Obrolan Santai
Uang Asam: Ketika Pemuda Jadi Pagar Makan Tanaman
Selamat sore sobat pembaca yang budiman, jumpa lagi kita di deelucky.com. Pada pertemuan kali ini kita akan melanjutkan obrolan santai kita tentang pembicaran tempo lalu mengenai pemuda di nagari Minangkabau.
Pada obrolan santai kali ini kita tidak lagi membahas tentang peranan dan fungsi pemuda dalam nagari. Namun kali ini kita akan membicarakan tentang perubahan arah dan sikap dari perilaku pemuda di nagari Minangkabau akhir-akhir ini
Seiring dengan perkembangan zaman, dimana pada masa sekarang setiap pemuda dituntut untuk memiliki pendidikan formal dan keahlian khusus untuk dapat bersaing dalam roda kehidupan sekarang, sehingga pemuda tidak perlu lagi melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sifat nya tradisional seperti yang telah kita bahas pada obrolan sebelumnya, seperti pemuda harus main di gelanggang, harus menggarap sawah dan ladang, dan harus tinggal di surau dan di palanta layaknya orang Minangkabau di tempo masa yang lalu. Sekarang tentu tidak lagi. Zaman sudah berubah. Sawah ladang sudah tidak ada lagi. Lahan pertanian sekarang sudah berubah menjadi areal komplek perumahan dan pertokoan. Tidak ada lagi pemuda yang tinggal dan mengaji di surau. Semua pemuda di Minangkabau sudah kembali tinggal di rumah orang tua mereka masing-masing.
Para pemuda yang masih di bawah umur harus pergi ke sekolah, lalu pulang kembali ke rumah orangtua mereka. Mereka harus belajar menuntut ilmu sambil menolong orang tua di rumah. Sedangkan pemuda yang sudah selesai sekolah tetap harus tinggal di rumah sambil mencari pekerjaan atau meminta modal ke orangtua mereka supaya dapat membangun mata pencaharian mereka dengan berdagang. Bagi pemuda yang tidak dapat modal mau pun pekerjaan di kampung, ya terpaksa mereka harus pergi merantau, menuruti sanak famili tinggal di negeri orang dan mencoba pula peruntungan nasib di tempat baru itu.
Sekarang bagaimana pula dengan nasib para pemuda yang tidak pula bisa meraih penghidupan di rantau, tentu mereka akan balik tinggal di kampung. Apa yang akan mereka kerjakan di kampung apabila sawah ladang dan ternak tidak ada pula. Maka terlunta-lunta lah hidup mereka di kampung sendiri. Nongkrong sana sini hilir dan mudik meramaikan penghuni kampung.
Contohnya saja kepada pemuda yang tinggal di lingkungan tempat tinggal saya di Sungai Sapih, Kuranji, Padang. Di kampung itu sekarang banyak pemuda pengangguran yang tidak tahu arah nonkrong disana sini, di warung-warung atau pelanta nagari. Tetap pemuda-pemuda itu tidak ada pekerjaan, sedangkan kebutuhan hidup mereka pribadi, seperti rokok atau belanja minum di warung harus tetap mereka penuhi. Kepada siapa dan cara apa mereka harus memperoleh uang belanja?, tentu tidak lain mereka harus meminta kepada orang tua mereka masing-masing
Nah, sekarang bagai mana pula bila keadaan ekonomi orangtua mereka sulit? Bagaimana mereka akan memperoleh belanja?
Itulah yang terjadi di lingkungan tempat tinggal saya sekarang ini. Sekarang pemuda-pemuda penganguran itu sudah terdesak oleh tuntutan ekonomi. Mau tidak mau mereka harus memperoleh uang dengan cara apapun, baik halal maupun haram, mencuripun akan mereka lakukan
Yang tidak enaknya para pemuda itu sudah masuk ke komplek-komplek perumahan di mana dulu itu adalah lahan sawah atau kebun orangtua mereka yang telah terjual, dan dibeli oleh para pengembang. Sekarang para pemuda itu mendesak para warga pendatang yang tinggal di komplek supaya kalau mereka ingin membangun rumah harus dapat melibatkan tenaga pemuda setempat, kalau tidak mereka akan marah kepada warga pendatang, karena mereka anggap warga pendatang tidak menghargai eksistensi para pemuda asli kampung itu.
Oke, dan baiklah, karena para pemuda memaksa untuk memperoleh pekerjaan bangunan perumahan warga, maka ada juga warga di komplek yang mau memberikan pekerjaan tersebut untuk pemuda setempat. Namun sangat disayangkan sekali, setelah kesempatan kerja itu diberikan kepada pemuda, tidak ada satupun dari pemuda tersebut yang sanggup bekerja dengan baik serta dengan disiplin waktu yang baik pula. Memang dasar para pemuda tidak terlatih bekerja kuli bangunan. Sebentar-sebentar kerja mereka sudah istirahat, ngobrol, minum dan merokok. Sehingga pemilik rumah merasa rugi biaya menggaji pekerja, dan kepala tukang pun ikut merasa tidak nyaman mempekerjakan mereka dalam proyek, karena mereka tidak cakap dan molor atau lalai.
Lambat-laun banyak pula pemuda di kampung tempat tinggal saya tidak mau lagi ikutan dalam pekerjaan proyek bangunan rumah warga. Mungkin mereka sadar bahwa mereka memang tidak punya keahlian di bidang itu. Banyak mereka kembali nongkrong di warung menghabiskan waktu sepanjang hari sia-sia.
Nah, lain dulu, lain pula lagak pemuda itu sekarang. Kalau dulu mereka memaksa untuk dapat bekerja, setelah diberi kerja tidak pula mereka kompeten di bidannya. Sekarang mereka main enteng dan enak saja. Sengaja mereka nongkrong di sebuah warung yang berada di simpang jalan, jalan masuk kendaraan menuju ke komplek tempat tinggal warga pendatang. Di warung itu mereka akan mengintai setiap kendaraan yang masuk membawa barang material bangunan rumah warga. Apabila ada mobil material masuk langsung segera mereka buru. Lansung mereka temui si pemilik rumah yang sedang mengerjakan proyek bangunan. Kepada si pemilik rumah pemuda menuntut untuk di berikan “uang asam” dari barang-barang material yang akan diturunkan di depan rumah orang tersebut.
Entah apa maksudnya “Uang Asam” yang mereka sebutkan tadi. Yang pasti mereka minta uang kepada si pemilik rumah, kalau si pemilik tidak mau memberikan uang asam, maka mereka minta kepada si supir kendaraan yang membawa barang material tersebut. Dan pun kalau dua-duanya tidak mau memberi, maka barang -barang bangunan itu tidak boleh dibongkar, sebaiknya supir bawa lagi barang material itu kembali ke toko, begitu menurut para pemuda yang suka memeras warga-warga komplek yang mereka anggap sebagai orang pendatang di kampung mereka. Mereka anggap kami sebagai orang yang telah merebut tanah warisan orang tua mereka. Sawah ladang tempat mereka bekerja tidak ada lagi karena telah kami beli. Salahkah kami orang-orang komplek ini membeli sebidang tanah untuk tempat tinggal kami bernaung dikampung mereka. Bukankan dengan adanya kami warga pendatang ini kampung mereka akan menjadi lebih maju, akan menjadi lebih berkembang.
Dari yang dulunya tidak ada jalan sekarang sudah ada jalan aspal masuk ke kampung mereka. Dulu tidak ada jembatan permanen, sekarang sudah ada. Semakin ramai penghuni kampung itu maka sekolah-sekolah formal pun seperti TK SD dan SMP sudah didirikan pula oleh pemerintah. Bukankah itu suatu bentuk kemajuan.
Baru-baru ini ada pula kejadian yang tidak mengenakan bagi kami warga komplek. Di komplek kami sedang dilakukan pembuatan rabat beton jalan oleh pemerintah kota. Proyek ini dikerjakan oleh sebuah kontraktor swasta di kota Padang. Baru saja satu hari kerja pengerjaan rabat beton jalan tersebut, para pemuda setempat sudah memblokir jalan masuk kampung. Mereka menuntut pihak kontraktor supaya mau membayarkan “uang asam” sebesar Rp. 150,000.00 per truk molen semen cor yang melewati jalan kampung mereka. Kalau pihak kontraktor tidak mau membayar, maka proyek pembangunan jalan tidak boleh dilanjutkan lagi. Begitu kejadian beberapa hari yang lalu di komplek kami. Sekarang jalan di komplek kami telah rusak karena di lewati oleh truk molen raksasa tersebut. Kabel-kable telpon sudah pada berserakan di jalan, digilas oleh roda kendaraan. Sedangkan proyek pembangunan jalan rabat beton itu sekarang sudah terhenti sementara.
Lalu dimana peran pemerintah dalam mengendalikan dan menertibkan perilaku pemuda kampung setempat yang kami anggap tidak pro pada pembangunan dan kemajuan kampung tempat tinggal kami, juga kampung mereka sendiri. Mengapa proyek pembangunan jalan itu harus dihentikan, sudah hampir satu minggu lamanya terbengkalai jalan di komplek perumahan kami. Apakah pemuda lebih berkuasa dari pada pemerintah kota. Dimana peranan pemerintah dalam hal ini. Mengapa pemerintah bisa kalah dengan pemuda?
Baiklah para sobat pembaca sekalian. Begitulah kiranya saya ceritakan dan gambarkan tentang buruknya kalau di suatu kampung ada banyak pemuda yang tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran. Banyak kemudaratan timbul karena sempitnya lapangan kerja, dan begitu pula karena lemah nya sumber daya manusianya. Hal-hal tersebut akan banyak menimbulkan konflik dalam kehidupan bermasyarakat di kampung. Maka sebaiknya kita, para sobat pembaca, apabila ada di antara kita saudara-saudara yang tidak memiliki pekerjaan, atau tidak memiliki keterampilan kerja, baiknya cepat kita selamatkan mereka. Kalau tidak suatu hari nanti mereka pasti akan menyusahkan anda sendiri, tidak hanya anda sendiri, juga kepada orang-orang di sekitar kita.
Baiklah sobat pembaca yang budiman, sekian dulu obrolan santai kita hari ini. Kalau saya ada salah-salah kata mohon dimaafkan. Maklumlah saya manusia biasa, tidak luput dari salah dan kilaf, akhir kata dari saya selamat sore, selamat beristirahat, semoga pembicaraan kita sore ini ada faedahnya bagi kita semua, sekian dulu, wasalam. (Lucky Lukmansyah)
Photo: majalahembun.com
0 Komentar
Penulisan markup di komentar