Bujang Keramat - Chapter 5, Tragedi 1954

07:25:00






Bujang Keramat

Chapter 5 : Tragedi 1954


Diceritakan dahulu ada sebuah keluarga besar suku asli Mentawai bermarga Siliangleleu tinggal menghuni sebuah wilayah pebukitan yang berada di bagian barat desa Sikakap. Keluarga Siliangleleu pernah membangun sebuah perumaan, rumah panggung yang sangat besar di salah satu tempat di suatu lereng bukit. Sekarang bukit itu dikenal oleh orang-orang di Sikakap sebagai bukit Sian. Mungkin kata “Sian” diambil dari asal suku kata Siliang, dari marga Siliangleleu. Adalah seorang laki-laki tua yang bernama Katua Leleu sebagai kepala keluarganya. Orang-orang pribumi pulau Pagai menyebut dia sebagai Rimata, yaitu sebutan untuk status sosial dirinya. Di dalam tatanan budaya masyarakat asli Mentawai, Rimata berarti sebutan untuk seorang kepala suku. Katua Leleu ini tidak hanya sebagai seorang kepala suku, tapi dia juga seorang Sikerei, yaitu orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan keahlian untuk mengobati berbagai macam penyakit, dan dia juga mampu mengusir roh-roh jahat yang akan sewaktu-waktu datang untuk mengusik ketentraman hidup anak cucunya.






Dalam melakukan pengobatan atau pun pengusiran roh jahat, Katua Leleu biasanya hanya menggunakan media dedaunan saja. Ia menyakini bahwa pada setiap helai daun ada terdapat suatu kekuatan magis, yaitu kekuatan yang bisa menerima dan sekaligus mengantarkan setiap doa kepada sang penguasa alam, semoga Ia dapat berkenan membantu sang Sikerei dalam menyembuhkan sakit dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu seseorang.


Katua Leleu hidup dengan diurus setia oleh seorang istri yang sudah pula tua bersamanya, adalah perempuan itu bernama Tete. Pasangan tua Leleu dan Tete memiliki lima orang anak. Satu anak perempuan mereka paling besar, yadalah bernama Koknoi Leleu, dan selebihnya empat orang saudara laki-lakinya, mereka yaitu Ungga Leleu, Nang Leleu, Paka Leleu, dan yang paling bungsu adalah si Bajo Leleu.


Semua anak-anak Katua Leleu telah pada berkeluarga semua. Si Koknoi tidak tinggal bersama orang tuanya lagi. Perempuan muda itu hidup dengan suami dan membesarkan anak-anaknya di uma keluarga suaminya, keluarga Malakopa. Perumaan keluarga Malakopa berada jauh di wilayah bagian sebelah utara pulau Pagai Utara, daerahnya sudah hampir berdekatan dengan selat Sipora. Butuh waktu berhari-hari menyusuri lebatnya hutan dan menyeberangi banyak sungai supaya keluarga Katua Leleu bisa sampai ketempat pemukiman keluarga besan dan menantunya.


Setiap anak laki-laki Leleu tetap tinggal bersama orang tuanya di uma, karena memang sudah begitu adat dan budayanya bagi orang-orang Mentawai yang bersifat patrilinial. Masing-masing dari mereka telah pula memiliki keturunan, yaitu anak-anak yang masih belia dan banyak juga yang masih balita. Setiap anak laki-laki Leleu memiliki lebih dari 2 orang anak. Sehingga semakin lama berjalannya waktu, dari hari ke hari rumah panggung yang besar dan panjang, bersekat-sekat sampai 25 meter kebelakang itu menjadi semakin lama semakin sempit, karena ternyata penghuninya telah semakin padat.


Disiang hari uma selalu kelihatan ramai oleh hiruk pikuk para penghuni. Tampak anak-anak kecil yang tidak pernah kenal dengan namanya pakaian, tanpa sehelai benangpun melekat dibadannya mereka, bertelanjang bulat, berlari-larian, berkeliaran dan bermain bersama saudara-saudara dan banyak sepupu mereka di laibokat, serambi depan uma yang begitu lapang dan luas ukurannya. Semua cucu-cucu Katua Leleu yang masih usia kanak-kanak itu senang sekali berlari-larian di situ, di atas lantai uma, lantai yang hanya terbuat dari susunan papan-papan, papan yang masih kasar diambil dari pohon nibung. Suara gaduh gemuruh dan hentakan kaki-kaki kecil anak-anak di atas lantai papan uma terdengar sampai ke lingkungan sekelilingnya, yang pada waktu itu memang belum ada manusia lain selain mereka tinggal di sana, masih alam bebas dan ada banyak hewan liar tinggal di dalamnya. Anak-anak itu tidak hanya main dengan aman dan damai, tapi kadang juga mereka bertengkar dengan sesamanya, sehingga salah seorang dari mereka pasti ada yang menangis lalu meraung dan kemudian berlari mencari ibu kandungnya ke dalam lalep, ke bilik orangtuanya.


Suara bayi yang mengeak-ngeak bersama ibu mereka yang sedang kerepotan mengasuh juga membuat suasana uma menjadi semakin ramai. Belum lagi ada suara lolongan dan gongongan anjing hewan piaran kesayangan orang-orang di uma, anjing setia penjaga uma. Ada lagi suara lengkingan dan dengkuran keras dari hewan ternak, babi yang bisa puluhan ekor jumlahnya, menguasai pada bagian kolong bawah uma, di atas tanah hitam yang becek penuh lumpur, kotoran dan sisa-sisa pakan ternak yang merupakan helaian-helaian kulit pohon sagu.


Tete dan para menantunya yang lain ikut pula menciptakan suasana menjadi semakin ramai di halaman pekarangan uma. Mereka sedang bekerja bergotong royong mengolah bahan pangan. Pekerjaan rutin yang harus mereka kerjakan sekali dalam seminggu atau lebih. Bahan pokok yang mereka olah untuk membuat makanan adalah sagu. Sebatang pohon sagu yang sudah dipanen oleh para suami dari dalam hutan dibawa masuk ke dalam halaman uma. Tugas Tete dan para istri adalah memisahkan isi batang sagu dari kulitnya lalu kemudian sagu diparut hingga menjadi dedak. Sagu yang telah menjadi serpihan dedak lalu dimasukan kedalam wadah pemerasan. Di dalam wadah itu sagu akan digenangi dengan air lalu kemudian salah seorang dari perempuan yang tinggal di uma akan naik ke dalam wadah untuk menginjak-injak sagu becek tersebut dengan kakinya sehingga melalui saluran buang wadah keluarlah cairan kental sagu yang jatuh ketempat penampunganya. Setelah itu sagu dijemur hingga kering, sampai berubah bentuk menjadi butiran halus serbuk-serbuk tempung. Biasanya Tete mengolah sagu selalu dalam jumlah besar supaya dia dapat memperoleh stok tepung sagu dalam jumlah yang banyak, bisa tahan untuk jangka waktu yang agak lama. Karena itulah dalam mengolah sagu Tete tidak bekerja sendiri, selalu dia membutuhkan banyak tenaga dari para menantunya.


Apabila tepung telah diperoleh, maka Tete akan membawa tepung ke dalam uma, ke ruang bagian belakang, yaitu purusat, tempat tungku perapian untuk dia dan perempuan yang lainnya biasa memasak makanan disana. Kapurut adalah makanan pokok mereka, bisa di samakan dengan nasi bagi orang-orang yang tinggal di Sumatera. Cara membuat kapurut sederhana saja, yaitu tinggal meletakan tepung sagu kedalam daun sagu, kemudian dibungkus lalu diletakan di atas tungku perapian, tidak berapa lama maka kapurut akan matang dan siap untuk disantap. Kapurut rasanya enak sekali, dan aromanya pun harum pula. Kalau di purusat ada orang yang sedang memanggang kapurut, maka orang-orang seisi uma akan segera merasa lapar, karena tidak tahan lagi melawan wanginya aroma makanan itu yang begitu menggoda dan menggugah selera. Memakan kapurut bisa begitu saja atau tambah enak bila diselingi dengan lauk, seperti ikan, ayam atau daging.



Pekerjaan sehari-hari Katua Leleu adalah berburu. Dia pergi berburu bersama keempat anak laki-lakinya dan ditemani oleh beberapa ekor anjing berburuh kesayangan. Keluarga Siliangleleu ini memiliki lahan berburu yang sangat luas, mulai dari sepanjang gugusan bukit-bukit Sian hingga membentang sampai ke pantai Sikakap, itu wilayah tanah ulayat mereka, tidak ada keluarga lain yang berani mengklaim bahwa lahan yang luas itu adalah bukan milik Siliangleleu. Hutan di Sikakap pada waktu itu sangatlah lebat dan pepohonannya tumbuh sangat rapat sekali. Disana masih banyak terdapat satwa-satwa liar buruan seperti babi hutan, rusa, ayam hutan, burung enggang, dan bilou yang bisa hidup di puncak-puncak kanopi pulau pagai, yaitu primata endemik yang hanya ada terdapat di kepulauan Mentawai, atau orang Sumatera biasa menyebutnya siamang, cuma beda ukuran saja, bilou monyet berbulu hitam pekat ini bentuknya lebih kerdil dari pada jenis siamang yang hidup di Sumatera.


Kalau keluarga Siliangleleu bosan memakan satwa liar, maka mereka pergi menangkap ikan di sungai-sungai yang mengalir di sepanjang bawah kaki bukit Sian. Peralatan menangkap ikan yang mereka bawa bentuknya sederhana saja, yaitu hanya tombak dan bubu. Tombak dipakai untuk membunuh ikan yang berukuran besar, sedangkan bubu dipakai untuk sebagai perangkap bagi ikan-ikan kecil. Bubu terbuat dari rangkaian bilah-bilah bambu yang berbentuk seperti selinder, lonjong dengan mulut bubu yang kerucut sebagai tempat masuk ikan-ikan kecil. Bubu diletakan saja di dalam sungai berukuran kecil dan sempit yang airnya konstan mengalir, tinggal menunggu beberapa jam saja pasti ada ikan-ikan kecil yang terperangkap di dalamnya.


Dalam menjalani perannya sebagai seorang kepala rumah tangga, Katua Leleu juga berperan sebagai seorang guru, guru yang mengajarkan sebuah dasar filsafat hidup kepada anak-anaknya. Adalah filsafat yang selalu dipegang teguh oleh setiap orang Metawai, biasa mereka sebut dengan Arat Sabulungan, yakni suatu ajaran atau pemahaman tentang tatanan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang diajarkan Katua Leleu kepada anak-anaknya, dan kelak nanti akan mereka ajarkan pula ke generasi penerus selanjutnya, begitu berkesinambungan secara terus menerus dari generasi ke generasi selanjutnya.


Ajaran-ajaran yang terkandung dalam Arat Sabulungan sangat sederhana. Orang tua itu sering megajarkan kepada anak-anaknya tentang bagaimana semestinya mereka hidup harmonis dan selalu selaras dengan alam. Mereka harus menjaga alam agar tetap lestari sepanjang masa. Mereka sangat menyadari bahwa mereka hidup hanya dengan cara mengambil apa yang telah tersedia di alam dan alam beri untuk mereka. Oleh karena itu mereka harus selalu bersukur kepada alam, terutama kepada Sang Pencipta, zat yang berkuasa mutlak, zat yang tidak pernah nampak oleh mata, tapi Ia telah menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya.


Katua Leleu mendidik anak-anaknya supaya tidak pernah bersifat tamak dalam mengambil rezeki yang telah mereka peroleh dari alam, cukup ambil seperlunya saja dan lalu tinggalkan untuk orang-orang yang akan melanjutkan hidup setelah mereka kelak di kemudian hari. Laki-laki tua itu juga menumbuhkan adanya rasa menghargai dalam diri setiap anak-anaknya terhadap seluruh mahluk dan benda-benda yang terdapat di alam. Mereka percaya bahwa setiap mahluk dan benda seperti pohon, air, hewan dan batu juga memiliki roh dan jiwa, sama seperti mereka. Oleh sebab itu Katua Leleu memberitahu anak-anaknya supaya mereka tidak berkelakuan buruk di alam, seperti berkata-kata kotor di hutan contohnya, atau buang air sembarangan yang tidak pada tempatnya. Bisa saja ada roh yang merasa terganggu dengan perangai buruk itu. Sehingga roh yang telah terganggu akan langsung memberikan bala terhadap keluarga Siliangleleu. Misalkan saja ada salah seorang dari anggota keluarga yang terserang penyakit kiriman dari roh jahat, lalu ia akan mati karena tidak tidak terselamatkan.


Sebagai seorang Sikerei Katua Leleu tentu sangat ahli dalam mengusir roh-roh jahat yang menggagu anak cucunya. Tidak sekali dua kali kejadian, ada saja salah seorang dari anak cucu Katua Leleu yang sakit, apabila mereka telah balik dari berburu. Orang tua itu menganggapnya sebagai suatu balasan dari salah satu roh di hutan yang telah terganggu ketenangannya. Maka semalam suntuk, dari senja hari sampai pagi Katua Leleu melakukan ritual sebagai tindakan pengusiran roh jahat dengan cara membuat keributan di dalam uma bersama seluruh anak laki-lakinya. Mereka akan menyalakan perapian, membuat asap mengepul di seluruh ruangan uma, memukul gendang dan membunyikan genta tiada henti-hentinya, menari bersama-sama mengitari seluruh relung uma dari depan hingga ke belakang sambil menghentak-hentakan kaki tak henti-henti di atas lantai papan uma. Sambil merapalkan mantra pada dedaunan yang dia pakai di lengan, di tangan dan di keningnya, Katua Leleu melakukan tarian yang menirukan gerakan elang yang sedang terbang berputar dan meliuk-liuk di angkasa atau melakukan gerakan tarian hewan lainnya yang ada di hutan, seperti tarian bilou dan ruak-ruak.






Sering juga pada waktu-waktu tertentu, hari baik bulan baik, Katua Leleu melakukan semacam ritual di dalam uma, atau biasa mereka sebut dengan punen. Punen adalah sebentuk bentuk rasa sukur dari keluarga Siliangleleu yang senantiasa mereka lakukan dengan cara mengadakan upacara pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta, yaitu kepada Tai Kaleleu, dewa penguasa hutan dan gunung, kemudian kepada Tai Kabagat, dewa penguasa lautan, dan kepada Tai Kamanua, dewa penguasa langit dan udara. Dalam setiap upacara persembahan seluruh anggota keluarga besar Siliangleleu akan memberikan pengorbanan dengan memotong beberapa hewan ternak, lalu mengolah dagingnya menjadi masakan yang sangat enak sekali. Tidak lupa juga Tete dan para menantunya membuat banyak kapurut sebagai karbohidrat untuk dimakan bersama-sama seluruh anggota keluarga setelah ritual persembahan selesai diselenggarakan.



Kehidupan para lelaki Siliangleleu tidak pula semata-mata berburu dan mencari makanan di hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap anggota keluarga mereka. Banyak juga waktu mereka habiskan di dalam uma dengan belajar merapalkan berbagai macam mantra yang mereka pelajari dari ayah mereka. Mantra-mantra itu harus mereka hafalkan dengan cara melantunkan dendangan bersama-sama oleh setiap laki-laki dan perempuan di uma. Dalam berburu juga ada mantranya, kalau mantra berburu dinyanyikan di dalam hutan, maka hewan-hewan buruan akan senang mendengarkannya, dan tergerak untuk mendekati para pelantun nyanyian itu, kemudian mereka akan mudah membidikan anak panah kepada mangsa sasaran. Setiap anak laki-laki Siliangleleu mempunyai keterampilan tersendiri dalam membuat senjata berburu dan meracik racun yang akan mereka oleskan pada anak panah mereka masing-masing, ada yang kuat dan cepat mematikan hewan dan ada pula yang lemah serangannya.



Selain meracik racun panah, Katua Leleu bisa juga menghabiskan sebagian harinya untuk memasang titi, atau tato pada setiap badan anak laki-lakinya. Bagi mereka titi adalah pakaian, pakaian pribadi, dan abadi yang tidak akan terpisahkan dari tubuh mereka, walaupun mereka sudah mati nanti. Titi di gambar dengan menirukan benda-benda alam yang ada di sekitar mereka. Bukan sembarang benda, tapi benda yang sangat memiliki arti penting dalam kehidupan, seperti busur, papan, pagar, kail, dan akar rotan. Masing-masing gambar dititikan pada anggota tubuhnya berbeda. Contohnya gambar busur itu mereka lekatkan di dada, papan di pinggul, akar rotan di lengan, pagar di kaki, dan kail di tangan. Tentunya setiap gambar itu adalah sebuah simbol bagi mereka. Sedangkan bagi Katua Leleu sendiri, sebagai seorang Sikerei tentunya memiliki sebuah titi khusus yang membedakannya dengan orang biasa, adalah dua buah titi bintang yang dipasangkan pada kedua pangkal lengannya.


Adalagi satu pekerjaan yang paling digemari oleh seluruh laki-laki dan perempuan dewasa di uma, pekerjaan itu sering mereka lakukan untuk menghabiskan waktu bersama, dan jadi tontonan pula bagi seluruh anak-anak mereka. Adalah sebuah pekerjaan sangat aneh, dan sangat jarang sekali dilakukan oleh manusia di muka bumi ini. Mengikir gigi hingga berbentuk segi tiga, itulah perkerjaan yang paling mereka senangi. Walaupun teramat sakit dan sangat ngilu, tapi tetap gemar mereka kerjakan bersama. Bagi mereka mengikir gigi adalah usaha untuk mempercatik diri. Suami mereka, ataupun istri mereka akan sangat suka apabila melihat gigi-gigi pasangan hidupnya telah indah runcing seperti segi tiga, maka mereka akan lebih mencintai pasangan hidup mereka masing-masing.


Seiring dengan berjalannya waktu, anggota keluarga Siliangleleu semakin bertambah banyak saja jumlahnya. Maka ada dua orang anak laki-laki Katua Leleu, yaitu Ungga Leleu dan Nang Leleu mengeluhkan kepada orangtuanya bahwa uma tempat tinggal mereka sekarang sudah semakin sempit, tidak muat lagi bagi anak-anak mereka yang telah tumbuh menjadi remaja. Mungkin sebentar lagi cucu laki-laki Katua Leleu yang paling besar akan pula datang jodohnya, dan dia akan membawa istrinya tinggal bersama di uma. Oleh sebab itulah mereka berdua memohon kepada Katua Leleu supaya ayahnya itu mau mengizinkan mereka untuk mendirikan masing sebuah rumah lalep, rumah kedua tempat tinggal mereka bersama anak dan istri mereka di samping kiri dan kanan uma.


Tentunya orang tua itu sangat merestui keinginan kedua anak laki-laki yang begitu dia sayangi. Maka kembali lagi Katua Leleu membuat sebuah ritual. Ritual yang dimaksud adalah untuk meminta izin kepada dewa penguasa hutan supaya keluarga Siliangleleu diperbolehkan menebang pohon guna diperoleh kayunya untuk membuat tonggak dan papan yang mereka rencanakan untuk mendirikan dua buah rumah lalep.


Setelah ritual selesai, seluruh keluarga Siliangleleu masuk ke hutan, pergi mencari pokok pohon yang terbaik untuk keperluan membuat rumah. Para lelaki bekerja menebang pohon, dan yang perempuan merambah dan membersihkan area baru tanah di samping kiri kanan uma. Anak-anak mereka yang sudah remaja ditugaskan untuk mencari daun rumbia, dikumpulkan sebanyak-banyaknya dan dibawa masuk kedalam pekarangan, nanti para ibu-ibu apabila telah selesai dengan pekerjaannya, mereka akan membuat atap dari helaian daun-daun rumbia itu dibantu dengan anak-anak.



Perlahan-lahan dan pasti mereka sekeluarga bersama-sama bekerja bergotong menyelesaikan dua buah rumah lalep untuk keluarga si Ungga dan keluarga si Nang. Tidak ada kecemburuan di hati dua orang sudara kecilnya yang lain, Paka dan si bungsu Bajo. Mereka berdua antusias menyelesaikan tugas membuatkan tempat tinggal baru untuk masing-masing saudara tua mereka. Nanti suatu masa akan tiba pula giliran mereka dibuatkan tempat tinggal yang baru oleh kakak mereka.


Begitulah seterusnya, akhirnya masing-masing dari empat orang anak laki-laki Siliangleleu telah mendapati tempat tinggal untuk istri dan anak-anak mereka yang telah tumbuh menjadi bujang dan gadis. Dan disana telah mereka didirikan pula sebuah rumah rusuk di salah satu sudut lokasi perumaan keluarga besar Siliangleleu. Rumah rusuk berguna untuk tempat menginap atau tinggal bagi para anak-anak bujang yang sudah besar, sekaligus sebagai tempat tinggal sementara untuk calon istri mereka nanti, kelak apabila seluruh persyaratan ala toga telah terpenuhi, baru boleh pembelai perempuan dibawa naik ke atas uma Silianglele, atau dibuatkan bagi mereka sebuah rumah lalep yang baru. Tinggalah Katua Leleu berdua dengan istrinya Tete, yang mereka sudah semakin tua dan kesepian di dalam uma, di atas lantai papan uma yang sudah reot karena dimakan zaman.



Tibalah pada suatu masa, di awal dekade 50 an, ada sekelompok orang asing datang berduyun-duyun dengan kapal besar, mungkin dari Sumatera, kemudian mereka membangun perumahan tempat tinggal baru di daerah sekitar pantai Sikakap. Roman dan bentuk mereka tidak sebaun dengan para penghuni asli pulau Pagai. Kulit mereka bersih dan ditutupi oleh kain. Mereka berjalan dengan memakai alas kaki. Orang-orang asing itu membangun pemukiman dengan kayu yang mereka tebang dari hutan Sikakap tanpa permisi kepada keluarga Siliangleleu. Dari balik rimbunya pepohonan di hutan Sikakap, Siliangleleu bersaudara tetap mengawasi gelagat dan perbuatan orang-orang asing itu.


Waktu itu Ungga dan saudara-saudaranya belum berani melakukan tindakan untuk mengusir sekumpulan orang asing itu dari pulaunya, belum mendapat perintah dari Katua Leleu. Orang tua itu hanya memberikan wejangan kepada Ungga sebagai anak laki-laki tertua di keluarganya, supaya sabar dan tetap mengawasi tindak-tanduk para pendatang. Selagi belum ada perbuatan yang sangat merusak dilakukan oleh orang asing itu, jangan ada keluarga Siliangleleu datang menegur mereka.


Namun semakin hari dibiarkan orang-orang asing itu malah semakin banyak menebang pohon, dan semakin banyak membangun rumah. Akhirnya Ungga tidak dapat menahan kemarahanya kepada orang-orang asing yang telah memporak porandakan hutan, di wilayah tempat dia dan saudara-saudaranya berburu.


Pernah satu kali Ungga bersama adik-adiknya turun dari bukit Sian dengan membawa perlengkapan parang, lembing dan panah, pergi menyarang ke pemukiman orang-orang asing, pendatang itu. Maksudnya adalah untuk menegur perbuatan merusak lingkungan yang telah mereka lakukan, jangan sampai mereka tteruskan lagi. Namun tidak ada satupun dari mereka yang dapat saling memahami bahasa yang mereka ucapkan satu sama lain. Malah Ungga dan ketiga saudaranya yang sedang marah-marah kepada orang-orang pendatang itu, malah mereka semakin ramai dikerumuni orang. orang-orang itu tetap menyambut Ungga dan adik-adiknya dengan damai. Kemudian mereka mengajak Ungga masuk ke dalam sebuah bangunan besar. Bentuk rumah itu tidak berpanggung, tapi tinggi, sangat jauh berbeda dengan uma, diberi dicat berwarna putih pada pindingnya, ada terdapat sebuah kayu palang ditancapkan di puncak atap yang terbuat dari susunan plat seng yang dapat menyilaukan mata setiap orang memandang. Sesampainya Ungga bersama saudaranya di dalam bangunan tersebut, dilihatnya banyak terdapat bangku berbaris-baris menghadap ke sebuah altar, di depan situ ada sebuah patung orang yang sedang tergantung, diikat kedua kaki dan tangannya pada sebuah palang kayu yang lebih tinggi dari badannya, dipasang di dinding paling depan.


Salah seorang dari pendatang yang tidak di undang itu, adalah seorang laki-laki tua berambut pendek keriting, yang kepalanya sudah penuh ditutupi oleh uban, sedang mengenakan pakaian serba hitam, cuma ada kain segi empat warna putih di lehernya. Sepertinya laki-laki tua itu adalah kepala suku dari orang-orang asing itu. Dia menyambut dengan sangat sopan dan hangat, penuh rasa persaudaraan terhadap kedatangan Ungga bersaudara di dalam. Laki-laki tua itu kemudian menjabat tangan Ungga, lalu kemudian dia berceracau seperti orang gila, entah apa yang di sebutnya, hanya mereka saja yang tau. Telapak tangannya berkali-kali mengarah ke arah patung besar yang terpasang di dinding, seperti dia ingin menceritakan sesuatu tentang keberadaan patung itu. Lalu jari telunjuk laki-laki tua itu menunjuk ke langit dan ke dahinya sendiri, kemudian ke kedua bahu dan terakhir mendarat di dada bawahnya. Ungga persis dibuat sangat dan bingung dan puising oleh kelakuan orang tua itu, tapi dia merasa percuma untuk mengatakan apapun, karena laki-laki tua itu tidak akan mengerti. Untunglah pada waktu itu tidak ada tersulut sebuah pertengkaran dalam pertemuan antara dua kubu, etnis suku bangsa yang baru pertama kali berinteraksi, yang ada hanya senyuman ramah dan gelak tawa setiap orang. Setelah itu pertemuan kedua suku diakhiri dengan jamuan makan dan minuman yang mana telah dihidangkan oleh beberapa perempuan yang ada di pemukiman baru sekitar pantai Sikakap itu.


Setelah acara jamuan makan selesai Ungga pamit kepada pak tua yang berambut putih dan berbaju terusan panjang berwarna hitam. Laki-laki tua setuju, kemudian itu melepas kepergian Ungga dan adik-adiknya dengan damai untuk kembali lagi ke uma.


Ketika Ungga telah sampai di uma, dia langsung menceritakan kepada ayahnya perihal pertemuan dan jamuan makan yang tadi di alaminya di bawah sana bersama para orang asing itu. Tadinya Katua Leleu sangat cemas dengan kepergian anak-anaknya menemui kumpulan orang asing itu untuk membuat sebuah perhitungan, karena mereka pergi tanpa izin dan membawa senjata pula ke sana. Untung saja tidak terjadi apa-apa, dan akhirnya Katua Leleu senang mendengar penuturan cerita dari anak sulungnya.

Beberapa hari kemudian, uma keluarga Siliangleleu mendapat kunjungan dari beberapa orang perwakilan warga pendatang. Pada kesempatan itu, warga pendatang tiba dengan didampingi oleh seorang pribumi yang sudah lama kenal dengan Katua Leleu. Dia adalah Rimata Sagalak, salah seorang kepala suku yang tinggal di seberang, di pulau Pagai Selatan. Ada setandan pisang, satu keranjang ketela, dan beberapa ekor ayam yang mereka bawa sebagai buah tangan ke uma besar yang berada di lereng bukit Sian itu. Laki-laki tua yang berpakaian serba hitam, berambut pendek yang telah penuh uban, tampak berjalan di depan bersama beriringan dengan Rimata Sagalak.


Seisi uma keluarga Siliangleleu terkejut, melihat dari atas uma yang tinggi itu ada sekelompok orang asing datang mengunjungi mereka, sudah menunggu di halaman bawah. Katua Leleu bergegas turun dari uma, menyambut kedatangan tamunya, begitu pula dengan semua anak-anak Katua Leleu.


“Wah... wah... wah.... banyak sekali orang, ada Rimata Sagalak rupanya, mari.. mari, mari silahkan naik ke uma” Katua Leleu dengan sangat senang hati mempersilahkan setiap orang yang berniat baik itu untuk menaiki uma.


Tidak ada meja, tidak ada kursi atau pun tikar di atas uma, yang ada hanya ruangan luas berlantai papan saja. Seluruh tamu sudah pada naik ke uma, begitu pula dengan para tuan rumah, telah hadir semuanya. 
“Silahkan duduk tuan-tuan” berkata Katua Leleu pada setiap tamunya.


Orang-orang pendatang belum berani untuk duduk, karena tidak mengerti dengan ucapan si yang punya rumah. Baru setelah dijelaskan oleh Rimata Sagalak tentang perkataan dari tuan rumah sendiri, mereka mau untuk duduk, duduk dengan cara bersila dilantai papan yang kosong itu. Sementara Katua Leleu dan para pribumi lainnya duduk dengan cara yang berbeda, yaitu dengan menaikan kaki sebelah, lebih santai, dan tidak terasa kaku.
Seluruh penghuni uma dan para tamu duduk melingkari seluruh ruangan serambi depan, labiokat. Dua orang anak gadis Siliangleleu yang sudah remaja, perempuan muda yang tidak pernah kenal dengan namanya atasan penutup buah dada, hanya mengenakan daun pisang untuk menutupi bagian bawahnya, masuk ketengah-tengah lingkaran dengan membawa banyak tempurung kelapa, tempat minum dan satu buah tabung bambu yang telah penuh berisi oleh arak, minuman arak yang terbuat dari fermentasi air sadapan pohon nira.
Dengan ayu dan gemulai dua orang gadis cucu Katua Leleu menuangkan arak ke dalam setiap tempurung, dan anak gadis yang satunya lagi membagikan tempurung yang telah berisi tuak kepada setiap orang.


“O... Rimata Leleu, orang yang bijaksana, maafkan atas kelancangan kami datang ke uma ini tanpa memberi berita terlebih dahulu” Rimata Sagalak mulai membuka pembicaraannya dengan sahabat lamanya.


“Tidak ada yang salah, oh Rimata Sagalak yang mulia. Saya dan seluruh anak cucu sangat senang atas kunjungan ini”
“O... Rimata Leleu, orang yang baik hati, terimalah ini, buah tangan dari para penghuni baru negeri kita” Rimata Sagalak mengetengahkan semua barang bawaan, buah tangan dari para penduduk baru Sikakap, diletakan pas di depan Katua Leleu.


Katua Leleu menerima semua barang-barang bawaan itu dengan penuh syukur. “Terimakasih sahabat ku yang baik, sampaikan juga ucapan terimakasih ini kepada orang-orang baik yang bersama mu itu”


Langsung saja Rimata Sagalak menyampaikan ucapan terimakasih dari Katua Leleu kepada laki-laki tua berbaju hitam yang duduk bersila pas di sampingnya. Orang tua itu membalas dengan melemparkan senyuman ramah kepada Katua Leleu.


“O.. Rimata Leleu, abang yang tersayang, perkenalkan ini adalah Pendeta Cornelius, kepala suku dari para penghuni baru di desa” Rimata Sagalak meletakan sebelah tangannya ke atas pudak laki-laki tua, berbaju hitam di sebelahnya, yang ternyata bernama Pendeta Cornelius.


Pendeta Cornelius menganggukan kepala, dan kembali melempar senyuman ramah kepada si yang punya rumah.


“Cornelius.... Cornelius... Cornelius” Katua Leleu mengangguk-anggukan kepala sambil mengulangi kata, kata yang sangat asing terdengar ditelinganya.


Untuk memecahkan suasana, Pendeta Cornelius mencoba untuk membuka pembicaraan dengan Katua Leleu melalui penterjemahnya, Rimata Sagalak. “Ehem...ehem... O Rimata Sagalak, katakan pada sahabatmu maksud kedatangan kami kesini adalah untuk menjalin persaudaraan dengan seluruh keluarga Siliangleleu”.


“Baiklah Pendeta, tentu akan saya sampaikan maksud kedatangan kita ke uma ini” Sejurus kemudian Rimata Sagalak memulai pembicaraan yang agak panjang dengan Katua Leleu. Semua para pendatang yang berniat baik ke rumah panggung itu memperhatikan dan menyimak pembicaraan, pembicaraan dengan bahasa pribumi yang tidak dapat mereka ketahui barang sepatah kata pun, antara kedua laki-laki tua yang mengenakan banyak perhiasan bergelatungan dan titi di masing-masing anggota badan mereka.


Setelah beberapa lama, setelah panjang lebar kedua orang itu berbicara, tiba-tiba Katua Leleu berdiri dan di ikuti pula oleh Rimata Sagalak. “Mari Pendeta, berdiri jugalah bersama kami” Rimata Sagalak menjemput tangan Pendeta Cornelius dan menariknya supaya dia dapat berdiri pula bersamanya.


“Majulah kedepan, mendekat ke Rimata Leleu”
Sang pendeta hanya menuruti kata si Rimata Sagalak samar-samar dan memperkirakan maksud dan tujuan dari kedua orang kelapa suku itu.


Katua Leleu melangkah mendekat kepada Pendeta Cornelius. Disaksikan oleh semua orang yang hadir di uma, Katua Leleu memegang kedua pundak Pendeta Cornelius, sambil berkomat-kamit merapalkan doa-doa. Sedangkan si pendeta hanya bisa berdiri terpaku, menunggu Katua Leleu menyelesaikan kalimat-kalimatnya. Kemudian Katua Leleu diam sejenak, membuat seluruh ruangan dan para penghuninya ikut diam dan senyap. Mendadak kepala suku itu membuat sebuah gerakan tarian, mengembangkan kedua tangannya seperti sayap, sambil berjalan perlahan menghentak-hentakan kaki sehingga seluruh lantai uma bergetar dibuatnya, bergerak mengitari badan Pendeta Cornelius yang bisa berdiri diam terpaku di atas kakinya.


Setelah beberapa kali putaran, Katua Leleu berhenti kembali tepat di hadapan wajah Pendeta, di tempatnya semula. Terakhir Katua Leleu memeluk hangat badan tambun milik pendeta cornelius sambil tertawa bahagia. Semua anggota keluarga Siliangleleu dan Rimata Sagalak ikut tertawa senang melihat kepala suku itu memeluk Pendeta Cornelius. Sang pendeta juga ikut tertawa senang. Begitu juga dengan para saudara yang selalu setia mengikuti pendeta. Dalam pikiran si pendeta mungkin Katua Leleu telah bersedia menerimanya dan orang-orang pendatang lainya sebagai saudara dari keluarga Siliangleleu.


“Ya sudah.... Itu tadi adalah ritual untuk menerima kamu dan juga seluruh orang-orang kamu menjadi bagian dari keluarga Siliangleleu” Rimata Sagalak menjelaskan perbuatan yang baru saja dikerjakan oleh Katua Leleu terhadap Pendeta Cornelius.



Begitulah bermulanya terbentuk suatu hubungan kekerabatan antara keluarga Siliangleleu dengan para pendatang yang bermukim di desa Sikakap. Semenjak hari itu tidak ada lagi perselisihan antara dua suku yang menghuni pulau itu. Para pendatang yang di pimpin oleh pendeta Cornelius sudah leluasa menjalankan roda kehidupan mereka dengan cara menggarap lahan pertanian di wilayah tanah ulayat Siliangleleu. Mereka menanam ubi, jagung, dan keladi di tanah itu. Dalam beribadat mereka bisa tenang dan khusuk menyebah tuhan, karena tidak akan ada orang pribumi yang akan mengusik mereka. Sekali dalam sekala kedua suku bangsa yang telah menjalin tali persaudaraan itu pergi untuk saling mengunjungi, tentunya mereka membawa serta buah tangan sebagai oleh-oleh. Oleh para pendatang tentu hanya bisa membawa hasil panen ketempat keluarga Siliangleleu, sedangkan anak-anak Siliangleleu cuma hanya bisa berbagi binatang buruan yang telah mereka tangkap di hutan, biasanya babi hutan, ayam hutan dan rusa, kalau bilou, mereka tau para keluarga pendatang tidak ada yang suka makan bilou.


Pendeta Cornelius juga sangat sering pergi mengunjungi Katualeleu, biasanya si pendeta pergi selalu minta ditemani oleh Rimata Sagalak. Nanti sampai di uma mereka akan banyak perbincangan, membicarakan apa saja sampai berlarut-larut hari, sekaligus Pendeta Cornelius mempelajari budaya dan bahasanya orang Pagai. Memang begitulah tugas yang diemban oleh pendeta Cornelius sebagai seorang Zending Protestan, yang memperkenalkan ajaran agamanya kepada para pribumi di pulau Pagai.


Tidak kurang dari waktu empat tahun saja Pendeta Cornelius sudah pandai menggunakan bahasa Pagai, sudah pula bisa pergi sendiri menemui Katua Leleu tanpa di temani oleh Rimata Sagalak. Pernah pada suatu waktu pendeta Cornelius mengajak Katua leleu pergi berjalan-jalan ke tengah hutan, sambil berbincang-bincang lebih dalam tentang keimanan mereka masing-masing. Pada kesempatan itu Pendeta Cornelius bercerita banyak dan panjang lebar tentang Tuhan Yesus kepada Katua Leleu.


“O.. Katua Leleu, orang yang bijaksana, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan firman Tuhan kepada anda. Percayalah anda kepada Tuhan Yesus sebagai pelindung anda. Karena Tuhan maha pengasih dan maha pengampun atas dosa seluruh umat manusia di bumi. Tuhan telah turun ke bumi untuk menebus seluruh dosa umat manusia. Ia telah rela wafat digantung ditiang salib demi menebus seluruh dosa umat manusia yang telah ada semenjak turunnya nabi Adam ke bumi. Terimalah Ia, dan engkau akan masuk sorga, karena seluruh dosa-dosa mu telah diampuninya”


Katua Leleu tidak pula merasa tersinggung oleh ajakan pindah agama itu. Dia malah menepis ajakan Pendeta Cornelius dengan bercerita balik tentang tuhan yang dia yakini.


“O.... Pendeta agung, nan berbudi mulia, dengarkanlah saya bercerita. Kami orang-orang Pagai ini memiliki cara hidup dan kepercayaan yang berbeda dengan anda dan saudara-saudara anda yang tinggal di tepi pantai itu. Kami tinggal di pulau ini karena sudah sejak dahulu kala para leluhur kami ada untuk menjaga pulau ini. Kami hidup dan dibesarkan di hutan karena ada Tai Kaleleu, dewa penguasa hutan yang akan senantiasa melindungi kami dan memberi makanan kepada anak-anak cucu kami. Ada pula Tai Kamanua, dewa yang akan menurunkan hujan dari langit, mencurahkan segala air untuk kebutuhan minum kami. Satu lagi dewa pelindung kami ada di laut tempatnya, yaitu Tai Kabagat. Itulah tuhan-tahun yang kami sembah. Rasanya kami lebih beruntung dari pada anda. Anda hanya punya satu tuhan yang disembah, sedangkan kami punya tiga tuhan, tiga pelindung yang senantiasa menjaga kami”


Pendeta Cornelius langsung pusing mendengarkan celotehan yang tidak masuk akal dari sahabat tuanya itu. Langsung saja si pendeta mengalihkan topik pembicaraan, dan mereka berjalan kembali ke arah uma. Namun pada lain kesempatan Pendeta Cornelius akan punya cara lain lagi untuk datang dan tetap menyampaikan firman Tuhan kepada setiap anggota keluarga Siliangleleu.



Lambat laun desa Sikakap sudah mulai ramai dan banyak berdiri pemukiman penduduk. Pemerintah pusat telah pula mengirimkan aparat pemerintahan ke desa. Sudah terbentuk pula sebuah lembaga kecil pemerintahan yang dikepalai oleh seorang kepala desa. Begitu dengan telah resminya berdiri sebuah lembaga desa Sikakap, maka pemerintah pusat telah mengkliam bahwa pulau Pagai Utara adalah suatu bagian dari kesatuan Republik Indonesia. Satu unit lembaga keamanan desa yang disebut Polisi telah pula di tempatkan di pulau itu. Ada sepuluh orang personil polisi yang ditugaskan negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban di pulau Pagai Utara, desa Sikakap dan sekitarnya.



Semenjak berjalannya institusi pemerintahan di pulau Pagai, sejak saat itulah Pendeta Cornelius aktif secara terang-terangan menyebarkan ajaran Kristen bersama zending lainnya, hingga masuk ke pelosok-pelosok pulau Pagai. Apalagi pada waktu itu ada keluar satu kebijakan oleh Presiden Republik Indonesia, Soekarno yakni SK No. 167 / PROMOSI / 1954 tentang pemerintah melakukan penyelidikan, pengawasan dan bahkan pelarangan terhadap semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di masyarakat, yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan pemerintah, yang pada waktu itu hanya mengakui lima agama saja, yaitu Hindu, Budha, Islam, Kriten dan Katolik.


Beberapa kali pendeta Cornelius diminta oleh ke kepolisian secara resmi melalui sepucuk surat undangan tentang menghadiri Rapat Tiga Agama yang biasa diselenggarakan di pulau Siberut, Tuapejat. Dalam rapat yang diselenggarakan dan dipimpin oleh ististusi Kejaksaan waktu itu hadirlah setiap tokoh dari tiga agama yang berkembang di kepulauan Mentawai, yaitu para alim ulama, pendeta, dan pastor. Tidak ada pembahasan yang perlu dibahas dalam kesempatan waktu, yang ada hanya instruksi dari pemerintah pusat agar semua tokoh agama yang menjalankan perannya di kepulauan Mentawai memaksa para penduduk asli untuk meninggalan kepercayaan nenek moyang mereka, yang dikenal dengan Arat Sabulungan, dan menyuruh mereka memilih masuk ke tiga agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen dan Katolik. Diberi waktu tiga bulan untuk mereka berpikir, kalau ada yang melawan kebijakan pemerintah maka orang itu harus ditangkap, dan diberikan penataran.


Dengan membawa surat resmi dari kejaksaan, Pendeta Cornelius kembali pulang ke pulau Pagai. Pendeta tua itu tentunya sangat paham bahwa sepucuk surat yang ada ditangannya itu adalah akan menjadi sumber mala petaka bagi warga pribumi di Pagai. Tapi walaupun dia tidak suka memaksakan kehendak agar orang pindah agama, tetap tugas itu harus dilakukannya, kalau tidak dia sendiri yang di tangkap karena dianggap telah bertindak tidak mendukung kebijakan pemerintah.


Hanya ada keluarga Siliangleleu yang tinggal berdekatan dengan lingkungan gereja di Sikakap. Keluarga itulah yang pertama kali didatangi oleh pendeta Cornelius untuk memberitahukan perihal kebijakan pemerintah pusat menyuruh keluarga Siliangleleu untuk meninggalakan kepercayaan Arat Sabulungan yang telah turun temurun semenjak dari nenek moyang mereka anut.


“O... Katua Leleu, orang nan paling bijaksana, izinkan saya mengaturkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada anda atas sebuah berita yang akan saya sampaikan kepada anda” Pendeta Cornelius memulai pembicaraan sangat berat berdua dengan Katua Leleu. Nada bicara pendeta itu sangat berat, dan sikapnya aneh, sebenarnya enggan untuk mengutarakan sesuatu dari pikirnnya.


Katua Leleu melihat suatu keganjilan yang tidak biasanya dinampakan oleh pendeta itu. Biasanya setiap bertemu dengan Katua Leleu yang sudah dia anggap sebagai saudara tuanya, Pendeta conelius selalu riang dan ramah, tidak pernah menampakan wajah suram dan duka. Sangat berbeda sekali kali ini. “Maaf, apa yang harus saya maafkan terhadap pendeta, pendeta tidak ada salah kepada saya. Katakanlah wahai pendeta yang mulia, katakanlah walaupun itu pahit bagi saya”



“Baiklah Rimata, siapkanlah diri anda untuk mendengarkan berita yang tidak baik ini” Pendeta tua itu mulai gugup, tapi dia sudah menyiapkan mental untuk menyampaikan berita itu walaupun sangat sakit dia ucapkan. “Bahwa atas nama pemerintah Repubik Indonesia, Soekarno, memerintahkan kepada seluruh pribumi asli kepulauan Mentawai untuk meninggalkan praktek-praktek kepercayaan leluhur, dan memilih untuk memeluk agama yang diakui oleh pemerintah. Diberikan waktu tiga bulan bagi anda dan keluarga untuk berpikir dan memilih agama yang sesuai. Ehem.. ehem... Begitulah beritanya Rimata, maafkan saya”. Wajah pendeta itu langsung terkulai jatuh ke bumi. Dia diam, dan tidak mampu lagi untuk bicara barang sepatah katapun.


Suasana hening seketika. Katua Leleu tampak berpikir, wajahnya memerah, keningnya mengerut kusut, mukanya mulai masam, matanya terbelalak menatap kearah Pendeta Cornelius yang sedang menundukan wajah ke bumi.


“Ehem....ehem... Siapa itu pemerintah, siapa Soekarno, mengapa mereka menyuruh kami untuk memeluk agama yang tidak pernah kami yakini. Apa hak mereka memerintahkan kami. Kamilah penguasa di pulau ini. Kami yang menjaga pulau ini jauh sebelum kalian dan orang-orang berseragam itu datang ke sini. Kalau bukan kami yang mengizinkan kalian tinggal maka kalian tidak ada di pulau ini. Mengapa sekarang kami harus menuruti perintah, dan kami sedari dulu tidak pernah diperintah oleh siapapun.


Dan kamu Pendeta, tidak kah kami ini saudara kamu, dimana kita saling berbagi rezeki yang telah kita peroleh dari bumi Pagai ini. Mengapa kamu harus tunduk kepada perintah orang, orang yang jauh berada entah dimana” Katua Leleu berkata-kata dangan nada marah. Suara orang tua itu semakin tinggi dan bergema ke seantero uma.


Seluruh keluarga anak cucu Siliang Leleu seketika keluar dari tempat tinggal mereka masing-masing karena mendengar suara dengan nada tinggi diucapkan oleh orangtua mereka kepada pendeta Cornelius. Sangat jarang sekali mereka menyaksikan orangtuanya marah-marah seperti itu. Tidak ada satupun dari anggota keluarga itu yang berani naik ke atas uma. Mereka diam berdiri dibawah memperhatikan ayah atau kakek mereka menghamburkan kata-kata kasar kepada pendeta Cornelius. Sang pendeta hanya bisa diam seribu bahasa, tidak berani menatap wajah orang tua yang sudah dianggapnya sebagai kakaknya.


“Sudah, sudahlah, sudah pula saya paham sekarang, siapa sebenarnya orang yang kamu anggap sebagai saudara. Merekalah saudara mu, orang-orang yang memakai seragam itu, bukan kami. Sudah, pulanglah anda, kembalilah ke tempat semestinya anda berada. Jangan ganggu kami.”


Maaf, hanya kata itu yang bisa di ucapkan oleh pendeta Cornelius kepada Katua Leleu sebelum dia pergi meninggal perumaan Siliangleleu. Sejak kejadian itu tidak pernah lagi Pendeta itu datang menginjakan kaki di bukit Sian. Begitu juga sebaliknya dengan keluarga Siliangleleu, tidak ada satupun dari mereka mau singgah lagi ke daerah pantai desa Sikakap, mungkin mereka sudah menganggap tanah pemukiman penduduk di sekitar pantai itu adalah tanah terlarang, yang tidak boleh tersentuh oleh kaki.


Tiga bulan kemudian, adalah hari nan baik, hari nan sangat istimewa bagi seluruh keluarga besar Siliangleleu. Seluruh anak dan menantu Katua Leleu telah berkumpul di uma. Termasuk juga anak perempuan tertua Leleu, si Koknoi Leleu, perempuan itu telah datang sejak hari kemarin dengan membawa suami serta seluruh anak-anaknya ke uma. Selayaknya hari besar, semua anggota keluarga Leleu merasakan bahagia.


Pada hari yang istimewa itu mereka berencana akan membuat pesta, atau punen. Semenjak pagi para perempuan di uma sudah mulai sibuk bergotong-royong mempersiapkan makanan dan masakan. Sebagai seorang kakak perempuan paling tua dalam keluarga, Koknoi Leleu yang hanya datang berkunjung ke uma sekali dalam sekala, hanya pada waktu-waktu tertentu saja, bolehlah berkehendak kepada adik-adiknya barang sedikit permintaan.


“Oi Ungga, bolehkah kakak mu ini meminta sedikit permintaan kepada mu. Tidak pula untuk aku, tetapi untuk para keponakan mu ini”


“O kakak ku tersayang, katakanlah apa yang engkau inginkan pada ku, walaupun itu sangat sulit untuk ku kerjakan, pasti akan lakukan juga demi mu”


“Tangkap lah seekor kijang jantan dihutan, anak-anak ku sudah rindu sekali ingin makan lezatnya daging kijang jantan”


“Baiklah kok, apalah susahnya menangkap kijang. Tunggulah barang sebentar, saya akan pergi berburu”


Maka waktu itu juga Ungga langsung mengambil perlengkapan senjata berburunya kedalam lalep. Karena mengetahui Ungga hendak akan berangkat berburu, ketiga adik-adiknya pun ingin ikut serta bersamanya, ikut pula beberapa orang anak, anak lelaki mereka yang telah bujang, yang sudah waktunya belajar untuk menangkap hewan liar di hutan. Waktu itu masih pagi sekali, segerombolan laki-laki Siliangleleu pergi meninggalkan uma, masuk kedalam hutan dengan diiringi oleh beberapa ekor anjing yang sudah piawai berburu dari belakang. Mereka pergi naik ke daerah bagian belakang uma, mendaki lereng-lereng pebukitan, hingga sampai ke puncak bukit. Menurut pengalaman yang sudah-sudah, disana biasanya ada sekelompok kijang suka melintas di jalan setapak yang biasa mereka lewati di puncak bukit itu.


Katanya Ungga pergi sebentar, namun hari telah sore, matahari telah condong ke barat, belum juga Ungga dan saudara-saudaranya kembali ke uma, sementara makanan dan masakan untuk punen nanti malam sudah hampir selesai dikerjakan oleh para istri. Semua orang telah cemas menunggu kedatangan Ungga untuk membawa seekor kijang jantan yang diinginkan oleh Koknoi tadi pagi.


Tiba-tiba saja sore itu penampakan yang tidak biasa hadir di halaman pekarangan uma. Bukannya Ungga dan saudara-saudaranya yang datang, tetapi sepuluh orang polisi berseragam lah yang datang ke uma. Tiap-tiap polisi itu membawa sepucuk pistol dan borgol yang terselip di ikat pinggang mereka. Dengan sangar dan kasar, salah seorang polisi yang berbadan besar dan tegap berteriak-teriak di halaman uma.


“Oi.... Katua Leleu, keluarlah, keluar dari tempat persembunyian mu”


Melihat gelagat dan perilaku yang tidak sopan dari para aparat berseragam itu, seluruh anggota keluarga Siliangleleu merasa tersinggung dan marah.


“Oi... Siapa kalian, beraninya kalian bicara tidak sopan seperti itu di depan uma kami, jaga mulut kalian” Koknoi yang sangat tersinggung dengan kelakuan para polisi itu, bergegas turun dari uma dan langsung mengata-ngatai mereka.


Katua Leleu ikut turun menyusul putri sulungnya, Koknoi, sementara para perempuan lain dan anak-anak tetap tinggal di uma, menonton bibinya sedang memarah-marahi para tamu yang tidak diudang itu.


“Tenanglah nak, biar ayah yang menghadapi orang-orang ini, naiklah kau ke uma” Katua Leleu dengan tenang da sabar membujuk anak perempuan tertuanya untuk kembali naik ke uma. Koknoi dengan kesal dan gusar tidak mau menuruti perkataan ayahnya. “Tidak, biar saya disini, menemani Ukui, saya ingin tau apa mau mereka”


“Sayalah Rimata, Katua Leleu. Ada apa kalian menemui saya?”


“Kami dari polsek Sikakap datang dengan membawa surat penangkapan untuk anda. Sebaiknya anda tidak melawan, dan turuti saja perintah kami” Salah seorang polisi mengeluarkan sepucuk surat dari saku bajunya, lalu memperlihatkannya kepada orang tua itu.


“Saya tidak pandai membaca, apa salah saya?” Tegas Katua Leleu berkata kepada polisi itu.


“Baiklah saya jelaskan” Polisi itu memasukan kembali surat ke dalam sakunya. “Anda Katua Leleu, dituduh telah melawan kebijakan otoritas pemerintah pusat. Anda tidak mau turut perintah negara untuk meninggalkan kepercaan leluhur. Anda tau, kerena sudah di peringatkan bahwa itu dilarang oleh pemerintah. Oleh karena itu anda sekarang kami tangkap”


Belum lagi tercerna jelas oleh otak Sikerei yang sudah tua berkarat itu, tentang bahasa dan apalagi masalah yang sebenarnya tadi disampaikan oleh si komandan polisi, tiba-tiba salah seorang dari anggota polisi langsung bergerak dan memasangkan borgol ke kedua tangan Katua Leleu di depan.


Melihat orangtuanya di perlakukan seperti itu, si Koknoi tidak terima. Perempuan itu langsung mengamuk, melawan dan meronta-ronta, berteriak dengan segala sumpah serapah dan carut marut keluar dari mulutnya berhamburan kewajah para polisi sangar yang sedang menangkap ayahnya. Salah seorang polisi itu di pukulnya dengan sekuat tenaga yang dimilikinya, dan akhirnya tindakannya itu membuat dia harus bernasib sama dengan ayahandanya.


Setelah dua orang anak dan ayah itu di amankan, maka beberapa orang polisi naik ke atas uma. Mereka mengeledah seluruh isi uma. Semua barang-barang, pernak-pernik dan perkakas yang berkaitan dengan praktek ritual kepercayaan keluarga Siliangleleu mereka sita. Seisi uma berteriak memaki-maki para polisi itu, tetap saja mereka tidak mau berhenti. Mereka mengeluarkan semua benda-benda ritual milik Katua Leleu dari dalam uma. Mereka kumpul semua barang-barang itu, termasuk semua tengkorak kepala hewan buruan yang tergantung bersusun-susun di langit-langit uma, di buang ke halaman. Kemudian mereka tumpuk dan mereka tutupi benda-benda ritual itu dengan kayu dan ranting-ranting kering, lalu mereka bakar semua, hingga membuat sebuah api unggun yang besar di halaman. Asap dari pembakaran itu pekat, putih mengepul tinggi ke langit.


Para perempuan dan anak-anak menangis nyaksikan kelakuan buruk para polisi itu yang telah menjarah uma dan mengambili semua benda-benda yang mereka anggap suci. Suami si Koknoi pun tidak mau tinggal diam, dia mengejar salah seorang polisi yang sedang memborgol istrinya dengan parang, namun, beberapa orang polisi memang lebih tangkas dan kuat dari dirinya, sehingga bisa mematahkan seranggannya dengan mudah, dan dia pun akhirnya ikut ditangkap.
Ketiga orang, ayah, anak dan menantu itu akhirnya di giring ke polsek, dengan berjalan kaki meninggalkan uma keluarga besar mereka. Ketiga orang tahanan itu berjalan di depan dengan masing-masing tangan diborgol di depan, di ikuti oleh para polisi yang sepuluh orang itu dari belakang melewati jalan-jalan setapak, lereng-lereng bukit dan rimbunnya pepohonan di kaki bukit Sian.


Mendadak tanpa mereka sadari, dari arah belakang mereka, sebuah bayangan berkelebat dari balik rimbunya pepohonan, melesap, melayangkan sebuah parang, menebas batang leher seorang polisi yang berjalan paling belakang. Badan polisi itu langsung tumbang ke tanah, dan kepalanya terpental beberapa meter dari badannya. Darah merah segar memuncrat kemana-mana mengotori apa saja yang ada di dekat tubuh yang sudah tidak berkepala itu.


Semua orang yang ada di tempat itu terkejut dan ngeri menyaksikan serangan berdarah yang mematikan itu. Mereka tidak sempat berbuat apa-apa lagi selain mulut mereka ternganga lebar. Dalam hanya hitungan beberapa detik datang lagi sebuah serangan anak panah. Benda beracun itu melesat tepat di kening salah seorang lagi polisi, dan akhirnya polisi itu pun tumbang mengikuti jejak kawannya yang sudah tidak lagi berkepala.

Sekejap suasana ketakutan akan datangnya malaikat pencabut nyawa menyelubungi setiap orang yang ada di hutan itu. “Semua berlindung di balik pohon” Perintah dari seorang komandan polisi. Semua polisi yang tersisa mencari tempat berlindung di balik rimbunya pohon, tidak terkecuali Katua Leleu, Koknoi dan suaminya juga ikut mencari tempat perlindungan.


Tiba dari arah belakang punggung Katua Leleu, salah seorang anak laki-lakinya, Bajo, dengan tangan siap siaga melepaskan anak panah, berjalan mengendap-ngedap. “Ukui cepat tinggalkan tempat ini”. Orang tua yang sedang tidak berdaya itu terkejut karena anak bungsunya mendadak sudah ada di belakangnya. Sedetik kemudian “dor” terdengar letusan suara pistol entah dari arah mana datangnya. Sebuah peluru datang seketika menembus dada Bajo. Dan Bajo yang masih punya sisa tenaga, langsung melepaskan anak panahnya ke arah polisi yang baru saja menembaknya. Sekali lagi panah beracun menembus leher salah seorang polisi. Polisi itu mati terkapar seketika, begitu juga dengan Bajo, yang sudah puas membalaskan kematiannya pada sang lawan, dan ia mati tersungkur di belakang punggung ayahnya.


Katua Leleu meraung, meratapi kematian si Bajo yang terjadi dihadapan mata kepalanya. Dia tidak terima dengan terbunuhnya si anak kandung oleh para aparat itu. Langsung saja dia mencabut sebilah parang dari warangka yang terselip di pinggang Bajo yang sudah mati tersungkur. Dengan kedua tangannya yang masih terborgol, dia cabut parang itu, kemudian mengayunkannya ke udara, dia berlari sekuat tenaga, mengamuk membabi buta mengejar polisi yang sedang bersembunyi di balik pohon. Belum sampai Katua Leleu menebaskan parang itu ke mangsanya, sebuah peluru panas telah bersarang tepat di dadanya. Dan akhirnya dia pun harus mati jatuh tersungkur, kepalanya terhempas pada sebatang pohon yang kokoh.


“Ukui... ukui.... ukui.... o ukui...” Koknoi meruang sejadi-jadinya ingin mengejar jasad ayahnya yang sudah tersungkur dibawah sebuah pokok pohon, namun sang suami yang masih tetap menjaganya, menahan tangannya sekuat tenaga, supaya dia tetap dalam perlindungan di balik pohon.


Kematian Katua Leleu itu sontak membuat semua anak-anaknya yang sedari tadi melakukan penyerangan dari balik persembunyiannya, sekarang keluar secara bersamaan, meluapkan semua kemarahan, menyerang secara terbuka dengan gagah dan sangat berani kepada ketujuh orang polisi yang masih tersisa. Dar... der... dor..... suasana hutan seketika itu berubah menjadi bising dan memekakan telinga karena letusan senjata api para polisi yang mendesing-desing. Para penghuni hutan berhamburan keluar, burung-burung seketika terbang meninggalkan sarangnya di ranting-ranting pohon yang tinggi. Monyet-monyet hiruk pikuk cecikikian kesana kemari dari ranting-ranting pepohonan yang tinggi, memberitau kawanannya bahwa ada terjadi kekacaaun dibawah sana. Hewan liar yang berkaki empat tidak ada yang berani mendekati radius pertempuran disana.


Terjadilah sebuah pertempuran yang tidak seimbang antara para laki-laki keluarga Siliangleleu yang hanya menggunakan senjata berburu primitif melawan tujuh orang polisi yang masing-masingnya menggunakan pistol. Dar.. der.. dor... Walaupun banyak luka tembak dibadan mereka, Ungga dan adik-adiknya yang masih hidup, berserta beberapa orang anak dan keponakannya tetap melakukan serangan balik kearah para polisi. Sekejap serangan keluarga Siliangleleu berhasil dipatahankan dengan mudah oleh para polisi bersenjata api itu. Mampus semua anak laki-laki Siliangleleu, beserta beberapa orang cucunya yang gugur di ke tanah, dan tidak akan pernah bangkit lagi. Sementara di pihak polisi semakin bertambah korban, tiga orang lagi dari mereka terkena serangan panah beracun, kemungkinan besar mereka akan mati dalam waktu singkat, karena tidak ada obat penawar dari racun panah yang telah menyebar masuk ke aliran darah mereka masing-masing. Tinggal hanya sang komadan, kepala polsek, dan tiga orang anggotanya yang masih selamat.


Sedangkan dibawah sana, di lingkungan sekitar gereja desa Sikakap, orang-orang pada keluar dari gereja semuanya. Waktu itu adalah hari minggu, waktunya orang-orang melakukan kebaktian, pas baru saja selesai, terdengar oleh mereka suara keras tembakan senjata api berulang-ulang kali dari arah barat, tepatnya dari arah kaki bukit Sian. Orang-orang gereja itu memang sudah tau persis tentang kejadian apa yang sedang berlangsung disana, di dalam hutan. Sudahlah pasti ada pertempuran antara Polisi dan keluarga Siliangleleu. Tapi sekarang yang mereka cemaskan adalah mengenai nasib keluarga Rimata Siliangleleu, apakah ada dari mereka yang selamat dari peristiwa penembakan itu. “Haleluya, oh Tuhan yang maha pengampun, ampunilah dosa-dosa mereka” Berkata pendeta Corneluis sambil berdoa dalam hatinya kepada Tuhan yang maha pengasih. Dan sebagian warga yang lain masih tetap mengawasi jalannya kejadian dengan berdiri disekitar halaman gereja, melihat kearah bukti Sian. Walaupun belum ada tampak satu orang pun keluar dari dalam hutan, tetap saja suara keras dari tembakan senjata tadi menimbulkan berbagai macam tanya di otak mereka, siapakah yang mati dan siapakah yang selamat. Tapi mereka hanya bisa berdoa saja, semoga seluruh keluarga Katua Leleu tetap dilindungi oleh Tuhan.


Tidak lama waktu berselang, seorang polisi lari tunggang-langgang dari rimbunnya semak belukar yang menutupi jalan setapak menuju bukit Sian, dia lari ke arah gereja. Semua penduduk desa meyaksikan dengan cermat. Sesampai di gereja dia dengan napas tersengal-sengal langsung meminta pertolongan kepada si Pendeta. “Pendeta... pendeta... tolong kami, bawa orang-orang ke dalam hutan sana, tiga orang kawan ku mati dan tiga orang lagi terluka parah”.


“Tunggu, tunggu... sabar, tenangkan dirimu sebentar, lalu baru kau ceritakan apa yang terjadi”

“Baiklah... baiklah” polisi itu langsung menarik napas dalam dan kembali mencoba untuk membuat dirinya tenang.


Si polisi yang masih bisa dikatakan muda itu, dengan tenang menceritakan kronologi peristiwa pertempuran di hutan tadi, dari awal sampai akhir kepada pendeta Cornelius. Sang pendeta hanya bisa menangisi dan menyesali atas telah terjadinya pertempuran yang menyebabkan jatuhnya korban di dua belah pihak. “Demi Tuhan, tidak pernah aku membayangkan tragedi seperti itu bisa terjadi di pulau ini” dengan menghapus air matanya, dia memerintahkan jemaatnya untuk mengabil perlengkapan, karena mereka ada tugas mengurus banyak jenazah dari dalam hutan.


Berbondong-bondong lah para jemaat gereja masuk ke hutan, menyusuri jalan-jalan setapak di dalamnya hingga sampai di lokasi pertempuran dan akhirnya mereka dapat menyaksikan sendiri dengan mata kepala ada banyak mayat bergelimpangan, dan darah segar berserakan dimana-mana. Adapun beberapa orang polisi yang selamat dari peristiwa itu, tampak sebagian ada yang berdiri mematung saja, dan ada yang duduk tersandar ke batang pohon, mungkin mereka sedang mengalami guncangan jiwa karena melihat keadaan kawan-kawan mereka yang naas, apalagi ada salah seorang anggotanya sudah tidak berkepala lagi.


Si Koknoi Leleu, perempuan muda itu, bersama suaminya tampak sedang meratap di atas mayat anak laki-laki mereka yang paling besar. Suasana sangat sedih dan memilukan hati terasa sangat bagi pendeta Cornelius. Langsung saja dia pergi mencari mayat seorang, seorang laki-laki tua, laki-laki tua yang sudah dianggapnya sebagai saudara tuanya, yaitu Katua Leleu. Dari beberapa jenazah yang tergeletak di tanah, dilangkahinya, baru tampak lah seonggok badan ringgkih, yang sudah tak bernyawa lagi, tersungkur pada sebuah pokok pohon, itulah dia yang dimaksud, Katua Leleu. Mudah saja dikenali dari titi bintangnya yang ada di pangkal lengannya.


Itulah hari yang sangat sibuk dan sangat merepotkan bagi orang-orang asing pendatang di desa Sikakap. Mereka dari sejak sore hingga malam, bekerja bersama-sama dengan pribumi dan keluarga Siliangleleu yang tragis, keluarga yang masih tersisa hidup, saling membantu untuk menguburkan jenazah orangtua mereka, yakni Katua Leleu. Adalah seorang laki-laki tua, kepala suku dari marga Siliangleleu, laki-laki tua yang teramat disegani di desa Sikakap. Lalu kemudian empat jenazah dari anak laki-laki Katua Leleu, yaitu, Ungga Leleu, Nang Leleu, Paka Leleu dan Bajo Leleu. Ada juga tiga orang anak bujang, cucu Katua Leleu, yang salah seorang dari mereka adalah anak dari Koknoi Leleu. Masing-masing jenazah dikuburkan di halaman pekarangkan uma keluarga Siliangleleu, berserta semua benda-benda pribadi milik para mendiang.


Perasaan duka mendalam menyelubungi perumaan Siliangleleu. Semua perempuan, khusus nya Tete, istri mediang Katua Leleu, menangis tiada henti-hentinya mulai semenjak para jenazah tadi digotong orang-orang tiba di depan uma, hingga kini sudah larut malam belum juga berhenti tangisnya. Para istri yang lain dan anak-anak cucu Siliangleleu tak ubahnya sama seperti Tete. Sebagian yang tidak kuat menanggung beban duka itu langsung saja pingsan dan tak sadarkan diri lagi.


Setelah orang -orang desa selesai menyelenggarakan penguburan delapan orang jenazah keluarga Siliangleleu, maka pendeta Cornelius dan warga desa meminta undur diri untuk balik kembali ke rumah mereka masing-masing. Setelah hari itu, sampai masa selanjutnya, tidak ada lagi penduduk desa yang mau berani masuk ke daerah perumaan keluarga Siliangleleu. Begitu juga sejak hari naas itu tidak pula ada kabar berita dari keluarga Siliangleleu, mungkin mereka telah meninggalkan perumaan mereka, membuat perumaan baru di tempat yang lebih jauh dan lebih dalam lagi ke pedalaman hutan pulau Pagai, begitu sekilas pendapat para penduduk di Sikakap tentang keluarga Siliangleleu. (Lucky Lukmansyah)















































































































































































































































































































Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © Simple SEO ✔