Cerita Orang Padang
Kemana Andi dan Dua Ekor Sapinya
Padang. 17 Juli 2016. Selamat pagi para pembaca deelucky.com yang budiman, dimana pun anda berada. Di pagi hari Minggu yang cerah ini saya sangat ingin sekali menulis sebuah cerita tentang kisah seorang kawan yang tinggal di sebuah kampung terletak di pinggiran kota Padang dengan ayahnya yang bekerja sebagai seorang kuli bangunan.
Di sebuah kampung yang bernama Anduriang, masih dalam kecamatan Kuranji, Padang, ada seorang ayah yang biasa di panggil dengan sebuatan pak Amaik oleh orang sekitar. Pak Amaik ini memiliki 3 orang anak 1 laki-laki bernama Andi. Andi adalah kawan baik saya waktu sama-sama sekolah di SMA 17 Agustus Padang, dan 2 orang adik perempuannya Santi dan Wati. Pada waktu saya masih sering main ke rumah keluarga itu dua orang anak gadis pak Amaik ini masih duduk di bangku sekolah SMP.
Pak Amaik membesarkan ke tiga orang anaknya tidak didampingi oleh sang istri lagi, ibu dari ke tiga orang anak ini telah lama meninggal dunia, persisnya waktu mereka masih dalam masa pendidikan sekolah dasar.
Sepertinya pak Amaik tidak punya keinginan untuk menikah lagi. Dengan pekerjaan nya sebagai seorang kuli bangunan, dia menetapkan hati untuk membesarkan ke tiga putra putrinya.
Pak Amaik dan ketiga orang anaknya tinggal disebuah rumah yang secara notabene bukan milik pribadinya, melainkan penumpang di rumah milik orang tua pak Amaik sendiri. Rumah kediaman pak Amaik itu tidak pula layak disebut sebagai rumah, tapi layaknya sebagai sebuah gubuk. Gubuk yang terletak di tengah-tengah ladang, atau parak milik keluarga besar Pak Amaik.
Dalam tradisi budaya Minangkabau, sewajarnya pak Amaik tidak tinggal dan membesarkan anak-anaknya dalam lingkungan keluaga bako, atau keluarga saudara-saudara kandung pak Amaik, melainkan harus di lingkungan keluarga istrinya. Namun sayang sekali karena istrinya telah lama tiada, bapak dari ketiga orang anak ini memutuskan untuk membawa ke tiga anaknya ke rumah keluarganya di Anduriang. Dari waktu itu lah pak Amaik diizinkan oleh orang tuanya menghuni sebuah gubuk tua yang tak terpakai di sebuah parak, atau kebun.
Di tahun 1997, pertama kali saya menjalin hubungan persahabatan dengan Andi. Dia adalah teman sebangku saya di sekolah. Di dalam belajar Andi bisa dibilang anak yang brilian, dia pintar, selalu mendapatkan nilai-nilai terbaik di kelas. Andi adalah sang juara kelas. Andi pun merupakan sosok yang sangat disenangi oleh kawan di sekolah. Orang nya ramah, dan suka menolong kawan, terutama tentang tugas dan PR di sekolah.Oleh sebab itulah saya sering berkunjung ketempat Andi, tujuannya memang untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang saya sulit menyelesaikannya.
Pertama kalinya saya datang berkunjung ke rumah Andi, ada suatu perasaan miris melihat lingkungan tempat tinggalnya. Sebuah rumah gubuk kayu yang sangat-sangat sederhana, berdekatan pula di sampingnya ada sebuah kandang sapi dan kambing, yang membuat aroma kotoran hewan itu mengisi relung-relung gubuk tempat tinggal Andi. Hebatnya saya tidak merasa risih dengan keadaan seperti itu, dan hebat pula Andi dengan polosnya bilang ke saya, “yah beginilah keadaan rumah den”.
Masa kami sekolah dulu berbeda dengan keadaan anak sekolah zaman sekarang. Sekarang sepertinya anak-anak sibuk menghabiskan waktu belajar di sekolah. Kalau pagi anak-anak sekolah menjalani jam pelajaran wajib sampai siang, lepas itu tambah lagi macam-macam kegiatan extrakurikuler yang membuat anak-anak harus lambat-lambat waktu sampai di rumah, kadang-kadang sudah mau dekat waktu Magrib baru pulang ke rumah.
Kami dulu tidak begitu. Dulu jam masuk sekolah pukul 07.15 pagi, pulang sekolah pukul 12.30 siang. Kami tidak dibebani oleh kegiatan ekstra di sekolah. Jadi kami punya banyak waktu untuk bermain atau menolong pekerjaan orang tua di rumah.
Kehidupan Andi sangat jauh berbeda dengan saya. Kalau saya sampai di rumah tidak punya pekerjaan apa-apa yang di suruhkan oleh mama dan papa. Jadi saya punya banyak waktu untuk bermain atau membuat PR. Sedangkan Andi tidak punya waktu bermain dengan kawan-kawan sama besarnya di tempat tinggalnya. Setelah pulang sekolah dia selalu disibukkan oleh banyak pekerjaan mengurus ternak, sawah dan parak (kebun).
Ada sebuah dangau (pondok) kecil yang teletak di tepi sawah, pasnya di belakang rumah Andi. Di dangau itulah saya sering berkumpul dengan Andi dan juga kadang-kadang ada beberapa teman-teman sekelas yang lain juga ikut ngumpul disana. Tujuan kami ngumpul di dangau itu sederhana saja, yaitu untuk mengerjakan tugas kelompok di sekolah.
Sesekali kami juga sepakat membawa bekal makan siang masing-masing untuk disantap di dangau itu sama-sama sambil mengerjakan tugas.
Bagi Andi, sebagai seorang anak pengembala ternak, tentu juga sibuk mengurus ternaknya sambil menyelesaikan tugas-tugas sekolah di dangau bersama-sama kawan-kawan, atau hanya dengan saya seorang saja. Tugas-tugas sekolah itu dikerjakan oleh Andi sambil dia selingi dengan pekerjaan menyabit rumput untuk sapi dan kambingnya. Sering saya dia tinggalkan menyelesaikan tugas sendiri. Kalau saya sedang mandek tidak tahu jawab dari sebuah soal maka saya harus pergi mencari Andi ke suatu tempat dia sedang menyabit rumput.
Begitulah seterusnya lakon kehidupan yang dijalani oleh sahabat saya itu, Andi, sampai dia tamat sekolah SMA nya.
Bagi seorang remaja, seperti Andi tentu dia ada punya keinginan untuk bermain dengan kawan-kawan sama besar. Juga pasti dia punya kenginan untuk bisa dekat dengan seorang teman perempuan yang dia sukai di sekolah. Kemudian juga tentu dia ingin pergi bertamasya bersama kawan-kawan menghabiskan uang simpanannya pada suatu waktu hari libur atau lebaran, dan merasakan hiburan atau kesenangan hati sesaat, demi mengisi pengalaman masa remaja.
Tapi sayang dan malangnya sahabat saya itu tidak punya kesempatan seperti itu. Bisa dibilang dia tersisih dari cerita-cerita kesenangan anak-anak remaja seusia kami pada waktu itu. Andi hanya bisa mendengar dan merasakan dari kami, kawan-kawannya bagaimana asiknya menggaet perhatian seorang cewek yang kami taksir atau mengajak seorang cewek jalan-jalan ke pasar raya untuk pergi mencari makanan yang disuka, seperti sate atau soto Padang, atau jalan berpasang-pasangan laki-laki perempuan sama besar setelah pulang sekolah di Pantai Padang, alangkah asik dan menyenangkan masa-masa itu.
Andi hanya bisa mendengar, merasakan dan membayangkan saja asik nya pengalaman masa remaja yang telah kami kerjakan bersama-sama kawan di sekolah. Jauh berbeda dengan Andi. Andi tidak punya apa-apa. Yang dia punya hanya dua ekor sapi dan enam ekor kambing yang harus dia beri makan setelah pulang sekolah. Tidak pernah ada Andi bersama kami kalau setelah jam sekolah usai, dia langsung lari naik bis menuju ke rumahnya, sedangkan kami punya banyak waktu bermain kesana kemari ber huru-huru tidak karuan.
Saya dan kawan-kawan di sekolah dekat dengan Andi dan juga dekat dengan ayah Andi, pak Amaik. Menurut saya pak Amaik adalah seorang ayah yang keras mendidik anak, mengutamakan disiplin waktu kepada ke tigak anak-anaknya. Maklum keluarga itu tidak punya seorang ibu yang bisa di andalkan untuk mengurus rumah tangga. Untung saja si Santi dan Wati, adik-adik perempuan Andi sudah besar dan bisa diandalkan mengurus dapur dan cucian.
Kalau pak Amaik tentu tugasnya mencarikan makan dan mencari biaya sekolah untuk ke tiga anak-anaknya. Pagi-pagi sekali pak Amaik sudah pergi bekerja dengan mengayuh sepeda phoenix tuanya dengan perlengkapan pertukangan yang dia susun dalam sebuah karung dan terikat rapi pada jok belakang sepeda. Biasanya pukul 5 sore pak Amaik telah pulang dari tempat kerjanya. Bila sampai di rumah pak Amaik tidak langsung istirahat, dia segera pergi ke parak mengurusi kebun miliknya yang tidak seberapa besar itu. Palingan isinya hanya ada tanaman terung, cabe atau timun. Menjelang Magrib pak Amaik akan selalu menghabiskan waktunya di parak menyiangi rumput-rumput liar yang tumbuh di sela-sela tanaman, atau pun menyirami tanaman-tanaman itu dengan pupuk kompos yang telah di buatnya sendiri dari kumpulan kotoran ternak di kandang.
Pak Amaik bersikeras kepada Andi supaya Andi tetap fokus memberikan makan untuk hewan ternaknya, terutama kepada sapi yang dua ekor itu, kalau kambing tentulah si Santi dan Wati dapat pula menggembalai mereka di sekitar rumah, sambil mengurus urusan rumah. Waktu itu saya beranggapan pak Amaik adalah orang yang keras tidak punya perasaan, tidak punya peduli pada kebutuhan Andi sebagai anak nya yang sudah remaja yang perlu waktu bermain bersama kawan-kawan sama besar di luar rumah. Tetap pak Amaik tidak menghiraukan hal itu.
Sekali waktu saya dan kawan-kawan di sekolah datang ke rumah dan mengajak nya untuk ikut dengan kami pergi main ke pantai Air Manis, mengisi waktu libur sekolah yang hanya beberapa hari. Kami minta izin kepada pak Amaik untuk dapat membawanya bersama-sama. Tapi sayang pak Amaik bilang kalau Andi ada pekerjaan hari ini.
Alangkah kecewanya hati Andi pada waktu itu. Dia sudah kenakan baju bagus, baju terbaiknya, dan juga sepatu lebaran yang dapat dia beli di lebaran tahun yang lalu. Tapi sang ayah melarang nya ikut dengan kami. Padalah pekerjaan yang disebutkan tadi hanyalah pekerjaan biasa yang selalu dikerjakan Andi setiap hari, yaitu menyabit rumput untuk makan dua ekor sapinya yang semakin hari kian besar badannya. Waktu itu saya pikir pak Amaik ini ayah yang kejam, lebih sayang dia kepada sapi yang dua ekor itu ketimbang pada anak bujang nya sendiri.
Mendekati waktu menjelang ebtanas, menjelang ujian akhir sekolah, kami sibuk di rumah Andi, belajar keras, membahas soal-soal ujian yang dibekali oleh guru supaya kami bisa melewati ujian dengan gemilang. Setiap hari saya dan kawan-kawan bolak balik kerumah Andi untuk belajar kelompok. Di masa itu lah saya lihat dua ekor sapi si Andi sudah semakin besar badannya, semakin gemuk dan makan nya semakin banyak pula.
Karena Andi dan kami kelihatan sangat sibuk dengan persiapan Ebtanas, maka Pak Amaik membebaskan Andi dari tugasnya menyabit rumput. Terdengar kabar dari Andi waktu itu bahwa sapi yang dua ekor itu akan di jual oleh pak Amaik. Jadi ayahnya sekarang sibuk mencari toke yang mau membeli dua ekor sapi Andi itu dengan harga yang terbaik.
Akhirnya saya dan Andi bersama kawan-kawan yang lain selesai ujian Ebtanas. Dan kami bersama, kawan-kawan sama bermain dan sama belajar lulus semua dari ujian akhir tersebut. Memang itu adalah hari yang bahagia bagi kami, karena kami lulus dari jenjang pendidikan SMA. Tapi waktu itu juga adalah waktu yang sangat dapat membuat hati kami sedih dan duka, karena kami sebentar lagi harus melangkah ke pase kehidupan masing-masing, entah munkin dapat bersua lagi di masa yang akan datang.
Kebanyakan dari kami berkawan sekelas ingin melanjutkan pendidikan perguruan tinggi. Tapi ada juga yang tidak tahu juntrungan mau kemana langkah akan diarahkan. Sementara Andi sahabat baik ku itu sudah pula jarang kelihatan di sekolah sejak hari berita kelulusan itu. Di cari ke rumah dia pun tidak ada. Saya lihat ke kandang, tidak pula ada sapi yang dua ekor itu.
Saya tanya ke Santi, adiknya, dia bilang sapi sudah dijual ayah, dan Andi tidak tinggal di rumah lagi. Terus ke mana dan di mana Andi tinggal? Saya jadi sedih mendengar berita ini dari Yanti. Andi pergi tidak memberi kabar kepada saya sebelumnya. Dia juga tidak bilang apa rencananya setelah sekolah ini. Banyak timbul pertanyaan di benak saya tentang Andi.
Akhirnya Yanti pun mulai menceritakan kepada saya, tentang Andi, mungkin karena dia hiba kepada saya, seperti bingung dan sedih karena kehilangan kawan bermain. Menurut Yanti, Andi di bawa oleh mamaknya, saudara laki-laki ibu kandungnya tinggal dengan nya di Semarang. Wah jauhnya pikir saya. Kata Yanti, si Andi sedang ikut tes masuk polisi di Semarang. Itu si mamak lah yang mempersiapkan semuanya supaya Andi dapat lulus jadi polisi di situ. Wah hebat begitu pikir saya. Syukurlah, alhamdulilah ternyata ada masa depan yang lebih baik yang akan di tempuh oleh sahabat ku itu. Di dalam hati saya doakan semoga Andi dapat lulus menjadi polisi, “sukses kawan, semoga berhasil” begitu saya berkata di dalam hati.
Sejak hari itu saya tidak ada datang lagi ke rumah Andi. Karena memang buat apa kesana? Orang yang di cari tidak ada di rumah.
Saya melanjutkan pendidikan di sebuah perguruan tinggi swasta di kota Padang, jadi terpaksa karena tidak lulus SMPTN universitas negeri. Di kampus baru itu saya menjalani kehidupan yang baru bersama kawan-kawan baru, dan dunia baru, dunia perkuliahan. Kuliah dan menghabiskan waktu di kampus adalah hal yang menyenangkan pada waktu itu. Sehingga saya menjadi lupa kepada kawan-kawan lama sesama sekolah dulu di SMA 17 Agustus Padang, dan terutama kepada Andi sahabat karib saya.
Lima tahun sudah saya menjalani kuliah di kampus itu, dan lima tahun pula saya tidak berjumpa dengan Andi. Hingga pada suatu hari lebaran idul fitri akhirnya Andi datang berkunjung ke rumah.
Saya sangat senang Andi ternyata masih ingat kepada saya. Memang Andi datang tidak seperti Andi yang dulu, lusuh, kumal, bau keringat, kurus dan kerempeng. Andi sekarang sudah jauh berbeda. Dia ganteng, gagah, rapi dan wangi. Andi datang ke rumah saya dengan penampakan yang istimewa, berbadan tegap, rambut cepak, dan membawa seorang teman perempuan yang cantik jelita pula di sampingnya.
Diperkenalkan oleh Andi teman perempuannya itu kepada saya, nama nya Lusi. Masih orang Padang juga. Kata Andi insya’allaha habis lebaran haji nanti mereka akan melangsungkan pernikahan. Wah-wah luar biasa kemajuan Andi di perlihatkan kepada saya. Saya jadi turut senang dibuatnya.
Kemudian obrolan kami berdua, saya bawa kembali ke masa lalu. Ke masa lima tahun yang lalu, dimana waktu itu saya kehilangan sosok diri Andi begitu saja, tanpa dia tidak menjelaskan mau apa dan akan kemana dia. Kemudian Andi menceritakan kepada saya tentang dua ekor sapinya yang telah di jual ayahanya, pak Amaik sebagai uang jaminan atau uang pelicin untuk dipakai oleh mamak si Andi di Semarang guna meluluskan si Andi menjadi seorang polisi.
Sapi dua ekor yang telah dijual oleh pak Amaik waktu itu mendapatkan harga terbaik, yaitu sebesar 16 juta rupiah ke dua ekornya. Menurut pak Amaik, uang 14 juta rupiah adalah mutlak uang milik Andi, dan yang 2 juta rupiah adalah uang modal pembeli dua ekor anak sapi itu yang dulu dipinjamkan oleh nenek pada waktu Andi masih SMP. Uang 2 juta itu harus kemabali ke si nenek, sisa bulat punya Andi
Memang sudah jadi rencana si ayah dan mamak yang tinggal di Semarang itu untuk memasukan Andi ke kepolisian setelah Andi selesai SMA. Itulah uang yang 14 juta rupiah adalah hasil dari jerih payah Andi memberi makan ke dua ekor sapi dengan menyabit rumput setiap saban hari. Dan lihat lah pada hari ini, dua ekor sapi itu sekarang telah menjelma menjadi sepasang pakaian seragam kepolisian, berubah menjadi sebuah pangkat dan jabatan di Kepolisian Republik Indonesia.
Selamat dan sukses terus untuk kawan ku Andi. Semoga kisah mu ini, kisah yang saya tulis di blog ini dapat pula menjadi sebuah inspirasi bagi para pembaca, terutama kepada para orang tua yang punya keinginan dan cita-cita untuk membesar anak-anak mereka. Sekian, wassalam (Luck Lukmansyah).
Photo: ezhpe.wordpress.com
Padang. 17 Juli 2016. Selamat pagi para pembaca deelucky.com yang budiman, dimana pun anda berada. Di pagi hari Minggu yang cerah ini saya sangat ingin sekali menulis sebuah cerita tentang kisah seorang kawan yang tinggal di sebuah kampung terletak di pinggiran kota Padang dengan ayahnya yang bekerja sebagai seorang kuli bangunan.
Di sebuah kampung yang bernama Anduriang, masih dalam kecamatan Kuranji, Padang, ada seorang ayah yang biasa di panggil dengan sebuatan pak Amaik oleh orang sekitar. Pak Amaik ini memiliki 3 orang anak 1 laki-laki bernama Andi. Andi adalah kawan baik saya waktu sama-sama sekolah di SMA 17 Agustus Padang, dan 2 orang adik perempuannya Santi dan Wati. Pada waktu saya masih sering main ke rumah keluarga itu dua orang anak gadis pak Amaik ini masih duduk di bangku sekolah SMP.
Pak Amaik membesarkan ke tiga orang anaknya tidak didampingi oleh sang istri lagi, ibu dari ke tiga orang anak ini telah lama meninggal dunia, persisnya waktu mereka masih dalam masa pendidikan sekolah dasar.
Sepertinya pak Amaik tidak punya keinginan untuk menikah lagi. Dengan pekerjaan nya sebagai seorang kuli bangunan, dia menetapkan hati untuk membesarkan ke tiga putra putrinya.
Pak Amaik dan ketiga orang anaknya tinggal disebuah rumah yang secara notabene bukan milik pribadinya, melainkan penumpang di rumah milik orang tua pak Amaik sendiri. Rumah kediaman pak Amaik itu tidak pula layak disebut sebagai rumah, tapi layaknya sebagai sebuah gubuk. Gubuk yang terletak di tengah-tengah ladang, atau parak milik keluarga besar Pak Amaik.
Dalam tradisi budaya Minangkabau, sewajarnya pak Amaik tidak tinggal dan membesarkan anak-anaknya dalam lingkungan keluaga bako, atau keluarga saudara-saudara kandung pak Amaik, melainkan harus di lingkungan keluarga istrinya. Namun sayang sekali karena istrinya telah lama tiada, bapak dari ketiga orang anak ini memutuskan untuk membawa ke tiga anaknya ke rumah keluarganya di Anduriang. Dari waktu itu lah pak Amaik diizinkan oleh orang tuanya menghuni sebuah gubuk tua yang tak terpakai di sebuah parak, atau kebun.
Di tahun 1997, pertama kali saya menjalin hubungan persahabatan dengan Andi. Dia adalah teman sebangku saya di sekolah. Di dalam belajar Andi bisa dibilang anak yang brilian, dia pintar, selalu mendapatkan nilai-nilai terbaik di kelas. Andi adalah sang juara kelas. Andi pun merupakan sosok yang sangat disenangi oleh kawan di sekolah. Orang nya ramah, dan suka menolong kawan, terutama tentang tugas dan PR di sekolah.Oleh sebab itulah saya sering berkunjung ketempat Andi, tujuannya memang untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang saya sulit menyelesaikannya.
Pertama kalinya saya datang berkunjung ke rumah Andi, ada suatu perasaan miris melihat lingkungan tempat tinggalnya. Sebuah rumah gubuk kayu yang sangat-sangat sederhana, berdekatan pula di sampingnya ada sebuah kandang sapi dan kambing, yang membuat aroma kotoran hewan itu mengisi relung-relung gubuk tempat tinggal Andi. Hebatnya saya tidak merasa risih dengan keadaan seperti itu, dan hebat pula Andi dengan polosnya bilang ke saya, “yah beginilah keadaan rumah den”.
Masa kami sekolah dulu berbeda dengan keadaan anak sekolah zaman sekarang. Sekarang sepertinya anak-anak sibuk menghabiskan waktu belajar di sekolah. Kalau pagi anak-anak sekolah menjalani jam pelajaran wajib sampai siang, lepas itu tambah lagi macam-macam kegiatan extrakurikuler yang membuat anak-anak harus lambat-lambat waktu sampai di rumah, kadang-kadang sudah mau dekat waktu Magrib baru pulang ke rumah.
Kami dulu tidak begitu. Dulu jam masuk sekolah pukul 07.15 pagi, pulang sekolah pukul 12.30 siang. Kami tidak dibebani oleh kegiatan ekstra di sekolah. Jadi kami punya banyak waktu untuk bermain atau menolong pekerjaan orang tua di rumah.
Kehidupan Andi sangat jauh berbeda dengan saya. Kalau saya sampai di rumah tidak punya pekerjaan apa-apa yang di suruhkan oleh mama dan papa. Jadi saya punya banyak waktu untuk bermain atau membuat PR. Sedangkan Andi tidak punya waktu bermain dengan kawan-kawan sama besarnya di tempat tinggalnya. Setelah pulang sekolah dia selalu disibukkan oleh banyak pekerjaan mengurus ternak, sawah dan parak (kebun).
Ada sebuah dangau (pondok) kecil yang teletak di tepi sawah, pasnya di belakang rumah Andi. Di dangau itulah saya sering berkumpul dengan Andi dan juga kadang-kadang ada beberapa teman-teman sekelas yang lain juga ikut ngumpul disana. Tujuan kami ngumpul di dangau itu sederhana saja, yaitu untuk mengerjakan tugas kelompok di sekolah.
Sesekali kami juga sepakat membawa bekal makan siang masing-masing untuk disantap di dangau itu sama-sama sambil mengerjakan tugas.
Bagi Andi, sebagai seorang anak pengembala ternak, tentu juga sibuk mengurus ternaknya sambil menyelesaikan tugas-tugas sekolah di dangau bersama-sama kawan-kawan, atau hanya dengan saya seorang saja. Tugas-tugas sekolah itu dikerjakan oleh Andi sambil dia selingi dengan pekerjaan menyabit rumput untuk sapi dan kambingnya. Sering saya dia tinggalkan menyelesaikan tugas sendiri. Kalau saya sedang mandek tidak tahu jawab dari sebuah soal maka saya harus pergi mencari Andi ke suatu tempat dia sedang menyabit rumput.
Begitulah seterusnya lakon kehidupan yang dijalani oleh sahabat saya itu, Andi, sampai dia tamat sekolah SMA nya.
Bagi seorang remaja, seperti Andi tentu dia ada punya keinginan untuk bermain dengan kawan-kawan sama besar. Juga pasti dia punya kenginan untuk bisa dekat dengan seorang teman perempuan yang dia sukai di sekolah. Kemudian juga tentu dia ingin pergi bertamasya bersama kawan-kawan menghabiskan uang simpanannya pada suatu waktu hari libur atau lebaran, dan merasakan hiburan atau kesenangan hati sesaat, demi mengisi pengalaman masa remaja.
Tapi sayang dan malangnya sahabat saya itu tidak punya kesempatan seperti itu. Bisa dibilang dia tersisih dari cerita-cerita kesenangan anak-anak remaja seusia kami pada waktu itu. Andi hanya bisa mendengar dan merasakan dari kami, kawan-kawannya bagaimana asiknya menggaet perhatian seorang cewek yang kami taksir atau mengajak seorang cewek jalan-jalan ke pasar raya untuk pergi mencari makanan yang disuka, seperti sate atau soto Padang, atau jalan berpasang-pasangan laki-laki perempuan sama besar setelah pulang sekolah di Pantai Padang, alangkah asik dan menyenangkan masa-masa itu.
Andi hanya bisa mendengar, merasakan dan membayangkan saja asik nya pengalaman masa remaja yang telah kami kerjakan bersama-sama kawan di sekolah. Jauh berbeda dengan Andi. Andi tidak punya apa-apa. Yang dia punya hanya dua ekor sapi dan enam ekor kambing yang harus dia beri makan setelah pulang sekolah. Tidak pernah ada Andi bersama kami kalau setelah jam sekolah usai, dia langsung lari naik bis menuju ke rumahnya, sedangkan kami punya banyak waktu bermain kesana kemari ber huru-huru tidak karuan.
Saya dan kawan-kawan di sekolah dekat dengan Andi dan juga dekat dengan ayah Andi, pak Amaik. Menurut saya pak Amaik adalah seorang ayah yang keras mendidik anak, mengutamakan disiplin waktu kepada ke tigak anak-anaknya. Maklum keluarga itu tidak punya seorang ibu yang bisa di andalkan untuk mengurus rumah tangga. Untung saja si Santi dan Wati, adik-adik perempuan Andi sudah besar dan bisa diandalkan mengurus dapur dan cucian.
Kalau pak Amaik tentu tugasnya mencarikan makan dan mencari biaya sekolah untuk ke tiga anak-anaknya. Pagi-pagi sekali pak Amaik sudah pergi bekerja dengan mengayuh sepeda phoenix tuanya dengan perlengkapan pertukangan yang dia susun dalam sebuah karung dan terikat rapi pada jok belakang sepeda. Biasanya pukul 5 sore pak Amaik telah pulang dari tempat kerjanya. Bila sampai di rumah pak Amaik tidak langsung istirahat, dia segera pergi ke parak mengurusi kebun miliknya yang tidak seberapa besar itu. Palingan isinya hanya ada tanaman terung, cabe atau timun. Menjelang Magrib pak Amaik akan selalu menghabiskan waktunya di parak menyiangi rumput-rumput liar yang tumbuh di sela-sela tanaman, atau pun menyirami tanaman-tanaman itu dengan pupuk kompos yang telah di buatnya sendiri dari kumpulan kotoran ternak di kandang.
Pak Amaik bersikeras kepada Andi supaya Andi tetap fokus memberikan makan untuk hewan ternaknya, terutama kepada sapi yang dua ekor itu, kalau kambing tentulah si Santi dan Wati dapat pula menggembalai mereka di sekitar rumah, sambil mengurus urusan rumah. Waktu itu saya beranggapan pak Amaik adalah orang yang keras tidak punya perasaan, tidak punya peduli pada kebutuhan Andi sebagai anak nya yang sudah remaja yang perlu waktu bermain bersama kawan-kawan sama besar di luar rumah. Tetap pak Amaik tidak menghiraukan hal itu.
Sekali waktu saya dan kawan-kawan di sekolah datang ke rumah dan mengajak nya untuk ikut dengan kami pergi main ke pantai Air Manis, mengisi waktu libur sekolah yang hanya beberapa hari. Kami minta izin kepada pak Amaik untuk dapat membawanya bersama-sama. Tapi sayang pak Amaik bilang kalau Andi ada pekerjaan hari ini.
Alangkah kecewanya hati Andi pada waktu itu. Dia sudah kenakan baju bagus, baju terbaiknya, dan juga sepatu lebaran yang dapat dia beli di lebaran tahun yang lalu. Tapi sang ayah melarang nya ikut dengan kami. Padalah pekerjaan yang disebutkan tadi hanyalah pekerjaan biasa yang selalu dikerjakan Andi setiap hari, yaitu menyabit rumput untuk makan dua ekor sapinya yang semakin hari kian besar badannya. Waktu itu saya pikir pak Amaik ini ayah yang kejam, lebih sayang dia kepada sapi yang dua ekor itu ketimbang pada anak bujang nya sendiri.
Mendekati waktu menjelang ebtanas, menjelang ujian akhir sekolah, kami sibuk di rumah Andi, belajar keras, membahas soal-soal ujian yang dibekali oleh guru supaya kami bisa melewati ujian dengan gemilang. Setiap hari saya dan kawan-kawan bolak balik kerumah Andi untuk belajar kelompok. Di masa itu lah saya lihat dua ekor sapi si Andi sudah semakin besar badannya, semakin gemuk dan makan nya semakin banyak pula.
Karena Andi dan kami kelihatan sangat sibuk dengan persiapan Ebtanas, maka Pak Amaik membebaskan Andi dari tugasnya menyabit rumput. Terdengar kabar dari Andi waktu itu bahwa sapi yang dua ekor itu akan di jual oleh pak Amaik. Jadi ayahnya sekarang sibuk mencari toke yang mau membeli dua ekor sapi Andi itu dengan harga yang terbaik.
Akhirnya saya dan Andi bersama kawan-kawan yang lain selesai ujian Ebtanas. Dan kami bersama, kawan-kawan sama bermain dan sama belajar lulus semua dari ujian akhir tersebut. Memang itu adalah hari yang bahagia bagi kami, karena kami lulus dari jenjang pendidikan SMA. Tapi waktu itu juga adalah waktu yang sangat dapat membuat hati kami sedih dan duka, karena kami sebentar lagi harus melangkah ke pase kehidupan masing-masing, entah munkin dapat bersua lagi di masa yang akan datang.
Kebanyakan dari kami berkawan sekelas ingin melanjutkan pendidikan perguruan tinggi. Tapi ada juga yang tidak tahu juntrungan mau kemana langkah akan diarahkan. Sementara Andi sahabat baik ku itu sudah pula jarang kelihatan di sekolah sejak hari berita kelulusan itu. Di cari ke rumah dia pun tidak ada. Saya lihat ke kandang, tidak pula ada sapi yang dua ekor itu.
Saya tanya ke Santi, adiknya, dia bilang sapi sudah dijual ayah, dan Andi tidak tinggal di rumah lagi. Terus ke mana dan di mana Andi tinggal? Saya jadi sedih mendengar berita ini dari Yanti. Andi pergi tidak memberi kabar kepada saya sebelumnya. Dia juga tidak bilang apa rencananya setelah sekolah ini. Banyak timbul pertanyaan di benak saya tentang Andi.
Akhirnya Yanti pun mulai menceritakan kepada saya, tentang Andi, mungkin karena dia hiba kepada saya, seperti bingung dan sedih karena kehilangan kawan bermain. Menurut Yanti, Andi di bawa oleh mamaknya, saudara laki-laki ibu kandungnya tinggal dengan nya di Semarang. Wah jauhnya pikir saya. Kata Yanti, si Andi sedang ikut tes masuk polisi di Semarang. Itu si mamak lah yang mempersiapkan semuanya supaya Andi dapat lulus jadi polisi di situ. Wah hebat begitu pikir saya. Syukurlah, alhamdulilah ternyata ada masa depan yang lebih baik yang akan di tempuh oleh sahabat ku itu. Di dalam hati saya doakan semoga Andi dapat lulus menjadi polisi, “sukses kawan, semoga berhasil” begitu saya berkata di dalam hati.
Sejak hari itu saya tidak ada datang lagi ke rumah Andi. Karena memang buat apa kesana? Orang yang di cari tidak ada di rumah.
Saya melanjutkan pendidikan di sebuah perguruan tinggi swasta di kota Padang, jadi terpaksa karena tidak lulus SMPTN universitas negeri. Di kampus baru itu saya menjalani kehidupan yang baru bersama kawan-kawan baru, dan dunia baru, dunia perkuliahan. Kuliah dan menghabiskan waktu di kampus adalah hal yang menyenangkan pada waktu itu. Sehingga saya menjadi lupa kepada kawan-kawan lama sesama sekolah dulu di SMA 17 Agustus Padang, dan terutama kepada Andi sahabat karib saya.
Lima tahun sudah saya menjalani kuliah di kampus itu, dan lima tahun pula saya tidak berjumpa dengan Andi. Hingga pada suatu hari lebaran idul fitri akhirnya Andi datang berkunjung ke rumah.
Saya sangat senang Andi ternyata masih ingat kepada saya. Memang Andi datang tidak seperti Andi yang dulu, lusuh, kumal, bau keringat, kurus dan kerempeng. Andi sekarang sudah jauh berbeda. Dia ganteng, gagah, rapi dan wangi. Andi datang ke rumah saya dengan penampakan yang istimewa, berbadan tegap, rambut cepak, dan membawa seorang teman perempuan yang cantik jelita pula di sampingnya.
Diperkenalkan oleh Andi teman perempuannya itu kepada saya, nama nya Lusi. Masih orang Padang juga. Kata Andi insya’allaha habis lebaran haji nanti mereka akan melangsungkan pernikahan. Wah-wah luar biasa kemajuan Andi di perlihatkan kepada saya. Saya jadi turut senang dibuatnya.
Kemudian obrolan kami berdua, saya bawa kembali ke masa lalu. Ke masa lima tahun yang lalu, dimana waktu itu saya kehilangan sosok diri Andi begitu saja, tanpa dia tidak menjelaskan mau apa dan akan kemana dia. Kemudian Andi menceritakan kepada saya tentang dua ekor sapinya yang telah di jual ayahanya, pak Amaik sebagai uang jaminan atau uang pelicin untuk dipakai oleh mamak si Andi di Semarang guna meluluskan si Andi menjadi seorang polisi.
Sapi dua ekor yang telah dijual oleh pak Amaik waktu itu mendapatkan harga terbaik, yaitu sebesar 16 juta rupiah ke dua ekornya. Menurut pak Amaik, uang 14 juta rupiah adalah mutlak uang milik Andi, dan yang 2 juta rupiah adalah uang modal pembeli dua ekor anak sapi itu yang dulu dipinjamkan oleh nenek pada waktu Andi masih SMP. Uang 2 juta itu harus kemabali ke si nenek, sisa bulat punya Andi
Memang sudah jadi rencana si ayah dan mamak yang tinggal di Semarang itu untuk memasukan Andi ke kepolisian setelah Andi selesai SMA. Itulah uang yang 14 juta rupiah adalah hasil dari jerih payah Andi memberi makan ke dua ekor sapi dengan menyabit rumput setiap saban hari. Dan lihat lah pada hari ini, dua ekor sapi itu sekarang telah menjelma menjadi sepasang pakaian seragam kepolisian, berubah menjadi sebuah pangkat dan jabatan di Kepolisian Republik Indonesia.
Selamat dan sukses terus untuk kawan ku Andi. Semoga kisah mu ini, kisah yang saya tulis di blog ini dapat pula menjadi sebuah inspirasi bagi para pembaca, terutama kepada para orang tua yang punya keinginan dan cita-cita untuk membesar anak-anak mereka. Sekian, wassalam (Luck Lukmansyah).
Photo: ezhpe.wordpress.com
0 Komentar
Penulisan markup di komentar