Part 3
Sudah satu potong pisang goreng sebesar ukuran telapak tangan ditandaskan ke dalam perutnya, di tambah sepotong lagi singkong goreng potong sebelah, ukuran sejengkal tangan, habis sudah di lahapnya. Maka kenyang lah perut si bujang kecil, Boim itu. Itulah sebagai gantinya nasi yang seharusnya dia bisa pulang ke rumah ibunya untuk makan siangnya saat itu. Namun tidak dilakukan dia. Boim lebih senang makan di luar dengan makanan apa saja yang dijual orang di warung, dari pada harus pulang ke rumah ibunya, lalu dia tidak akan dapat lagi bermain keluar karena pintu rumah sudah terkunci.
“Sudah, sudah kau makan, sudah kenyang kau?” tanya pak haji Umar kepada Boim
“Sudah pak” jawab Boim setelah dia menyosor habis segelas air putih ke mulutnya. Karena minum tergesa-gesa, jatuh lah air minum itu membasahi baju dan celana pendek kumalnya yang tadi baru saja kering di badan.
“sekarang pergilah kau main dulu, nanti se jam lagi temui aku di sini” perintah haji Umar kepada Boim.
“Baik pak” Boim perlahan turun dari bangku pelanta warung, dia hendak membayar dua buah gorengan yang telah dimakannya tadi. “Tek, tambah goreng satu lagi, ni uangnya” Boim meletakan uang seratus rupiah di atas kaleng tempat si etek yang punya warung biasa menyimpan uang pencahariannya di dalam itu.
Se isi warung itu orang-orang sudah pada heran melihat gelagat dan perangai si bujang kecil, anak sulung Rasyid, yang biasa di kenal orang dengan sebutan “pak kasir”. Mungkin ada timbul berbagai macam pertanyaan di benak orang-orang tua yang sedang menghabiskan waktu rehat di warung itu. Berapakah umur anak itu sekarang? Kenapa dia tidak pulang ke rumah orang tuanya? Kenapa anak itu dibiarkan saja keluyuran di luar rumah, tengah hari panas terik begini? Kenapa anak itu kumal dan seperti tidak terurus? Dan banyak lagi pertanyaan orang-orang di warung kopi itu.
Boim berjalan keluar dari kedai sambil cengar-cengir karena girang dan senang, sebentar lagi apa yang dia idam-idamkan dalam hatinya selama ini akan dapat dia peroleh melalui kebaikan seorang orang tua yang baik hati, pak haji Umar.
Boim tidak mau pulang ke rumah ibunya, barang sebentar hanya untuk berganti pakaian. Dia habiskan waktu yang satu jam ke depan dengan bermain di halaman surau jamik, tempat disitu ada segerombolan anak-anak kawan bermainnya yang lain tampak sedang bermain kelereng. Boim tidak sedang membawa kelereng di kantong celananya. Dia hanya bisa ikut nimbrung bersama sebagian anak-anak yang menontong jalannya permainan bola-bola mini yang terbuat dari kaca itu.
Sabar dan tabah tidak ada pada sifat Boim, hanya sebentar saja dia menonton segerombolan kawan-kawannya yang sedang asik mengadu kecakapan mereka dalam memainkan kelereng di halaman surau itu. Kemudian Boim jalan membawa badannya ke tepi pantai. Ada tampak olehnya sekelompok orang tua sedang sibuk bekerja menarik pukat jala ikan laut dangkal ke darat. Ada dua belas orang bapak-bapak di situ, dua jalur, masing-masing enam orang yang sedang bekerja menarik pukat dengan serentak, dan ada ramai juga ibu-ibu yang sedang menunggu ikan duduk-duduk di tepi pantai dengan baskom di tangan masing-masing mereka.
Nanti apa bila pukat itu telah sepenuhnya sampai ke darat, tentu orang-orang akan berebut memilah dan memilih ikan yang mereka sukai sedang tersangkut di jaring pukat. Memilih seberapa mereka perlu, dipindahkan ikan ke dalam ember baskom yang sudah mereka sediakan, lalu mereka bayar kepada seorang toke yang pemilik pukat sesuai dengan berapa jumlah dan jenis ikan yang telah mereka masukan dalam ember baskom.
Di bawah pohon kelapa yang condong kelaut, dengan hembusan angin semilir, Boim duduk bersandar di bawah pohon itu sambil menonton kegiatan para pencari ikan yang dengan kekuatan tenaga mereka bersama-sama, dengan kompak dan teratur menarik pukat dengan tangan mereka yang kekar dan hitam legam mengkilat, karena keringat dan panas terik mentari siang hari nan cerah itu.
Belum sampai satu jam lamanya Boim duduk di pantai sambil menunggu waktu berangkatnya dengan menumpang bus karyawan itu, dia sudah merasa tidak kerasan disanan, ada perasaan khawatir kalau nanti pak Umar akan membohongi dirinya dan dia ditinggalkan oleh haji itu begitu saja. Oleh karena itu dia akhirnya kembali ke warung, berjalan di tepi pantai ke tempat di mana dia telah membuat janji dengan orang tua tadi, yang telah dibujuknya, dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri, karena memang pak haji Umar itu adalah kawan baik dari ayahnya, Rasyid.
Semakin dekat Boim berjalan ke warung itu, maka semakin terdengar olehnya suara bus dengan deru mesin diesel yang sedang mengepulkan asap hitam dari lubang kenalpotnya. Boim semakin cemas, kerena takut akan di tinggalkan oleh pak Umar. Boim berlari semakin kencang kearah mobil itu. Tampak olehnya pintu bus itu memang sedang terbuka lebar. Tidak ada seorang pun di dalam kecuali pak Umar sang sopir, pengemudinya. Suara bus itu semakin keras meraung, berada pas di tanah nan lapang di sebelah warung kopi itu. Boim berlari secepat-cepatnya melewati warung, melewati orang-orang yang sedang menakut-nakutinya sambil tertawa mengolok-olokan dirinya. “Hoi.... Bujang cepat lah kau naik ke mobil itu, orang tua itu mau berangkat meninggalkan kau”. Orang-orang itu tertawa terbahak-bahak melihat Boim yang pontang-panting seperti sedang dikejar anjing, tanpa alas kaki berlari sekuat tenaga dan langsung menghambur, loncat ke dalam bus karyawan itu.
“Bapak mau pergi ya?” tanya Boim sudah di dalam kabin, dengan cemas sambil terengap-engap dan bajunya basah kuyup karena keringat bejujuran deras di punggungnya.
Pertanyaan Boim nan lugu itu tidak di jawab sama sekali oleh pak Umar, di malah turun dari kursi kemudinya, keluar dan membiarkan mesin kendaraan roda enam itu nyala sendiri, sambil memanaskan rongga mesin. Dan Pak Umar kembali masuk ke dalam warung. Ketika sampai di warung dia kaget, karena tidak menyadari ternyata ada si bujang kecil sudah nangkiring di atas tangga naik ke dalam bus. “Wah.... Ku kira tuyul tadi yang di sana, hoi mengapa kau duduk di situ sendirian, sini lah kau duduk, belum berangkat aku” teriak pak Haji Umar kepada Boim, anak yang sedang cemas karena takut ditinggalkan. Semua orang di warung tertawa lucu karena melihat ekspresi wajah cemas dari Boim.
Akhirnya Boim lega karena pak Umar akan menepati janji yang telah di buatnya, dan dia turun dari bus dan langsung masuk ke warung, lalu duduk di sebelah pak haji Umar, ketika itu orang tua itu kembali menyalakan rokoknya sebatang lalu melanjutkan meneguk kopinya yang belum juga habis, tinggal setengah. “Ah duduk tenang kau bujang, oh ya, siapa nama mu tadi? Lupa aku” tanya sopir bus yang sudah tua itu sambil menenangkan perasaan si Boim.
“Boim.. “ Jawab Boim dengan singkat.
“Boim, ha... Tenanglah kau Boim, tidak akan ku tinggalkan kau begitu saja, kan bapak sudah janji sama kau. Sebentar yah.... Merokok aku dulu sebatang, baru sudah itu kita berangkat”
“Iya” Boim mengangguk tanda setuju dan menurut saja kepada sang sopir.
XXXXXXXXXXXXXX
Tidak lama, setelah sebatang rokok habis, putungnya di jentikan oleh jari tua pak Umar ke pekarangan warung, kemudian orang tua itu merapihkan bajunya dan membetulkan kopiah hajinya yang sudah tidak ada lagi warna putih cerahnya, bisa dikatakan kuning, sekuning gading dan kumal karena dimakan usia. “ayo kita berangkat” pak Umar akhirnya memutuskan berangkat, mengajak Boim sembari melanjutkan tugasnya menjemput dan mengantar para karyawan, para penebang kayu yang sudah menunggu gilirang waktu shift kerja mereka di areal penebangan nan jauh di dalam pelosok hutan, di balik bukit dan lembah di jauh di pedalam pulau Pagai.
Boim di suruh pak Umar duduk untuk duduk dengan tenang di bangku paling depan, sebelah bangku kemudi, pas di samping kaca jendela. Sengaja pak Umar suruh anak bujang itu untuk di kursi itu, supaya dia bisa melihat, dengan puas dan leluasa mengamati setiap daerah, lokasi, lekuk dan sudut hutan dan bukit-bukit yang akan mereka lalui di sepanjang perjalanan.
“Boim kau duduk tenang di sana yah, jangan kau ber buat macam-macam, bapak sedang bertugas ini. Jangan kau bikin repot aku, kalau kau berulah nanti aku tidak akan segan-segan menurunkan kau dimana saja, mengerti kau!” Pak Umar memperingatkan Boim denga tegas sebelum dia menginjak pedal gas bus yang di kemudikannya.
Hati Boim sungguh sangatlah girang dan senang sekali. Bus akhirnya bergerak laju meninggalkan kedai kopi, dan meninggalkan kawasan pasar mini. Terlebih dahulu pak Umar membawa bus itu memasuki jalan-jalan utama di dalam kawasan komplek perumahan karyawan, dari komplek yang terdekat hingga ke komplek yang paling ujung letaknya, berada di atas lereng-lereng bukit Sian yang memanjang, melingkupi desa Sikakap. Satu persatu karyawan, pekerja sawmill, petugas kantor, dan penebang kayu masuk menaiki bus yang sedang di kemudikan oleh pak Umar. Seorang bapak yang sepertinya biasa dilihat oleh Boim setiap hari, sudah mengisi bangku kosong di sebelah Boim. “tumben ya pak, ada penumpang kecil bersama kita hari ini?” begitu tanya bapak itu kepada pak Umar.
“Biarlah sekali ini dia ikut saya, tadi dia merengek-rengek minta dibawa raun”
“Bukan kah dia ini anak pak kasir?”
“betul” jawab pak Umar yang sedang sibuk memutar stir busnya
“berani juga anak ini” tukas si bapak itu menanggapi keikutsertaan dalam menemani tugas pak Umar
Boim tidak menghiraukan obrolan antara bapak yang duduk di sebelahnya itu dengan sang sopir bus. Sekarang Boim sudah larut dalam dunia dan pandangan matanya sendiri, melihat keluar jendela bus, mengamati setiap lekuk dan kontur alam lingkungan sekitar komplek perumahan karyawan di desa Sikakap.
Pas ketika bus yang membawanya itu berhenti di depan rumahnya, untuk menaikan penumpang, dilihatnya, melalui kaca jendela bus, di dalam rumah nampak bundanya baju daster berwarna orange, kesukaannya, sedang bercanda-canda riang dengan adik perempuan kesayangan, Zulaika, sambil menyuapinya makan semangkok bubur tim.
Boim tetap, memperhatikan keluarganya, ibunda dan adiknya itu, diam dari dalam bus. Sepertinya pak Umar mengatakan sesuatu tentang bundanya sekarang. Tapi Boim tetap tidak menghiraukan. Dia tengok terus ibunya dan adiknya yang lucu dan imut, sedang duduk berselonjor di lantai rumah yang terbuat dari semen licin dingin dan mengkilat. Tidak lama akhirnya bus itu pun penuh dengan penumpangnya yang berdesak-desakan. Bus berangkat melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan nan jauh melewati lembah dan bukit nan berlapis-lapis di atas sana. Sebelum hilang pandangan rumah, tempat kediaman keuarganya, tak akan lepas mata anak bujang itu dirinya. Entahlah, apa yang sedang dirasakan di dalam hatinya sekarang. Tidak kah anak bujang itu ingin pulang dan makan barang sesuap nasi dari tangan ibu yang teramat mengasihinya. Dan tidak kah dia ingin bermain dan bercanda dengan adik perempuan yang begitu dia sayangi, entah lah.
Sepertinya misi hari ini lebih penting dari pada berkumpul dengan bunda dan adik perempuan Boim yang satu--satunya itu. Pada hari ini adalah Boim menjalankan misi untuk memuaskan hasrat dan ambisinya yang sudah lama dia pendam dalam hati. Adalah pergi raun melihat dan mengamati lingkungan nan jauh dari pengetahuan dia sebagai seorang anak kecil. Dia ingin melihat tempat-tempat yang sering dia dengar setiap hari dari pembicaraan orang-orang tua setiap hati, sambil melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana pula rupanya alat-alat berat yang sering omongkan orang itu bekerja di tempat-tempat nan jauh di dalam hutan sana.
Bus yang sedang di kemudikan pak haji Umar ini sekarang sedang sarat akan muatan penumpang. Pak Umar dengan keterampilannya membawa bus itu dengan tangkas melewati jalan-jalan aspal berkerikil, melewati tanjakan demi tanjakan dengan mulus dan bertenaga, menikungi tikungan dengan mulus dan cantik di sepanjan perjalanan enam kilo pertama menuju tempat perhentiannya yang pertama, adalah di bukit Siyai, di lokasi perkantoran dimana seluruh karyawan administrasi bekerja, disitu tempatnya. Bukit Siyai adalah tempat yang sangat familiar oleh Boim, adalah Boim pernah dibawa oleh ayahnya, Rasyid ke dalam bangunan kantor tempat si ayah itu bekerja.
Rute ke dua adalah dari bukit Siyai menuju Lokon. Jarak tempuh tidak begitu jauh, hanya sekitar 4 kilometer. Pada rute ini tidak ada pemandangan alam yang indah seperti bukit-bukit dan lembah yang baru saja di tengoknya pada rute pertama tadi. Hanya jalanan sangat lebar, sangat berdebu dan menurun, berkelok-kelok, dengan pemandangan hutan gundul, tanah merah tersibak kepermungkaan, sangat gersang sekali disekitar. Namun bagi Boim rute ini sangatlah istimewa sekali menurutnya. Di lokasi ini boleh dia jumpai ketika bus yang dia tumpangi berpapasan dengan berbagai macam bentuk truk trailer dengan ukurannya yang sangat besar, belum pernah dia temui sebelumnya, sangat pula panjang, hingga mencapai 30 meter lebih, sedang mengakut muatan kayu log sangat besar pula, bisa jadi sama besar dengan bus yang sedang dia tumpangi sekarang, pohon kayu itu kelihatan masih segar karena baru saja ditebang dari dalam hutan, nun dari pedalam rimba raya Pagai sana. Entah berapa jumlah roda truk yang membawa kayu log raksasa itu, mungkin lebih dari 20 buah, Boim tidak sempat menghitungnya.
Truk-truk trailer itu, yang Boim lihat sedang berpapasan dengan bus yang sedang dikemudikan pak Umar tampak begitu istimewa dan sangat gagah dengan berbagai macam warna, ada yang berwarna merah, hijau, kuning, dan abu-abu, semuanya dengan cat body metalic, mengkilat. Ada pula kendaraan itu punya dua buah cerobong kenalpot yang terpasang berdiri tegak tinggi di belakang setiap pintu kabinnya. Moncong truk trailer itu begitu panjang dan besar, ada sebuah grill besar berwarna perak mengkilat terpasang di depan moncongnya, guna sebagai penghias, untuk menutupi radiator mesinnya yang besar.
Apabila truk trailer itu sedang menanjak, maka ia akan meraung-raung dengan mengeluarkan suara deru mesin yang sangat besar, melebihi kerasnya suara alat berat, sehingga memekakan telinga. Tidak hanya itu, suara klatson nya tidak pula kalah besar, hampir sama besar bunyinya dengan suara klatson kapal.
Kendaraan itu memang sangat gagah. Boim berdecak kagum setiap melihat truk itu berpapasan. Begitu pula dengan semua orang yang ada dalam bus, semua mata orang akan memandang ke arahnya. Mungkin itulah truk trailer gagah perkasa yang sering jadi buah bibir oleh orang-orang di pemukiman warga di bawah sana. Menurut cerita yang pernah didengar oleh Boim, bahwa tidak sembarangan orang yang bisa mengemudikan truk pengangkut kayu log raksasa itu. Biasanya hanya orang-orang bule, atau orang Amerika saja yang bisa membawa truk istimewa tersebut.
“Yang itu Kenworth, yang ini Peterbilt, yang baru saja lewat itu Volvo” begitulah pak Umar menjelaskan nama-nama dari macan truk trailer yang sedang berpapasan dengan busnya. Entahlah Boim tidak paham dan tidak dapat membedakan yang mana Kenworth, Peterbilt atau Volvo. Baginya semua kendaraan truk trailer itu memang sangat istimewa. Lalu tiba pula keinginan di dalam hatinya untuk suatu saat nanti dia biasa naik ke dalam truk raksasa itu.
Akhirnya sampailah bus yang membawa karyawa PT di tempat tujuan kedua, adalah Lokon. Ternyata Lokon yang selama ini disebut-sebut oleh orang adalah sebuah dermaga. Dermaga besar, tempat kapal-kapal tongkang bersandar untuk memuat kayu-kayu log guna dikirim kesuatu tempat, yang entah dimana, mungkin keluar negeri.
Lokon tidak hanya sebuah dermaga, disana juga tempat merendam kayu-kayu log yang baru saja ditebang. Pohon kayu yang seukuran bus dan panjang bisa diangkat oleh alat berat, graple, yang memiliki capit, seperti kepiting. Batang kayu besar itu diangkatnya dengan mudah lalu kemudian dibuang nya ke dalam laut.
Di Lokon itu juga ada sebuah sawmil, pas di depan bangunan sawmill itu, pak haji Umar memberhentikan bus nya menurunkan para pekerja sawmill. Tinggalah di dalam bus hanya para penebang kayu. Dimana sebentar lagi pak Umar akan mengantar mereka ke lokasi penebangan, nun lebih jauh lagi tempatnya, masuk ke pedalaman pulau pagai.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar