Bujang Keramat
Chapter 1: Petuah Ayah Bunda
Sinar mentari pagi nan cerah, yang berwarna keemasan mulai merambati dataran landai kota Padang. Udara dingin setelah hujan deras tadi malam telah pula lenyap, yang tinggal hanyalah genangan air hujan yang membasahi badan jalan dan halaman rumah-rumah penduduk.
Waktu pagi telah menunjukan pukul 07.00 WIB, dimana pada pagi itu, kota Padang tampak mulai menggeliat, orang-orang kota mulai bergerak melakoni peran mereka masing-masing untuk mencari penghidupan di kota Bengkuang ini. Sebagian orang ada yang pergi ke Pasar Raya untuk membuka toko dan lapak untuk memulai berjualan atau ada yang malah pergi untuk berbelanja kebutuhan harian saja ke pasar. Di jalan raya banyak terlihat para pegawai negeri dengan mengenakan seragam dinasnya, serta para karyawan perusahaan swasta yang mengenakan pakaian biasa saja, asal kelihatan rapi dan necis dengan memakai sepatu, sudah pada berhamburan keluar meninggalkan rumah mereka dan berpaju di jalan raya dengan kendaraan mereka masing-masing, banyak juga yang menaiki kendaraan umum, seperti angkot, bemo dan bis kota untuk menuju ke tempat mereka bekerja.
Begitu juga dengan anak sekolah, kelihatan juga terburu-buru berjalan beriring-iringan di trotoar-trotoar jalan raya dengan menyandang tas yang beraneka warna di punggung mereka. Bahkan sebagian di antara anak sekolah itu ada yang berlari-larian, mungkin karena saking semangatnya mereka pergi ke sekolah atau entah karena takutnya, dan berusaha untuk datang tepat waktu ke sekolah, supaya terhindar dari hukuman karena datang terlambat oleh bapak dan ibu guru yang telah berdiri di pagar sekolah, menunggu kedatangan murid-murid kesayangan mereka.
Di Kampung Baru, adalah sebuah tempat pemukiman penduduk yang terletak di bagian barat kota Padang, berdekatan sekali dengan Pasar Raya, ada Tias dan Rasyid di sana. Mereka adalah pasangan suami istri yang baru setahun menikah. Pagi itu mereka berdua sedang berkemas-kemas menyusun dan memasukan pakaian yang mereka punya ke dalam koper dan tas. Sebab pada hari ini adalah jadwal keberangkatan mereka, meninggalkan kota Padang, untuk pergi menuju ke pulau Pagai, ke tempat tinggal mereka yang baru. Karena suaminya, Rasyid, telah di perintahkan oleh induk semangnya, di kantor, di perusahaan tempat dia mencari nafkah, untuk bertugas di pulau itu sebagai seorang chasier, menggantikan petugas yang lama.
Adapun Rasyid telah bekerja pada perusahaan itu, sebuah perusahaan kayu yang memiliki telah memiliki izin operasional dari pemerintah, HPH, Hak Pengusahaan Hutan, yang beroperasi di kepulauan Mentawai, tepatnya di pulau Pagai Utara dan pulau Pagai Selatan sejak tahun 1973. Kala itu Rasyid berusia 22 tahun, masih lajang. Dalam jangka waktu dua tahun setelah dia menamatkan pendidikan menengah atasnya, di SMA 1 Padang, Rasyid mengajukan lamaran kerja ke perusahaan itu. Kebetulan sekali kantor perusahaan itu terletak berseberangan jalan dengan gedung sekolahnya, posisinya berada di jalan Sudirman. Beruntung Rasyid dapat lolos cemerlang dari sesi interview dan akhirnya dapat diterima bekerja sebagai karyawan di perusahaan itu, PT. Mentawai Land nama perusahaan tersebut. Setelah 7 tahun lamanya meniti karir di perusahan pembalakan kayu itu, sebagai seorang petugas payroll, akhirnya di tahun 1980 Rasyid dapat di promosikan ke posisi yang lebih tinggi, yaitu menjadi seorang chasier. Tentu saja dengan konsekuensinya adalah Rasyid harus bersedia ditempatkan bertugas di kantor administrasi wilayah operasional penebangan hutan PT. Mentawai Land, yaitu di pulau Pagai Utara, desa Sikakap.
Sebulan yang lalu Rasyid telah bermufakat dengan istrinya dan ibu mertuanya, Mak Inar, di rumah kediaman mereka di Kampung Baru, tentang keputusan atasannya yang akan memindah dia untuk bekerja di pulau Pagai. Oleh karena itu Rasyid memohon agar Mak Inar bersedia melepaskan putri untuk dibawa tinggal di pulau Pagai. Walaupun hatinya sedih, karena akan berpisah dengan putri kesayangannya, akhirnya Mak Inar dapat mengizinkan putrinya untuk dibawa menetap tinggal di pulau Pagai, bersama suaminya, Rasyid. Tentulah Mak Inar sangat berat untuk melepaskan Tias. Karena ibu ini cemas dengan kondisi putrinya yang kini sedang berbadan dua, hamil 6 bulan, hamil anak pertama pula. Amak takut, kalau terjadi sesuatu hal buruk menimpa terhadap diri Tias. Siapakah yang dapat menolong putri kesayangannya disana. Lagi pula menantu dan putrinya itu adalah pasangan menikah yang baru seumur jagung, mereka belum punya banyak pengalaman dalam hal merawat kehamilan. Ditambah lagi mereka tinggal hanya berdua saja, tanpa ada sanak famili yang dapat berbagi susah senang dengan mereka di pulau Pagai tempat dimana Rasyid akan bekerja nanti.
Berbeda dengan ibunya, Tias sendiri sudah siap secara mental untuk tinggal jauh dari ibunya. Menurutnya biarlah dia menanggung susah dan payah hidup di rantau, di pulau itu, asalkan tetap berada disamping laki-laki yang cintainya, dari pada hidup senang dimanja dalam perlindungan ibundanya, tetapi harus berputih mata dan menahan rindu berkepanjangan sepanjang hari kepada suaminya. Lagi pula Mak Inar tidak akan tinggal kesepian di Padang, kan masih banyak saudara kandung Tias, laki-laki dan perempuan, yang lajang dan yang sudah menikah tinggal dekat dengan ibu mereka. Ada yang masih tinggal serumah, dan ada juga yang tidak tinggal di rumah, alias ngontrak di kampung sebelah, masih sekitar daerah Pasar Raya Padang. Kebanyakan dari 10 orang putra-putri Mak Inar, mereka bekerja dan menggantungkan penghidupan mereka di Pasar Raya. Ada yang bekerja di toko, sebagai anak semang orang. Ada yang berjualan, berdikari sendiri, membuka lapak di dalam Pasar Raya. Ada juga yang jadi “urang bagak”, centeng, orang yang menguasai wilayah parkir kendaraan di sepanjang jalan Moh. Yamin. Dan ada juga yang bekerja sebagai marketing, alias makelar, atau agen, menjualkan apa saja dari barang dagangan orang lain, guna mendapatkan selisih laba hasil penjualan barang.
Supaya Mak Inar tidak perlu merisaukan tentang kehidupan yang akan mereka tempuh berdua nanti, tentu saja Rasyid menjelaskan kepada ibu mertuanya bahwasanya tinggal di Pagai tidaklah seburuk keadaan yang dibayangkan oleh Mak Inar selama ini. Di pulau itu sekarang tentu sudah ada rumah untuk bermukim yang telah disediakan oleh pihak perusahaan. Mereka tidak akan pernah tinggal di hutan seperti apa yang dicemaskan mertuanya. Tetapi tinggal di komplek pemukiman karyawan PT. Mentawai Land yang sudah ramai penghuninya. Disana sudah disediakan segala fasilitas penunjang kebutuhan hidup. Tentu saja ada unit kesehatan yang dikepalai oleh seorang mantri. Ada tempat ibadah, seperti mesjid dan gereja. Ada juga sebuah pasar, “Pasar Mini” namanya, segala kebutuhan sandang dan pangan ada di jual disana. Ada juga terdapat sebuah Sekolah Dasar, yang berlokasi di pulau Pagai Selatan, untuk pergi kesana harus ditempuh dengan naik perahu boat selama 15 menit menyeberangi laut selat Mentawai. Apalagi di pulau Pagai Utara sekarang telah tersedia kantor pos, letaknya berdekatan dengan pasar mini. Sehingga penduduk di sana, yang mayoritas karyawan PT. Mentawai Land, sekarang sudah bisa memberi kabar kepada sanak famili mereka di kampung melalui surat.
Mendengar penjelasan yang di ceritakan oleh Rasyid tentang keadaan di pulau Pagai itu tentulah lega sudah perasaan hati ibu mertuanya. Sehingga ia dapat merelakan perpisahanya dengan anak dan menantunya pada bulan yang akan datang. Mak Inar hanya berharap agar mereka berdua dapat mengirimi dirinya sepucuk surat apabila telah sampai di pulau itu.
Jadwal keberangkatan Rasyid dan Tias ke Mentawai adalah hari ini, biasanya kapal berangkat pukul 6 sore. Dengan menaiki KM. Sumber Rezeki namanya, adalah kapal kayu berukuran sedang, kapal yang biasa membawa penumpang dan barang, berlayar menempuh 12 jam perjalanan laut dari pelabuhan Muara Padang ke dermaga Sikakap, Pulau Pagai Utara, via Pulau Siberut dan Pulau Sipora. Kalau berangkat pukul 6 sore dari Padang, biasanya KM. Sumber Rezeki akan sampai di Sikakap pada pukul 6 atau pukul 7 pagi besok harinya.
Hari masih pagi, Rasyid membiarkan istrinya menyiapkan segala bekal untuk keberangkatan nanti sore ke pulau Pagai. Pagi ini tetap Rasyid harus masuk kantor untuk mempersiapkan segala dokumen dan surat yang diperlukan untuk tempat kerjanya yang baru di pulau itu.
Selesai mandi, berpakaian, dan menyantap sarapan paginya, Rasyid pamit kepada Tias untuk pergi ke kantor. Dari rumah mertuanya yang di Kampung Baru itu, Rasyid biasa berjalan kaki saja kalau pergi ke kantor. Lokasi tempat bekerja Rasyid terletak tidak begitu jauh. Tempatnya ada di simpang Kandang, jalan Sudirman. Bisa ditempuh lewat jalan Mhd. Yamin terus ke Pasar Raya Padang, terus melewati gedung sekolah Adabiah, lalu menyeberang jalan pas di depan gedung Bank Dagang Negara, barulah sampai di kantor itu, PT. Mentawai Land.
Pagi hari itu, di kantornya Rasyid bekerja tidak lagi seperti hari-hari sebelumnya. Dia tidak berada di ruangan payroll lagi, tetapi ada di ruangan personalia bersama dengan kepala divisi personalia. Tidak ada satupun pekerjaan yang bisa dikerjakannya, kecuali menunggu surat tugas dari pimpinan PT. Mentawai Land, yang pada hari ini akan diserahkan kepada Rasyid melalui pak Kiram, kepala personalia di perusahaan itu.
“Jam berapa pak Rasyid berangkat?” Pak Kiram bertanya kepada Rasyid sambil membuka pintu kabinet dan mencari-cari berkas yang dibutuhkan untuk pemindahan tugas Rasyid ke kantornya yang baru.
“Jam 6 sore nanti pak”
“Naik kapal apa kesana pak?”
“KM. Sumber Rezeki”
“Loh, kenapa tidak naik kapal Perintis saja dari Teluk Bayur? Kan lebih aman dan nyaman”
“Awalnya saya juga maunya begitu, tetapi trayek kapal perintis sekarang sedang ditiadakan selama satu minggu ini, karena kapal itu naik dok”
“Oh begitu ya, saya doakan agar pak Rasyid selamat sampai tiba di pulau Pagai”
“Terimakasih”
“Kabarnya pak Rasyid bawa istri juga untuk tinggal di Pagai ya?”
“Iya pak, betul.... Saya tidak ingin tinggal berjauhan dengan istri saya, biarlah saya bawa juga dia, walaupun akan berat mulanya untuk memulai tinggal di Pagai” Seterusnya, sambil menghabiskan waktu, dari pada diam saja, akhirnya Rasyid bercerita tentang keadaan istrinya, dan juga ibu mertuanya yang cemas atas keberangkatan mereka meninggalkan kota Padang ini.
Kepala pak personalia itu mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Rasyid yang duduk bercerita dari balik mejanya yang bersih dan mengkilat itu, sambil dia memeriksa tumpukan berkas yang tadi telah dia keluarkan dari kabinet, dan diletakannya di atas meja kerjanya.
“Sabar ya pak, Sebentar lagi akan ketemu juga map yang berisi surat tugas bapak itu, seminggu yang lalu saya telah menyimpannya di sini” Dengan teliti pak Kiram membuka dan memeriksa lembaran-lembaran map yang telah bertumpuk di atas mejanya.
“Wah, ini dia pak, akhirnya ketemu juga” Pak Kiram girang karena telah dapat menemukan dokumen yang di carinya dari tadi. Langsung saja dia letakan sebuah map coklat yang berisi beberapa dokumen itu ke depan Rasyid.
Rasyid diperbolehkan membuka map itu dan mempelajarinya sekilas.
“Di dalam map itu sudah tersedia semua dokumen yang pak Rasyid perlukan. Jadi pak Rasyid kalau telah sampai di pulau Pagai, langsung saja temui Mr. Lim, Direktur Keuangan di sana, dan serahkan map ini ke dia”
“Oh begitu ya, baiklah, terimakasih pak”
“Ya, sama-sama, sekali lagi selamat dan sukses atas pencapaian yang pak Rasyid dapatkan hari ini, selamat jalan” Pak Kiram lalu berdiri untuk memberikan selamat dan jabat tangan yang hangat kepada Rasyid sembari membukakan pintu ruangan kerjanya sebagai tanda perpisahan.
Setelah Rasyid menerima surat tugasnya tadi, tidak mau dia berlama-lama menghabiskan waktu di kantor itu. Setelah berpamitan dengan beberapa orang atasan dan koleganya dia langsung pulang ke rumah istrinya di Kampung Baru. Sampai di rumah hari sudah menunjukan pukul setengah 10 pagi, ternyata masih ada waktu bagi Rasyid untuk pergi ke rumah orang tuanya yang berada di Palinggam, sebuah kampung yang terletak di pinggiran sungai Batang Arau, supaya dapat berpamitan dengan ayah dan ibundanya.
Ketika Rasyid telah sampai di rumah, tampak Tias telah selesai berkemas, telah pula selesai mandi dan berpakaian santai sambil mendengarkan musik dari radio transitornya yang mengalunkan sebuah program barometer musik Indonesia oleh station radio Arbes Rasonia kesayangannya.
“Loh, uda! Kenapa uda cepat sekali sampai di rumah, apakah telah selesai semua urusan di kantor hari ini” Tias terkejut, sekaligus senang ketika mengetahui Rasyid telah sampai dirumah dan sedang berdiri di ambang pintu, menanggalkan sepatu pantofelnya.
“Ya begitulah, alhamdulilah sudah kelar, jadi kita tinggal berangkat saja sore ini”
“Baguslah, kalau begitu istirahatlah uda dulu, biar saya buatkan kopi”
“Tidak perlu buat kopi Tias, lebih baik kamu ganti berpakaian yang bagus, karena uda mau bawa kamu ke Palinggam menemui ibu untuk berpamitan”
“Benarkah itu uda! maafkan Tias uda, saking sibuknya berkemas, sehingga Tias jadi lupa tentang hal itu. Baiklah kalau begitu, sebentar saya ganti baju dulu”
“Cepat ya, jangan lama-lama dandannya!” Rasyid berkata sambil menarik sebuah koran Haluan yang tergeletak di atas meja.
“Iya, iya, sebentar kok” Tias bergegas masuk kamar dan mengenakan pakaian bagus yang telah dia siapkan semenjak pagi tadi. Kemudian dia berdandan memasang make up dan menata rambutnya panjang sebahunya supaya dapat dikuncir rapi ke belakang.
Tidak lama kemudian Tias sudah keluar dari kamarnya dengan mengenakan baju tunik lebar berwarna kuning cerah dengan motif polkadot. Pakaian itu sangat serasi sekali dengan warna kulitnya yang putih bersih, rambutnya yang pirang dan mata yang coklat. Dengan memasang sepatu flat Tias keluar dan menghampiri suaminya yang sedang duduk sambil membaca koran di langkan rumah.
Pada saat Tias sudah berdiri di depan suaminya yang sedang asik membaca koran, sontak Rasyid langsung terkesima karena melihat pancaran aura kecantikan keluar dari wajah istrinya yang segar bugar dengan ada nya rona merah lipstik tergores di bibirnya nan tipis. Ya, begitulah karunia yang telah Tuhan anugerahkan untuk setiap wanita yang tengah mengandung janin dalam perutnya. Karena di dalam setiap tubuh jasmani wanita hamil ada terdapat suatu hormon yang dapat membuat warna kulitnya menjadi cerah, kuku-kukunya menjadi cepat tumbuh, kuat, bening dan mengkilat. Payudara dan pinggulnya akan tampak semakin indah. Ditambah lagi dengan kondisi kejiwaan wanita hamil yang baik, senang, riang dan bahagia akan membuat aura positif keluar terpancar dari tubuhnya dan menghiasi wajahnya. Oleh sebab itulah, selalu banyak saja orang-orang yang senang melihat dan tertarik untuk mengajak seorang ibu hamil bercakap-cakap atau malah hanya sekedar memujinya saja.
“Dah. Tias sudah siap uda, marilah kita pergi!”
“Wah.. wah.. wah, alangkah cantiknya kau hari ini Tias, bagai seorang bintang film yang sedang berdiri di depan aku sekarang” Rasyid terperangah melihat kecantikan dan mulai tergoda untuk mencium pipinya.
“Ah, uda, jangan menggombal, biasa saja nya” Tias berdiri di depan Rasyid dengan dengan pipi yang merona kemerah-merahan.
“Ayo, tunggu apa lagi uda? Marilah kita berangkat ke rumah ibu”. Tias dan Rasyid berjalan keluar rumah untuk pergi ke Palinggam. Mereka berdua jalan bergandengan persis seperti orang muda yang sedang memadu kasih di tengah jalan, walaupun si wanitanya berjalan agak lambat karena perutnya yang sudah membesar, melewati rumah-rumah penduduk di sepanjang jalan Kampung Baru, dan melewati orang-orang yang memperhatikan gerak langkah mereka. Gelagat dua sejoli ini membuat iri para pemuda kampung itu saja. Karena tidak ada satu orang pun dari pemuda Kampung Baru itu yang dapat menaklukan hati si bunga kampung ini. Sehingga mereka hanya bisa memandangi dua orang yang sedang berjalan bergandengan itu sambil gigit jari. Tidak lama Tias dan Rasyid berjalan, dari arah yang berlawanan ada dua orang pemuda yang berpapasan dengan mereka di jalan itu, kemudian mereka tergoda untuk memuji kecantikan si perempuan yang telah begitu akrab di mata mereka setiap hari.
“Suit... Suit.., mau kemanakah ibu hamil nan cantik...., pagi-pagi cerah begini? Pakai baju kuning pula, jadi tambah segar mata kita memandang....ha...ha..” Dua pemuda itu mencoba untuk menggoda Tias dan berharap Tias mau melayani candaan mereka.
“Biasa bang, kami mau pergi belanja ke pasar” Tias meladani kedua orang itu dengan sopan saja. Sedangkan Rasyid tetap berjalan disamping istrinya dengan wajah masam layaknya seperti ayam jantan yang meredeng-redeng dekat betinanya untuk menghalau para pejantan lainnya. Sepertinya dia tidak senang kalau kecantikan istrinya tengah di puja-puji oleh laki-laki lain. Tetapi Tias tetap santai saja menanggapinya. Dia tentu telah tau bahwa tidak akan ada seorangpun pemuda di Kampung Baru itu yang berani berlaku tidak senonoh pada dirinya. Seandainya saja ada orang yang seperti itu, tentu mereka akan berhadapan dengan lima orang saudara laki-laki Tias yang mana mereka sudah sangat terkenal akan kelakuan mereka di kampung itu, bahkan juga mereka sangat di segani orang hingga ke Pasar Raya Padang.
“Ah uda, jangan cemberut begitu, santai saja, memang begitu kebiasaan mereka, senangnya mengoda perempuan, tapi mereka tetap menjaga kesopanan kok”
“Ah... siapa yang cemberut, saya biasa saja” Rasyid, berusaha untuk menelan dan menyembunyikan perasaan cemburunya di hadapan Tias. Walaupun masih jelas terlihat oleh Tias raut masam masih terbias dari wajahnya.
Dari Kampung Baru mereka berjalan kaki ke simpang tiga jalan Bundo Kanduang. Tidak jauh, hanya sekitar 500 meter saja. Sampai di pertemuan tiga jalan itu mereka berdua memutuskan untuk singgah dahulu ke sebuah bangunan tua peninggalan kolonial Belanda, sebuah gudang tempat penyimpanan barang logistik, tempat ayahanda Rasyid bekerja sebagai mandor, mengawasi para kuli panggul yang bekerja mengangkat, memindahkan dan menyusun karung-karung yang berisi beras, terigu, gula dan garam hingga tinggi, menumpuknya setinggi langit-langit bangunan gudang tua itu.
Gudang tua itu berada di seberang jalan Bundo Kanduang, kalau dilihat dari arah Kampung Baru. Letaknya bertepatan di depan kantor “Sipeem”, adalah istilah yang di pakai oleh orang Padang untuk menyebut para tentara yang memakai baret biru, atau Denpom, Detasemen Polisi Militer 1/4 Padang.
Dengan menyeberangi jalan raya nan teduh itu, terdapat banyak tumbuh pepohonan rindang pada setiap sisi jalan, yang ditumbuhkan di atas trotoar jalan, dari depan kantor “Sipeem”, Rasyid dan Tias sudah tiba di gudang tua tersebut. Yaitu gudang logistik miliki PT. Panca Niaga, sebuah perusahaan BUMD kota Padang, perusahaan dagang eks kolonial Belanda.
Di tempat itu terlihat seorang laki-laki tua, berbadan tinggi tegap, berkulit sawo matang, dengan rambut putihnya bergaya ala tentara, sedang berdiri di ambang pintu besi utama nan besar dan tinggi, membelakangi jalan raya, menghadap ke arah sebuah truk Mercedes Bagong yang sedang parkir bongkar muatan di dalam gudang, sambil memperhatikan anggotanya, para kuli yang mondar-mandir memindahkan karung goni dari kendaraan yang sudah tua itu ke tempat tumpukan goni yang telah tersusun dengan rapi. Laki-laki gaek itu memakai baju kaus putih ketat di padu dengan celana jean biru dan sepatu sneaker berwarna putih. Lagak dan penampilannya persis masih terlihat seperti pria umur 30 tahunan, dengan memperlihatkan lengan, bahu dan punggungnya berotot, penampakan dari belakang. Kalau dari depan, jelas terlihat dari rambutnya yang putih dan kumisnya yang telah memutih pula, yang panjang dan terawat, hingga keriput di pelipis matanya dan tulang pipinya dapat mengatakan bahwa pria ini sudah berusia senja.
Sesampai di gudang itu, Rasyid sudah tahu bahwa pria tua yang sedang berdiri membelakangi mereka itu adalah ayahnya sendiri. Tentu saja Rasyid segera menenteng tangan istrinya berjalan mendekat ke arah orang tua itu.
“Assalammualaikum”
“Waalaikumsalam” dengan suara serak dan parau, Laki-laki tua yang berambut putih itu menjawab salam dan menolehkan kepala kearah Rasyid dan Tias yang sedang berdiri di belakang suaminya. “Hai, kalian rupanya” Alangkah senangnya hati orang tua itu ketika mengetahui dirinya sedang dikunjungi oleh anak sulungnya dan menantunya yang rupawan. Dengan membuka kedua tangannya lebar-lebar, dia juga tersenyum dengan memperlihatkan gigi-giginya yang masih kokoh, sudah kekuning-kuningan karena nikotin rokok, orang tua itu menyambut kedatangan anak dan menantunya. “Mari anak ku, masuklah ke dalam sini, tidak bagus dilihat kalau kalian berdiri saja disitu”. Lelaki tua itu, tidak pantas pula kalau dibilang tua, walaupun memang benar dia telah berumur kepala 6, masuk ke dalam gudang memboyong Rasyid dan Tias.
“Duduklah anak ku, ayo Rasyid, ajak Tias duduk di kursi ini” sembari mempersilahkan kedua anaknya duduk pak Mandor juga memberikan kode dengan mengacungkan dua jarinya kepada seorang pemuda yang bertugas di pantri untuk membuatkan dua gelas minuman.
“Baik ayah” Rasyid mengeser dua buah kursi yang telah disediakan oleh ayahnya agar lebih berjarak dari meja, tentu supaya mudah bagi istrinya yang berperut besar menduduki kursi tersebut. “Duduklah di sini Tias”
Tias hanya melayangkan senyum untuk ayah mertuanya, sembari memegang perutnya yang berat lalu duduk di atas kursi kayu yang berhadapan dengan lansung dengan laki-laki berkumis putih itu yang sedang duduk di balik meja sambil mengusap-usap kumis yang panjang dan terawat dan memperhatikan perut wanita yang berambut pirang itu.
“Hmmm. Senang sekali ayah melihat perut mu, kelihatanya sudah semakin membesar ya, Tias. Sudah berapa bulan kah usia kandungan mu sekarang?”
“Sekarang sudah 7 bulan ayah”
“Wah. Sebentar lagi.” Pak tua yang menjabat sebagai mandor di gudang itu senang sekali mendengar jawaban dari Tias. “Sebentar lagi aku akan menggendong cucu, ha..ha..ha” Orang tua itu tertawa tertawa seperti sangat bahagia sekali karenanya.
Tidak lama kemudian, seorang pemuda menghampiri mereka bertiga, dengan membawa nampan yang berisi dua gelas teh panas di kedua tangannya. “Ini teh pesanan pak Mandor tadi” Pemuda itu mengetengahkan dua cangkir teh panas ke atas meja pak Mandor. “Terimakasih Bujang, kamu anak yang baik sekali” Pak mandor membalas pemuda itu dengan pujian. Kemudian pemuda itu dengan sikap santun undur diri dari hadapan pak Mandor.
“Silahkan diminum tehnya” Pak Mandor mempersilahkan kedua sejoli untuk minum teh yang telah tersedia di atas mejanya.
Setelah Rasyid dan Tias meminum teh manis buatan si Bujang tadi barang seteguk, maka Rasyid mulai menuturkan kepada ayahnya perihal maksud kedatangannya adalah untuk berpamitan dan memohon doa dan restu dari orang tua itu. Dan tentu saja pada hari sebelumnya Rasyid telah pernah menceritakan kepada orang tuanya itu bahwa dia akan ditugaskan atasannya untuk bekerja di pulau itu sebagai seorang chasier.
“Ayah, sore ini jadi kami akan berangkat ke pulau Pagai, jadi doa kan kami agar selamat di perjalanan hingga sampai ketempat ketempat tujuan”
Sambil tersenyum ramah pak Mandor menanggapi penuturan putranya. “Wah, jadi juga kalian berangkat ternyata. Baiklah, baiklah..., berangkatlah kalian, aku dan ibu mu pasti mendoakan keberangkatan kalian. Semoga Tuhan melindungi kalian di perjalanan, sehingga selamat sampai ditujuan. Apakah sudah cukup perbekalan kalian untuk tinggal di sana”
“Sudah ayah. Kami hanya membawa pakaian saja. Untuk segala perlengkapan rumah tangga biarlah kami cukupi saja di sana nanti.”
“Bagus Rasyid, jaga dan rawatlah istri mu baik-baik. Perhatikan kesehatan kandungannya”
“Tentu ayah”
Sejenak pak Mandor tua ini menarik nafas dalam, lalu menengadahkan pandangannya ke langit-langit ruangan yang luas tempat dia bekerja itu, lalu dia terdiam sejenak, seperti merenung, sambil mengusap-ngusap kumis putihnya yang panjang. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.
Sedangkan Rasyid tentu sudah paham seklali, dan maklum tentang gaya dan tingkah ayah kandungnya itu. Biasanya, kalau sudah seperti tadi itu gelagad orang tuanya, tentulah ada sesuatu buah pikiran yang akan ia utarakan dalam percakapan selanjutnya.
“Mmm.. baiklah anak ku, sepertinya tugas mu cukup berat di tempat yang baru itu” Kemudian, Mandor berkumis putih itu, terdiam lagi, seperti sedang berfikir keras. Tapi entah apa yang sedang berkecamuk di benaknya. Tentu hanya dia dan Tuhan saja yang tau.
“Anak ku Rasyid, seperti kata orang tua-tua dahulu. Lautan sakti rantau bertuah, ada baiknya kau membekali dirimu dan istri mu dengan doa-doa yang telah pernah aku ajarkan kepada mu, sebelum kalian berangkat meninggalkan kota Padang ini.”
“Baik ayah, sampai hari ini saya masih mengamalkannya”. Memang sejatinya adalah Rasyid adalah seorang suami yang taat beribadah dan rajin mengaji. Tidak hanya itu jasa, dia juga pandai memimpin Tias untuk beribadat kepada Allah. Banyak pula hafalan surat pendek dan doa-doa yang telah dia ajarkan kepada istrinya.
“Ajarkan doa-doa itu pada istri mu, banyak gunanya itu, apalagi untuk menjaga keselamatan diri kalian di perjalanan nanti”
“Tentu ayah, telah pernah saya ajarkan kepadanya”
“Mmm... bagus, bagus.” Orang tua itu mengangguk-angukan kepalanya. Kemudian dia meneruskan kalimatnya. “Dan ketika engkau telah berada dalam perjalanan laut nanti, maka banyak-banyaklah kau berzikir, menyebut nama-Nya, memohon perlindungan kepada Nya”
“Tentu ayah, saya akan melakukannya”
“Nak, lain padang lain pula ilalang. Lain corak dan perilaku orang Padang, dan berbeda pula cara dan kebiasaan hidup orang yang tinggal di pulau Pagai itu. Pandai-pandailah kau menyikapi cara dan ketentuan dalam berkehidupan di pulau itu. Jaga sikap, perbuatan dan perkataan mu apabila bersahabat dengan orang-orang pulau itu. Jangan pula engkau pernah menyakiti hati orang lain. Jangan pernah mengecewakan sahabat mu, terutama istri mu sendiri. Dimana bumi di kita pijak di situ pula langit kita di junjung. Jalinlah kekeluargaan yang baru dengan orang-orang di pulau itu. Terutama sekali dengan keluarga yang tinggal di sebelah tempat tinggal mu, nanti. Jadikan mereka keluarga dekat, tempat kalian berbagi susah dan senang bersama. Orang-orang itu yang akan dapat menjaga istri mu nanti, apabila engkau meninggalkannya ketika sedang pergi bekerja”
“Baik yah”
“Yang terakhir anak ku, dan yang paling utama adalah, jangan engkau pernah sekali-kali meninggalkan sholat lima waktu mu, teruskan hafalan al quran mu dan pimpinlah istri mu untuk beribadat kepada Allah ta’ala. Semoga allah selalu bersama kalian ”
“Baik ayah, saya terima dan saya sematkan di hati ini petuah-petuah yang telah ayah sampaikan tadi”
Memang begitulah selalu tabiat dan sikap pak Mandor, ayah Rasyid itu, laki-laki tua nan kharismatik, yang kepalanya sudah dipenuhi rambut itu, kalau dia sedang di ajak bicara serius seperti tadi. Seperti itulah beliau, dia sangat suka sekali memberikan petuah-petuah kepada orang yang lebih muda, apalagi untuk anaknya sendiri.
Sedangkan Tias, tak sanggup berkata apa-apa. Dia hanya duduk disamping suaminya. Dia hanya mendengar dan memperhatikan sikap ayah mertuanya, Pak Mandor, yang sedang berceramah di depan mereka, sedang menyampaikan petuah-petuah bijaknya untuk bekal mereka pergi merantau ke negeri orang.
Begitulah sejatinya Pak Mandor ini. Pak Mandor, ya orang-orang biasa menyebut panggilan seperti itu di tempat dia kerja sehari-hari. Dia adalah sebagai orang yang bertanggung jawab penuh menjaga keamanan lingkungan dan barang-barang di gudang PT. Panca Niaga. Tetapi dia bukalah mandor sembarang mandor. Dia juga adalah seorang tokoh paranormal yang ternama di Sumatera Barat. Orang tua ini memiliki segudang ilmu kebatinan. Apalah itu ilmu kebal, ilmu pemikat, ilmu penunduk, dan banyak lagi ilmu yang di milikinya. Tidak hanya itu saja, beliau juga adalah seorang sesepuh dalam gelanggang dunia persilatan di Sumatera Barat atau di sebut sebagai tuo silek. Banyak perguruan-perguruan silat dari berbagai aliran di Sumatera Barat mau mengundang beliau untuk datang dan mengajarkan beberapa jurus andalannya di depan murid-murid yang sedang mempelajari gerakan silat tradisional Minang. Apakah itu Silek Tuo, Silek Kumango, Silek Harimau, dan bahkan Silek Ulu Ambek, yang tidak bisa di bilang sebagai satu aliran silat, karena Ulu Ambek lebih mengutamakan kekuatan batin dari pada kontak fisik, juga dapat dikuasai oleh pak Mandor.
Apalagi bagi orang-orang yang sedang mengalami masalah dengan hal-hal gaib, seperti kemasukan setan, kena teluh, diguna-gunai orang atau santet, tentulah orang-orang itu akan cepat teringat dengan namanya yang sudah tersohor. Angku Sulaiman Rajo Batuah alias pak Mandor begitulah nama dan gelarnya yang sudah tersohor di seantero alam Minangkabau ini, bahkan dia sampai dikenal orang hingga ke wilayah-wilayah daratan Sumatera, seperti Jambi, Riau dan Bengkulu.
Sering juga Angku Sulaiman Rajo Batuah berpergian keluar daerah meninggalkan pekerjaannya sebagai mandor di gudang tua itu sementara waktu saja. Tentu saja dia pergi setelah meminta izin kepada atasannya dan mencari penggantinya. Dia pergi-pergi seperti itu, meninggalkan anak bininya dan pekerjaannya bukanlah untuk mencari uang atau kekayaan, tetapi hanya sekedar membantu orang yang sedang mengalami kesusahan sambil menjalin hubungan kerabat dengan orang-orang yang pernah ditolongnya. Maka karena itulah tidak bisa dibantah lagi bahwa Angku Sulaiman Rajo Batuah ini memiliki banyak kawan dan saudara di seluruh penjuru negeri ini. Karena kesibukan orang tua itu sebagai seorang paranormal, dan keperjaannya, atau rutinitasnya sebagai seorang mandor, makanya Angku Sulaiman Rajo Batuah selalu tampak sehat, dan segar bugar setiap hari. Terlihat dari badannya yang masih terawat dan berotot, walaupun dia sudah berusia 60 tahunan, dia masih tampak gagah dan berwibawa. Dengan sorot matanya yang tajam, dan suaranya yang lantang, dapat membuat orang lain yang belum mengenal siapa dia, akan segan dan gugup kalau sedang berurusan dengan dirinya.
Beda pula halnya dengan Rasyid, yang tidak lain adalah anak kandung dari Angku Sulaiman Rajo Batuah. Rasyid adalah anak yang berpikiran lebih maju ketimbang ayahnya. Dia tidak suka dengan hal-hal yang berbau klenik. Dia hanya percaya pada kebesaran Tuhan. Biarlah hal gaib tetap menjadi urusan-Nya. Yang terpenting bagi Rasyid adalah menjalankan perintah tuhan dan menjauhi segala larangannya, disamping dia harus menjalani kehidupan duniawi ini dengan cara melakukan perannya sebagai seorang suami yang harus menafkahi istrinya dengan mendapatkan rezeki yang halal.
Rasyid sendiri lebih cenderung untuk mendalami ilmu pengetahuan, teknologi dan sastra. Dia suka sekali membaca, membaca berbagai hal, baik itu koran, buku pengetahuan, dan cerita. Dia tidak pernah tertarik untuk belajar bersilat, walaupun pada suatu masa, ketika dia masih remaja kecil ayahnya memaksanya untuk mempelajari gerakan silat tiga langkah. Oleh karena pada dasarnya Rasyid adalah anak yang berotak cemerlang, tentu mudah baginya mempraktekan, jurus-jurus silat sederhana yang di ajarkan ayahnya. Namun sayangnya Rasyid, tidak begitu tertarik dengan keterampilan bela diri, sehingga dia tidak meneruskan pelajaran silat tiga langkah itu lagi. Dia tentu sudah paham bahwasanya pada zaman sekarang orang-orang tidak bertarung dengan menggunakan otot, melainkan otak dan kecerdikan pikiran.
Pak Mandor tentu sangat mengenal sekali sifat dan perangai anak sulungnya itu, sehingga dia tidak pernah merasakan risau sama sekali tentang Rasyid. Apalagi ketika dia sekarang memilih untuk hidup mandiri dan akan tinggal jauh dari pantauan kedua orang tuanya.
“Baiklah, berangkatlah kalian untuk pergi merantau, doa ku selalu bersama kalian. Tetapi sebelum pergi temuilah ibu kalian dulu. Agar dirinya tidak risau karena memikirkan kalian” Angku Sulaiman Rajo Batuah merasakan suatu kebanggaan di hatinya, karena melihat anak yang telah dia besarkannya itu telah tumbuh menjadi laki-laki yang kuat, matang dan lebih mandiri. Dilepasnya kedua orang itu pergi dengan menepuk-nepuk pundak anaknya, lalu mengusap kepala menantunya.
“Tentu ayah, kami memang akan pergi ke tempat ibu”
“Ya, pergilah”
Setelah Rasyid dan Tias berpamitan dengan pak Mandor, lansung saja mereka berjalan meninggalkan pak Mandor. Orang tua itu sedang berdiri di sebelah salah satu tiang beton penyangga bangunan tua yang berderet-deret di depan gudang tua itu sambil ia menghisap sebatang rokok, dia hanya mengantarkan langkah kedua orang muda dengan tatapan nanar hingga mereka berjalan sampai ke simpang bioskop Karya, kampung Dobi. Dari sanalah kedua suami istri ini sebentar lagi akan menaiki kendaraan penumpang yang akan membawa mereka menuju ke kampung Palinggam, ke rumah kediaman orang tua Rasyid.
“Tias, apakah sebaiknya kita menumpang bemo saja ke rumah ibu?” Rasyid mengajak istrinya untuk menaiki bemo, sebuah kendaraan transportasi umum beroda tiga berwarna biru dengan moncong kabinnya bak paruh burung kakak tua. Agak lebih besar dari pada bajai. Bemo dapat mengangkut 8 orang dewasa. Di bak belakang bemo ada 6 penumpang duduk pada dua bangku yang amat rendah dan memanjang kebelakang saling berhadap-hadapan. Masing masing bangku diisi oleh 3 penumpang. Duduk seperti jongkok tapi tidak jongkok. Karena pantat beralaskan papan dan busa. Sedangkan 2 lagi adalah si pengemudi bemo sendiri dan penumpang vip yang duduk disebelahnya.
“Tidak mau uda. Tias tidak suka naik bemo, suara mesin bemo itu memekakan telinga dan kepul asapnya memerihkan mata saya. Nah, bagaimana kalau kita naik bendi saja, pasti akan lebih asik, nyaman dan langsung sampai di depan rumah ibu”
“Bagus juga, baiklah” Rasyid langsung saja merogoh koceknya setelah menyetujui permintaan istrinya dan melihat apakah ada cukup uang dalam saku celana depannya. Ternyata masih ada terdapat beberapa uang lembaran seribu dan beberapa lembar uang kertas merah seratus rupiah di dalamnya.
Beberapa saat, kemudiaan sebuah bemo datang menghampiri mereka yang tengah berdiri kepanasan di depan bioskop Karya. Dengan suara mesin cempreng dan asap mengepul bemo itu berhenti di depan mereka. Sang pengemudi bemo menyapa “Uda, Uni mau ke Palinggam naiklah”. Tias langsung saja menggelengkan kepalanya, tanpa berkata apa-apa. Dengan wajah kecewa sang pengemudi itu langsung menggeber lari bemonya untuk mencari sewa yang lain dan meninggalkan sepasang suami istri itu di pinggir jalan, yang terbatuk-batuk karena serangan asap tebal yang mengepul dari kenalpot bemo yang baru saja lewat tadi.
“Dasar bemo jangkrik, seenaknya saja dia mengasapi orang seperti ini” sambil terbatuk-batuk Rasyid masih sempat mengutuk bemo tadi untuk menjadi jangkrik.
“Sabar uda, sabar jangan marah-marah begitu, sudah tau memang begitu sifat bemo, mengapa kita tidak menghindar tadi” Tias sudah tau kalau hal seperti itu akan terjadi, makanya dia telah lebih dulu mundur beberapa langkah kebelakang untuk menghindari asap yang mengepul dari pantat busuk bemo itu.
Setelah bemo tadi berlalu, beberapa saat kemudian barulah ada sebuah bendi dengan kuda jantan hitam yang gagah datang menuju mereka dari arah Pasar Raya melewati jalan Hiligo’o. Sais bendi lalu memberhentikan kudanya pas di depan pasangan suami istri ini.
Langsung saja Rasyid menyetop kereta kuda itu, “da, kalau ke Palinggam berapa?” Rasyid menanyakan argo sewa kepada pak kusir itu. Tentu saja Rasyid harus bertanya harga terlebih dahulu. Kalau diam saja dan langsung naik bendi itu, pasti nantinya pas sampai di tujuan tukang tarik bendi akan menagih jasanya dengan harga yang mahal. Oleh karena itu, Rasyid mengambil tindakan prefentive terlebih dahulu.
“Biasa da, 700 saja”
“Ayo uda mari kita naik, tidak perlu banyak pikir lagi” Mendengar harga 700 rupiah, Tias sudah merasa itu adalah harga yang pantas. Sementara Rasyid masih pikir-pikir untuk menawar.
“Iya...iya... Kamu naiklah lebih dulu” langsung saja Tias naik lebih dahulu keatas bendi kuda hitam itu, tentunya dengan dituntun lebih hati-hati oleh Rasyid. Setelah itu baru dia menyusul naik keatas bendi itu.
“Maaf uda, Palinggam dimananya da” Tanya kusir bendi pada Rasyid ketika bendi akan segera berjalan.
“Depan puskesmas da”
“Oh disitu, dekat rumahnya Angku Sulaiman” sambil memecut kudanya pak kusir mencari informasi jelasnya tentang alamat yang akan mereka tuju.
“Ah.. Iya... ke rumahnya Angku Sulaiman”
“Wah saya sering kesana, mengantarkan orang pergi berobat. Apakah uda akan pergi berobat juga?” Sepertinya kusir bendi itu, mau tau saja akan urusan penumpangnya atau mungkin dia hanya sekedar mengobrol biasa untuk mengisi waktu dalam perjalanan bersama penumpang di atas bendi itu.
“Tidak da. Saya mau menjenguk orang tua saya”
“O.. begitu, jadi uda ini anaknya Angku Sulaiman”
“Iya betul”
Mendengar pembenaran dari Rasyid bahwa dia memang anaknya Angku Sulaiman, maka pak kusir bendi itu tidak sungkan lagi untuk mulai bercerita tentang keampuhan metode pengobatan spiritual yang di praktekan oleh ayahnya, Angku Sulaiman Rajo Batuah. Sementara itu, dari belakang punggung kusir itu, Rasyid menanggapi biasa saja cerita yang dilebih-lebihkan oleh kusir bendi itu. Bahkan dengan pasti kusir kuda itu, hal yang tidak masuk akal pun di ceritakannya juga. Tias hanya tersenyum-senyum kecil mendengarkan obrolan mereka, yang duduk berhadap-hadapan dengan suaminya, sambil sekali-kali tertawa sendiri karena dia mengangap sesuatu yang tidak masuk akal adalah lucu atau gila.
Bahkan, karena saking percayanya tukang bendi itu pada Angku Sulaiman, dia sempat mengatakan sesuatu yang tidak pernah terjadi, alias mimpi, bahwa Angku Sulaiman pada usia mudanya dulu pernah di penggal kepalanya oleh tentara Jepang, dengan pedang samurai sehingga putus kepalanya. Namun Angku itu tidak mati, dan dia dapat hidup kembali setelah bangkit dan mengambil kepala yang sudah terpisah dari badannya lalu memasangnya kembali. Sehingga tentara Jepang lari terbirit-birit ketakutan melihat kejadian aneh itu.
Rasyid dan Tias terbelalak keheranan, dan saling menatap, mengadu pandangan satu sama lain karena mendegar penuturan cerita hayalan dari kusir bendi itu tentang ayah mereka. Sebenarnya Tias hendak tertawa keras karena bualan kusir itu, tapi tidak jadi dan terpaksa Tias harus menahan ketawa itu sehingga tidak berbunyi sama sekali dari tempat duduknya, oleh karenanya keram perut perempuan muda yang sedang hamil 7 bulan itu buatnya.
Selanjutnya kusir bendi itu bertambah semangat meneruskan ceritanya yang tidak masuk akal itu kepada Rasyid. “Konon dulu di usia remajanya Angku Sulaiman itu pernah tinggal di Banten. Disana dia tinggal dan di asuh oleh seorang kiyai. Kiyai itu tidak lain adalah anak dari si Pitung. Maka dari kiyai itulah Angku Sulaiman pernah mempelajari sebuah ilmu kekebalan yang sangat legendaris, yaitu ajian Rawa Rontek”
“Maaf pak, ilmu apa tadi pak?” Rasyid rasanya semakin pusing saja mendengar cerita orang itu. Sementara Tias tetap memasang telinga dan mencuri dengan pembicaraan antara kusir dan penumpangnya.
“Ajian Rawa Rontek, adalah sebuah ilmu kebal yang membuat pemiliknya tahan terhadap serangan senjata tajam atau pun di tembak dengan senapan. Bahkan orang yang memiliki ilmu itu akan sanggup bertahan hidup meskipun badannya sudah terpotong-potong, asalkan tubuhnya masih berada di atas tanah, maka potongan tubuhnya akan menyatu kembali, dan pemilik ilmu itu akan hidup lagi”
Tias mengangkat bahunya dan pura-pura menggigilkan badannya sendiri karena merasa ngeri menyimak bualan-bualan pak kusir itu. Karena melihat bahasa tubuh yang di keluarkan oleh Tias, maka Rasyid lansung memegang tangan istrinya, agar dapat menenangkannya. Namun begitu, karena demi menjaga kesopanan, Rasyid tetap masih meladeni cerita tukang bual itu, yang sedang mengendalikan lari kudanya menuju Palinggam.
“Wah mengerikan sekali ajian Rawa Rontek itu pak” Rasyid dengan tenang dan datar tetap melawan kusir aneh itu bercerita.
“Hais...hais..... ha...ha” begitu suara kusir itu meneriaki kuda hitam nan gagah itu sambil sekali-kali membecutnya dengan cambuk, agar kencang larinya.
“Kalau orang kita, di negeri Minang ini, ada juga orang yang memiliki ilmu kebal jenis Rawa Rontek itu. Kalau tidak salah namanya ilmu Mauleh Rago. Ilmu Mauleh Rago ini hanya bisa di pelajari oleh keturunan Bujang Keramat saja, Si Cindua Mato. Menurut cerita orang tua-tau dahulu, Cindua Mato bertugas menjaga dan menyelamatkan Bundo Kanduang dalam pelariannya, dan mereka akhirnya sampai dan menetap di negeri Pesisir Selatan, tepatnya di Tapan. Bisa jadi Ayah mu, Angku Sulaiman itu adalah salah seorang keturunan Cindua Mato, kalau tidak kenapa dia bisa menguasai ilmu seperti itu. Apalagi menurut informasi dari orang-orang, bahwa orang tuanya Angku Sulaiman itu memang berasal dari Pesisir Selatan. Oleh karena itu kuat dugaan ku, kalau ayah mu itu memang keturunan dari Cindua Mato”
“Entahlah uda, saya sendiri, anaknya tidak tahu asal-usul ayah saya ini. Tapi dia hanya pernah bilang kalau dia memang berasal dari Pesisir Selatan”
“Wah,wah.... Angku Sulaiman memang orang yang penuh misteri. Bahkan anak kandungnya saja tidak tau tentang asal-usulnya” orang itu lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Seakan-akan dia terobsesi sekali pada sosok seorang Angku Sulaiman Rajo Batuah.
Sementara kusir bendi itu, sambil mengendalikan kudanya di bangku depan, asik saja bercerita tentang kehebatan orang tua dari kedua penumpang di bendinya itu. Sehingga tidak tahan lagi Tias mendengarkan ocehan orang itu, lalu Tias berbisik kepada Rasyid dengan suara pelan, “Uda....ayo lah kita turun saja dari bendi ini. Sudah keram perut ku menahan tawa dari tadi. Kalau lama-lama kita di atas bendi orang ini, bisa-bisa anak dalam perut ku ini keluar sendiri” Mulut Rasyid ternganga lebar karena mendengar keluhan istri tadi. Tapi dia hanya dapat memberikan isyarat dengan telapak tangannya kepada Tias, supaya istrinya bisa menahan keram itu sebentar.
Kereta kuda tetap melaju santai menyusuri jalanan menuju Palinggam. Pak kusir memilih jalanan yang ramai dilalui kendaraan, melewati kampung Cina, Pondok, terus masuk ke Pasar Gadang, melewati barisan truk-truk yang berjejer sedang bongkar muatan di tepi jalan. Tidak jauh dari Pasar Gadang masuklah kereta kuda itu ke kampung Palinggam, kampung yang terletak di pinggiran sungai Batang Arau. Akhirnya pak kusir memberhentikan kudanya pas di depan rumah kediaman orang tua Rasyid. Rasyid turun terlebih dahulu, kemudian menuntun Tias, Tias dengan wajah kecut dan sedang memegangi perutnya yang sudah keram karena menahan tawanya dari tadi, turun dengan hati-hati dari gerobak bendi orang pemimpi itu.
“Ini pak ongkosnya” Rasyid mengeluaran uang kertas 700 rupiah dari sakunya, lalu memberikan kepada tukang bendi yang suka berhayal itu.
“Ah.. Jangan... Jangan. Tidak perlu di bayar uda, anggap saja saya menolong saudara sendiri”
“Tidak boleh begitu. Jerih payah uda harus saya bayar”
Dengan banyak basa-basi tukang bendi itu menolak uang yang di bayarkan oleh Rasyid. Sementara itu Tias sedang berdiri menopang badannya di pagar rumah mertuanya.
Melihat istrinya yang sudah payah menahan keram di perutnya, Rasyid langsung saja meremas uang kertas itu dan melemparkannya ke dalam gerobak bendi orang itu. “Wah, banyak sekali sungkan uda ini. Nih terimalah. Makasih banyak yah, pergilah”
Pak kusir menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti masih saja menolak untuk di bayar, tapi tetap saja di menggebrak kudanya dan pergi meninggalkan dua orang suami istri ini. Setelah kuda itu hilang melewati bengkolan, langsung saja Tias memuntahkan segala tawanya terbahak-bahak di depan suaminya sambil memegangi perutnya.
“Ha.ha.ha...ha.ha.ha.....sakit perut saya uda... Tidak tahan lagi....ha.ha.ha Orang itu benar-benar gila dan sekaligus lucu....... Rasa-rasanya anak dalam perutku ini mau keluar uda.....ha.ha.ha”
Rasyid juga tertawa terpingkal-pingkal karenanya, memegangi bahu istrinya. Karena saking kerasnya suara gelak tawa mereka, sehingga keluar ibu dan adik-adik Rasyid dari rumah kediaman mereka.
“Hoi.. Apa itu yang kalian tertawakan, mari masuk ke rumah, kalian seperti orang gila saja tertawa terbahak-bahak seperti itu di luar sana” Ibunda Rasyid berdiri di ambang pintu rumahnya, melihat keheranan akan ulah anak dan menantunya yang cantik itu.
“Ha.ha.ha. Tidak ada apa-apa ibu, cuma tadi ada orang gila lewat” Rasyid masih juga tertawa geli sambil menahan perutnya sendiri.
“Sudah, sudah, naik lah ke rumah, kalian juga sama seperti orang gila saja”
Tidak lama, akhirnya Rasyid dan Tias naik ke rumah kediaman orang tua itu. Mereka duduk bersila di atas tikar pandan yang sudah di bentangkan oleh ibunda Rasyid. Air minum telah disediakan oleh adik bungsu Rasyid, si Upik, sekaligus dia meletakan sesisir pisang dan pinyaram, penganan yang terbuat dari tepung ketan. Tetapi ingatan di kepala kedua orang ini masih saja melekat pada kusir bendi tadi. Sehingga masih ada juga tersisa gelak tawa diantara mereka, ketika mereka saling memandang satu sama lain.
“Apa yang kalian tertawakan sejak dari luar tadi?. Ceritakanlah pada ibu” Ibunda Rasyid, yang tak lain adalah Tek Niar, panggilan biasanya sehari-hari di kampung itu, dengan penasaran bertanya kepada anak dan menantunya tentang kejadian tadi.
“Tadi kusir bendi yang membawa kami kesini, bilang bahwa ayah kita pernah di penggal oleh tentara Jepang, lalu dia bisa hidup kembali..ha.ha.ha. Kemudian dia juga bilang kalau ayah adalah salah seorang keturunan Cindua Mato. Ha.ha.ha” Rasyid menceritakan pengalamannya yang dianggapnya sangat lucu itu pada ibunya.
“O..itu toh yang kalian tertawakan. Memang tukang bendi itu adalah salah seorang teman ayah mu. Dia bernama Ajo Barangin. Dia sering mengantarkan orang-orang untuk pergi berobat kesini. Cerita omong kosong itu sering pula di sampaikannya pada setiap penumpangnya. Jangan di dengarkan dia. Orang itu suka berhalusinasi, agak sedeng” Tek Niar mengatakan kata sedeng sambil memiringkan jari telunjuk di atas keningnya.
“O.. begitu rupanya, pantas dari tadi sepanjang perjalan ke sini, tidak ada satupun ceritanya yang masuk di akal, banyak ngawurnya orang itu” Tias mengangguk-angguk dan dia baru mengerti bahwa ada yang tidak beres dengan otaknya si tukang bendi tadi.
“Sudahlah jangan kalian pikirkan juga Ajo Barangin itu. Ayo diminum tehnya, selagi panas. Minum teh sambil makan pinyaram pasti pas sekali rasanya, di tambah lagi dengan pisang, pasti lebih nikmat” Tek Niar mempersilahkan anak sulungnya dan menantunya untuk mencicipi hidangan yang telah tersedia di atas tikar pandan itu. Rasyid dan Tias sepertinya sudah tergoda dengan aroma wangi dari penganan ketan itu, apa lagi dengan adanya pisang sebagai kawan makannya. Sungguh mereka berdua sudah merasa lapar sekali setelah kejadian lucu yang mengocok-ngocok perut mereka di atas bendi tadi. Sehingga habis beberapa potong pinyaram di santap oleh mereka bersama pisang sekalian. Dan akhirnya, “arrrgggg” tanpa malu-malu, Rasyid mengeluarkan suara khas dari mulutnya, sebagai tanda lambungnya yang kecil dan sempit itu telah terisi penuh.
Tek Niar, ibunda Rasyid tampak senang sekali memperhatikan orang berdua itu yang sedang menikmati pinyaram dan pisang. Apalagi ketika sedang memperhatikan si Rasyid, anak kandungnya sendiri, pikiran ibu yang sudah separoh baya itu langsung terbang melayang jauh ke masa silam. Terbayang dalam benaknya sosok Rasyid yang masih balita, rasanya waktu berlalu begitu cepat sekali, baru kemaren rasanya ibu itu menyuapi anak bujangnya makan nasi, dan menceboki dia sekaligus memasangkan celananya. Tapi sekarang dia sudah tumbuh besar. Sudah tidak mau tinggal bersama-sama lagi. Sekarang telah pula dia membawa istrinya ke rumah itu, istri yang sedang mengandung, dan akan tidak berapa lama lagi mereka akan mempunyai seorang keturunan. Kemudian mereka akan mengasuh dan membesarkan anak mereka, seperti Tek Niar sendiri, yang telah membesarkan Rasyid.
“Jadi bagaimana soal keberangkatan kalian ke pulau Pagai?” Tek Niar memulai percakapan sembari kedua anaknya itu sedang akan menyelesaikan makan mereka.
“Oh, iya bu..... Karena enaknya makan pinyaram ini saya jadi lupa tentang itu. Memang maksud kami ke sini untuk berpamitan pada ibu kalau nanti sore kami mau berangkat ke pulau Pagai” sambil mencuci tangan di kobokan Rasyid mulai menjelaskan pada ibunya.
“Ha...” Tek Niar terkejut karena mendengar kata ‘nanti sore’. “Kenapa bisa secepat itu berangkatnya? Rasanya minggu depan jadwal keberangkatan kalian”
“Ah, ibu lupa ya. Minggu lalu kan sudah saya cerita ke ibu tentang hal ini”
“Wah, kalau ibu ingat hari ini kalian mau berangkat,tentu akan ibu buatkan rendang lokan buat bekal kalian di perjalanan” Sejenak Tek Niar terdiam. Roman wajahnya mulai sendu, matanya mulai berkaca-kaca. “Maafkan ibu telah lupa akan hal itu. Ibu menyesal sekali karena tidak sempat membuatkan bekal untuk kalian”
“Ibu jangan menangis begitu. Tidak pula hal itu jadi soal oleh kami” Tias mencoba untuk menyejukan iba hati ibu mertuanya itu.
“Tapi nak, hal itu bukan soal sepele. Jadi biarlah ibu ke dapur sebentar, memasak barang sedikit makanan, sebagai pengobat hati ibu yang lara ini. Tunggulah, kalian jangan pulang dulu ya. Makan siang sama-sama kita disini, setelah itu baru aku izin kalian berangkat”
“Baiklah, tapi ibu jangan memasak makanan mahal ya, yang ringan-ringan saja. Saya juga telah rindu dengan sambalado buatan ibu” Sahut Rasyid.
Sementara itu waktu telah menunjukan pukul 12 siang. Tek Niar mulai beranjak ke dapur. Dia mulai menanak nasi, dan mengolah bahan masakan bersama si upik anak bungsunya. Tias tidak pula tinggal diam. Dia juga ikut serta membantu ibu mertuanya belakang. Tias membantu menyiangi sayur dan mengupas bawang, agar pekerjaan memasak di rumah itu cepat selesai dan cepat pula acara makan siangnya.
Ketika itu Rasyid di duduk di beranda sambil merokok dan membaca koran. Dia menghabiskan waktu dengan membaca berita sambil menunggu waktu sholat Lohor tiba.
Dan tidak lama kemudian suara azan berkumandang keras terdengar seantero kampung Palinggam. Dia meletakan koran itu dan bergegas meninggalkan tempat duduknya dan berjalan menuju ke mesjid.
Setelah Rasyid selesai menunaikan sholat lohornya di mesjid, dia pun telah naik kembali ke atas rumah ibunya. Di lihatnya di atas tikar pandan telah tertata rapi hidangan makan siang. Terdapat semangkok sayur daun singkong yang harum dengan aroma daun kunyit, semangkok nasi, ada juga sambalado uwok yang bergelimang dengan bada balang, sejenis ikan asin, dan ada juga beberapa butir telur rebus sebagai proteinnya.
Sementara itu para perempuan di rumah itu terlihat sedang mengenakan sarung dan mukenah mereka masing-masing. Rasyid duduk bersila di hadapan hidangan makan siang itu, untuk menunggu orang-orang di rumah meyelesaikan ibadahnya.
Beberapa waktu kemudian barulah orang-orang di rumah itu duduk mengelilingi hidangan makan siang yang telah menggugah selera itu. Setiap orang telah mengisi piring makan mereka masing-masing dengan nasi dan lauk-pauk. Rasyid makan dengan begitu lahapnya di depan ibunya, sementara Tias tidak pula ada obahnya. Sebenarnya dua sejoli itu sudah pula kenyang perut mereka setelah memakan hidangan pembuka, pinyaram dan pisang waktu mereka baru sampai tadi. Sekarang mereka hanya pura-pura makan dengan lahap, agar menyenangkan hati Tek Niar, ibu mereka yang telah susah payah dan tergesa-gesa membuat masakan itu.
“Ayo anak ku, tambuahlah nasi kalian, tambah juga sambaladonya”
“Iya.. bu..iya, wah pedasnya sambalado ibu ini, jadi keringatan saya dibuatnya, ayo Tias tambah lagi” Rasyid menyemangati istrinya untuk makan lebih banyak lagi.
“Iya da, belum habis nasi saya”
Karena pedasnya sambalado buatan Tek Niar, ditambah lagi cuaca panas yang menyelubungi ruangan di rumah kayu yang tidak mempunyai plafon itu, membuat peluh orang berempat itu bercucuran deras saat menyantap makan siang mereka yang enak dan lezat.
Selepas makan siang Rasyid dan Tias telah kekenyangan. Mereka berdua duduk bersandar pada dinding papan rumah dengan perut yang telah buncit dan meselonjorkan kaki. Apalagi Tias sendiri yang telah hamil 7 bulan, maka semakin jelas terlihat gembung perutnya. Maka butuh waktu beberapa saat bagi mereka untuk mengangkat pantat mereka dari lantai papan di rumah orang tua Rasyid itu. Tak ayal, rasa kantuk setelah makan siang pun menyergap mata mereka berdua, sehingga mereka terlelap dengan posisi saling menopang bahu dan kepala.
Waktu di jam tangan Rasyid telah menunjukan pukul 3 sore ketika dia baru terjaga dari tidur siangnya di lantai rumah ibunya. Rasyid tersontak dan buru-buru membangunkan istrinya yang sedang rebah di pahanya.
“Yas... Bangunlah.. Sudah jam 3 sekarang” Rasyid menggosok-gosok kepala Tias dengan lembut agar dia terjaga. “Hei... Bangun, ayo kita balik”
Lamat-lamat Tias terjaga dari tidurnya yang pulas. Dengan wajah bingung dia melihat ke arah jam dinding. Lantas dia tersadar dan buru-buru bangkit. Tias lari sebentar ke kamar si Upik untuk menyisir rambut dan merapikan penampilannya. Setelah itu baru dia kembali menemui suaminya.
“Yuk uda kita pulang”
Akhirnya mereka berpamitan dengan ibu. Tek Niar lagi-lagi menangis di depan mereka.
“Nak, baik-baik kalian di rantau orang ya. Pandai-pandai bergaul dengan orang. Jaga kesehatan kalian, terutama kandungan mu Tias” Tek Niar menunjuk kearah perut Tias yang buncit.
“Baik ibu, kami pamit bu, doa kan kami selamat di perjalanan” Rasyid berpamitan dan mencium pipi ibundanya.
“Pergilah, pergilah” Dengan menyeka airmatanya Tek Niar akhirnya merelakan kepergian anak dan menantunya untuk merantau ke pulau Pagai, Mentawai.
Sepasang suami istri itu berjalan meninggalkan kediaman orang tuanya. Mereka berjalan agak cepat, walaupun perut mereka masih terasa berat. Mereka berjalan ke arah Pasar Mudik. Disana mereka akan mendapatkan kendaraan untuk kembali ke kampung Baru.
Setelah berapa menit berdiri di simpang Pasar Mudik, akhirnya ada juga sebuah bendi menghampiri mereka. Untunglah itu kusir bendi itu bukan Ajo Barangin lagi. setelah Rasyid menawar jasa, barulah mereka bergegas naik ke atas bendi itu.
“Mau ke mana Da” kata kusir bendi
“Ke kampung Baru da, di belakang kantor Sipeem”
Di dalam perjalanan pulang mereka berdua hanya diam saja. Begitu juga dengan pak kusir yang sedang mengendarai kudanya, juga diam saja dan konsentrasi membawa dua penumpang itu supaya cepat sampai ke Kampung Baru.
Hanya 15 menit perjalanan dari Pasar Mudik, lewat jalan Tambrin, Alang Lawas akhirnya kusir bendi itu telah mengantarkan Rasyid dan Tias sampai di depan rumah Mak Inar, di Kampung Baru.
Di rumah itu, Mak Inar sudah cemas menunggu mereka. “Katanya kalian mau berangkat ke Mentawai sore ini, sudah jam segini baru sampai di rumah, kenapa lama sekali pulang?” Mak Inar merasa lega melihat putrinya dan menantunya telah kembali ke rumah, walaupun dia bertanya dengan sedikit judes.
“Itulah Mak, tadi kami ketiduran setelah makan siang di rumah ibu” Tias menjelaskan pada Mak Inar secara ringkas.
“Untunglah kalian sudah sampai di rumah, kalau tidak batal kalian berangkat”
“Tidaklah Mak, kami sudah capek-capek menyiapkan segalanya, kenapa harus batal”
“Apakah sudah kalian siapkan semua barang-barang”
“Sudah Mak, kami tinggal berangkat saja nanti”
“Yah baguslah” Kemudian Mak Inar merogohkan tangannya kedalam kantong yang terdapat dalam kutangnya. “Yas, ini ada sedikit uang simpanan Amak, pakailah buat keperluan hidup kau di rantau sana”
Tias merasa senang sekali melihat ibunya itu masih juga memanjakan dirinya dengan uang. Walaupun Amak sendiri sadar bahwa Tias sudah ada suami yang mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ya begitulah bentuk kasih sayang seorang ibu yang tidak bisa terbendung untuk dia curahkan kepada putrinya.
Tentu saja Tias dengan senang hati menerima uang tersebut, sebagai tanda kasih sayang dari ibunya. Walaupun uang itu tidak akan terpakai, hanya akan di simpannya saja sebagai kenang-kenangan dari ibunda yang teramat mengasihi dirinya.
“Wah..wah ternyata diam-diam Amak banyak simpanan ya. Kenapa tidak Amak belikan saja saya gelang emas, biar cantik letaknya di tangan saya” Tias mencandai orang tuanya, sambil menerima seikat uang pemberian ibunya itu dengan senang hati.
“Jangan banyak omong kau, masak gelang emas kau minta juga pada ku. Sana minta sama suami kau” setelah memberi Amak kembali jengkel dengan ulah manja putrinya itu.
“Ya tentulah mak. Tapi pemberian Amak akan sangat istimewa bagi saya”
“Dasar kau anak manja. Sudah bersuami tetap belum berubah juga kelakuan kau”
“ha.ha.ha jangan diambil hati Mak, saya cuma bercanda”
“Berdosa kau mencandai orang tua...tau!”
“Maaf Mak” Kemudian Tias membuka kedua telapak tangannya di depan ibu tua itu. “Ya Allah ampunilah dosa saya yang telah durhaka pada Amak saya yang cerewet ini” lagi-lagi dia mencandai ibunya “Ah amak, cuma kali ini saja, besok kan saya tidak di rumah lagi”
Wajah mak Inar langsung saja berubah menjadi muram mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut anak perempuanya itu tadi. Mak Inar langsung menyeka air mata yang berlinang di pipinya yang sudah keriput. Lalu Amak Inar malas melayani anak perempuannya yang manja itu. Hanya akan membuat hatinya semakin sedih. Lalu dia kembali saja ke dapur untuk menyiapkan rantang bekal makanan bagi anak dan menantunya di perjalanan laut nanti menuju ke pulau Pagai.
Sementara waktu Tias menyibukan dirinya di kamar tidurnya. Mungkin dia sedang berdandan menghias diri di depan cermin, atau malah sekedar berbaring menunggu jam 5 untuk memulai perjalanannya.
Beberapa jam kemudian, tibalah saatnya waktu untuk Rasyid dan Tias berangkat meninggalkan rumah. Arifin, adik laki-laki Tias telah pula sampai di depan rumah dengan memboyong sebuah kereta kuda, bendi dengan kusirnya sekalian. “Dah berangkat lah uni, bendi sudah ada di depan”
“Pin, tolong ang angkatkan barang-barang uni ang naik ke bendi itu” Mak Inar menyuruh anak bujangnya menolong Tias menaikan barang-barang ke atas bendi.
“Rasyid, Amak berpesan tolong kau jaga anak ku baik-baik. Kasih makan yang cukup. Jika terjadi sesuatu dengan kesehatannya, cepat-cepat bawa ke rumah sakit. Cepat pula kau kabari Amak kalau terjadi sesuatu pada kalian disana, baik atau buruk tetap kau kabari Amak” Mak Inar mewanti-wanti menantunya agar menjaga putrinya baik-baik.
“Tentu mak, jangan Amak risau pula tentang itu”
“Pergilah, semoga kalian selamat sampai ditujuan. Jangan lupa Rasyid, surati Amak kalau kalian sudah sampai di sana”
“Baik Mak”
Dari tadi sepertinya Tias banyak cerianya. Namun kali ini Tias berbeda sekali. Dia menagis terisak-isak sambil memeluk orang tua yang tinggal satu-satunya itu, yang teramat sangat di cintainya. Suasana haru seketika meliputi rumah tangga itu.
“Mak.. Oh Amak, Tias pergi ya Mak. Amak baik-baik di rumah ya. Jaga kesehatan Amak. Amak jangan sakit ya” Sambil memeluk dan mencium pipi orang tua itu, tetap saja menangis tersedu-sedu.
“Sudah, sudahlah, jangan menangis, naiklah kau ke atas bendi itu” Karena Tias putri kesayangannya menangis terisak-isak, Amak pun jadi ikut menangis di buatnya.
“Mak.. Tias berangkat, ya.” Tias melambaikan tangan sambil berpesan pada adik bujangnya. “Arifin, tolong ang jaga Amak, uni pergi” Tias pamit dan menaiki bendi, dan di susul oleh Rasyid. Setelah itu baru kereta kuda membawa mereka meninggalkan kediaman Mak Inar. Mak Inar berdiri saja di tangga rumahnya yang tinggi sambil melambaikan tangan ke arah dua orang suami istri muda itu, amak yang sedang ditemani oleh Arifin.
Sore pukul 5 itu, pak kusir menggembrak kudanya berlari meninggalkan Kampung Baru. Bendi berlari menyusuri jalanan Bundo Kanduang nan teduh dan asri, terus lurus menuju jalan Gereja, dan lurus terus sampai ke dermaga Muara Padang.
Tidak beberapa lama akhirnya mereka sampai di dermaga, ternyata sudah ramai dan riuh orang-orang yang hendak akan menumpang kapal dengan KM. Sumber Rezeki sedang berjalan satu persatu meniti jembatan kayu nan lentur untuk naik ke atas geladak kapal.
Dengan di bantu oleh seorang kuli angkut, membawakan koper dan tas, Rasyid dan Tias ikut di belakang kuli itu untuk meniti papan jembatan penyeberangan tersebut.
Ketika mereka sampai di geladak, seorang ABK menghampiri menanyakan tiket keberangkatan mereka. Berdasarkan pada tiket yang di perlihatkan Rasyid pada ABK itu, lalu ABK itu menunjukan sebuah kamar yang ditempati oleh Rasyid dan Tias selama dalam pelayaran menuju ke pulau Pagai.
Rasyid dan Tias mendapati sebuah kamar kecil dan sempit, yang terdapat dua ambin di dalamnya. Kamar seperti itu bisa disebut paling istimewa yang terdapat di KM. Sumber Rezeki, sesuai pula dengan harga tiket yang telah dibayarkan oleh Rasyid untuk memperoleh tempat tersebut.
Suara bising mesin kapal dari tadi telah menderu-deru dengan keras. Ditambah pula dengan suara berisik percakapan para penumpang yang ada di geladak. Belum lagi suara para kuli angkut yang selalu minta permisi minta di beri jalan ketika mereka lewat mengangkat barang-barang ke dalam kapal.
Udara dalam kapal terasa semakin panas, mungkin karena panas mesin diesel kapal yang masuk menjalar ke dalam geladak. Di tambah lagi aroma yang tidak nyaman menyabar hidung para penumpang kapal. Bau-bau aneh yang berasal dari campuran aroma badan, bau solar, minyak wangi dan rempah-rempah itu ternyata membuat Tias, wanita muda yang sedang hamil tua itu menjadi mual di buatnya. Maklum saja ini adalah pengalaman pertamanya melakukan perjalanan meninggalkan kota Padang dengan sebuah armada laut. Terpaksa Tias lebih dulu merebahkan badannya, karena pusing kepala, itupun sebelum mabuk laut datang menyerangnya.
Tidak berapa lama akhirnya KM. Sumber Rezeki bergerak perlahan-lahan meninggalkan dermaga Muara Padang. Sementara Tias berbaring di tempat tidurnya, Rasyid malah memilih berdiri saja menatap keluar jendela kapal, yang terdapat dua buah di kamarnya. Semakin lama tampak Gunung Padang, gunung kecil yang berdiri terpaku di ujung muara batang Arau itu, terlihat semakin lama semakin kerdil. Sehingga kapalnya mereka tumpangi itu telah berlayar jauh ketengah laut meninggalkan pantai Padang, pantai yang senantiasa sepanjang waktu diterjang oleh ombak samudera Hindia bergulung-gulung. KM. Sumber Rezeki berlayar ke arah barat. Tampak dari jauh ia seperti sedang berlari di atas air, mengejar matahari senja nan jingga, yang sebentar lagi akan tergelincir masuk ke dalam peraduannya, ke dalam dasar lautan nan dalam yang tidak tentu ranah tepiannya. (Lucky Lukmansyah)
.
.
2 Komentar
lanjutkan chapter 2 nya sanak....?
BalasTerimakasih dunsanak telah mengunjungi blog saya. Bujang keramat chapter 2 dengan judul Sikerei bisa dunsanak tengok di postingan bulan Maret. terimakasih.
BalasPenulisan markup di komentar