Obrolan Santai
“Talak 9” Talak Jatuh Cinta Tumbuh
Selamat pagi para pembaca deelucky.com yang budiman. Jumpa lagi kita pada pagi hari yang dingin ini, karena kota Padang sekarang sedang dilanda hujan, belum berhenti sejak subuh dini hari tadi. Baiklah sobat pembaca, pada pagi hari ini kita akan melanjutkan obrolan ringan kita tentang seputar kehidupan orang-orang Padang. Menurut saya memang kalau bicara tentang kehidupan itu tidak akan ada putus-putusnya diperbincangkan.
Kemarin sore waktu saya sedang mengendarai mobil di jalan Siteba, hendak ngantar istri pergi belanja, tepatnya di daerah pasar Siteba, Padang, ada sepintas saya melihat sebuah tulisan yang sengaja dipasang orang pada bemper belakang sebuah becak roda tiga. Tulisan itu persisnya seperti ini: “Talak jatuah kasiah pun tibo” tulisan sederhana dalam bahasa Minang. Tidak jauh artinya adalah telah jatuh talak atau bercerai maka cinta pun tumbuh. Begitulah artinya para sobat pembaca, miris bukan!
Entah apa maksud dan tujuan dari orang yang punya ojek roda tiga itu alias bentor sengaja memasang tulisan yang bisa menyayat hati seperti itu. Langsung saja pas istri saya menengok tulisan seperti itu jadi heran, dan pula sepertinya dia mulai bepikir dan merasakan bagaimana rasanya hal seperti itu terjadi. Memang tidak akan dapat sama sekali dia rasakan, begitu juga dengan saya sendiri, tidak dapat dan tidak akan mau sedikitpun rasa itu ada dalam kehidupan kami berdua.
Kemudian saudara pembaca yang baik hati, tulisan itu tetap menempel di kepala sampai sekarang, hingga setelah bangun dari tidur saya sekarang. Tulisan itu membuat saya teringat pada sebuah cerita tentang seorang laki-laki di kampung saya, di daerah pinggiran, paling ujung kota Padang, di Kuranji tepatnya.
Baiklah sobat pembaca semuanya, begini ceritanya:
Diceritakanlah sebuah kisah tentang seorang laki-laki gadang, bujang gadang, bernama Samaik. Si Samaik adalah seorang anak bujang satu-satunya oleh amak Bainar. Mereka tinggal berdua saja di sebuah kampung yang terletak di pinggiran aliran sungai Gunung Nago, Kuranji.
Bujang Samaik sangatlah di sayang dan di manja oleh amak bainar. Samaik memang tidak sekolah, Karena Samaik memang ada sedikit kekurangan dalam perkembangan mentalnya.
Waktu cerita ini bermula, (waktu saya pertama kali kenal dengan Samaik) Samaik sudah pula berusia sekitar 30 tahun lebih. Amak Bainar ingin sekali punya menantu dan cucu supaya dapat melanjutkan garis keturunan keluarganya. Dicarilah oleh amak Bainar kesana kemari, bertanya hilir mudik kepada sanak family di kampung itu adakah perempuan yang mau menikah dengan anak bujang satu-satunya si Samaik.
Bukannya orang kampung mau menlong, tapi malah menertawakan, mana ada perempuan yang mau dengan Samaik. Menurut orang kampung si Samaik itu tenggen, barangin, alias sinting. Kerja Samaik sehari-hari hanya mintak uang kepada amak, tidak penah mau bekerja mencari uang. Setelah dapat uang nanti akan dia habiskan dengan main domino di warung sampai larut atau besok baru pulang ke rumah.
Setelah lama amak Bainar mencari jodoh untuk Samaik, akhirnya ada juga perempuan yang mau dinikahkan dengan Samaik. Tentu perempuan yang mau berumah tangga ini bukanlah sembarang perempuan. Dia perempuan itu bernama Eti. Eti adalah anak gadis, perawan tua dari kampung seberang. Kondisi Eti tidak pula jauh berbeda dengan Samaik, memang sama-sama kurang secara mental. Tapi walaupun begitu Samaik dan Eti keduanya terlihat secara pisik sehat. Samaik orang berbadan tegap, dan punya tampang yang lumanya, dan begitu pula dengan Eti, lumayan cantik dan berkulit putih.
Dinikahkan oleh orang kampung kedua pembelai ini dengan acara adat yang lumayan meriah. Banyak tamu dan undangan datang memberi selamat kepada kedua orang ini. Di pelaminan kedua pasangan itu kelihatan santai-santai saja, sambil cengar-cengir ke semua orang yang hadir.
Setelah menikah Samaik tinggal di rumah keluarga Eti. Karena memang begitu aturan adat di Minangkabau. Setelah menjadi suami Samaik dengan badan yang kuat mencoba mencari pekerjaan kesana kemari. Syukur alhamdulillah ada juga orang yang mau menerima Samaik bekerja, walaupun hanya pekerjaan kasar seperti kuli. Tapi sayang sekali setiap Samaik mendapatkan pekerjaan, sebentar-sebentar dia sudah dipecat oleh majikan. Maklumlah Samaik memang memiliki kekurangan pada intelijensinya.
Akhirnya Samaik mengadu kepada Mak Bainar tentang dia dia sebentar-sebentar di pecat dari pekerjaan. Tapi Mak Bainar tidak pula cemas. Malah ibu itu menyuruh anak si mata wayangnya untuk tidak usah bekerja, “dak paralu waang bakureh, buek anak banyak-banyak, bia wak den agiah bini ang balanjo” begitu kata mak Bainar kepada Samaik. Artinya seperti ini: kamu tidak usah cari uang, cepat cari keturunan, biar saya yang kasih belanja istri mu. Wah-wah wenak jenan hidup seperti Samaik, tinggal bikin anak dan minta uang ke ibunya.
Setahun kemudian, “pucuk dicinta ulam pun tiba” Akhirnya Eti pun melahirkan seorang anak perempuan. Semua keluarga kedua belah pihak turut bahagia. Terutama amak Bainar, akhirnya si amak pun memperoleh cucu perempuan, anak pisang istilahnya di adat Minangkabau.
Telah Eti memperoleh anak perempuan dari Samaik, Eti kian sibuk dengan hari-hari mengurus putrinya. Setelah melahirkan Eti mulai tidak mengacuhkan Samaik. Tidak mengurus suami semestinya dalam kehidupan rumah tangga, selalu sibuk dengan momongan kecilnya yang lucu. Entahlah Samaik pulang ke rumah atau tidak, mau makan atau tidak, Eti tidak peduli. Lagi pula Samaik memang jarang pulang ke rumah istrinya di seberang itu. Samaik labih suka mengabiskan waktu bermain domino di warung kampungnya bersama kawan-kawan sama besar.
Pada suatu masa terjadilah keributan antara Eti dan Samaik. Tidak tahu lah kami, orang kampung permasalahan mereka. Yang kami tahu hanyalah memang kedua orang itu bermasalah kedua-duanya, alias sama-sama sinting. Mereka ribut bertengkar di depan umum, di muka sebuah warung tempat Samaik biasa main domino. Tiba-tiba saja Samaik dengan marah besar menyebutkan sebuah kata terlarang dalam agama Islam, kepada istrinya si Eti, yaitu kata talak tiga, “Den talak tigo kau” begitu kata Samaik kepada Eti, menjatuhkan Talak Tiga, tidak pula sekali sebut, malah tiga kali sebut. Wah berarti sudah sembilan kali talak Eti terima dari suaminya.
Normalnya, kalau seorang istri pada umumnya dalam keadaan seperti tadi ketika di jatuh talak oleh si suami, pasti dia sudah meraung dan lari ke pelukan orang tuanya. Tapi Eti beda, dia santai saja, tetap menyerang suaminya dengan repetan tiada henti. Samaik pun begitu pula, bosan dengan celotehan buruk istrinya dia malah kembali ke meja domino, lalu mengajak kawan-kawannya meneruskan permainan. Seperti biasa saja, seperti tidak penah terjadi apa-apa.
Semua sanak keluarga Samaik dan begitu pula keluarga Eti tahu tentang peristiwa jatuhnya talak tiga tiga kali oleh Samaik kepada Eti di depan warung tempo waktu itu. Maka resmilah Samaik dan Eti bercerai secara agama Islam. Samaik telah terlarang untuk kembali ke rumah istrinya. Diberitahukan oleh ninik mamak Eti bahwa Samaik tidak boleh pulah ke rumah gadang keluarga Eti lagi.
Samaik sepertinya tidak mau ambil pusing dengan masalah perceraiannya dengan Eti. Bagi dirinya Eti tetap dia cintai dan terutama anak gadisnya yang masih bayi itu.
Anehnya, tidak lah si Samaik boleh naik ke rumah Eti, itu tidak masalah baginya. Samaik tetap mencari Eti dimana pun dan kapan pun Samaik perlu Eti. Samaik tetap kasi Eti belanja, dan kalau ada kesempatan, misalnya di pinggir sungai tempat Eti mencuci baju, diintainya Eti pergi mencuci. Nanti di situ Samaik akan menggoda Eti, persis seperti orang yang sedang kamaran.
Maklum lah kita sebagai orang dewasa, manusia orang yang butuh kebutuhan seksual. Melihat hubungan Eti dan Samaik tepat mesra walaupun mereka sudah bercerai “talak sembilan”, bukan tidak mungkin mereka berdua akan tetap melakukan hubungan tersebut. Sudah haram hukumnya kepada Eti dan Samaik. Entahlah lah, sepertinya Samaik tetap tergila-gila kepada Eti. Kadang-kadamg saking gilanya Samaik kepada Eti, tengah malam pergi juga dia ke seberang, dicarinya juga si Eti. Naik Samaik diam-diam seperti orang maling ke kamar Eti, dan kemudian sebelum subuh Samaik turun lagi dari jendela kamar Eti. Begitulah perangai Samaik dan Eti.
Hingga tiba pula masanya setahun setelah itu, tampak oleh masyarakat kampung bahwa perut Eti sudah besar, hamil besar. Eti dengan santai berjalan ke warung dengan membawa perutnya yang seperti balon. Wah-wah..... Tentu semua orang di kampung dapat menebak siapa biang keladi dari ke hamilan si Eti.
Tapi lain halnya di kampung saya waktu itu. Semua orang tahu tentang hubungan terlarang antara Eti dan Samaik, tetap tidak ada orang atau ninik mamak ada berani meluruskan masalah mereka berdua. Malah sepertinya kelakuan mereka di biarkan saja oleh orang, “padia se lah paja gilo tu, ka manga wak lai”, biarlah begitu kata orang kampung, mau bilang apa lagi dasar mereka berdua memang gila.
Begitulah kiranya cerita tentang kisah Samaik dan Eti para sobat pembaca. Adapun mengenai tokoh yang diceritakan dalam kisah ini adalah bukan nama yang sebenarnya, dan begitu pula dengan nama tempatnya. Sekian cerita kita hari ini. Semoga apa yang saya ceritakan di sini dapat diperoleh hikmahnya bagi kita semua. Salah dan janggal saya mohon maaf. Wassalam. (Lucky Lukmansyah)
0 Komentar
Penulisan markup di komentar