan itu melepas suaminya.
Sepeningal Raja Sigi itu, perempuan itu melahirkan seorang bayi. Pemuka-pemuka Bulili lalu memutuskan untuk mengirim utusan untuk menemui suami perempuan itu. Utusannya adalah tadulako Makeku dan Bantaili.
Sesampainya di Sigi, mereka bukannya disambut dengan ramah. Tetapi dengan sinisnya raja itu menanyakan maksud kedatangannya. Mereka pun menguraikan maksud itu. Mereka menyampaikan bahwa mereka diutus untuk meminta padi di lumbung untuk anak raja yang baru lahir.
Dengan congkaknya raja Sigi menghina mereka. Ia lalu berkata pada Tadulako itu: "kalau mampu angkatlah lumbung padi di belakang rumah." Dengan marahnya Tadulako Bantaili mengeluarkan kesaktiannya. Ia pun lalu mampu memanggul lumbung padi besar yang dipenuhi oleh padi. Biasanya lumbung kosong saja hanya akan bergeser kalau diangkat oleh puluhan orang.
Makeku berjalan di belakang Bantaili untuk mengawal lumbung padi itu. Dengan sangat geram Raja Sigi memerintahkan pasukannya untuk mengejar mereka. Pada suatu tempat, terbentanglah sebuah sungai yang sangat lebar dan dalam. Dengan mudahnya mereka melompati sungai itu. Meskipun sambil menggendong lumbung padi, Bantaili berhasil melompatinya tanpa ada banyak ceceran beras dari lumbung itu. Sedangkan pasukan yang mengejar mereka tidak berani melompati sungai yang berarus deras. Mereka akhirnya kembali ke Sigi dengan kecewa.
Pada suatu hari Raja Sigi mempersunting seorang gadis cantik Bulili. Mereka tinggal untuk beberapa bulan di desa itu hingga gadis itu mengandung. Pada saat itu Raja Sigi meminta ijin untuk kembali ke kerajaannya. Dengan berat hati perempuan itu melepas suaminya.
Sepeningal Raja Sigi itu, perempuan itu melahirkan seorang bayi. Pemuka-pemuka Bulili lalu memutuskan untuk mengirim utusan untuk menemui suami perempuan itu. Utusannya adalah tadulako Makeku dan Bantaili.
Sesampainya di Sigi, mereka bukannya disambut dengan ramah. Tetapi dengan sinisnya raja itu menanyakan maksud kedatangannya. Mereka pun menguraikan maksud itu. Mereka menyampaikan bahwa mereka diutus untuk meminta padi di lumbung untuk anak raja yang baru lahir.
Dengan congkaknya raja Sigi menghina mereka. Ia lalu berkata pada Tadulako itu: "kalau mampu angkatlah lumbung padi di belakang rumah." Dengan marahnya Tadulako Bantaili mengeluarkan kesaktiannya. Ia pun lalu mampu memanggul lumbung padi besar yang dipenuhi oleh padi. Biasanya lumbung kosong saja hanya akan bergeser kalau diangkat oleh puluhan orang.
Makeku berjalan di belakang Bantaili untuk mengawal lumbung padi itu. Dengan sangat geram Raja Sigi memerintahkan pasukannya untuk mengejar mereka. Pada suatu tempat, terbentanglah sebuah sungai yang sangat lebar dan dalam. Dengan mudahnya mereka melompati sungai itu. Meskipun sambil menggendong lumbung padi, Bantaili berhasil melompatinya tanpa ada banyak ceceran beras dari lumbung itu. Sedangkan pasukan yang mengejar mereka tidak berani melompati sungai yang berarus deras. Mereka akhirnya kembali ke Sigi dengan kecewa.
Photo: tikateacool.wordpress.com
Sumber: bimbimm24.wordpress.com
linopadeihina.blogspot.co.id
0 Komentar
Penulisan markup di komentar