"Kalau kamu jadi PNS, nanti SK kamu kan bisa digunakan buat agunan Bank"
Ungkapan itu terlalu sering saya dengar dilingkungan rumah saya, terlebih para ibu ketika menasehati anaknya yang kebetulan pulang kampung setelah menempuh ujian akhir semester. Mungkin tidak saya saja yang pernah mendengar kalimat ini, tidak buruk pula kiranya saya menyimpulkan bahwa hingga kini hampir sebagian besar pegawai negeri menggadaikan SK-nya di Bank (agunan), karena memang demikian fakta yang banyak ditemukan.
Berhutang, ya begitulah kira-kira. Sejauh ini tidak ada jumlah pasti berapa persentase pegawai negeri yang menjadikan SK-nya sebagai agunan di Bank, selain informasi tersebut tidak disediakan Bank hal itu juga menjadi bagian ketetapan Bank untuk menjaga kerahasiaan data nasabahnya. Namun yang kita bicarakan kali ini bukanlah persoalan SK PNS yang tergadai di Bank, ada kiranya hal yang lebih penting menurut pemikiran saya terkait pinjam meminjam dan bayar membayar ini, yaitu perusahaan pembiayaan dalam instrumen perjanjian pembiayaannya atau dikenal juga dengan istilah Leasing.
Hampir disetiap sudut kota ataupun pedesaan perusahaan pembiayaan (Leasing) ini tumbuh pesat ibarat jamur di musim penghujan, jika dikatakan rakyat terbantu dengan adanya Leasing mungkin benar, namun dibalik itu ada persoalan rumit yang mampu memicu konflik ketika nasabah tidak mampu membayar hutang, debt kolektor perusahaan pembiayaan (Leasing) akan mengejar kemanapun nasabah yang tidak membayar hutang tersebut, bahkan tidak jarang sering terjadi tindak kekerasan kepada nasabah ketika hutang tidak terbayarkan.
Bakar (54) contohnya, seorang pemilik bengkel tambal ban di Dharmasraya, pernah bersembunyi dan hidup di hutan selama satu tahun karena di kejar-kejar oleh debt kolektor salah satu perusahaan Dealer sepeda motor di daerahnya, meski sepeda motornya diambil pihak dealer namun dirinya tetap dikejar, hingga salah seorang kerabat dekatnya bersedia membayarkan hutang Bakar kepada Dealer sepeda motor tersebut.
Kasus seperti ini mungkin banyak terjadi di daerah lain, atau bahkan mungkin lebih parah lagi, dimana jika kita runut semuanya itu berawal dari sebuah akad perjanjian yang tidak seimbang antara perusahaan pembayaran dengan Nasabah.
Lebih tepatnya Perusahaan pembiayaan (Leasing) sudah menjadi “pembuat undang-undang swasta” bahkan bisa dikatakan “hakim swasta”, bisa dibuktikan dengan melihat bentuk perjanjian yang dibuat dengan nasabah, tidak satupun perjanjian tersebut dibuat atas kesepahaman kedua belah pihak, apalagi semenjak peraturan tersebut muncul dalam format-format perjanjian yang dibakukan (Standar contract), jika sebelumnya diakui bahwa dalam perjanjian selalu ada kebebasan berkontrak bagi siapapun yang terlibat, maka dengan perjanjian standar ini kebebasan tersebut tidak berlaku lagi karena muatan Klausula eksonerasi yang telah dibuat oleh pihak Leasing untuk mengambil keuntungan sepihak dalam bundel perjanjian tersebut, dan jika kita perhatikan lebih seksama perjanjian yang dibuat tersebut substansinya lebih tepat dikatakan sewa-beli, dan yang lebih penting lagi nasabah tidak dibenarkan memiliki akta perjanjian tersebut.
Temuan saya sendiri di daerah Dharmasraya, dalam kasus yang sama-ketika nasabah tidak mampu membayar hutangnya- seperti bapak Bakar diatas, nasabah diancam dengan mengeluarkan surat peringatan yang menyatakan adanya perjanjian Fidusia, padahal sewaktu nasabah melakukan kontrak tidak terjadi perjanjian Fidusia dengan notaris ataupun pihak pengadilan setempat, jika fidusial seperti ini dibiarkan bukankah itu sama dengan memakai nama penegak hukum secara ilegal demi keuntungan dagang perusahaan pembiayaan (Leasing), dan yang lebih terang lagi pembodohannya, nasabah (debitur) tidak mengantongi perjanjian fidusia tersebut setelah melakukan akad perjanjian.
Model pembodohan yang dilakukan pihak Leasing seperti ini menurut saya harus segera ditindak, mengingat sudah terlalu banyak korban dari pihak nasabah yang kesulitan membayar hutang piutangnya, dan dengan terang-terangan pula pihak Leasing berlindung dibalik Hukum palsu yang dibuatnya sendiri, dan hal itu jelas-jelas mengangkangi nilai keadilan, nilai Hukum dan penegakan Hukum di Negara ini.
"Anda berhutang, sebaiknya jangan bangga anda kaya karena hutang", Marji - Petani Dharmasraya |
Sumber : © Kompas Musafir
0 Komentar
Penulisan markup di komentar