Cerita Orang Padang. Don, Laki-laki Hebat

06:22:00




Cerita Orang Padang

Don, Laki-laki Hebat
Membaca kata Don pada judul karangan di atas mungkin anda teringat pada sebuah film di tahun 70’an tentang cerita perjalanan hidup seorang kepala gembong mafia Itali yang menguasai kota New York, Don Corleone namanya, diperankan dengan apik oleh seorang aktor kawakan Hollywood, siapa lagi kalau bukan Alpacino, pada film yang berjudul The Godfather.

Tetapi Don disini sama sekali bukan cerita tentang seorang kepala gangster, atau kisah tentang kelompok orang-orang yang menjalankan usaha dengan jalan kekesaran, sama sekali jauh berbeda.

Don adalah cerita tentang seorang kawan, kawan dari masa lalu saya, waktu saya sedang kuliah di Universitas Negeri Padang, jenjang S1, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Jangan pula anda berpikir bahwasanya perkuliahan yang saya jalani waktu itu adalah sama seperti kuliah biasa mahasiswa kebanyakan. Saya dan kawan saya Don waktu itu mengambil kelas khusus mahasiswa transfer dari D3 ke S1. Kelas Qualifikasi Guru Bahasa Inggris namanya. Seluruh guru-guru yang mengajar bahasa Inggris di Sumatera Barat, yang masih D3, dan yang telah lulus test qualifikasi, dapat di biayai oleh Pemprof Sumbar untuk melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang S1 di UNP. DOn adalah salah satu dari guru-guru itu. Sedangkan saya hanya mahasiswa transfer biasa yang ditumpangkan oleh pihalk jurusan Bahasa Inggris di dalam kelas Qualifikasi Guru itu.
Rata-rata umur para guru yang mengikuti kelas itu adalah di atas 40-an, sedangkan saya waktu itu sekitar 27-an umur saya. Kebetulan di dalam kelas saya laki-laki yang paling muda, paling tangkas, paling cepat dan paling bisa menyelesaikan tugas-tugas dari dosen dengan segera, maka saya di angkat oleh mereka sebagai ketua kelas. Waktu itu awal perkuliahan di mulai pada Juli 2008. 

Don atau pak Don, dengan saya adalah berkawan cukup dekat. Dia sering sekali nelpon saya tanya tugas, dan paling sering minta tolong sama saya untuk mengkopikan catatan sekalian minta buatkan tugas yang telah diberikan oleh salah seorang dosen kemarin. Maklum kelas kami cuma berjalan 3 hari dalam seminggu, yaitu dari hari Jumat sampai Minggu, karena mahasiswanya seluruhnya adalah pegawai, orang yang bekerja, kecuali saya sendiri pada waktu itu. Jadi sering sekali kawan-kawan saya, bapak-bapak dan ibu-ibu guru itu menyuruh saya menyelesaikan tugas-tugas mereka, nanti mereka akan kasi saya sedikit ongkos, buat beli rokok kata mereka.

Hubungan saya dan pak Don menjadi semakin dekat saja semenjak saya dia kenalkan dengan istrinya yang cantik, perempuan itu bernama Mimi. Buk Mimi adalah seorang guru sekolah dasar, pegawai negeri juga sama dengan Don, suaminya. Buk Mimi mengajar di salah satu SD negeri di kota Padang, dekat pusat kota, sedangkan Don mengajar di SMP negeri yang berada di pinggiran kota, dekat dengan kampus Unand.
Setelah beberapa kali saya datang ke rumah mereka, akhirnya Mimi meminta saya untuk mengerjakan skripsinya. Skripsi tentang PTK, Penelitian Tindakan Kelas untuk guru PGSD. Tentu saya sangat paham sekali tentang PTK itu, karena saya adalah seorang mahasiswa pendidikan, tentu saya juga menguasai ilmu PTK juga. Cuma beda pembahasan saja, kalau saya tentang ilmu Bahasa Inggris, kalau buk Mimi tentang pembelajaran IPA sekolah dasar. Intinya saya menyanggupi permintaan perempuan itu, dan pasti saya sangat mengharapkan honor dari pekerjaan itu, maklum saya adalah seorang mahasiswa kere pada waktu itu, dan sampai sekarang masih tetap kere juga.


Lambat laun, seiring dengan berjalannya waktu perkuliahan, saya tetap menyelesaikan skripsi dari buk Mimi itu. Hubungan saya dengan sepasang suami yang selalu hadir mesra di depan saya itu, belum memiliki keturunan, malah semakin dekat. Apalagi waktu itu saya sudah menjalin hubungan asmara dengan seorang perempuan, perempuan asal Bukittinggi, juga salah seorang dosen yang mengajar di jurusan tempat saya kuliah itu. Debi namanya, umurnya sepantaran dengan saya. Wanita pintar. Waktu itu baru setahun dia selesai kuliah program S2 dari luar negeri, dan baru pula diterima sebagai Dosen CPNS di jurusan Bahasa Inggris itu. Saya sering membawa Debi berkunjung ke rumah Don dan Mimi, sekalian memberikan laporan perkembangan tentang skripsi Mimi yang sedang saya kerjakan. Waktu itu memang Debi tinggal berdekatan jaraknya dengan tempat tinggal Don. DEbi kos di Lubuk Begalung sedangkan mereka tinggal di Cengkeh. Rumah saya, masih tinggal dengan orang tua, lebih keatas lagi, dekat kampus Unand, dekat juga dengan sekolah SMP tempat Don mengajar, Kepala Koto nama desanya.


Don dan Mimi juga sering ke rumah saya. Kebetulan adik-adik saya sangat kenal dengan Don. Don adalah guru Bahasa Inggris mereka waktu masih SMP dulu. Begitu juga dengan Don, dia paling ingat dengan adik perempuan saya yang bernama Yati, anak paling pintar di kelas katanya.


Masuk pada tahun 2010, tibalah waktunya saya melangsungkan akad nikah dengan Debi, mantan pacar saya yang sekarang telah menjadi istri saya, di Bukittinggi. Acara nikah sederhana saja, tidak ada pesta sama sekali. Tahun itu saya memang belum menyelesaikan perkuliahan saya sama sekali, masih ada beberapa mata kuliah wajib yang belum dikerjakan. Diantaranya adalah matakuliah PKL, Praktek Kerja Lapangan, dan TA, Tugas Akhir. Kawan-kawan di kelas Qualifikasi sebagian sudah pada selesai atau wisuda. Mereka tidak ada mata kuliah PKL, karena sudah mereka dapatkan dulu waktu kuliah D3. Sebagian kawan yang belum tamat, tidak lagi bisa jalan seiring sejalan lagi seperti pada waktu tahun pertama kuliah dulu. Mereka dan termasuk saya sudah sibuk sendiri-sendiri dengan mata kuliah yang masih tercecer pada semester sebelumnya.


Tahun 2010 itu telah saya selesaikan skripsinya buk Mimi dengan tuntas, sampai perempuan itu lulus kompre dan sekaligus perbaikannya. Tidak ingat lagi oleh saya judul Penelitian Tindakan Kelas yang telah saya tulis untuk Mimi waktu itu. Yang terpenting urusan saya dengan Mimi telah selesai. Namun sejak hari itu Don tidak ada lagi datang ke kampus, tidak pula menyelesaikan mata kuliah dan urusannya dengan dosen. Dia tidak tidak ada memberikabar kepada saya tentang keadaannya, begitu juga dengan Mimi, tidak pula menelpon. Karena saking sibuknya dengan urusan sendiri saya jadi lupa dengan keadaan Don.


Pada suatu hari saya lewat depan rumah Don, karena waktu itu ada keperluan dengan seorang famili yang kebetulan tinggal dengan dekat dengan Don. Alangkah kagetnya saya melihat Don ada di depan pintu pagar rumahnya, dengan keadaan kumal, dan berdiri dengan ditompang oleh dua buah tongkat yang dijepitkan di ketiaknya.


“Astagafirulah..... Pak Don kenapa bisa begini?”
“Yah beginilah Jun.... Nasib buruk telah menimpa saya”
“Ceritakanlah pak tentang apa yang telah menimpa diri bapak”
“Apalah yang perlu diceritakan, namanya juga kecelakaan, yah beginilah jadinya”
“Trus sekarang kaki bapak gimana keadaannya?”
“Sudah di pasang pin di dalam, butuh waktu setahun sampai dua tahun baru sembuh”
“Yah banyak sabar ya pak”
“Terimakasih Jun.......”


Terus saya mengalihkan pembicaraan kepada kuliah pak Don yang sudah terlalu banyak ketinggalan.


“Oh ya pak, gimana dengan kuliah, apakah masih akan tetap bapak lanjutkan?”
“Itulah Jun,...... Saya jadi bingung. Maunya saya ingin menyelesaikan dengan segera, tapi keadaan saya sudah jadi begini, jalan saja susah, apalagi pergi kuliah ke UNP, Air Tawar sana dengan bawa motor lagi, belum mungkin rasanya”
“Yah sudah, kalau tidak sanggup biarlah berhenti dulu, nanti saya beri tahu ketua jurusan, kalau bapak tidak bisa kuliah lagi”
“Iya Jun, tolong saya ya, beritahu Ketua Jurusan”
“Oke..... Jangan khawatir tentang itu..... Oh, ngomong-ngomong buk Mimi mana?”
“Dia pergi dinas, naik ojek aja sekarang, saya tidak bisa antar lagi”
“Tapi dia sehatkan?”
“Ya sehat, alhamdulilah”
“Tolong sampaikan salam saya ke dia”
“Ya pastilah Jun”


Yah begitulah akhirnya saya dengan jelas mengetahui keadaan Pak Don. Lalu saya sampaikan kabar itu kepada seluruh kawan-kawan yang masih tersisa di kampus dan sekaligus kepada Ketua dan Sekretaris Jurusan, Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Padang.


Sejak hari itu tidak pernah lagi saya jumpa dengan Don, apalagi dengan istrinya Mimi. Saya telah disibukan dengan urusan kehidupan, kehidupan berumah tangga, dan mengurus istri saya Debi. Setiap pagi saya harus antar dia ke kampus, ke tempat saya dulu pernah menyelesaikan S1 saya disitu, dan kalau sore harus jemput dia lagi.


Tahun 2012 saya dan Debi sudah ada rejeki untuk memiliki rumah sendiri. Sebuah rumah developer tipe sangat sederhana kami beli tunai di daerah Sungai Sapih, Kuranji. Kira-kira 6 kilometer lokasinya dari daerah Air Tawar, UNP, tempat Debi mengajar. Setiap hari saya harus lewat pasar Siteba, daerah ramai, padat dan macet untuk mengatar Debi di pagi hari dan kemudian untuk pergi berdagang dengan mobil membawa banyak macam barang dan di jajakan ke warung-warung langganan di sepanjang jalan, keliling kota Padang. Saya memilih hidup dengan jalan berdagang, tidak mau atau tidak minat lagi untuk menjadi seorang guru bahasa Inggris.


Setiap hari setelah ngantar Debi saya pergi ngapas, atau istilah jawanya ngestok keliling Padang sampai sore, sampai tiba waktu untuk menjemput Debi lagi. Samapi sekarang kami masih hidu berdua saja, masih belum ada dipercayakan oleh tuhan, bagi kami untuk memperoleh keturunan. Yah begitulah hal rutin yang terus saya lakukan setiap hari, tiada bosan-bosannya untuk mencari dan mengumpulkan uang buat makan.


Tibalah waktu di penghujung tahun 2015. Pada suatu pagi saya mengedarai motor berdua dengan Debi, biasalah, tugas rutin sang suami mengantarkan sang istri tercinta pergi kerja, melewati jalan pasar Siteba yang selalu macet setiap hari. Tiba-tiba Debi memukul punggung saya dari belakang. Saya kaget dan sekaligus bingung tetantang apa yang sedang terjadi.


“Uda.. Uda pinggir dulu sebentar”
“Ada apa?” saya buru-buru memberhentikan motor di pinggir jalan raya yang ramai dengan kendaraan itu.
“Uda.. Itu tengok siapa yang sedang berdiri di depan kedai langganan kamu itu”
“Yang mana?”
“Itu yang pake baju kaos merah”
Saya melihat orang itu dan lansung kaget seketika, karena tau bahwa orang yang sedang berdiri di depan kedai itu adalah pak Don, teman kuliah saya dulu.


“Yuk mi.... (maksudnya mami, panggilan sayang saya kepada Debi) kita hampiri dia”


Bergegas saya balik arah motor saya, langsung berhenti di depan kedai, pas di depan Pak Don.


“Pak..... Apakabar masih ingat sama saya?” saya menyapa dan memberikan salam hangat kepada laki-laki yang hampir paruh baya itu, sebagai seorang kawan lama.
“Oh .... Siapa ini?” Pak Don balik tanya kepada saya, sepertinya dia tidak ingat lagi pada saya. Satu hal lagi saya lihat dan memperhatikan aura wajahnya kelabu dan suram, tambah suram dan gelap karena kulitnya laki-laki itu yang memang sudah hitam dari dulunya. Kedua saya perhatikan sorot mata laki-laki yang berbadan tinggi itu tidak lagi selaras antara mata yang kiri dengan yang kanan, agak juling. Mungkin dalam anggapan saya itu akibat dari kecelakaan yang pernah dialaminya 5 tahun yang lalu.
“Saya Junaidi, masa bapak tidak ingat dengan saya?” saya melihat ke belakang ke arah Debi yang masih belum turun dari atas motor. Dia memperhatikan dan ikut merasa aneh dengan penampilan dan lagaknya pak Don yang tidak biasanya, seperti kami kenal dulu.


“Oh si Jun......oh ya ya. Jun, apakabar Jun? Dimana kamu tinggal sekarang?” langsung senang hati saya setelah Pak Don kembali dapat mengenal saya. Lantas dia bertanya lagi “dengan siapa kau Jun? Itu siapa?”


Kembali saya jadi heran dengan pertanyaan yang baru saja dilemparkan pak Don tentang si Debi. “Itu kan si Debi pak, istri saya, masa bapak lupa”


“Debi.... Debi....” kening laki-laki itu berkerut kerena berusaha untuk mengingat Debi. Bukankah sewajarnya pak Don sengat kenal dengan Debi. Bukan kah kami dulu yang sering membawa dia dan istrinya Mimi jalan, raun-raun dengan mobilnya Debi, berempat pergi tamasya ke pantai Bungus. Tidak sewajarnya pak Don mudah saja melupakan Debi, meski baru hanya 5 tahun tidak berjumpa.


“Ya sudahlah..... Sekarang bapak ada urusan apa disini?” saya penasaran ingin tau sedang apa dia sepagi ini berdiri pinggir jalan raya ini. Sedangkan saya tau rumahnya ada jauh di Cengkeh sana, sekitar 20 Km dari tempat itu.


“Saya tinggal di situ” pak Don Menunjukan jarinya ke suatu tempat yang tidak saya ketahui maksudnya. Saya jadi bingung sendiri di buatnya.


“Mana buk Mimi?” kembali saya tanyakan tentang istrinya
“Ibuk itu disana, di rumahnya” Pak Don menunujuk ke arah lain, ke arah berlawanan, ketempat yang saya tidak pernah mengerti. Yang sya tau di sana bukan tempat tinggal mereka.


Saya jadi binggung dengan kelakuan pak Don dan begitu juga dengan Debi yang diam-diam memperhatikan dan berpikir sambil menganalisa dengan otaknya yang cemerlang itu tentang kelakuan yang janggal dari pak Don pagi itu.


“Uda yuk kita jalan lagi, nanti telat” berkata Debi dari atas motor mengajak saya meneruskan perjalanan ngantarin dia ke kampus.


Kemudian saya tinggalkan saja Don dengan kesendirianya berdiri di pinggir jalan raya Siteba, pas di depan kedai langganan saya itu. Sebelum pergi saya bilang ke uni, perempuan yang punya kedai, minta tolong dilihatkan kawan saya itu, mana tau nanti dia pusing dan tejatuh.


Dalam perjalanan ke kampus, saya banyak pikir tentang Don. Apa yang dikerjakannya pagi-pagi seperti ini di pasar Siteba, mau kemana dia, seharusnyakan dia kan pergi mengajar, mengapa tidak memakai baju seragam dinas.


“Uda, maaf ya da...... Saya mau bilang.... Sepertinya kawan uda itu aneh ya? Ngomongnya dah ngak jelas ya.... Pandangan matanya pun dak lurus”
“Iya ..... Persis apa yang kamu bilang itu. Uda pun merasakan hal aneh dari pak Don”
“Ya cobalah uda temui lagi dia, mana tau dia masih di situ”


Sebelum turun dari motor, pas kami telah sampai di depan jurusan, Debi menyuruh saya untuk mencari tau keadaan pak Don yang sebenarnya. Mana tau ada perubahan yang tidak baik, karena sudah lama tidak saling mengabari antara kami dan dia, juga buk Mimi. Tapi semoga saja tidak ada hal buruk yang menimpa kawan ku itu.


Bergegas saya kembali memacu lari sepeda motor roda dua saya yang telah butut, tapi tetap setia mengantar saya kemana-mana sedari dulu sejak masih bujangan sampai sekarang.


Kembali saya menemui Pak Don di tempat dia berdiri tadi. Syukur ternyata laki-laki yang sedang memakai baju kaos merah dan celana panjang hitam itu masih di sana.


“Pak mau kemana sebenarny?, sini biar saya antar”
“Oh ya.... Jun tolong antar saya ke rumah buk Mimi”


Wah., ada yang tidak beres ini, begitu dalam pikiran saya. “Bukannya buk Mimi tinggal dengan bapak di rumah, di Cengkeh”
“Tolonglah Jun..... Cuma kamu yang tau di mana Mimi tinggal”


Tambah jelas sudah dalam benak saya, terang bahwasanya saudara Don ini sudah tidak waras lagi pikirannya.


“Saya tidak tau dimana istri bapak tinggal, dan saya sudah lima tahun tidak jumpa dengan dia. Sekarang bapak naik lahke atas motor ini, biar saya antar bapak pulang kerumah”


Akhirnya dia benar-benar naik ke atas motor saya. Saya suruh pakai helm, dan dia bisa pasang helm itu dengan benar. Motor roda dua saya melaju dengan pelan dan santai, beban yang biasa di bawanya tidak seperti biasa lagi. Sudah bertambah sekitar beberapa puluh kilogram lagi dari biasanya. Badan Don yang besar tinggi itu membuat ban roda belakang motor ku menjadi agak kempes, padahal baru kemarin di tambah angin.


Dia atas motor tetap saja Don ngotot ke saya minta diantarkan ke rumah buk Mimi.
“Ayolah Jun.... Antar saya ke rumah Mimi”
Saya jadi penasaran dengan Mimi. Ada apa sebenarnya terjadi antara kedua orang kawan lama ku itu. Akhirnya ku cuba menanyakan pertanyaan yang lebih mendalam kepada Don.


“Pak Don, bukannya bapak dan Mimi tinggal di Cengkeh?”
“Tidak lagi Jun.... Kami sudah pisah, tapi kami tidak bercerai, cuma pisah begitu saja”


Mendegar penjelasan seperti itu, saya langsung memberhentikan motor di tepi jalan dan mematikan mesinnya. Saya agak terkejut mendengar berita ini, tapi tidak begitu kaget karena tadi saya ada memperkirakan tentang kemungkinan seperti itu.


“Oke.. Begitu ceritanya, sekarang bapak tinggal dimana?”
“Sekarang saya tinggal menumpang di rumah kawan, tu sana di belakang AKPER”


Saja ingat dulu waktu masih kuliah pak Don pernah ajak saya ke rumah kawan itu, memang di belakang AKPER tempatnya, dan ada kedai di rumah kawannya itu. Mungkin itu yang dimaksud Don.


“Baiklah sekarang kita kesana pak”
“Tidak mau, saya belum mau pulang, saya mau ke tempat Mimi. Ayolah Jun.... Antarkan saya ke rumah Mimi. Cuma kamu yang tau rumahnya”


Dasar sinting si Don, semakin lama semakin ngaur saja omongannya.


“Oke.. Oke pak Don. Sekarang Pak Don Sudah makan apa belum?”
“Belum”
“Ya... Yuk kita cari warung lontong dulu, buat isi perut”


Akhirnya Don pun mau dia ajak pergi makan sarapan pagi. Sampai di sebuah kedai lontong, orang punya kedai menawarkan mau makan apa. Dan saya jawab kasih lontong sepiring buat bapak ini. Trus yang punya warung tanya lagi, bapak minumnya apa? Apa mau teh atau kopi?. Langsung saja Don menjawab,”Jus jeruk peras ada?” Sontak permintaan dari Don itu membuat binggung si yang punya kedai. Maklum itu cuma kedai sarapan pagi kecil, buat mahasiswa, bukannya restauran. Memang saya tau persis dengan perangai Don sejak pertama kenal. Dia memang punya selera makan nomor wahid, makan selalu di tempat yang terkenal enak, dan minum sukanya jus, atau yang manis-manis.


Ketika Don sedang makan, saya hanya menemani saja di samping. Saya diam tidak bicara apa-apa. Saya hanya memperhatikan kelakuan aneh nya ketika makan. Sebentar-sebentar sebelum dia menyuap makanan ke mulutnya, dia halau sesuatu yang tidak kelihatan di sekitar bibir piring makannya, sembari dia berkomat-kamit di mulutnya, mungkin sedang membacakan mantra, mantra anti santet, teluh atau racun.


Sambil makan Don bicara sendiri, bicara dengan dunia imajinasinya sendiri. Sesekali dia mengaruk saku kirinya, dan lalu mengeluarkan tangan kirinya dari saku itu tanpa menggenggam apa-apa, dan langsung tangan itu dia angkat ke telinga kirinya, dan dia bilang “Halo Mi.. Mami dimana?”


Saya hanya menggeleng ketawa dan sekaligus sedih dengan kejadian yang telah menimpa hidup kawan lama saya ini. Setelah Don selesai makan, saya bayar belajanya dia dan langsung saya bawa Don ke tempat tinggal dia sekarang. Tapi sayang Don tetap kekeh tidak mau saya bawa kesana. Dia malah ingin loncat dari motor. Tapi saya takut, kalau dia loncat pasti kakinya yang bekas patah itu akan cedera kembali. Akhirnya saya berhenti saja. Trus saya tanya mau dia apa sekarang. Tetap dia jawab minta diantar ke rumah Mimi. Mana saya tau di mana mantan istrinya itu tinggal sekarang. Akhirnya saya putuskan saja untuk pulang, karena hari sudah pukul sepuluh pagi, sudah tersita oleh Don waktu kerja saya beberapa jam sejak tadi mengurusnya.


Yang terakhir Don minta uang ke saya sebesar 50 ribu. Lalu saya beri dan saya tinggalkan dia pas masih di depan warung etek yang jualan lontong tadi, masih di jalan masuk ke kampung dimana rumah kawannya berada.


                                                                       #####


Semenjak pertemuan saya dengan pak Don, kawan lama saya yang sudah tidak waras itu lagi, di pagi hari waktu itu. Setiap hari, setiap pagi saya ngantar Debi pergi kerja, saya pergi jualan, dan jemput Debi lagi dari tempat kerjanya, Don selalu ada berdiri di tepi jalan, di depan toko seseorang, berdiri, bicara sendiri dengan gayanya yang seperti sedang menelpon seseorang, padahal tidak ada Hp ditangannya, cuma imaginasi saja.


Sudah seminggu saya perhatikan, Don masih saja exist di antara ramainya, riuh rendah orang-orang dan kendaraan berseliwiran dan bersimpang siur di seputaran simpang empat AKPER Siteba itu. Tidak ada kawan bersamanya, selalu sendirian saja, ditengah ramainya orang dan para pelajar dengan baju kaos merah yang masih sama, yang semakin hari semakin kumal dan menghitam karena daki dan debu jalanan.


Entah dimana dia makan, entah dimana dia tidur, nge’ek dan segalanya. Mungkin dia tidak pernah pulang lagi ke tempat kawannya itu. Saya pun belum sempat untuk mengurusnya lagi, karena sibuk dan banyak pekerjaan. Sementara Debi setiap hari selalu saja rewel mulutnya, menyuruh saya untuk mengurus pak Don, karena setiap hari kami lewat disana, melihatnya duduk dan kadang berdiri di tepi jalan, tenggelam dalam hayalan imaginasinya sendiri.


Kadang sepintas saya sempatkan berhenti di depannya, lalu memberinya sedikit uang guna belanja dia. Atau sekali Debi pernah meniatkan untuk membelikannya sebungkus nasi ketika pulang dari tempat kerjanya. Tapi berdua kami pikir-pikir tindakan itu tidak akan dapat memperbaiki keadaan pak Don, malah akan membuat dia semakin betah tinggal di jalan. Lalu pada hari ke sekian, mungkin sudah hampir Don sebulan tinggal di jalan, saya putuskan untuk mengurusnya.


Pertama saya pergi ke rumah kawannya tepat dia menumpang dulu. Disana saya temui seorang laki-lakitua, pria tua itu ber nama Bur. Saya tau dari dulu bahwa pak Bur ini ada terkait masalah hutang jual beli tanah yang tidak selesai dengan Pak Don. Mungkin itulah sebabnya Pak Don memilih untuk tinggal di rumah pak Bur, sambil menuntut penyelesaian piutang tersebut.


Menurut Pak Bur, Don memang tinggal di rumahnya, baju dan semua pakaian serta dokumen dinasnya memeang masih dia simpan di dalam kamar Don meginap. Tapi sekarang sudah uhampir sebulan Don tidak mau balik ke rumah. Malah bapak itu balik tanya ke saya apakah Don ada bersama saya. Tentu saya bilang tidak, dia tu tinggal di jalan. Terus pak Bur cerita lagi bahwa dulu tahun 2013 pernah juga kejadian serupa, Don tidak pulang-pulang, tapi untunglah pihak keluarga Don cepat menangani Don, dan langsung membawa Don untuk dirawat di rumah Sakit Jiwa, RSJ Prof. Dr. HB Saanin, Gadut, Padang. Tiga bulan lamanya Don dirawat disana, lalu sembuh, dan akhirnya di bawa pulang ke kampungnya, ke Solok.


Selesai mendengarkan penjelasan dari Pak Bur, saya langsung saja meminta nomor hape saudara pak Don yang di Solok. Saya mendapati nomer saudara perempuannya, namanya Sarinah. Malam itu saya putuskan untuk menelpon Sarinah tentang memberi kabar keadaan Pak Don. Tapi sayang suaminya yang menjawab, Sarinah sedang masih di kedai katanya. Lalu saya teruskan saja berita itu kepada si suami itu, dan dia berjanji akan menelpon saya balik. Tapi ditunggu-tunggu sampai besok pagi tetap tidak ada kebar berita dari Sarinah. Langsung saja saya tarik kesimpulan kalau Sarinah sudah tidak peduli dengan saudaranya yang sudah tidak waras.


Besok harinya saya belum juga senang hati, belum juga ada keluarga Don yang menelpon saya. Akhirnya saya pergi ke sekolah tempat Don mengajar. Sampai di sana hari sudah pukul 3 sore, tidak ada kegiatan belajar lagi, para murid sudah pulang, sebagian besar guru juga sudah pulang. Untung saja ketika saya masuk ke ruang majelis guru, ternyata dua orang guru perempuan di dalam situ. Langsung saja saya memberitahukan mereka maksud kedatang saya ke sekolah itu adalah untuk memberitahukan kabar mengenai salah seorang kolega mereka yang bernama Don.


“Pak Don sekarang sudah tidak waras lagi. Dia hidup dan tinggal di jalan, daerah sekitar AKPER Siteba. Badannya kotor, pakaian tidak pernah ganti, sudah satu bulan ini saya perhatikan”


“O.... Pak Don” Dua orang guru itu memberikan ekspresi datar saja setelah saya memberitakan keadaan buruk koleganya. Sepertinya berita tentang Don bukan sesuatu yang baru dari mereka. “Begini pak.... Kami sudah tahu banyak tentang keadaan pak Don. Pak Don tidak mengajar lagi di sekolah ini. Beliau sudah pensiun, diuruskan pensiunnya tahun 2013 yang lalu oleh ibunya sendiri. Jadi apapun mengenai pak Don sekarang bukanlah tanggung jawab kami lagi”


Saya terdiam setelah megetahui status pak Don yang telah pensiun dari dinasnya. Memang wajarlah, karena beliua sudah sakit-sakitan, dan tidak pula waras. Untung saja masih ada ibunya yang bisa mengurusnya.


“Maaf pak, bapak ini siapanya pak Don?” Salah seorang guru bertanya penasaran kepada saya.
“Saya ini teman kuliahnya dulu di UNP”
“O begitu... Jadi bapak sudah lama kenal pak Don. Apakah bapak tidak tahu apa hal yang telah menimpa beliau”


“Ah... Itulah yang belum saya tahu sama sekali, padahal saya dan istrinya dulu juga berkawan, tapi sekarang saya tidak tau sama sekali dimana ibuk itu berada”
“Begini lo pak ceritanya, dulu pak kan pernah kecelakaan, kakinya patah kan. Mungkin tahun 2010 dulu. Trus dia tidak bisa pergi mengajar lagi, cuma di rumah saja. Sejak saat itu lah beliau penyakitnya bertambah parah saja. Kadar gulanya naik, kolestronya juga naik. Akhirnya beliau dirawat di rumah sakit.


Sayangnya si istri, buk Mimi, istrinya yang cantik itu, bukannya mengurus suaminya yang sudah payah itu, e malah menjalin hubungan dengan suami orang. Menurut informasinya sih, laki-laki itu dulu mantan pacarnya. Trus diam-diam mereka menikah. Nikah siri lo pak” Saya dengan tenang dan sabar terus mendengarkan cerita ibu guru itu panjang lebar.


Sebenarnya saya sakit hati kepada Mimi, perempuan baik, cantik yang telah tega menghianati suaminya sendiri. Meninggalkan dan menelantarkan pak Don dalam keadaan yang sangat membutuhkan pertolongan seperti itu.


“Kemudian kan pak, setelah buk Mimi itu nikah dengan laki-laki itu, dia tidak tinggal di Padang lagi. Kabarnya dia ikut ke Jambi dengan suami sirinya itu. Sesekali dia ada di Padang guna untuk mengurus surat pindah dinasnya ke Jambi.


Setelah pak Don sembuh, keluar dari rumah sakit, pak Don itu di usir oleh saudara-saudaranya buk Mimi, serta lengkap dengan surat gugatan cerai dari pengadilan agama atas nama buk Mimi kepada pak Don. Tidak boleh tinggal lagi di rumah itu. Karena memang rumah itu bukan rumah pembelian pak Don dan buk Mimi. Mereka cuma menumpang di rumah ibunya Mimi, rumah yang di Cengkeh itu lo pak.


Begitulah pak, nasib malang yang telah menimpa kawan kita itu. Telah jatuh dia, ketimpa tangga lagi. Bertubi-tubi cobaan yang telah mendera kawan kita itu. Akhirnya dia jadi gila seperti itu”


Saya hanya bisa menarik napas dalam dan mengelengkan kepala setelah mendengar panjang lebar penuturan dari ibu guru itu.


“Baiklah buk, terimakasih atas informasi yang telah ibu ceritakan tadi. O iya, apakah ada nomer telphone saudaranya pak Don yang lain bisa saya kontak”
“O tentu pak. Coba bapak hubungi adik laki-lakinya pak Don yang bernama Dedi. Ini nomernya 0812xxxxxxxxx. Beliau ini tinggal di Jakarta. Tapi orang ini paling sangat memperhatikan keadaan kakaknya”


Setelah mendapatkan nomor yang saya perlukan, kemudian saya langsung pulang ke rumah. Di rumah cerita panjang lebar kepada Debi, istri saya tentang kejadian yang telah menimpa pada diri kawan saya itu, Don. Debi tidak menyangka kalau buk Mimi tega berbuat demikian pada suaminya.


“Kenapa yah uda, ada perempuan yang tega seperti itu. Demi menuruti tuntutan social, tuntutan kerabat bahwa dia harus punya anak, harus punya harta, harus punya ini dan itu, tega meninggalkan laki-laki yang sudah berjuang sejak dari nol bersama-sama dengannya, sama-sama susah payah membangun keluarga. Kasihan saya sama pak Don uda”


Mudah saja Debi menarik kesimpulan dari tragedi keluarga pahit yang telah menimpa kawan ku itu. Menurut Debi, mungkin Mimi mau melakukan itu karena ada dorongan dan sokongan dari pihak saudara-saudaranya sendiri.


Lepas sholat Isya, malam hari itu juga saya coba kontak Dedi, saudara kandungnya Don yang tinggal di Jakarta. Dedi merespon dengan cemas memikirkan dan membayangkan tentang keadaaan kakak kandungnya Don. Dedi sangat mengharapkan sekali bantuan dari saya untuk menjaga Don sampai ibunya datang dari Solok untuk menjemput pak Don.


Besok harinya, pagi-pagi sekali saya di telpon oleh seorang perempuan yang mengaku sebagai ibunya Don. Perempuan itu minta kepada saya untuk menunggunya di rumah pak Bur nanti siang. Baiklah saya sanggupi permintaan beliau.


Hari itu saya memang tidak merencanakan untuk berdagang keliling. Karena waktu pada hari ini saya sediakan untuk mengurus kawan saya yang gila itu. Dari semalam saya dan istri sudah merencanakan untuk membawa Don masuk ke rumah sakit jiwa lagi.


Pukul sepuluh pagi saya jalan pake motor ke pasar Siteba. Rencananya saya mau belanja mencukupi kebutuhan dapur di rumah. Pas motor yang membawa saya baru sampai di depan kampus AKPER, saya lihat ada seorang perempuan tua sedang berdiri menjinjing tas hitam, memakai jaket hitam sedang ngobrol dengan Don, kawan saya, orang gila yang memakai baju merah. Itu pasti ibunya Pak Don pikir saya. Langsung saja saya berhenti di depan kedua orang tua itu.


“Assalammualaikum, ibu.... Ini saya Junaidi. Kapan ibu datang?” tanya saya kepada perempuan tua yang sudah ringkih itu.
“O anak yang namanya Junaidi..... Syukurlah... Akhirnya kita ketemu. Ini ibu baru saja datang”
“Bagaimana rencana kita sekarang bu? Apakah ibu setuju kalau anak ibu ini kita bawa ke rumah sakit Gadut” maksudnya rumah sakit jiwa.
“Mau... Boleh gimana caranya?”
“Mudah saja.... Tinggal naikan saja ke taksi, kita bawa dia kesana”
“Baiklah nak ibu menurut saja”


Setelah setuju saya langsung menyetop sebuah taksi yang kebetulan saja lewat perlahan pas di depan kami.


“Ayo naik bu” saya bilang kepada perempuan tua itu. “pak Don, oi pak Don, ayo berdiri..... Kita mau pergi ke rumah buk Mimi.... Ayoh... Silahkan naik ke mobil” begitu saya dengan cerdik membujuk pak Don supaya mau dia naik ke dalam taksi.
Pak Don dengan gembira naik ke dalam taksi dengan segera menyusul ibunya yang sudah di dalam. Saya langsung menemui si sopir taksi. Pak sopir itu balik keluar menemui saya juga.


“Pak maaf ya.... Bukannya saya tidak senang mendapat penumpang, tapi ini......” saya langsung mengerti dan menangka maksud pembicaraan si sopir taksi itu. Tentu ada masalah bau yang sangat tidak sedap timbul dari badan pak Don, karena sudah sebulan tidak pernah ketemu dengan air dan sabun. Bau itu akan teringgal beberapa lama di dalam kabin taksi itu.


“saya mengerti sekali maksud bapak, sangat paham sekali. Sekarang gini aja. Ini saya kasi bapak uang 200 ribu, di luar argo sebagai kompensasinya. Sekarang tolong bapak bawa teman saya dan ibunya itu ke Gadut, rumah sakit jiwa. Nanti saya iringi dari belakang dengan motor” Setelah menerima uang 200 ribu si sopir langsung diam dan kembali lagi masuk ke dalam taksi. Taksi itu mulai jalan dan saya mengikutinya dari belakang dengan motor butut saya.


Perjalanan ke Gadut cukup jauh bila di tempuh dari Siteba. Cukup beruntung saya bisa jalan terpisah dari badannya pak Don, yang sangat bau dan tidak pernah mandi selama satu bulan itu. Terbayangkan oleh saya betapa bau nya di dalam taksi berwarna biru itu, pasti kedua orang itu sudah mual dan pingin muntah di buatnya. Entahlah apa yang sedang mereka lakukan di dalam taksi itu bersama salah seorang penumpangnya gila, bau, dekil dan duduk di jok depan.


Akhirnya pukul setengah dua belas siang kami telah sampai di RSJ Gadut. Saya temui si sopir taksi, dia berikan bill nya kepada saya. Saya lihat ada harga Rp. 91.500,00. Saya kasi saja uang seratus ribu, tanpa saya minta kembalian. Sang sopir senang dan segera dia meninggalkan kami bertiga di parkiran RSJ itu. Mungkin supir taksi itu langsung mencari carwash terdekat untuk mencuci kotoran dan bau yang telah di tinggalan oleh pak Don di dalam kabin taksi itu.


Kami berdua, ibu itu dan saya langsung membawa pak Don masuk ke dalam ruang UGD RSJ. Sampai di dalam UGD, ternyata tidak rumit administrasi yang haus dilewati pak Don. Dan memang sebelumnya rekam medik pak Don sudah ada di RSJ itu. Saya biarkan saja si ibu dan anaknya menjalani prosedur administrasi awal. Sedangkan saya hanya duduk di bangku panjang, bangku tempat orang yang mengantar pasien sakit jiwa, mencuri dengar tentang pembicaraan sang dokter dengan orang tua si pasien.


“Apakah dia sering bicara sendiri?” Sang dokter bertanya sambil mencatat gejala-gejala kejiwaan yang dialami oleh pak Don.
“Iya betul” Si ibu hanya menjawab dengan datar.
“Apakah dia suka ketawa sendiri?”
“Iya sering”
“Apakah dia sering mengamuk di rumah atau di luar rumah?”
“Tidak pernah”
“Apakah dia suka menanggalkan pakaian di hadapan umum?”
“Tidak pernah”
“Apakah dia tidak suka menjaga kebersihan?
“Itulah dia pak, bisa bapak tengo sendiri keadaannya” Si ibu hanya menunjuk dengan ujung bibirnya yang panjang ke arah Don yang sedang dikerumuni oleh petugas RSJ.


Pertanyaan terakhir dari dokter itu yang bisa membuat saya ketawa sendiri di buatnya adalah:

“Apakah anak ibu ini sering merasa dirinya adalah orang hebat?”

Hahaha..... Saya tertawa sendiri dibuatnya. Teringat dulu pada waktu masih kuliah bersama pak Don di UNP. Ini orang selalu saja mengaku paling hebat dari pada kawan-kawannya yang lain. Dia selalu merasa hebat dalam berbagai hal, baik pangkat, jabatan, dan bahkan dalam bidang usaha di luar dinas pun dia mengaku punya berbagai macam usaha. Mulai dari MLM, punya kursus, bisnis jual beli mobil bekas, sampai pabrik tahu dia punya.






























































































Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © Simple SEO ✔