Bujang Keramat Chapter 2 : Sikerei

21:39:00





Bujang Keramat

Chapter 2: Sikerei


Satu pekan telah berlalu semenjak sepasang suami istri, Rasyid dan Tias menapakan kaki pertama kali di pulau Pagai Utara, di desa Sikakap, Kepulauan Mentawai, yaitu pada awal bulan May 1980. Sepucuk surat telah pula dikirimkan ke Kampung Baru, Padang, untuk ibunda tersayang, Mak Inar. Dalam surat itu, Tias memberi kabar pada orang tuanya bahwa dia dan suaminya telah sampai dan selamat berada di pulau Pagai. Adapun sekarang mereka telah dapat menempati sebuah rumah, tempat bernaung selama tinggal di pulau itu. Rumah yang ditempati itu tentu bukan milik pribadi mereka, statusnya di pinjamkan oleh pihak perusahaan tempat Rasyid bekerja, dengan ketentuan selama Rasyid masih terdaftar sebagai karyawan PT. Mentawai Land.


Rumah yang dihuni oleh Tias dan Rasyid sekarang posisinya berada di tepi jalan utama desa Sikakap, masih dalam lingkup komplek perumahan karyawan PT. Mentawai Land. Komplek perumahan penduduk di pulau itu sangat besar dan luas. Begitu tertata rapi dan berjejer, membentang luas mulai dari pantai Sikakap hingga naik ke lereng-lereng bukit.


Bentuk rumah yang ditempati Tias dan Rasyid sekarang adalah rumah tipe sangat sederhana, yang hanya ada terdapat satu kamar tidur di dalamnya, satu kamar mandi, satu dapur, satu ruang tamu yang sekaligus dijadikan ruang makan. Bangunan tempat bernaung keluarga muda itu tersusun dari dinding papan kayu meranti. Sedangkan atapnya tersusun dari asbes, bukan seng, supaya anti karat, karena karat yang disebabkan oleh garam laut dapat mengkeroposkan atap rumah-rumah penduduk yang tersusun dari seng, dikarenakan letak geografis daerahnya yang dikelilingi oleh laut. Syukurlah, ternyata rumah itu ada juga memiliki lantainya, bukannya lantai papan, tapi terbuat dari coran adonan semen dan pasir, lalu pada permungkaan lantai itu dihaluskan dengan semen acian abu-abu, supaya lambat laun lantai itu akan mengkilat dengan sendirinya, seperti semengkilat ubin.


Setelah satu minggu tinggal di desa Sikakap, barulah Tias dan Rasyid menyadari bahwa ternyata ada ramai juga orang tinggal dan mencari penghidupan di desa ini. Ada beragam orang dengan suku bangsa dan bahasa, mulai dari orang Sumatera, Jawa, Kalimantan, bahkan orang bermata sipit dan orang kulit putih Eropa pun ada yang mencari peruntungan di sini. Adapun suku bangsa yang mayoritas menetap di desa Sikakap adalah tetap saja didominasi oleh orang Padang, atau Minang tentunya. Rata-rata orang yang tinggal di desa Sikakap adalah karyawan PT. Mentawai Land bersama anggota keluarga mereka. Ada juga para pedagang yang menumpang tinggal dengan sanak famili mereka di sini, sekali seminggu mereka akan balik ke Padang untuk mencukupi stok barang dagangan mereka karena telah terjual habis dibeli oleh orang-orang perusahaan. Setiap hari di keramaian pasar, Pasar Mini namanya, terletak di tepi laut dekat dermaga desa Sikakap, ada juga muncul dan berlalu-lalang penduduk asli, pribumi Mentawai, dengan penampilan yang sangat berbeda sekali dengan penduduk yang menhuni Sikakap, yang katanya mereka adalah manusia berperadapan modern.


Orang-orang suku asli Mentawai rutin datang berkunjung ke desa Sikakap, khususnya ke Pasar Mini hanya sekedar untuk menjual hasil bumi yang mereka dapatkan dari lingkungan tempat tinggal mereka nun di dalam hutan pulau Pagai, lingkungan yang belum tersentuh oleh peradapan maju. Mereka kepasar biasanya membawa buah-buahan dan umbi-umbian seperti durian dan gete atau talas orang kita bilang, ada juga duku dan ketela dibawa dalam keranjang rotan besar yang selalu mereka sandang di belakang.


Orang suku asli ini bukanlah pedagang ulung seperti halnya orang-orang Padang, tidak pandai menawarkan barang dengan harga tinggi, asal ada saja orang yang mau membeli barang-barang dagangan itu tentu mereka akan jual segera. Dan uang yang mereka peroleh dari hasil penjualan barang-barang itu, tentunya akan segera mereka tandaskan dengan membeli berbungkus-bungkus rokok atau dalam bahasa mereka disebut dengan ube, bahkan sampai satu slof banyak. Mereka laki-laki dan perempuan sangat candu sekali merokok. Ternyata rokok telah menjadi kebutuhan hidup bagi mereka, satu hal yang tidak pernah mereka dapatkan dari alam, hutan dan tanah Mentawai, hanya dapat mereka peroleh dari kedai-kedai yang berjualan di desa Sikakap.
Rokok pada masa itu telah memiliki peran penting sebagai sebuah tali penghubung antara peradapan masyarakat suku asli pedalaman Mentawai dengan masyarakat modern yang tinggal di desa.


Setiap hari orang suku asli Mentawai datang ke Sikakap dengan penampilan seadanya saja, penampilan sehari-hari di pemukiman tempat tinggal mereka, nun di pedalaman hutan pulau Pagai, tanpa mengenakan baju dan celana, hanya sehelai sempak saja bagi kaum laki-lakinya, kain itu mereka lilitkan di pinggang hingga menutupi organ vitalnya, dan bagi perempuan pribumi tentu mengenakan kain bawahan dan kain penutup dada seadanya saja, ada juga yang membiarkan payudaranya terbuka. Sekujur badan mereka tampak penuh dengan guratan tato, mulai dari pipi, hidung, bahu hingga ke ujung kaki. Terutama bagi kaum laki-laki atau mereka biasa dipanggil silaenge, mereka memasang motif-motif tertentu, gambar sesuatu yang berkaitan secara langsung dengan kehidupan mereka. Contohnya, ada terlihat seperti motif duri rotan dipasang di sepanjang kedua lengan laki-laki Mentawai. Kemudian ada juga tampak seperti motif papan bersusun-susun pada pinggul yang tidak pernah mereka tutupi dengan sehelai kainpun, dan tato dengan bentuk motif pagar diukir pula pada kedua kaki mereka yang panjang. Gambar busur dan anak panah juga mereka tatokan di dada, dan gambar mata pancing di kedua tangan mereka. Begitulah bentuk-bentuk titi, motif tato yang telah ditentukan oleh tradisi, adat dan nenek moyang mereka. Setiap bentuk-bentuk gambar yang melekat secara permanen di anggota badan setiap silainge tentu ada memiliki makna-makna tersendiri bagi mereka dan kebudayaan yang mereka anut.


Beruntung sekali Rasyid dan Tias karena posisi rumah yang mereka diami sekarang berada dekat pasar dan dermaga kapal umum, tempat waktu mereka menginjakan kaki pertama kali di desa itu. Dari rumahnya Tias bisa bejalan kaki beberapa menit saja untuk pergi ke pasar, untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Rasyid tidak mudah begitu saja untuk berangkat pergi kerja ke kantornya yang baru. Kantor itu berada nun di kilometer 6, di puncak bukit, bukit Siyai. Setiap pagi, sekitar pukul setengah 7 Rasyid telah siap untuk berangkat kerja. Setiap pagi dia berdiri di depan rumah untuk menunggu bus angkutan khusus karyawan yang biasa lewat pada jam itu.



Setelah bus karyawan datang menjemput Rasyid, tinggalah Tias sendirian di rumah. Wanita muda yang sedang hamil tua itu tidak pula hanya diam dan tidur-tiduran saja di rumahnya, tidak seperti pada waktu dia masih tinggal di Padang bersama Mak Inar, orang tua yang sangat memanjakan dirinya. Segala kebutuhan dapat disediakan oleh ibu yang sudah tua itu. Bahkan untuk mencuci pakaian Tias dan suaminya juga dapat dilakukan oleh Mak Inar. Tapi sekarang keadaan sudah jauh berbeda, Tias harus mengerjakan segala urusan rumah tangganya sendirian, mulai dari urusan kasur, sumur, dapur hingga pekarangan rumah.


Schedule rutinitas Tias di pagi hari setelah suaminya berangkat kerja, dari pukul setengah 7 adalah membereskan urusan pekerjaan dalam rumah. Mulai dari merapikan tempat tidur, berlanjut menyapu lantai rumah, mencuci piring bekas sisa makan semalam, hingga mencuci pakaian dan kemudian menjemurnya di halaman pada hampaian kain yang terdapat di halaman depan. Semuanya dapat dilakukan oleh Tias dengan enteng dan santai saja, walaupun perutnya yang semakin hari semakin besar itu dapat memperlambat geraknya ketika sedang beraktifitas. Lagi pula jumlah piring dan pakaian mereka tidaklah seberapa, karena mereka masih hidup berdua saja.



Sekitar pukul 9 pagi, kala matahari belum terik, badannya masih segar bugar, belum ada letih, belum penat Tias mulai lagi beranjak membenahi pekarangan rumahnya. Tias mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh secara seporadis di atas tanah pekarangan dan menyapu dedaunan kering yang berjatuhan dan bertebaran di sekitar pokok pohon akasia. Sebatang pohon yang sengaja ditanam di dalam halaman rumah paling depan, dekat dengan pagar rumah oleh penghuni lama di rumah tempat tinggal Tias sekarang. Pohon yang setinggi kurang lebih 6 meter itu selalu menyebabkan sampah dedaunan berserakan setiap pagi dan petang di pekarangan, membuat mata si yang punya rumah berbulu bikin jengkel. Walupun begitu Tias tidak pernah bosan menyapu dedaunan kering itu dengan sapu lidi lalu mengumpulkannya di satu tempat, dalam keranjang sampah, kalau dia sempat, sampah-sampah itu pasti nanti akan dibakarnya hingga musnah menjadi abu. Setelah itu Tias mulai beralih mengumpulkan batu-batu kerikil sebesar gengaman tangan untuk disusun rapi dan menjadikannya sebagai jalan setapak untuk kaki suaminya, agar sepatu suaminya tidak kotor karena menginjak tanah yang becek, dia susun mulai dari pintu pagar membentang hingga sampai ke teras rumahnya.



Pada petak halaman pekarangan yang tidak seberapa luas itu, disana Tias mulai dapat bersosialisasi, berinteraksi dengan tetangga kiri-kanan di lingkungan sekitar, mulanya dengan senyum sapa melewati pagar kayu pembatas yang setinggi pinggangnya, kala menjemur kain atau sedang merapikan pekarangannya. Setelah itu baru Tias dapat lenih mengenal dan ngobrol ringan dengan beberapa ibu-ibu tetangga yang kelihatan telah lebih matang dari pada usianya sekarang dan mereka itu telah pula memiliki beberapa orang anggota yang selalu mengekor di belakang dan ada pula yang merengek mintak di gendong. Ada istri Ajo Eri atau biasa dipanggil buk Eri, tetangga sebelah kiri rumah Tias. Perempuan Minang yang sedang hamil besar itu biasa memanggil tetangganya itu dengan sebutan uniang, karena Tias mengetahui bahwa perempuan itu juga orang Padang, tepatnya orang Pariaman, sebuah daerah kabupaten yang berbatasan lansung dengan kota Padang di sebelah utara. Seperti adatnya, yang Tias ketahui bahwa setiap wanita Pariaman biasa dipanggil uniang, atau ci’uniang sedangkan yang laki-lakinya dipanggil Ajo. Kemudian ada pula setelah bercakap-cakap dengan buk Eri, Tias lalu berkenalan lagi dengan tetangga sebelah kanan rumahnya, di sana ada buk Butet istri dari bapak Hutabarat. Dari panggilan nama mereka itu jelas saja dapat diketahui mereka adalah orang-orang yang berasal dari Sumatera Utara, atau Medan.



Kedua ibu-ibu rumah tangga itu senang sekali menyambangi tetangga baru mereka, Tias, apabila wanita itu sedang sibuk merapikan pekarangan rumahnya. Kedua orang ibu-ibu itu suka berada di halaman rumah Tias, paling sering pada sekitar waktu menjelang tengah hari, dan mereka selalu duduk di bawah pohon akasia, di atas bangku balok panjang yang telah ada di pasang pada pangkal batang pohon itu, sambil menggendong atau menyuapi anak-anak mereka makan. Di tempat itu macam-macam saja obrolan mereka bersama Tias. Tentunya Tias merasa senang sekali karena telah mendapatkan kawan baru di tempat tinggalnya yang baru sekarang.



Buk Eri, perempuan Minang itu senang bicara tentang jenis-jenis masakan Padang dan juga cara dan teknik memasaknya kepada Tias. Bagi Tias sendiri apa yang di katakan oleh buk Eri itu adalah dianggapnya sebagai sebuah kursus memasak kilat. Walaupun Tias sendiri tidalah pula bodoh atau orang baru dalam hal memasak. Tias memang hanya tamatan SMA, tapi Tias juga punya skill yang baik dalam hal memasak, atau bisa dibilang dia hobi memasak. Semenjak SD, Tias memang gemar sekali membantu Amaknya, Mak Inar untuk mengolah makanan di dapur. Apa itu rendang, gulai dan sup, semua jenis masakan tradisional Padang sudah pernah dibuatnya sendiri. Tinggal sekarang hanya cita rasa yang dapat menentukan, apakah Tias memang sudah pakar memasak masakan Padang atau hanya baru seorang pemula. Tentunya Rasyid adalah orangnya, laki-laki yang selalu mencicipi masakan Tias, dari Rasyid sendiri dapatlah diperambil sebuah penilainan tentang keterampilan istrinya dalam hal masak-memasak. Tetapi ini hanya sebuah penilaian khusus dari seorang suami kepada istrinya seorang. Biasanya Rasyid akan selalu memuji dan mengatakan istrinya sangat pandai sekali memasak, dan masakannya sangatlah enak sekali. Sehingga Rasyid memutuskan bahwa dia tidak akan pernah makan di luar rumah lagi, selain dari makanan buatan Tias.


Selain urusan masak-memasak, buk Eri juga senang bercerita tentang pengalaman enak yang pernah dialaminya ketika makan di berbagai restauran terkemuka di kota Padang. Kalau masalah yang satu itu, tampaknya buk Eri sangat antusias sekali memperbincangkannya bersama Tias dan yang disampingnya juga ada buk Butet. Jelas terlihat dari ukuran badan buk Eri yang bentuknya melebar ke samping dengan kepalan-kepalan daging berlemak yang menjuntai di kedua pangkal lengan dan pinggangnya yang lebar. Bisa dibilang kalau urusan makan adalah hobinya yang nomor wahid. Adapun bagi buk Butet tentu kota Padang tidaklah asing lagi bagi dirinya. Biasanya setiap dia dan keluarganya pulang kampung ke Medan, cuti pada bulan Desember untuk menyabut Natal dan tahun baru, tentu mereka sekeluarga akan mampir dahulu ke kota Padang untuk beberapa waktu. Paling suka buk Butet dan keluarga singgah di kedai sate Laweh. Kedai itu berada di jalan M. Yamin. Itulah sate Laweh, sate masakan khas Pariaman, kampungnya uniang Eri atau buk Eri yang sering dia bangga-banggakan pada semua orang, sate kuah kacang warna merah kental paling enak dan sangat terkenal di kota Padang. Di lain waktu bu Butet dan keluarganya juga pernah singgah beberapa kali ke restauran Simpang Raya untuk merasakan gurihnya ayam pop atau sekali-sekali makan di restauran Selamat untuk mencicipi hidangan rendang khas restauran itu, yang kata orang sangat terkenal enak. Itulah beberapa restauran yang sering di ceritakan oleh buk Eri pada orang-orang dan tetangga sekitarnya di Sikakap, sehingga menjadi rujukan pula bagi buk Butet, kalau setiap kali singgah ke Padang.


Bagi Tias sendiri, tidaklah ada istimewanya semua restauran dan rumah makan yang telah diceritakan oleh buk Eri tadi. Seperti yang sudah di ketahui, bahwa rumah kediaman orang tua Tias di Padang adalah berada dekat dengan Pasar Raya. Semua tempat yang dikatakan buk Eri tadi berada tidak jauh dari rumah orang tuanya. Sudah pula satu persatu pernah dicobai oleh Tias mulai sejak dia masih sekolah SMP. Kalau Tias sedang berselera ingin makan enak, dan ada punya uang di kantong, maka dia akan singgah di salah satu tempat yang disebut-sebut oleh buk Eri Tadi. Tapi semua itu tidak diutarakan oleh Tias kepada pembicaranya yang sekarang sedang semangat bercerita di depannya. Tias hanya menganguk-angguk seperti orang yang baru menyadari akan sebuah kebenaran dari si penutur yang berbadan lebar itu.


Kalau buk Eri suka membahas tentang makanan, beda lagi halnya dengan buk Butet, ibu yang berambut pendek keriting, suka memakai celana pendek selutut ini, senangnya membahas tentang masalah seputar kehamilan. Mungkin dulu cita-citanya ingin menjadi seorang bidan, tapi tidak kesampaian, dan akhirnya dia terdampar ke sini, di pulau Pagai dengan menyandang status sebagai istri dari bapak Hutabarat. Kepada Tias, bersama buk Eri yang sedang duduk di sampingnya, belum juga henti berceloteh, buk Butet kemudian mendapatkan kesempatan bagus untuk menyalip laju percakapan yang tadinya sedang dipimpin oleh buk Eri dan lalu dibawanya berpindah ke topik kehamilan, tentu dia sendiri yang berada pada posisi terdepan. Sementara Tias hanya menjadi pendengar yang baik saja, dengan mengatakan “iya” atau anggukan kepala, sambil menyusun batu-batu kerikil di halaman atau sekali-kali mengayunkan sapu lidinya ke arah daun-daun kering yang berguguran di tanah. Sementara buk Eri mau tidak mau dia harus mengikuti ritme obrolan yang sedang di kendalikan oleh buk Butet dari belakang, seperti kedua perempuan itu sedang berada di sirkuit balapan saja.


Pada kesempatan yang baik itu buk Butet mulai menceritakan pengalaman yang pernah dia alami pada masa hamil pertama kali, mengandung si Ucok, anak laki-laki yang telah berusai 2 tahun sekarang, yang selalu merengek, resek dan suka bergantung di kakinya.


“Nah, sekarang kau degarkan aku Tias, ini masalah penting yang harus kau ketahui. Aku dulu waktu mengandung anak pertama ku ini, si Ucok ini, kerja ku makan-makan saja setiap hari, bahkan hingga naik berat badan ku jadi 80 kilo. A’ kalau masalah ngidam, a’ kau tanya saja sama bapaknya si Ucok ini, pasti kau tidak percaya. Sekali seminggu ada-ada saja orok ini minta makan. Mulai makanan dari Sabang, sampai Merauke pula di mintaknya. Pusing tujuh keliling kepala bapak itu dibuatnya. Untung saja waktu itu kami masih tinggal di Medan. jadi ada dapat pertolongan si abang dari saudara-saudara di sana untuk mencarikan makan-makanan itu. Pernah sekali waktu, gara-gara aku habis membaca majalah kuliner, jadi lapar perut ku, langsung saja aku mintak abang itu carikan aku bubur Manado. Bah..., ampun, mintak ampun abang itu sama aku. Tapi karena sayangnya dia sama aku, pergi juga dia keluar mencari bubur Manado. Seharian aku tunggu-tunggu belum juga dia pulang, akhirnya pas tengah malam barulah dia sampai di rumah, basah kehujanan dia waktu itu, dengan menenteng bungusan bubur Manado yang aku mintak dari tadi pagi. Senang dan sekaligus kasihan aku tengoknya. Tapi dia juga senang melakukan itu, demi anaknya katanya. A’ kini bisa kau tengok sendiri hasilnya, lihatlah si Ucok ini, Tias, bukan main besar dan sehat badannya. Jadi begitulah untungnya kalau kau mau banyak makan. Anak yang kau kandung itu nanti pasti akan lahir dengan sehat dan gemuk.


Adalagi hal penting yang harus kau ketahui Tias. Nanti kau pasti ada rasa takut kalau kau akan menghadapi masa persalinan. Tapi memang begitulah kodrat kita sebagai perempuan. Kita memang diciptakan Tuhan untuk menjadi ibu dan melahirkan anak-anak. Adalah kiat-kiatnya supaya kau tidak takut melahirkan. Pertama kau mintak ibu kau mendampingi kau di kamar persalinan nanti, dengan adanya beliau di samping kau, pasti kau akan lebih berani melahirkan anak kau. Kedua, mulai dari sekarang, ajaklah abang kau menemani kau jalan-jalan pagi dan sore, rutin kalian lakukan setiap hari, pergi jalan kalian ke bawah sana, ke pasar. Berguna sekali untuk melenturkan otot vagina kau itu. Supaya mulus saja anak kau lahir nantinya. Yang terakhir, nanti di ruang persalinan, sebelum kau melahirkan, bidan-bidan itu akan mengajari kau gerakan senam melahirkan. Dan juga teknik pernapasan yang benar untuk mengejan, atau istilah medisnya kontraksi. A’ kalau masalah ini, jangan kau coba di sini, berbahaya, lebih baik kau tanya sama bidan. Ada bidan Christin di puskesmas kita sana, dia ponakan abang ku juga, sering-seringlah kau temui dia, pasti dia senang menolong kau”


Ibu Eri dan buk Butet semakin hari semakin terbiasa bertandang ke halaman rumah Tias. Mungkin mereka berdua tidak punya banyak pekerjaan di rumah masing-masing. Kesukaan mereka adalah duduk di atas bangku panjang di bawah pohon akasia yang rindang itu, memang terasa nyaman untuk duduk dan ngobrol santai di tempat itu, udaranya sejuk dan dingin di bawah pohon itu. Tampaknya kedua perempuan yang baik hati itu dulu juga terbiasa ngerumpi disana, sebelum kedatangan Tias ke rumah itu, dengan penghuni lama rumah yang Tias tempati sekarang tentunya.


Tidak hanya mengosip, ngerumpi dan ngalur ngidul yang mereka lakukan berdua di bangku panjang itu, sering juga mereka memberi macam-macam bibit tanaman kepada Tias, yang mereka ambil dari taman bunga yang mereka rawat di halaman rumah mereka sendiri. Oleh karena itulah semakin hari pekarangan rumah Tias semakin indah karena ramai ditumbuhi aneka bunga berwarna warni dan sekaligus tanaman-tanaman bumbu memasak, seperti lengkuas, serai, kunyit, dan ruku-ruku, sejenis tanaman basil, yang biasa digunakan oleh orang Padang untuk memasak gulai ikan.


Dua orang tetangga yang ramah itu tidak pula hanya memberi bibit bunga dan tanaman saja, kedua nyonya itu juga turut membantu Tias yang sedang hamil tua ini menanam tumbuh-tumbuhan tersebut di halaman rumah Tias. Sepertinya mereka berdua bersimpati sekali kepada Tias. Mungkin ada timbul sedikit pertanyaan dalam benak mereka apabila melihat kondisi Tias sekarang, mengapa seorang wanita bunting seperti dia ini mau pula susah payah menuruti suaminya merantau ke pulau terpencil ini. Tidakah wanita ini bisa tinggal saja dengan nyaman bersama orang tuanya di Padang, sembari dia menunggu masa persalinan untuk melahirkan bayinya, atau mengapa dia tidak menunggu anaknya tumbuh hingga berumur setahun barulah datang menyusul suaminya ke sini.


“Uniang, buk Butet, janganlah repot-repot menanam bunga-bunga itu, biarlah saya sendiri saja yang mengerjakannya” Tias sedang berbasa-basi kepada kedua perempuan yang baik hati itu supaya tidak ikut kotor pula tangan mereka karena tanah.


“Bah, kasihan kali aku lihat kau, sudah besar perut kau, sibuk juga kau bekerja dengan tanaman, bisa-bisa keluar anak itu dari perut kau nanti”. Celoteh buk Butet yang cemas melihat Tias dengan perut besarnya duduk bersimpuh di tanah sambil sibuk menggali -gali tanah dengan memakai sekop kecil di tangannya.


Tiba-tiba Uniang Eri langsung mendekat dan mencengkram pelan bahu Tias, “Sudahlah sayang, biarkan kami yang mengerjakan” Uniang Eri mengangkat bahu Tias perlahan dan menegakan badan Tias berdiri di halaman, “Dah pindahlah, duduk saja adik di kursi itu, perhatikan saja kami”


Dengan berat hati Tias melangkah pelan sambil menahan perutnya yang bulat besar dan menyeka keringat di keningnya menuju ke kursi plastik yang terabaikan letaknya di teras rumahnya.


Sinar mentari pagi kala itu sangat terik sekali menyirami pekarangan rumah sederhana itu, rumah komplek, yang rupa bentuknya sama saja dengan rumah-rumah yang lain, berderet dari ujung ke ujung hingga berblok-blok ke belakang. Buk Eri dan buk Butet telah pula bermandikan keringat namun tetap saja mereka kekeh menyelesaikan pekerjaan Tias yang mereka gantikan. Kemudian Tias masuk ke dalam rumah menuju ke dapur untuk mengambil air minum guna pelepas dahaga untuk kedua perempuan yang sedang sibuk menanam bunga di pekarangan depan.


Masuk pada minggu ke dua, Tias telah pula pandai mengatur waktu dan ritme kerja rumah tangganya sendiri. Pada petang hari, biasanya Tias akan pergi ke Pasar Mini, pasar yang berdekatan lokasinya dengan dermaga kapal, untuk membeli lauk pauk dan bahan keperluan memasak lainnya.


Sebelum Tias pergi belanja ke pasar, lebih dulu dia menyisir rapi rambut pirangnya yang panjang sebahu, lalu memakai pakaian yang baik, pakaian yang pantas untuk dibawa keluar rumah, kemudian dia mengambil secukupnya uang dari dalam lemari dan memasukannya ke dalam dompet. Tias melihat dan memperhatikan keadaan dalam rumah sebelum keluar, dan dia rasa tidak ada satupun yang ganjil menurut pandangan matanya, setelah itu Tias melangkah keluar dan mengunci pintu rumahnya dari luar. Pada saat itu cahaya matahari sudah mulai redup, condong ke barat. Segera Tias membalikan badannya hendak berjalan menuju ke pintu pagar. Ternyata di depan pagar rumahnya itu telah berdiri seorang laki-laki tua. Langsung tersirap darah Tias sampai ke ubun-ubun karena kehadiran laki-laki tua itu berdiri di depan pakarangan rumahnya. Pada mulanya Tias menduga bahwa laki-laki tua itu adalah seorang yang meminta sedekah, seperti biasa waktu tinggal di Padang, ada saja setiap hari orang yang tidak di undang berdiri di depan pintu rumah orang tuanya, berharap tuan rumah mau memberi uang kepada mereka.


Namun kali ini ada rasa merinding pada diri Tias karena melihat penampilan laki-laki tua yang aneh itu. Jelas terlihat dari penampilan orang tua aneh itu, bahwa dia bukanlah orang fakir, tukang minta sedekah. Bapak tua yang sekarang sedang berdiri di luar pagar rumah Tias adalah orang pribumi asli, orang pedalaman. Memang dari bentuk tato yang dirajah pada sekujur badannya sama dengan tato yang dimiliki oleh silaege, para laki-laki pribumi asli yang biasa membeli ube setiap hari di Pasar Mini. Tapi kali ini ada yang lebih menarik lagi pada dandanan orang tua itu, dia yang masih sedang berdiri tegak lurus di luar pagar dan menghadap ke arah Tias, Tias pun yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya jadi agak ngeri karenanya, memperhatikan sikap dan pakaian yang dikenakan oleh orang tua aneh itu. Dia berdiri tegak dengan menyadang keranjang di pungungnya. Di bahu kirinya ada tersangkut sebuah busur dan seikat anak panah. Dia bukannya mau menyerang Tias dengan panah itu. Di tangannya yang lain ada sebuah tabung yang terbuat dari bambu betung setinggi satu meter. Di atas kepala pria tua itu ada semacam topi yang terbuat dari susunan manik-manik aneka warna. Dilehernya juga terdapat berjuntai-juntai perhiasan kalung, banyak, sehingga menutupi sebagian dadanya yang kerempeng, bukan kalung yang terbuat dari emas, tetapi dari akar-akaran dan manik-manik. Sama juga pada anggota badannya yang lain, pada kedua tangan dan kaki orang tua itu juga banyak terdapat perhiasan bergelatungan. Sepertinya laki-laki tua itu bukan orang pribumi biasa, ada yang istimewa dari penampilan orang itu, berbeda sekali dari orang pribumi yang pernah diperhatikan oleh Tias pada hari-hari sebelumnya.


Pria tua aneh itu mulai tersenyum dengan memerlihatkan susunan gigi-giginya yang runcing kepada Tias. “Konan... konan” orang tua aneh itu mengatakan sesuatu dengan bahasanya, bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Tias. “Konan... konan... konan” dia mengulanginya lagi sambil melambaikan tangan kanannya kepada Tias. Secara naluriah dan bahasa tubuh tentulah Tias dapat memahami kata yang diucapkan oleh orang tua itu, walau pun secara harfiah belum pernah diketahuinya, didengar dan dipelajarinya arti kata tersebut.


Walau masih ada perasaan merinding tapi diberanikan juga oleh wanita yang sedang hamil tua itu mendekat ke tempat orang tua aneh itu berdiri. Tias melangkah perlahan mendekati pagar pembatas, pagar yang memisahkan diri Tias dengan orang tua aneh itu. Sekarang jarak antara mereka berdua adalah hanya tinggal selengan saja, dan tetap masih ada pagar kayu yang memisahkan mereka berdua. “Ada apa bapak memanggil saya.... Apakah ada yang bisa saya bantu!” Tias dengan sikap sopan bertanya tentang apa maunya orang tua aneh itu.


“Oinan... oinan” bapak tua yang berpenampilan sangat nyentrik itu berkata sambil membalikan tabung airnya yang kosong dan mengguncang-guncang tabung yang sudah tidak ada isinya itu di depan mata Tias. “Oinan.... Oinan”.


Tentu Tias mulai mengerti apa maksud dan tujuan orang tua aneh itu datang menghampiri rumah Tias. Segera Tias mengabil tabung air yang terbuat dari bambu betung dari tangan si pemilik nya, “tunggulah sebentar, akan saya isi lagi tabung air minum bapak ini”. Tias bergegas masuk ke dalam rumahnya dengan menenteng tempat air minum orang tua itu, supaya dapat diisinya kembali dengan air sumur. Setelah tabung itu terisi penuh lagi, sebentar saja Tias segera kembali keluar untuk menemui orang tua tadi.


Sampai di luar, di halaman rumahnya, Tias sudah tidak mendapati orang tua aneh tadi berada di tempatnya lagi. Tias dibuat bingung karena tingkah laki-laki tua itu. Masih menenteng tabung air yang berat, Tias keluar dengan membuka pintu pagar rumahnya. Dia pergi ke tengah jalan dan berdiri disana melihat ke sekeliling penjuru angin, matanya mencari keberadaan orang aneh tadi. Tapi tidak di temukannya satupun jejak tentang lelaki tua yang setengah telanjang, yang menyandang keranjang rotan, yang mengenakan banyak perhiasan di seluruh anggota tubuhnya. Tampak oleh Tias di jalan pada waktu itu hanyalah segerombolan anak-anak sekolah dasar dengan seragam merah putih, yang baru pulang sekolah dari seberang, mereka jalan beriring-iringan, dengan sorak sorai dan tawa riang khas anak kecil, dari bawah sana, dari dermaga.


Dari pada buang waktu percuma, Tias mengantungkan tabung air yang terbuat dari bambu itu dengan tali sandangnya pada sebuah paku yang sengaja di tancapkan tinggi pada batang pohon akasia di depan rumahnya. “Orang aneh, sinting, mintak air kok malah pergi begitu saja tanpa bilang-bilang” Tias mengerutu sendiri, mengomeli perilaku tak biasa dari orang tua aneh tadi, “biar digantung sini saja, nanti pasti dia datang lagi untuk menjemput tabung airnya”.


Tias kembali pada rencananya semula, dan melupakan kejadian orang tua yang minta air tadi. Tias pergi ke Pasar Mini dengan jalan kaki menyusuri jalan utama desa Sikakap yang masih beraspal kasar, lebar dan menurun. Sampai di tengah-tengah keramaian pasar Tias jadi bingung seketika, karena rencananya tadi ingin memasak goreng ikan asin dengan tempe balado, ditandem dengan tumis sayur kangkung ataupun sayur bayam, sebagai menu untuk makan malam berdua dengan suaminya jadi buyar. Ternyata di Pasar Mini petang hari itu masih menyediakan banyak pilihan dan jenis lauk pauk, orang-orang masih ramai berbelanja. Para pedagang masih bersorak-sorak mencari perhatian para calon pembeli agar mau singgah ke kedainya. Paling tertarik mata Tias adalah pada seonggok udang kelong yang masih segar, ukurannya besar-besar, sebesar telapak tangan, warna cangkangnya itu merah muda, bening dan menyilaukan mata. Ternyata si penjual udang itu adalah seorang silaege. Laki-laki berbadan tegap tanpa berpakaian itu duduk diam saja menunggu dagangannya dibeli oleh orang. Dia tidak pandai berceracau seperti burung yang memanggil-memanggil, dan menarik perhatian para pembeli. “Lae... berapa jual udang ni satu” Tias coba menawar udang kelong yang sedang dijajakan oleh silaenge.


“Belilah udang ini, enak, 500 satu ekor” silaenge itu menyebutkan harga sepantasnya saja. Harga yang dia sebutkan itu masih tergolong murah apabila dibandingkan dengan harga udang yang dijual oleh para pedagang Minang di dalam pasar itu. Para pedagang setempat tau, semua orang juga tau bahwa kalau ada orang pedalaman yang jualan di pasar itu pasti harganya murah meriah. Tapi sayang stok barang dagangan mereka selalu serba sedikit, sekedarnya saja. Orang-orang suku pedalaman itu berdagang bukanlah untuk mencari untung, tetapi hanya untuk memperoleh uang guna pembeli ube atau rokok.
Pada masa itu ada namanya rokok Commodore, rokok merek itu sangat laris dan sangat di sukai oleh para penikmat rokok, harganya masih berkisar 500 rupiah. Silaenge dan siokok, perempuan Mentawai, sangat gemar sekali membeli rokok merek tersebut. Apabila silaenge tadi bisa menjual beberapa ekor udang kelong kepada Tias, berarti sebentar lagi dia pasti mendapatkan uang untuk membeli beberapa bungkus rokok Commodore.

“Beli 4 ekor saja lae” Tias membeli 4 ekor udang kelong kepada laki-laki pribumi yang bertato di sekujur tubuhnya itu. “Ni uangnya”. Tias memberikan selembar uang kertas 5000 kepada si penjual, “jangan lupa kembaliannya”.
Silaenge itu memasukkan udang kelong yang diinginkan Tias, sebanyak 4 ekor kedalam kantong, lalu dan menyerahkan uang sisa belanja Tias sebesar 3000 rupiah.


Setelah mengambil belanjaannya dan sisa uang kebalian, Tias pergi meninggalkan si penjual udang itu. Tias jalan ke kois lain yang menjual cabe dan bawang, namun hanya beberapa langkah saja Tias meninggalkan kios udang tadi, tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang memegang bahu Tias. Tias terkejut lalu membalikan badannya ke belakang. Ada seorang perempuan tua pribumi asli, siokok berdiri dibelakangnya. “Ini, ambilah” siokok itu memberikan seekor udang kelong lagi kepada Tias yang sudah dimasukannya kedalam kantong plastik. “Untuk anak kau” perempuan tua itu menunjuk ke arah perut Tias yang bundar seperti bola.


Tias termangu sebentar lalu terpikir olehnya kenapa perempuan tua itu mau memberikan udang kelong itu secara cuma-cuma pada anaknya, anak yang masih dalam perutnya. “Oh.. baik sekali... terimakasih ya kok”. Wanita cantik yang sedang bunting itu hanya bisa memuji dan bilang terimakasih pada perempuan tua yang baik hati itu, walaupun dalam di hatinya ada perasaan ganjil yang belum bisa dia pahaminya.


Siokok tua itu hanya tersenyum membalas pujian Tias. Melihat senyuman dengan giginya yang penuh bercak tembakau itu, Tias teringat kembali pada laki-laki tua aneh yang baru saja ditemuinya di depan rumah. Bentuknya persis sama, runcing, seperti sengaja di buat begitu.


Wanita yang sedang mengandung itu kembali lagi melanjutkan belanjanya. Sementara siokok kembali pula ke tempatnya. Dia hanya berdiri sambil memandangi Tias yang sedang berbelanja di kios cabe tidak jauh dari kios udang lelaki bertato itu. Tias jadi panling dibuat oleh perilaku baik perempuan tua tadi. Sambil memilih cabe dan bawang Tias melemparkan senyuman manisnya untuk orang yang telah memberinya udang kelong tadi. Tapi sayang sekali perempuan tua itu sudah rahib dari tempat dia berdiri semula. Tias kembali lagi merasa kehilangan, pandangan matanya menatap ke penjuru pasar yang ramai itu, mencari sosok perempuan tua yang baik tadi. Namun tak dapat dia temukan lagi orangnya.


Entahlah, Tias merasa ada yang ganjil pada hari itu. Telah dua kali kejadian serupa di alaminya, persis dalam waktu yang sangat berdekatan. Dalam perjalanannya pulang dari pasar sambil menjijing kantong belanjaannya dan dua kantung yang berisi udang kelong, Tias memikirkan sosok dua orang aneh tadi yang telah membuat dirinya jadi bingung.


Sampai di halaman pekarangan rumah, Tias melihat tidak ada lagi tabung air milik laki-laki tua yang tergantung pada pohon rimbun di depan rumahnya. Betul dugaan Tias semula, pak tua itu pasti telah kembali untuk mengambil tempat air minumnya. Ternyata ada sesuatu yang tergeletak di bawah pokok pohon akasia itu. Adalah seikat gete, ada lima buah umbi talas yang sebesar betis diikat menjadi satu, dan diletakan di atas tanah menyadar ke akar pohon tersebut. “Wah apalagi ini? Talas, kenapa orang itu meletakan talas disini? Apa maksudnya? Apakah talas ini untuk aku?” Saat itu kebingungan di kepala Tias malah semakin menjadi-jadi, disebabkan oleh keberadaan seikat talas itu. Banyak pertanyaan bermunculan di benak Tias. Tapi ya sudahlah, perempuan buting itu tidak mau ambil pusing lagi, dia abaikan saja talas yang tergeletak di bawah pohon itu. Dia masuk ke dalam rumahnya dan kembali melanjutkan pekerjaan rutinnya, memasak bahan-bahan masakan yang baru saja dibelinya di Pasar Mini tadi.


Pukul 5 sore, semua pekerjaan rumah tangga Tias sudah kelar dengan sempurna. Hidangan makan malam dengan menu udang kelong balado dan sayur tumis tauge telah tersaji rapi di atas meja makan. Nasi sudah tanak di dalam periuk, air sudah terjarang, masih di atas kompor. Tias sendiripun telah selesai mandi dan telah selesai pula melaksanakan ibadah sholat azharnya. Seperti biasanya setiap sore perempuan hamil itu selalu suka berdandan cantik, mengenakan baju daster terusan berwarna pink tidak berlengan sehingga bahu dan lengannya yang putih dibiarkan terbuka. Agar lebih tampil mempesona, ditambahkannya lagi dengan memoles bibirnya yang tipis dengan lipstik berwarna merah muda. Rambutnya pirang sebahunya selalu diikat kuncir, seperti ekor kuda. Sekarang Tias sudah duduk santai di beranda rumahnya untuk menunggu kedatangan suaminya yang sebentar lagi akan pulang ke rumah.


Terdengar laju sebuah kendaraan berat besar bermesin diesel meraung-raung dan kemudian ia berhenti tepat di depan rumah Tias. Itulah suara kendaraan yang telah ditunggu-tunggunya dari tadi, sebuah bus, Tias bergegas keluar rumah, dia tau itu adalah suara bus perusahaan yang berhenti sedang menurunkan penumpangnya. Salah satu dari orang-orang yang turun dari kendaraan itu pastilah Rasyid, orang yang selalu dirindukan Tias sepanjang hari. Tias berdiri di halaman dengan manis menyambut suami tersayang berjalan ke kediaman tinggalnya.


Tampak juga sore itu anak-anak tetangga berlari-lari kecil di pekarangan rumah mereka dengan riang gembira mengejar ayah mereka yang waktu itu sama-sama tiba bersama Rasyid. Para lelaki itu, Ajo Eri dan pak Hutabarat juga balik mengejar anak-anak mereka masing-masing, anak-anak yang masih lucu dan mengemaskan, merindikan pelukan seorang ayah, ayah mereka yang telah penat bekerja mencari uang seharian, untuk mencukupi kebutuhan hidup anggota keluarga yang teramat mereka cintai. Anak-anak itulah yang dapat memusnahkan segala kepenatan dan juga mungkin ada beban pikiran di tanggungnya disaat bekerja, sehingga hilang seketika pada waktu sore itu, setelah mereka menginjakan kaki di rumah.

Rasyid juga turut bahagia melihat kelakuan para tetangganya itu. Para ayah itu bergelut seperti anak kecil saja bersama anak-anak mereka yang masih mungil. Tias yang tau tentang perasaan suaminya, segera saja dia menyambut tangan Rasyid yang ketika itu baru sampai di halaman, lalu diletakan tangan suaminya di perutnya yang kelihatan semakin hari semakin membesar. “Sabarlah uda, sebentar lagi uda akan sama seperti mereka. Ayo mari kita masuk ke dalam”.


Tias adalah istri yang telaten mengurusi suaminya. Ditariknya Rasyid masuk ke rumah, diambilkannya handuk dan di suruhnya laki-laki itu mandi. Sembari menunggu Rasyid selesai mandi, Tias membuat secangkir kopi hitam untuknya.


Segar dan bergairah lagi hidup Rasyid setelah mandi dan berpakaian sore itu. Keluar dari kamar tidur dia mendapati secangkir kopi panas telah tersedia di atas meja makan. Diminumnya seteguk, lalu kemudian melangkah ke teras depan mencari tempat duduk untuk santai sejenak.


Dilingkungan perumahan karyawan, sektor Sikakap sore itu sudah ramai para tetangga, yang kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak pada keluar rumah. Mereka berkumpul-kumpul di depan perumahan untuk ngerumpi sambil memberi makan anak-anak. Ikut juga Tias nimbrung bersama mereka, tapi Tias tidak mau lama-lama larut dalam gosip-gosip tetangga. Karena dia melihat Rasyid sedang duduk di kursi teras, lantas dia tinggalkan orang-orang yang sedang bergosip itu, dan langsung menghampiri suaminya yang sedang sendiri menikmati sebuah tulisan dalam majalah yang sedang dibacanya. “ Uda, maukah uda menemani saya jalan-jalan sore ke pantai. Kata ibu-ibu yang di depan itu baik dikerjakan setiap hari guna melenturkan otot bawah saya untuk melahirkan”


Rasyid sangat setuju sekali dengan ide itu. Lantas Rasyid mengambil sepasang sendal lalu mengunci pintu rumah dari luar. Digandengnya istrinya yang cantik itu dan berjalan keluar. Ketika Rasyid hendak membuka pintu pagar, dia melihat ada seikat talas yang tidak diketahui kepunyaan siapa teronggok di bawah pohon akasia. “ Eh, itu talas punya siapa?” Rasyid penasaran dan menanyakannya itu kepada Tias.

Sambil mereka berjalan menuju pantai Sikakap, yang berjarak hanya satu kilo dari tempat tinggal mereka, Tias menceritakan perihal kejadian-kejadian aneh yang di alaminya petang tadi, hingga terakhir mengenai keberadaan talas yang teronggok di bawah pohon akasia itu.

Rasyid menanggapi cerita istrinya itu dengan biasa saja, tanpa ada pikiran-pikiran negatif yang dapat membuat mereka jadi tidak tenang. “Bisa jadi talas itu kepunyaan laki-laki tua aneh itu. Sebaiknya kita biarkan saja talas itu di tempatnya, mungkin dia lupa, kalau dia ingat pasti akan diambilnya lagi”.

“Tapi uda, kenapa penampilan bapak tua itu tadi unik sekali ya, banyak perhiasan yang terbuat dari manik-manik, seperti gelang dan kalung di badannya. Bahkan topi yang dipakainya pun terbuat dari manik-manik beraneka warna. Terlihat sangat menarik dan istimewa sekali, berbeda sekali dengan penampilan orang-orang Pagai yang biasa saya temui di setiap hari di pasar”


“Kalau seperti itu corak orangnya, berarti dia adalah seorang Sikerei”

“Sikerei itu apa uda?” Tias menjadi lebih penasaran dan ingin tau lebih banyak tentang laki-laki tua yang aneh itu.
“Sikerei itu adalah seorang dukun, orang yang memiliki keahlian dalam pengobatan. Dia biasa menggunakan tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang ada di alam sekitar untuk mengobati orang-orang yang sakit. Seorang Sikerei juga dapat menjadi mediator antara alam manusia dengan alam gaib, yaitu dengan para leluhur mereka yang telah meninggal. Setiap Sikerei adalah tentu orang baik, dia suka menolong dan suka memberi. Jadi kamu tidak perlu takut dengan keberadaan orang tua itu. Kalau dia datang lagi bantulah dia, mana tau dia mintak air lagi, atau kalau kita ada makanan kasihlah ke dia”

Mencermati penjelasan sederhana dari suaminya tadi Tias mulai paham, dan bertambah pula pengetahuannya tentang kebudayaan suku asli Mentawai. “Trus uda, bagaimana dengan Talas tadi? Apakah dia memberi talas itu buat kita?”

“Itu belum tentu benar, yang betulnya, kamu jangan sentuh talas itu sebelum pemiliknya memberikan pada kamu” Selanjutnya Rasyid menasehati istrinya, supaya bersikap hati-hati dan tetap sopan bila berbicara dengan orang yang belum di kenal. Apalagi mengenai sesuatu barang kepunyaan orang, jangan sembarangan, bisa-bisa jadi masalah besar dibuatnya. Apalagi sekarang mereka tinggal di bumi yang asing, bukan tempat yang mereka kenal seluk beluknya. “Mengindari masalah adalah tindakan yang sangat arif dan bijaksana bagi kita. Apakah kamu masih ingat pada petuah ayah, sebelum kita berangkat kesini dulu. Biarlah kita merugi dari pada kita yang merugikan orang lain. Perbuatan merugikan orang lain adalah dosa, dapat membuat hidup kita tidak tenang dan selalu merasa bersalah setiap hari”



Akhirnya, setelah mendapatkan penjelasan yang cukup terang dari Rasyid, maka Tias dapat menghilangkan sakwa sangkanya kepada kedua orang aneh yang telah membuat interaksi dengan dirinya pada petang hari tadi.

Besok paginya, pada waktu dan jam yang sama, ketika Rasyid hendak mau berangkat kerja, mereka tidak menemukan lagi keberadaan talas yang seikat lima buah itu berada di tempatnya. Benar perkiraan Rasyid kemarin sore. Talas itu adalah barang yang tertinggal oleh orang tua aneh yang disebut Rasyid sebagai sikerei. Mungkin tadi malam orang itu telah datang kembali dan menjemputnya.

Kembali pada hari itu pekerjaan-pekerjaan yang sama dikerjakan oleh Tias seorang diri. Begitu juga dengan kedua tetangganya, uniang Eri dan buk Butet mereka akan tetap menyambangi Tias pada waktu menjelang tengah hari, apabila pekerjaan rumah mereka sudah selesai, hanya sekedar melanjutkan minat dan bakat mereka dalam hal menggosipkan orang-orang di sekitarnya. (Lucky Lukmansyah)






























































Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © Simple SEO ✔