Puncak bukit Siyai, adalah sebuah lahan terbuka sekitar kurang lebih 20 hektar luasnya, berada pada dataran tinggi pulau Pagai Utara, pada elevasi 150 meter di atas permungkaan laut perairan selat Mentawai. Telah berdiri di atas lahan itu semenjak awal dekade 70’an, sebuah komplek industri dengan dua buah gedung beton, besar dan bertingkat, satu adalah kantor pusat pengendalian dan managemen kegiatan penebangan hutan untuk kawasan HPH pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan, dan satunya lagi adalah sebuah mess atau dormitory, tempat tinggal untuk para staf lajang, atau yang belum memboyong keluarga mereka untuk menetap tinggal di pulau itu dan juga untuk para expatriate yang datang dari manca negara, seperti Amerika, Finlandia, Jerman, dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, bekerja sebagai tenaga ahli di perusahaan penebangan kayu PT. Mentawai Land. Selebihnya, area terbuka itu dipakai sebagai badan jalan yang beraspal kasar untuk rute lalu-lalang kendaraan. Ada juga terdapat area lapang tempat perusahaan menumpuk kayu-kayu yang sudah ditebang dari dalam hutan dan ada lahan kosong yang dapat digunakan untuk parkir kendaraan-kendaraan operasional, seperti bus transport karyawan, alat berat tracktor, excavator, dozer dan truk trailer pengangkut kayu yang panjang kendaraan berat itu hingga belasan meter dengan jumlah roda yang tidak cukup kalau hitung jumlahnya dengan jari tangan yang sepuluh. Disanalah lingkungan tempat Rasyid bekerja setiap hari, dari pagi hingga petang, mencari nafkah untuk keluarganya, bekerja sebagai seorang cashier, orang yang bertanggung jawab atas seluruh laporan biaya operasional perusahaan perambah hutan di pulau Pagai tersebut.
Ruangan tempat Rasyid bekerja berada di lantai dua gedung, yang kebetulan gedung itu menghadap langsung ke arah laut selat Sikakap. Jaraknya cukup jauh, kurang lebih ada 6 kilometer mulai dari titik tempat Rasyid bekerja hingga ke bibir pantai Sikakap. Dari jendela ruang kerjanya, yang di atas berada di dataran tinggi itu, tampak jelas panorama bagus, yaitu sebuah hamparan hijau rimba hutan tropis pulau Pagai Utara, pada areal sektor selatan. Hamparan hutan bagian selatan itu tampak jelas masih perawan, mungkin ribuan hektar luasnya, masih belum terjamah sama sekali oleh tangan para operator yang selalu bising bekerja menggunakan gergaji mesinnya.
Di ujung pemadangan itu ada pula terdapat beberapa tumpuk komplek pemukiman penduduk yang menghuni desa Sikakap, letak pemukiman di desa kecil itu berada di atas kontur tanah yang menurun hingga ke daratan landai yang luas di sekitar pantai, kelihatan pola konsentrasi pemukiman penduduk di desa itu selalu memadati daerah-daerah terbuka yang tersedia di sekitar pantai, dan tidak pernah ada penduduk Sikakap yang mau tinggal jauh dari pantai, kecuali orang-orang pribumi pulau Pagai.
Orang-orang pedalaman Pagai, tinggal secara komunal dan ekslusif di dalam hutan, jauh dari hiruk pikuk peradapan manusia berkebudayaan maju yang menghuni kawasan sekitar pantai Sikakap. Mereka membangun umma, rumah panggung, yang besar dan panjang jauh di dalam hutan, di pinggiran sungai, yang mengalir di dalam hutan. Di dalam umma itu mereka tinggal berkeluarga dan beranak pinak, bahkan ada beberapa kepala keluarga tinggal menghuni rumah panggung tersebut. Seorang Sikerei adalah pemimpin utama keluarga besar mereka, yang juga sekaligus merangkap sebagai pemimpin adat dan dukun. Tidak ada rute jalur darat yang bisa di akses untuk ke pemukiman orang-orang itu, kecuali melewati jalur sungai, dari hulu menaiki sampan ke hilir. Disanalah mereka tinggal, mengisolasikan diri dari keramaian.
Dari ruang kerja Rasyid, yang hanya beberapa meter persegi itu, juga tampak pemandangan pulau Pagai Selatan yang letaknya berhadap-hadapan langsung dengan pulau Pagai Utara, masih terlihat sangat jelas walaupun dari kejauhan, kalau cuaca ada cerah. Keberadaan pulau itu hanya dipisahkan oleh selat Sikakap, sebuah selat yang gelombang air lautnya tidak pernah stabil sepanjang tahun. Hal itu terjadi karena disebabkan oleh adanya ombak besar dan angin kencang yang datang dari samudera Hindia, yang selalu menerjang ganas terhadap pulau-pulau yang ada di kepulauan Mentawai, sehingga membuat gelombang laut di selat Sikakap menjadi besar dan kuat.
Tidak sembarang tukang perahu yang bisa menyeberangi selat antara dua pulau itu, harus orang yang sudah berpengalaman. Para tukang perahu yang sudah berpengalaman tentu hafal dengan ritme gelombang laut selat Sikakap. Ada sebuah metode bagi para tukang perahu agar mereka bisa menyeberang antar pulau itu, yaitu dengan cara menghitung ombak kata mereka. Dengan jumlah ganjil pada hitungan kesekian, baru perahu boleh menyeberang karena terdapat sebuah celah ombak di waktu itu. Para tukang perahu harus menghitung ombak dengan tepat, tidak boleh ragu, kalau ragu harus ulang lagi dari hitungan ombak pertama.
Dikarenakan kondisi ombak laut yang ekstrim di pulau Pagai itu, makanya tidak ada seorangpun dari suku asli Mentawai yang menjadi pelaut. Mereka tidak paham sama sekali dengan kondisi ombak. Mungkin itu adalah salah satu penyebab mengapa orang-orang asli harus tinggal di dalam hutan, jauh dari laut. Tetap saja para pelaut yang tinggal di Sikakap adalah orang-orang yang berasal dari pesisir pantai Sumatera. kebanyakan mereka adalah orang-orang yang datang dari kabupaten Pesisir Selatan dan Pariaman, juga ada pelaut yang datang dari Sibolga, Sumatera Utara.
Pulau Pagai Selatan, cukup besar, sama besarnya dengan pulau Pagai Utara. Dari puncak bukit Siyai, pulau itu terlihat seperti sebuah cangkang kura-kura raksasa yang terapung statis di tengah laut, berwarna hijau kelam, disebabkan karena saking rapatnya pepohonan yang tumbuh di atas tanahnya yang sangat subur, gembur.
Vegetasi hijau alam hutan pulau Pagai Selatan juga sama luasnya dengan pulau Pagai Utara, sama pula jenis tumbuhan dan pepohonannya. Pergerakan ekploitasi kayu yang dilakukan para penebang pohon di pulau itu masih belum menampakan efek apa-apa terhadap hutan yang bernaung di atas punggung pulau itu. Sepertinya masih butuh waktu puluhan tahun lagi baru orang-orang yang berada di puncak bukit Siyai, Pagai Utara dapat melihat tanah merah tersibak, terbuka, mencuat kepermungkaan dan terpisah dari lebatnya hutan di pulau Pagai Selatan itu.
Sesekali waktu Rasyid berdiri di jendela memandang jauh ke arah pulau yang bentuknya seperti cangkang kura-kura itu, ada terhayalkan sebuah angan-angan yang mustahil olehnya. Andaikan saja dia dapat memiliki pulau tersebut, pastilah dia akan menjadi salah seorang konglomerat papan atas di negara ini. Pasti harta yang dimilikinya itu tidak akan pernah habis-habisnya hingga ke cucu, cicit dan piyut-piyutnya di kemudian hari, bahkan pada saat dia hanyalah tinggal sebagai serpihan tulang di dalam tanah, harta itu belum juga punah. Tapi itu hanyalah sebuah hayalan Rasyid belaka, pada kenyataanya Rasyid adalah seorang gajian yang dibayar berdasarkan kinerjanya sebagai seorang kasir, orang yang dipercaya oleh perusahaan untuk memegang uang dengan jumlah berjuta-juta, yang tidak akan pernah dia cicip barang selembarpun, kecuali pada hari gajian saja, itupun mungkin diperolehnya dengan se 0,001 persen dari jumlah angka yang dia hitung setiap bulan.
Apabila ada saatnya Rasyid merasa penat, letih butuh penyegaran, karena jenuh dengan tumpukan kertas-kertas nota dan faktur yang berjubel di atas meja kerjanya, dia akan turun ke lantai bawah, duduk santai sejenak sambil minum secangkir kopi dan menikmati sebatang rokok di lobi depan, lalu dia akan mencoba bersosialisasi dengan rekan-rekan sejawat yang juga bekerja kantor itu. Lagi pula pria kurus berambut agak panjang, yang hanya biasa dikenal orang dengan sebutan “pak kasir” saja adalah orang yang baru bertugas di kantor itu. Butuh beberapa waktu lagi agar dia dapat dikenal orang dengan panggilan nama pribadinya, yaitu Rayid, atau pak Rasyid, bukan dengan panggilan “pak kasir” lagi.
Paling sering orang yang datang setiap hari mengujungi Rasyid di ruangan kerjanya adalah karyawan dari bagian sparepart dan logistik. Mereka datang bukan untuk ramah tamah, tetapi datang untuk mengantarkan memo dari direktur, pucuk pimpinan perusahaan, untuk mencairkan sejumlah dana, untuk keperluan operasional kata mereka. Disamping itu, pada setiap tanggal 1 adalah hari yang sangat sibuk bagi diri Rasyid dan juga rekan-rekan lain dalam divisi keuangan, pada hari itu mereka akan melayani karyawan yang berbaris ngatri hingga ratusan orang jumlahnya untuk mengambil gaji, upah mereka selama sebulan bekerja. Selalu saja pekerjaan Rasyid setiap tanggal 1 akan selesai lambat waktu, kadang-kadang sampai larut malam, lembur atau overtime istilah kerennya.
Begitu juga dengan setiap akhir bulan, Rasyid akan selalu sampai di rumahnya kalau sudah larut malam, karena dia harus menyelesaikan laporan pengeluaran biaya rutin bulanan perusahaan dengan sempurna, tanpa ada sedikitpun kesalahan. Memang jabatan sebagia kasir adalah sebuah pekerjaan yang beresiko tinggi, terutama bagi Rasyid sendiri. Sedikit saja dia membuat kesalahan, bisa-bisa gajinya akan di potong oleh atasannya untuk selama sekian bulan atau malah dia akan diberhentikan dari pekerjaannya. Itulah sebabnya Rasyid harus sangat teliti dalam menyelesaikan laporan rutinnya setiap akhir bulan. Dia akan selalu check dan recheck lagi terus sampai semuanya terang dan bersih.
Untung saja di kantor itu ada pak haji Umar, sopir bus transport khusus karyawan. Setiap hari akhir bulan dan tanggal 1, bapak yang selalu memakai kopiah putih itu, yang sering dia bilang ke orang kalau topi putih itu dia beli di Mekah waktu hendak pulang ke Indonesia setelah ibadah hajinya selesai, selalu setia menunggu Rasyid dan rekan-rekan dari divisi keuangan lainnya untuk pulang dan mengantar mereka dengan bus ke tempat tinggal masing-masing. Tidak mungkin pak haji Umar biarkan mereka berjalan sendiri dari bukit Siyai pulang ke rumah mereka melewati hutan belantara Pagai, sejauh 6 kilo, tengah malam buta itu tanpa diantar, bisa-bisa mereka hilang dan disembunyikan oleh hantu aru-aru, paling tidak mereka akan di patok ular atau di seruduk babi liar.
Cerita tentang orang yang di sembunyikan oleh hantu aru-aru bukanlah omong kosong belaka di kalangan masarakat yang tinggal di pulau Pagai. Sudah banyak buktinya dari penuturan orang-orang yang berkerja sebagai operator penebang kayu di dalam hutan. Setiap bulan ada saja berita orang hilang di dalam hutan, sehingga membuat heboh dan kerepotan tim SAR yang berkeliaran di dalam hutan mencari jejak orang hilang. Kadang-kadang ada juga mereka yang dapat ditemukan, tapi kebanyakan tidak. Rata-rata mereka yang pernah hilang dan dapat ditemukan kembali selalu dalam keadaan yang tidak baik. Ada juga yang mayatnya saja di jumpai orang tergeletak di tengah hutan, di bawah pohon, dan di rerumputan semak belukar, atau ada yang ditemukan masih hidup, tapi telah menjadi gila, suka bicara dan ketawa sendiri setelah hilang beberapa lama.
Oleh karena itu, dalam bekerja mencari orang hilang tim SAR selalu melibatkan seorang dukun lokal atau biasa disebut dengan Sikerei. Tentunya seorang Sikerei yang telah pandai berbicara dengan bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. Dengan kesaktian seorang Sikerei dapat membuat tugas penyelamatan tim SAR menjadi lebih mudah. Kadang-kadang tim penyelamat tidak pula perlu bersusah payah masuk ketengah rimba, seorang Sikerei bisa memangil hantu-hantu itu untuk mengembalikan orang yang mereka telah culik dan mengatar orang itu ketempat yang telah Sikerei tentukan.
Begitulah susahnya orang-orang yang tinggal dan mencari penghidupan di pulau Pagai. Sesuai pula dengan kata pepatah “lautan sati rantau batuah”. Di pulau Pagai ada saja suatu kejadian yang kadang-kadang tidak padat diterima oleh logika pikiran manusia, mudah terjadi di sekitar kehidupan mereka. Walaupun begitu, ternyata ada juga sebagian orang di pulau Pagai itu yang dapat memaklumi tentang adanya kejadian-kejadian aneh yang terjadi di sekitar mereka. Kata mereka itu adalah hal yang wajar saja. “Kita adalah orang-orang pendatang yang datang ke sini untuk merebut wilayah, dan tempat tinggal para penghuni asli di pulau ini. Kita tidak hanya datang menetap tetapi kita juga menjarah sumber daya alam mereka, sehingga para penghuni asli pulau merasa tidak senang dan sangat terganggu sekali oleh kehadiran kita, akhirnya mereka harus pindah dan lari jauh kedalam hutan sana”. Begitulah tanggapan dari sebagian orang warga pendatang, yang juga karyawan PT. Mentawai Land.
Bicara tentang kerja lembur, Rasyid bukanlah orang yang suka kerja lembur, kecuali pada hari dan tanggal yang disebutkan tadi. Walaupun begitu, tetap itu akan menjadi sebuah kecemasan bagi istrinya, Tias, wanita yang sedang hamil tua itu menunggu Rasyid, suaminya dengan cemas sampai larut malam di rumah sendirian, hanya berteman dengan suara-suara jangrik yang selalu menderik-derik di sudut-sudut ruangan, dibawah dinding papan dan di bawah lemari kayu. Kalau dia masih tinggal di Padang, okelah, tidak ada masalah, tapi ini di Pagai, di pulau terpencil, dimana setiap orang yang tinggal di pulau itu akan mengunci rumahnya apabila hari telah mulai gelap. Biasanya lepas waktu Magrib saja sudah tidak ada lagi orang-orang berkeliaran di jalan atau masih berada pekarangan rumahnya. Mereka akan berkurung di dalam sarang mereka masing-masing. Mereka takut kalau-kalau ada saja babi liar yang nyasar menyeruduk masuk ke dalam rumah, kalau pintu rumah masih dibiarkan terbuka.
Tapi Tias bukanlah perempuan penakut. Dia adalah wanita pemberani, dia perempuan yang punya mental sekuat baja. Kalau tidak seperti itu tentulah dia tidak akan sanggup menuruti hidup suaminya yang harus terbuang mencari untung di pulau terpencil yang terletak di pinggiran samudera Hindia itu.
Walaupun keadaan alam di pulau Pagai ganas dan tidak bersahabat dengan orang-orang pendatang, tentu tidaklah menjadi sebuah halangan bagi orang-orang yang mencoba mencari peruntungan hidup disana. Para karyawan dan keluarganya yang bekerja di perusahan HPH pulau Pagai rata-rata berkecukupan hidup mereka. Uang yang mereka peroleh dari gaji bulanan rupanya sangat berlebih untuk keperluan hidup mereka tinggal di pulau itu. Termasuk Rasyid sendiri, yang telah memperoleh gaji yang menurutnya lumayan, bisa di bilang berlebih untuk membiayai hidupnya dan istrinya, mereka yang masih hidup berdua saja kala itu. Sebagian dari uang hasil kerja jerih payahnya sebulan, sebagian kecil hanya habis untuk keperluan makan dan pakaian saja, sisanya hanya terpumpuk di dalam laci lemari baju.
Itulah sebabnya Rasyid merasa betah bekerja di Pagai, karena di tempat itu dia bisa memperoleh penghasilan besar, sangat berlebih untuk keperluan keluarga mungilnya. Sehingga setiap bulan dia bisa mengirim wesel untuk ibundanya di Padang. Mengiriminya uang untuk membiaya keperluan sekolah adik-adiknya yang berjumlah delapan orang. Apalah arti uang kala itu, bagi Rasyid dan Tias yang tinggal menetap di pulau yang fasilitasnya terbatas itu. Selagi mereka masih tinggal di pulau itu, uang hanya bisa di pakai untuk membeli isi perut dan pakaian saja, tidak bisa membeli barang-barang mewah, seperti perhiasan, kendaraan dan perabotan yang bagus-bagus. Mana ada orang yang menjual barang-barang mewah di pulau terpelosok itu. Kalaupun ada orang-orang yang berbarang, seperti perabotan dan kedaraan tentu mereka telah membawa barang itu dari Padang, saat mereka punya kesempatan cuti, pulang kampung atau liburan ke kota Padang, dengan ongkos angkut yang mahal sampai di Pagai.
Mulailah ada suatu kebiasaan pamer bagi kalangan ibu-ibu rumah tangga, khususnya orang-orang yang tinggal di komplek perumahan karyawan, apabila mereka telah kembali dari kota. Kebiasaan mereka adalah suka memperlihatkan kepada orang-orang sekitar kalau dia telah punya barang-barang mewah. Para nyonya-nyonya itu tidak segan-segan atau pun takut mempamerkan harta benda mereka kepada tetangga sekeliling. Mereka maklum karena disana tidak ada orang yang akan mencuri dan menjarah rumah. Setiap orang, orang yang terkait dengan perusahaan khususnya, tentu juga mempunyai kemampuan untuk membelanjakan uang mereka. Cuma bedanya, apakah mereka ada punya kesempatan untuk pergi membeli barang atau tidak. Bagi orang yang punya kesempatan tentu akan sangat bahagia sekali karenanya, dan tentu kemudian mereka akan show kepada semua orang sekeliling. Sementara orang yang belum sempat, ya harus sabar dan gigit jari dulu sampai tiba pula giliran mereka untuk unjuk penampilan.
Masing-masing personal yang datang ke pulau Pagai tentu memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencari penghidupan yang mapan dan sejahtera. Tapi beda masing-masing orang disana adalah apakah mereka mau berbagi peruntungan yang telah mereka peroleh itu kepada saudara-saudara mereka yang masih membutuhkan pertolongan, tinggal di kampung halaman. Rasyid secara pribadinya adalah orang yang tidak egois, dan mau berbagi. Dia datang ke pulau itu, hidup dengan keras, bekerja membanting tulang demi memperoleh untung, dan bukan untuk dia nikmati berdua dengan istrinya saja. Selalu setiap bulan, setelah dia menerima gaji, dia akan membagi dua uang yang setumpuk itu. Separoh untuk dikirim ke Padang, guna membantu adik-adiknya yang sedang semangat dan bersuka ria menjalani hari-hari belajar di sekolah. Sejak dini Rasyid telah menyadari akan pentingnya arti pendidikan. Oleh sebab itu selalu dia katakan kepada istrinya, pada saat dia harus membagi uang hasil jerih payahnya setiap bulan, bahwa “uda harus menanam investasi pendidikan untuk masa depan yang lebih baik bagi adik-adik di Padang”. Tak terlalu paham istrinya, Tias memaknai arti kalimat yang sering diucapkan oleh suaminya itu. Bagi Tias sendiri adalah dia juga rela dan ikhlas suaminya membantu keluarganya di Padang. Sedangkan uang gaji yang separohnya lagi sudah sangat cukup dan bisa dibilang masih ada lebih untuk menanggung kehidupan mereka berdua di sana.
Dulu kala, pada saat Rasyid masih usia sekolah, telah dirasakannya bahwa kehidupan orang tuanya dan adik-adiknya sangat sulit. Ayahnya, yang bernama Angku Sulaiman Rajo Batuah, laki-laki yang bekerja sebagai mandor di PT. Panca Niaga, telah tampak kelimpungan dan terbirit-birit mencari uang untuk menafkahi istrinya dan anggotanya yang sembilan orang. Apalagi anaknya yang sembilan orang itu sedang duduk di bangku sekolah semuanya. Tentulah biaya yang akan dia keluarkan setiap bulan bukan main besarnya. Itulah sebabnya orang tua itu harus mengerjakan profesi lain selain mandor, yaitu menjadi seorang pakar supranatural, alias dukun. Meskipun penghasilan yang diperolehnya dari pekerjaan itu tidak ada jelasnya, kadang ada pasiennya memberikan upah jasa sekedarnya atau seiklasnya, dan kadang adapula kalanya dia hanya menolong orang-orang yang kesusahan karena problema hidup mereka secara cuma-cuma, tanpa pambrih sedikitpun.
Pernah juga Rasyid setelah dia tamat sekolah SMA, mengajukan lamaran kerja di Dinas Perhubungan Padang, sebagai pegawai honorer. Beruntung sekali Rasyid langsung dapat diterima bekerja di instansi tersebut. Itupun karena ditolong oleh seorang sahabat karib ayahnya, pak Zainal nama orang baik itu. Kemudian setiap hari Rasyid pergi berkerja ke kantor dengan mengenakan pakaian seragam Dinas Perhubungan. Baju dinas yang dia kenakan itu membuat Rasyid tampak gagah dan berwibawa di depan keluarganya, juga bagi tetangga-tetangga di sekitar rumahnya. Angku Sulaiman Rajo Batuah waktu itu sangat bangga sekali pada anak sulungnya yang sudah jadi “orang” katanya, maksudnya si Rasyid telah jadi seorang pegawai honorer, dia pergi bekerja dengan memakai seragam setiap hari. Telah kelihatan buah hasil jerih payah orang tua itu dari sosok anak sulungnya yang telah pergi bekerja setiap pagi, dan diharapkan dia dapat membantu meringankan beban tuntutan ekonomi yang selalu mendera ayahnya. Ternyata pada waktu itu baru hanya Rasyid seorang yang jadi pegawai dari sekian banyak pemuda yang setiap hari berkeliaran di kampungnya.
Rasyid kala itu menjadi seorang pemuda yang di puja-puji di lingkungan tempat tinggalnya, kampung Palinggam. Setiap orang selalu senang kalau bertemu Rasyid, dan akan menyapa Rasyid saat dia dengan baju seragamnya pergi berangkat bekerja. Bahkan ada pula orang tua yang datang kerumahnya meminang Rasyid untuk menjadi suami bagi anak gadisnya. Tapi Angku Sulaiman belum bersedia melepaskan anak sulungnya untuk berumah tangga. Begitu pula dengan Rasyid sendiri, belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga. Tentunya Rasyid memiliki banyak pertimbangan sendiri kenapa dia tidak setuju dengan pinangan tersebut.
Rasyid si anak sulung tentunya harus bekerja keras mencari uang untuk membantu kedua orang tuanya untuk membiayai kebutuhan keluarganya yang kala itu sangat besar, karena adik-adiknya yang banyak itu sedang butuh biaya sekolah semuanya. Kondisi kehidupan keluarga Rasyid yang seperti itu sangat berbeda dengan kondisi keluarga lain di kampung itu, yang juga sama-sama memiliki anggota banyak. Di Palinggam juga banyak terdapat keluarga yang memiliki anak banyak. Orang-orang tua di Palinggam tentunya memiliki sudut pandang berbeda dengan orang tua Rasyid. Ada pernah salah seorang tetangga dekat mengatakan kepada ibunda Rasyid bahwa “untuk apa menyekolah anak tinggi-tinggi, lebih baik mereka disuruh bekerja mencari uang untuk makan mereka sendiri, kan setiap anak telah ditentukan rezekinya oleh Tuhan”. Sepertinya bagi mereka memiliki banyak anak adalah suatu keberuntungan. Seperti kata orang “banyak anak banyak rezeki”, jadi mereka tinggal menyuruh anak-anak itu untuk bekerja dan mencari makan sendiri-sendiri tanpa harus menyekolahkan mereka tinggi-tinggi, kalaupun ada yang sekolah cukup hanya sampai SD atau paling banter hingga SMP saja.
Itulah bedanya pemikiran seorang Angku Sulaiman Rajo Batuah dengan pikiran para tetangganya di Palinggam pada masa itu. Para tetangga sekitar mungkin belum pernah melihat atau menemukan sebuah hasil dari suatu proses pendidikan formal di sekolah. Tapi bagi pria tua berambut putih dengan potongan cepak itu telah punya bukti dan fakta yang tidak perlu dia jelaskan kepada orang, bahwa pendidikan di sekolah pasti akan dapat mensejahterakan kehidupan seseorang, terutama bagi anak-anaknya di masa depan nanti. Karena saking semangatnya Orang tua itu mencari uang untuk menyekolahkan putra-putrinya, maka dia selalu bilang bahwa, “biarlah anak-anak ini tidak berharta dan tak berpakaian bagus, alaskan mereka bisa sekolah dan cukup makan, walaupun rumah masih menyewa”.
Anggapan itu atau bisa disebut sebuah doktrin telah dia tanam ke dalam otak anak-anaknya sejak dini. Rasyid sebagai anak laki-laki paling besar, cukup dewasa kala itu, sangat menyakini hal tersebut. Alhasil, setelah Rasyid menamatkan SMAnya dia langsung dapat bekerja sebagai seorang pegawai honorer di Dinas Perhubungan Padang, lengkap dengan seragam dinasnya, yang tentunya mengenakan seragam itu dapat sangat membuat bangga hati kedua orang tuanya, dan tambah memperkuat motivasi adik-adiknya untuk menyelesaikan sekolah mereka dengan cepat dan meraih nilai yang gemilang. Karena itulah ada beberapa orang adik laki-laki Rasyid waktu itu pernah pula berkata pada orang tua mereka, “nanti setelah tamat SMA saya mau seperti uda”. Itulah sebabnya Rasyid harus pontang-panting mencari uang karena harus menyekolahkan mereka yang delapan orang.
Bekerja sebagai seorang pegawai honorer dengan penampilan gagah setiap hari tidaklah seenak yang dibayangkan oleh orang tentang diri Rasyid. Rasyid sebenarnya hanya menerima honor kecil dari dinasnya, cuma belasan ribu rupiah, tanpa tujangan apa-apa. Itupun tidak pula dia peroleh rutin setiap bulan, biasanya dia gajian sekali dalam tiga bulan, bahkan pernah juga dirapel sampai enam bulan. Sementara penantian dirinya supaya bisa diangkat menjadi seorang pegawai negeri belum juga ada kepastian dari instansi tempat dia bekerja. Kalau seandainya dia telah diangkat menjadi pegawai negeri sipil tentu kehidupannya akan lebih baik, dan dia akan mendapatkan gaji bulanan yang tetap, plus segala tunjangan dan jatah bulanan seperti beras, gula, dan minyak goreng rutin setiap bulan.
Lamat-lamat Rasyid menjadi penat dan jenuh sendiri dengan keadaan dia bekerja di instansi tersebut. Ada tekanan yang bisa membuat Rasyid pening pada setiap awal bulan, yaitu kala ibunya bertanya kepadanya apakah wa’ang sudah gajian bulan ini. Tentu Rasyid hanya bisa menggelengkan kepala dan mengurut dada dibuatnya. Sementara waktu setahun dua tahun berjalan, biaya kebutuhan adik-adiknya semakin meningkat. Adik yang dulunya sekolah SD sekarang telah pula masuk SMP, yang sekolah SMP akan lanjut pula ke SMA, bahkan ada pula adik-adiknya yang berencana ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Semakin hari semakin tinggi tekanan dalam keluarganya.
Tibalah pada suatu hari, ketika Rasyid pulang kerja lebih cepat, karena hari Sabtu dia bisa pulang meninggalkan kantornya lebih awal dari waktu biasanya. Dari pelabuhan Teluk Bayur, tempat kerjanya, Rasyid menaiki sebuah oplet yang membawanya ke pusat kota. Pada waktu sore itu dia memutuskan pergi ke sebuah taman bacaan, tempatnya berada di jalan Khairil Anwar, di depan komplek sekolah yayasan Katolik, SMA Don Bosko, tempat penyewaan buku Amran. Rasyid dari dulu memang sering berkunjung ke sana, biasalah dikarenakan dia memang orang yang tidak punya uang untuk membeli atau bahkan untuk mengoleksi buku bacaan, bisanya dia hanya nyewa saja dari pak Amran.
Sore itu dia habiskan waktu santainya dengan membaca sebuah novel di tempat pak Amran. Disanalah ketika dia sedang asik membaca ada dia berjumpa dengan seorang alumninya di SMA 1 Padang. Bisa dibilang kawan dekatnya, walaupun usia orang itu lebih senior dari dirinya. Dialah orang yang bernama Nurli, atau Rasyid biasa memanggilnya dengan sebutan uda saja.
Dari Nurli, laki-laki kurus hitam kerempeng itu Rasyid memperoleh informasi tentang lowongan pekerjaan yang tersedia di sebuah perusahaan HPH, PT. Mentawai Land. Kebetulan Nurli sendiri telah dua tahun lamanya bekerja di perusahaan tersebut, sejak awal perusahaan itu mulai beroperasi.
“Syid, cobalah kau kirim surat lamaran ke tempat saya kerja. Kantornya ada di seberang jalan sekolah kita, di depan bank BDN tepatnya”
Pada mulanya Rasyid tidak percaya apakah benar ada sebuah perusahaan penebang kayu, yang seperti diceritakan oleh sahabatnya tadi, telah beroperasi di kota Padang. Sering juga dia lalu-lalang di persimpangan jalan dekat sekolahnya dulu, atau orang Padang menyebut persimpangan itu dengan sebutan Simpang Kandang, belum pernah dia melihat sebuah kantor, atau gedung dengan plang nama PT. Mentawai Land. Akhirnya Rasyid menjadi penasaran karena mendegar cerita sahabatnya itu. Tentulah kalau yang namanya sahabat tidak akan mau membohongi kawannya sendiri.
Pada lusa harinya, Senin, Rasyid memutuskan pulang kerja sangat cepat. Kira-kira jam 10.00 dia minta izin ke komandannya untuk diperbolehkan meninggalkan kantor karena ada urusan keluarga yang mendesak, cuma alasan saja. Dari Teluk Bayur langsung saja Rasyid pergi ke Simpang Kandang, berkunjung ke kantor sahabat yang tempo hari berjumpa dengannya di taman bacaan Amran. Ketika sampai di depan gedung yang di maksud, memang Rasyid tidak menemukan adanya sebuah papan nama tentang nama perusahaan tersebut. Di matanya yang tampak pada waktu itu hanyalah orang-orang yang sibuk mondar-mandir dari lantai satu ke lantai dua dan deretan sepeda motor, mobil yang sedang parkir di pekarangan, area yang tidak seberapa lebarnya itu. Kemudian Rasyid memberanikan diri menghampiri salah seorang sekuriti yang berjaga di pos keamanan, hanya untuk mencari tau tentang apakah ada orang yang ingin ditemuinya bekerja di kantor itu.
Karena Rasyid datang ke kantor itu dengan masih mengenakan seragam dinas, tentunya si sekuriti tidak dapat memandang sebelah mata kepada Rasyid. Dengan sangat elegan, khas seorang aparat, Rasyid langsung bertanya kepada laki-laki berbadan tegap, berambut cepak, dengan seragam hitam putih, dan ada logo Kepolisian Daerah di saku dadanya itu.
“Selamat siang pak” dengan mengangkat tangan di muka, hormat, Rasyid menyapa sekuriti yang telah memperhatikan kedatangannya dari tadi.
“Yap selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” secara sopan, dengan etika seorang sekuriti, lelaki berbadan tinggi tegap itu menyambut salam dari Rasyid.
“Apakah saya bisa menemui seorang kolega yang bernama Nurli? Karena saya ada janji bertemu dengannya disini”
“Maaf, Nurli yang mana maksud tuan? Karena disini ada dua orang bernama Nurli”
“Nurli Iskandar, orangnya berbadan kurus dan berkulit hitam”
“Oh.. Pak Nurli, bagian personalia. Ada, mari tuan, saya antar ke ruangan beliau”
“Ah.. Bagus lah... Terimakasih”
Siang yang sangat cerah itu ternyata membawa kebaikan kepada Rasyid. Apalagi dengan gaya dan penampilan berseragam dinas, Rasyid telah merasa menjadi seseorang dan mendapatkan pelayanan prima dari seorang sekuriti di kantor itu.
Akhirnya Rasyid diantarkan masuk ke dalam ruangan bagian personalia dan langsung berjumpa dengan orang yang ingin di temuinya, yaitu Nurli Iskandar, sahabat karibnya sejak masa sekolah di SMA 1 Padang dulu.
Nurli waktu itu memang kelihatan sedang dijajali oleh banyak pekerjaan, tapi dia juga sangat senang karena ada Rasyid yang datang mengunjunginya. Nurli merasa berat hati karena harus meminta kawannya, Rasyid untuk menunggu dirinya di lobi. Rasyid bersedia menunggu dan duduk di sebuah sofa empuk dan ada meja kaca di depannya. Nurli sebentar harus menyelesaikan sesuatu urusan di dalam ruang kerjanya, sembari dia menyuruh seorang petugas pantry untuk membawakan secangkir kopi kepada Rasyid, yang sedang menunggu di lobi.
Waktu itu banyak karyawan laki-laki dan perempuan muda, gagah dan cantik-cantik, berpakaian ala eksekutif, yang lewat lalu lalang di lobi, di depan Rasyid. Mereka ramah, tersenyum menyapa pria yang sedang duduk sendiri di pojok lobi dengan pakaian dinasnya. Mereka menyapa Rasyid dengan sebutan “pak”, ada juga yang menyapa dengan sebutan “tuan”. Rasyid sebagai tamu, orang luar yang tidak ada kaitannya dengan perusahaan itu merasa sangat dihargai berada di lingkungan itu. Rasyid tertarik karenanya, kemudian memperhatikan dengan seksama gerak-gerik orang-orang muda disitu, sepantaran umurnya, sedang bersemangat berapi-api bekerja menyelesaikan urusan mereka masing-masing.
Baru sebentar saja Rasyid masuk ke alam kerja dunia swasta, hanya melihat saja, bukan menjamah kerja, sudah terasa olehnya suatu nuansa baru, dimana setiap orang yang melemparkan senyum dan menyapa dirinya tadi telah mengantarkan energi positif kepada diri Rasyid. Tak ayal Rasyid pun merasakan suatu energi hidup telah tumbuh kembali dari dalam jiwanya. Sudah lama sekali dia ingin merasakan semangat kerja dari generasi muda seperti mereka tadi, yang selama ini tidak pernah dia rasakan di lingkungan tempat kerjanya sekarang. Begitu jelas perbedaan yang di rasakan oleh Rasyid, baru saja, beda antara suasana kerja di lingkungan swasta dengan lingkungan pemerintahan.
Tidak beberapa lama kemudian, akhirnya Nurli keluar dari ruang kerjanya dan segera dia menemui sahabatnya yang sudah dari tadi menunggunya di lobi itu.
“Wah, maaf ya Syid, kalau aku membuat kau lama menunggu di sini”
“Ah, jangan dipikirkan biasa saja”
“Ya.. Beginilah Syid suasana di kantor kami ini. Oh ya, pasti kau belum makan siang kan!, waktu sudah hampir jam dua belas, ayo kita keluar, cari makan”
Nurli membawa Rasyid berjalan keluar dari lingkungan kantornya untuk pergi mencari sebuah rumah makan yang terdekat dari sana. Mereka berdua pergi jalan ke Sawahan, sebuah tempat yang tidak jauh, sekitar beberapa ratus meter berjalan melalui jalan Haji Agus Salim. Di Sawahan ada terdapat sebuah rumah makan enak, yaitu rumah makan Nasi Kapau, masakan khas orang Bukittinggi. Nurli sering makan siang di tempat itu. Sepertinya Rasyid belum pernah mencoba makan masakan nasi kapau, jadi dia penasaran ingin sekali mencicipi masakan itu.
Dalam mereka berdua jalan kaki ke Sawahan, Nurli menceritakan kepada Rasyid secara panjang lebar tentang bisnis yang dijalankan oleh PT.Mentawai Land, perusahaan tempat dia bekerja. Mulai dari latar belakang berdirinya perusahaan tersebut, siapa pemegang sahamnya, sampai tentang wilayah HPH yang di kuasai oleh perusahaan tersebut, dan terakhir rata-rata gaji yang diterima oleh para karyawan yang telah bekerja di perusahaan itu.
Tiba pada masalah gaji, Rasyid ternganga mendengarkan penuturan sahabatnya itu, Nurli. Sebelumnya Rasyid hanya mengetahui kalau hanya PT. Semen Padang saja yang sanggup membayar upah karyawan jauh lebih tinggi dari rata-rata gaji pegawai negeri, ternyata ada sebuah perusahaan yang baru saja berdiri mampu juga menyaingi upah rata-rata karyawan yang bekerja di PT. Semen Padang, yaitu PT. Mentawai Land.
Ketika sedang makan siang di warung nasi kapau, yang berada di Sawahan itu, Rasyid banyak berpikir. Sedangkan Nurli asik saja menyantap makan siangnya, dia tidak mau melanjutkan ceritanya lagi, karena dia secara langsung dan jelas tadi telah meminta Rasyid untuk bergabung ke perusahaan tempat dia bekerja. Selagi dia masih pada posisi personalia, tentu saja ada peluang besar bagi Rasyid untuk dapat diterima bekerja di sana.
Lepas pertemuan pada jam makan siang itu, antara Rasyid dan Nurli kemudian berpisah di depan gedung PT. Mentawai Land. Rasyid kembali meneruskan perjalanannya pulang ke rumah, di Palinggam, sementara Nurli kembali melanjutkan pekerjaannya yang terbengkalai tadi di ruang kerjanya.
Ketika sampai di rumah, ibunda Rasyid, Niar, kaget kenapa anak bujangnya cepat sekali pulang kerja pada siang hari itu, karena hari itu adalah hari Senin, bukannya hari Sabtu. Dari Senin sampai Jumat biasanya Rasyid akan pulang ke rumah kalau sudah pukul 5 sore. Rasyid hanya bilang ke ibunya bahwa dia sedang sakit dan tidak enak badan. Ditambah lagi Rasyid bilang kalau dia sedang sakit, malah akan menambah kecemasan ibundanya. Maklum Rasyid memang seorang anak yang manja, apa-apanya selalu diurusi oleh ibundanya. Dari celana dalam sampai sepatu selalu ibunya yang menyediakan, apalagi kalau anak sulungnya itu sedang demam, maka perempuan tua itu akan langsung lari bergegas ke kebun belakang rumahnya untuk memetik daun kumis kucing, lalu memerasnya hingga jadi minuman obat, sebagai menawar panas badan anaknya.
Rasyid tidak banyak omong lagi, dia langsung masuk ke bilik tidurnya dan mengunci diri di dalam. Dalam berbaring, ternyata laki-laki muda itu tidak tidur, malah dia banyak berfikir, berfikir tentang dia akan bergabung ke PT. Mentawai Land dan mau meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai honorer di Dinas Perhubungan yang sekarang. Tetapi rencana itu tidak semudah yang sedang dia pikirkan. Akan ada pihak-pihak yang terkecewakan karenanya. Terutama ayah dan ibundanya, kedua orang tua itu memiliki harapan yang sangat besar kepada Rasyid, supaya dia bisa menjadi pegawai negeri, kemudian menjadi orang yang berpangkat agar dapat menolong saudara-saudaranya tubuh menjadi orang berpangkat pula. Tindakan itu juga akan sangat mengecewakan kepada pak Zainal, orang baik, yang dulu telah mau susah-susah memasukan Rasyid bekerja di Dinas Perhubungan.
Sebaliknya ada pula hal yang dapat memperkuat tekat Rasyid untuk pindah kerja ke perusahaan kayu itu, adalah bagaimana dia bisa memperoleh uang lebih banyak agar dapat membantu saudara-saudaranya untuk membiayai sekolah. Sementara apabila dia tetap menunggu penghasilan yang dia peroleh dari dinasnya, yang turun sekali dalam tiga bulan, yang jumlahnya tidak memadai itu, bisa-bisa salah seorang dari adiknya akan berhenti sekolah, karena tidak ada biaya lagi.
Beberapa hari kemudian, setelah Rasyid berfikir panjang dan matang, akhirnya dia mengabil keputusan yang berani, bahwa dia harus menyambar kesempatan kerja yang tersedia di PT. Mentawai Land, dan harus memupuskan cita-citanya untuk menjadi orang berpangkat dalam instansi pemerintahan. Segera, dengan langkah pasti dia antarkan sepucuk surat lamaran kerja, lengkap dengan ijazah SMA, CV dan identitasnya ke kantor yang berada di simpang Kandang tersebut.
Seminggu kemudian datang surat balas ke rumah yang di alamatkan Rasyid, dari bagian Personalia, PT. Mentawai Land, di Jalan Agus Salim, Padang. Surat itu memberitakan bahwa Rasyid di panggil untuk wawancara kerja pada hari dan jam yang telah di tentukan.
Akhirnya Rasyid datang ke kantor perusahaan kayu itu untuk melakukan sesi wawancara. Tidak hanya Rasyid seorang, juga ada puluhan laki-laki dan perempuan lain yang ikut serta dalam sesi wawancara kerja di tempat itu. Mereka semua berpakaian rapi, necis ala orang kantoran. Sebagian para pelamar kerja duduk memenuhi sofa di lobi, dan ada juga yang berdiri di pekarangan kantor itu sembari menunggu nama mereka di sebutkan agar masuk keruangan interview. Rasyid memilih berdiri saja di lobi, sambil menghisap sebatang rokok. Karena melihat begitu banyaknya para pencari kerja di perusahaan itu, jantung Rasyid jadi berdetak kencang dibuatnya. Sehingga ada muncul keraguan pada dirinya apakah dia akan lulus pada sesi wawancara nanti. Lalu tampak olehnya ada salah seorang pemuda yang baru saja selesai wawancara, berjalan keluar dari ruangan interview dengan menyapu keringat yang bercucuran dari keningnya. Wah Rasyid jadi semakin gelisah karena tidak sengaja melihat laki-laki itu.
Tibalah giliran seseorang menyebutkan nama Rasyid agar segera masuk ke ruangan interview. Rasyid terkejut, darah tersirap naik ke ubun-ubun, dadanya yang tipis itu berdebar sangat kencang, keringan dingin bercucuran membasahi bajunya. Dengan gugup Rasyid berjalan masuk dan membuka pintu kamar yang dingin itu. Sampai di dalam tidak di jumpainya siapa-siapa, yang ada hanya sebuah meja kerja yang terbuat dari kayu jati, tampak mewah dan elegan, dan ada terdapat sebuah kursi busa hydraulic besar berwarna kelam, dengan sandarannya yang tinggi, yang bisa naik turun dan berputar ke segala arah, berada di belakang meja kayu itu. Rasyid memilih duduk di sebuah kursi yang tersedia di depan meja tersebut.
Tiba-tiba masuklah seseorang ke dalam ruangan, datang dari pintu yang berlainan, yang terdapat satu lagi di ruangan itu, di arah belakang Rasyid. Terdengar suara langkah sepatu tegap mendekat kepada Rasyid. Pastilah dia orangnya, orang yang akan mewawancarai dirinya sebentar lagi.
“Aha, akhirnya Rasyid datang juga”. Rasyid terkejut lagi mendengar suara orang itu menyeru namanya. Suara itu sangat akrab sekali di telinganya.
Ya itulah suara si Nurli, sahabatnya sendiri. Pantas dari tadi Nurli tidak pernah muncul ke permungkaan, ternyata dia sendiri yang sedang sibuk mewawancarai para pelamar kerja di ruangan itu. Hilang sudah semua kecemasan yang mengganjal perasaan Rasyid menjelang masuk ke ruangan itu. Sekarang dia telah bisa menarik nafas lega karena ada Nurli bersamanya di dalam.
“Santai saja Syid, nih, merokok dulu kita” Sedikitpun tidak ada kesan formal yang dinampakan oleh Nurli terhadap Rasyid, sahabatnya yang sebentar lagi akan di wawancarinya.
“Oh boleh merokok ya, baik lah kalau begitu” Rasyid mengambil sebatang dari bungkusan rokok yang telah di letakan Nurli di atas meja.
“Kamu grogi ya Syid, haha..haha, santai saja” Nurli banya ketawa dan geli. Dia merasa aneh sendiri, kenapa dia harus mewawancarai sahabatnya sendiri, sementara dia memang menginginkan Rasyid untuk bergabung kerja di perusahaan itu.
“Tidak, biasa saja. Kenapa aku harus grogi dengan uda”. Rasyid memang masih grogi ketika sedang menghadapi situasi seperti itu. Tapi dia sedang belajar untuk mengendalikan mentalnya supaya Nurli tidak mempermalukan dirinya.
“Syid, buat apa aku mewawancarai kau disini, tidak ada gunanya, kau memang sudah aku terima untuk bekerja perusahaan ini. Awal bulan depan kau sudah bisa masuk kerja. Masalah posisi dimana kau bekerja itu bukan urusan ku, tunggu saja beritanya dari pimpinan. Oke, sekarang kau boleh pulang. Tunggu saja berita selanjutnya dari kami. Minggu depan mungkin ada surat pemberitahuan bahwa lamaran mu telah diterima”
Rasyid seketika itu sumbringah mendengarkan berita baik yang telah di sampaikan oleh Nurli di hadapannya. Tak ada padanan kata atau kalimat yang sebanding selain kata terimakasih di ucapkan Rasyid kepada Nurli.
“Terimakasih atas kebaikan uda. Uda Nurli memang sahabat ku yang paling baik. Terimakasih, permisi, saya mau langsung balik ke rumah” Rasyid menjabat tangan sahabatnya dan merangkul pundaknya, kemudian pamit dan keluar pergi meninggalkan sahabatnya sendiri di rungan interview yang dingin itu.
Sampai di luar Rasyid tetap memperlihatkan wajah datar kepada orang-orang yang masih duduk di lobi, sedang menunggu giliran untuk diwawancarai pula. Di dalam hati Rasyid memang dia sedang bahagia, tapi tidak mau dia memperlihatkan ekspresi gembiranya di depan orang-orang sedang gundah menunggu nasib mereka. Rasyid tetap saja berjalan tenang dan diam hingga keluar dari lingkungan perusahaan itu.
Dia pergi ke Pasar Raya Padang, bisa ditempuhnya dengan jalan kaki saja. Lalu dia naik ke sebuah gedung bertingkat, ke sebuah bioskop, Padang Theater namanya. Tapi Rasyid bukannya ingin pergi nonton film, malah terus berjalan melewati bioskop tersebut, terus masuk lebih dalam lagi ke dalam deretan salon-salon dan kios-kios burung yang berjejer di atas lantai dua bagunan besar itu. Lalu dia berhenti pada sebuah kios, kios tempat penyewaan buku bacaan dan komik.(Lucky Lukmansyah)
Ruangan tempat Rasyid bekerja berada di lantai dua gedung, yang kebetulan gedung itu menghadap langsung ke arah laut selat Sikakap. Jaraknya cukup jauh, kurang lebih ada 6 kilometer mulai dari titik tempat Rasyid bekerja hingga ke bibir pantai Sikakap. Dari jendela ruang kerjanya, yang di atas berada di dataran tinggi itu, tampak jelas panorama bagus, yaitu sebuah hamparan hijau rimba hutan tropis pulau Pagai Utara, pada areal sektor selatan. Hamparan hutan bagian selatan itu tampak jelas masih perawan, mungkin ribuan hektar luasnya, masih belum terjamah sama sekali oleh tangan para operator yang selalu bising bekerja menggunakan gergaji mesinnya.
Di ujung pemadangan itu ada pula terdapat beberapa tumpuk komplek pemukiman penduduk yang menghuni desa Sikakap, letak pemukiman di desa kecil itu berada di atas kontur tanah yang menurun hingga ke daratan landai yang luas di sekitar pantai, kelihatan pola konsentrasi pemukiman penduduk di desa itu selalu memadati daerah-daerah terbuka yang tersedia di sekitar pantai, dan tidak pernah ada penduduk Sikakap yang mau tinggal jauh dari pantai, kecuali orang-orang pribumi pulau Pagai.
Orang-orang pedalaman Pagai, tinggal secara komunal dan ekslusif di dalam hutan, jauh dari hiruk pikuk peradapan manusia berkebudayaan maju yang menghuni kawasan sekitar pantai Sikakap. Mereka membangun umma, rumah panggung, yang besar dan panjang jauh di dalam hutan, di pinggiran sungai, yang mengalir di dalam hutan. Di dalam umma itu mereka tinggal berkeluarga dan beranak pinak, bahkan ada beberapa kepala keluarga tinggal menghuni rumah panggung tersebut. Seorang Sikerei adalah pemimpin utama keluarga besar mereka, yang juga sekaligus merangkap sebagai pemimpin adat dan dukun. Tidak ada rute jalur darat yang bisa di akses untuk ke pemukiman orang-orang itu, kecuali melewati jalur sungai, dari hulu menaiki sampan ke hilir. Disanalah mereka tinggal, mengisolasikan diri dari keramaian.
Dari ruang kerja Rasyid, yang hanya beberapa meter persegi itu, juga tampak pemandangan pulau Pagai Selatan yang letaknya berhadap-hadapan langsung dengan pulau Pagai Utara, masih terlihat sangat jelas walaupun dari kejauhan, kalau cuaca ada cerah. Keberadaan pulau itu hanya dipisahkan oleh selat Sikakap, sebuah selat yang gelombang air lautnya tidak pernah stabil sepanjang tahun. Hal itu terjadi karena disebabkan oleh adanya ombak besar dan angin kencang yang datang dari samudera Hindia, yang selalu menerjang ganas terhadap pulau-pulau yang ada di kepulauan Mentawai, sehingga membuat gelombang laut di selat Sikakap menjadi besar dan kuat.
Tidak sembarang tukang perahu yang bisa menyeberangi selat antara dua pulau itu, harus orang yang sudah berpengalaman. Para tukang perahu yang sudah berpengalaman tentu hafal dengan ritme gelombang laut selat Sikakap. Ada sebuah metode bagi para tukang perahu agar mereka bisa menyeberang antar pulau itu, yaitu dengan cara menghitung ombak kata mereka. Dengan jumlah ganjil pada hitungan kesekian, baru perahu boleh menyeberang karena terdapat sebuah celah ombak di waktu itu. Para tukang perahu harus menghitung ombak dengan tepat, tidak boleh ragu, kalau ragu harus ulang lagi dari hitungan ombak pertama.
Dikarenakan kondisi ombak laut yang ekstrim di pulau Pagai itu, makanya tidak ada seorangpun dari suku asli Mentawai yang menjadi pelaut. Mereka tidak paham sama sekali dengan kondisi ombak. Mungkin itu adalah salah satu penyebab mengapa orang-orang asli harus tinggal di dalam hutan, jauh dari laut. Tetap saja para pelaut yang tinggal di Sikakap adalah orang-orang yang berasal dari pesisir pantai Sumatera. kebanyakan mereka adalah orang-orang yang datang dari kabupaten Pesisir Selatan dan Pariaman, juga ada pelaut yang datang dari Sibolga, Sumatera Utara.
Pulau Pagai Selatan, cukup besar, sama besarnya dengan pulau Pagai Utara. Dari puncak bukit Siyai, pulau itu terlihat seperti sebuah cangkang kura-kura raksasa yang terapung statis di tengah laut, berwarna hijau kelam, disebabkan karena saking rapatnya pepohonan yang tumbuh di atas tanahnya yang sangat subur, gembur.
Vegetasi hijau alam hutan pulau Pagai Selatan juga sama luasnya dengan pulau Pagai Utara, sama pula jenis tumbuhan dan pepohonannya. Pergerakan ekploitasi kayu yang dilakukan para penebang pohon di pulau itu masih belum menampakan efek apa-apa terhadap hutan yang bernaung di atas punggung pulau itu. Sepertinya masih butuh waktu puluhan tahun lagi baru orang-orang yang berada di puncak bukit Siyai, Pagai Utara dapat melihat tanah merah tersibak, terbuka, mencuat kepermungkaan dan terpisah dari lebatnya hutan di pulau Pagai Selatan itu.
Sesekali waktu Rasyid berdiri di jendela memandang jauh ke arah pulau yang bentuknya seperti cangkang kura-kura itu, ada terhayalkan sebuah angan-angan yang mustahil olehnya. Andaikan saja dia dapat memiliki pulau tersebut, pastilah dia akan menjadi salah seorang konglomerat papan atas di negara ini. Pasti harta yang dimilikinya itu tidak akan pernah habis-habisnya hingga ke cucu, cicit dan piyut-piyutnya di kemudian hari, bahkan pada saat dia hanyalah tinggal sebagai serpihan tulang di dalam tanah, harta itu belum juga punah. Tapi itu hanyalah sebuah hayalan Rasyid belaka, pada kenyataanya Rasyid adalah seorang gajian yang dibayar berdasarkan kinerjanya sebagai seorang kasir, orang yang dipercaya oleh perusahaan untuk memegang uang dengan jumlah berjuta-juta, yang tidak akan pernah dia cicip barang selembarpun, kecuali pada hari gajian saja, itupun mungkin diperolehnya dengan se 0,001 persen dari jumlah angka yang dia hitung setiap bulan.
Apabila ada saatnya Rasyid merasa penat, letih butuh penyegaran, karena jenuh dengan tumpukan kertas-kertas nota dan faktur yang berjubel di atas meja kerjanya, dia akan turun ke lantai bawah, duduk santai sejenak sambil minum secangkir kopi dan menikmati sebatang rokok di lobi depan, lalu dia akan mencoba bersosialisasi dengan rekan-rekan sejawat yang juga bekerja kantor itu. Lagi pula pria kurus berambut agak panjang, yang hanya biasa dikenal orang dengan sebutan “pak kasir” saja adalah orang yang baru bertugas di kantor itu. Butuh beberapa waktu lagi agar dia dapat dikenal orang dengan panggilan nama pribadinya, yaitu Rayid, atau pak Rasyid, bukan dengan panggilan “pak kasir” lagi.
Paling sering orang yang datang setiap hari mengujungi Rasyid di ruangan kerjanya adalah karyawan dari bagian sparepart dan logistik. Mereka datang bukan untuk ramah tamah, tetapi datang untuk mengantarkan memo dari direktur, pucuk pimpinan perusahaan, untuk mencairkan sejumlah dana, untuk keperluan operasional kata mereka. Disamping itu, pada setiap tanggal 1 adalah hari yang sangat sibuk bagi diri Rasyid dan juga rekan-rekan lain dalam divisi keuangan, pada hari itu mereka akan melayani karyawan yang berbaris ngatri hingga ratusan orang jumlahnya untuk mengambil gaji, upah mereka selama sebulan bekerja. Selalu saja pekerjaan Rasyid setiap tanggal 1 akan selesai lambat waktu, kadang-kadang sampai larut malam, lembur atau overtime istilah kerennya.
Begitu juga dengan setiap akhir bulan, Rasyid akan selalu sampai di rumahnya kalau sudah larut malam, karena dia harus menyelesaikan laporan pengeluaran biaya rutin bulanan perusahaan dengan sempurna, tanpa ada sedikitpun kesalahan. Memang jabatan sebagia kasir adalah sebuah pekerjaan yang beresiko tinggi, terutama bagi Rasyid sendiri. Sedikit saja dia membuat kesalahan, bisa-bisa gajinya akan di potong oleh atasannya untuk selama sekian bulan atau malah dia akan diberhentikan dari pekerjaannya. Itulah sebabnya Rasyid harus sangat teliti dalam menyelesaikan laporan rutinnya setiap akhir bulan. Dia akan selalu check dan recheck lagi terus sampai semuanya terang dan bersih.
Untung saja di kantor itu ada pak haji Umar, sopir bus transport khusus karyawan. Setiap hari akhir bulan dan tanggal 1, bapak yang selalu memakai kopiah putih itu, yang sering dia bilang ke orang kalau topi putih itu dia beli di Mekah waktu hendak pulang ke Indonesia setelah ibadah hajinya selesai, selalu setia menunggu Rasyid dan rekan-rekan dari divisi keuangan lainnya untuk pulang dan mengantar mereka dengan bus ke tempat tinggal masing-masing. Tidak mungkin pak haji Umar biarkan mereka berjalan sendiri dari bukit Siyai pulang ke rumah mereka melewati hutan belantara Pagai, sejauh 6 kilo, tengah malam buta itu tanpa diantar, bisa-bisa mereka hilang dan disembunyikan oleh hantu aru-aru, paling tidak mereka akan di patok ular atau di seruduk babi liar.
Cerita tentang orang yang di sembunyikan oleh hantu aru-aru bukanlah omong kosong belaka di kalangan masarakat yang tinggal di pulau Pagai. Sudah banyak buktinya dari penuturan orang-orang yang berkerja sebagai operator penebang kayu di dalam hutan. Setiap bulan ada saja berita orang hilang di dalam hutan, sehingga membuat heboh dan kerepotan tim SAR yang berkeliaran di dalam hutan mencari jejak orang hilang. Kadang-kadang ada juga mereka yang dapat ditemukan, tapi kebanyakan tidak. Rata-rata mereka yang pernah hilang dan dapat ditemukan kembali selalu dalam keadaan yang tidak baik. Ada juga yang mayatnya saja di jumpai orang tergeletak di tengah hutan, di bawah pohon, dan di rerumputan semak belukar, atau ada yang ditemukan masih hidup, tapi telah menjadi gila, suka bicara dan ketawa sendiri setelah hilang beberapa lama.
Oleh karena itu, dalam bekerja mencari orang hilang tim SAR selalu melibatkan seorang dukun lokal atau biasa disebut dengan Sikerei. Tentunya seorang Sikerei yang telah pandai berbicara dengan bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. Dengan kesaktian seorang Sikerei dapat membuat tugas penyelamatan tim SAR menjadi lebih mudah. Kadang-kadang tim penyelamat tidak pula perlu bersusah payah masuk ketengah rimba, seorang Sikerei bisa memangil hantu-hantu itu untuk mengembalikan orang yang mereka telah culik dan mengatar orang itu ketempat yang telah Sikerei tentukan.
Begitulah susahnya orang-orang yang tinggal dan mencari penghidupan di pulau Pagai. Sesuai pula dengan kata pepatah “lautan sati rantau batuah”. Di pulau Pagai ada saja suatu kejadian yang kadang-kadang tidak padat diterima oleh logika pikiran manusia, mudah terjadi di sekitar kehidupan mereka. Walaupun begitu, ternyata ada juga sebagian orang di pulau Pagai itu yang dapat memaklumi tentang adanya kejadian-kejadian aneh yang terjadi di sekitar mereka. Kata mereka itu adalah hal yang wajar saja. “Kita adalah orang-orang pendatang yang datang ke sini untuk merebut wilayah, dan tempat tinggal para penghuni asli di pulau ini. Kita tidak hanya datang menetap tetapi kita juga menjarah sumber daya alam mereka, sehingga para penghuni asli pulau merasa tidak senang dan sangat terganggu sekali oleh kehadiran kita, akhirnya mereka harus pindah dan lari jauh kedalam hutan sana”. Begitulah tanggapan dari sebagian orang warga pendatang, yang juga karyawan PT. Mentawai Land.
Bicara tentang kerja lembur, Rasyid bukanlah orang yang suka kerja lembur, kecuali pada hari dan tanggal yang disebutkan tadi. Walaupun begitu, tetap itu akan menjadi sebuah kecemasan bagi istrinya, Tias, wanita yang sedang hamil tua itu menunggu Rasyid, suaminya dengan cemas sampai larut malam di rumah sendirian, hanya berteman dengan suara-suara jangrik yang selalu menderik-derik di sudut-sudut ruangan, dibawah dinding papan dan di bawah lemari kayu. Kalau dia masih tinggal di Padang, okelah, tidak ada masalah, tapi ini di Pagai, di pulau terpencil, dimana setiap orang yang tinggal di pulau itu akan mengunci rumahnya apabila hari telah mulai gelap. Biasanya lepas waktu Magrib saja sudah tidak ada lagi orang-orang berkeliaran di jalan atau masih berada pekarangan rumahnya. Mereka akan berkurung di dalam sarang mereka masing-masing. Mereka takut kalau-kalau ada saja babi liar yang nyasar menyeruduk masuk ke dalam rumah, kalau pintu rumah masih dibiarkan terbuka.
Tapi Tias bukanlah perempuan penakut. Dia adalah wanita pemberani, dia perempuan yang punya mental sekuat baja. Kalau tidak seperti itu tentulah dia tidak akan sanggup menuruti hidup suaminya yang harus terbuang mencari untung di pulau terpencil yang terletak di pinggiran samudera Hindia itu.
Walaupun keadaan alam di pulau Pagai ganas dan tidak bersahabat dengan orang-orang pendatang, tentu tidaklah menjadi sebuah halangan bagi orang-orang yang mencoba mencari peruntungan hidup disana. Para karyawan dan keluarganya yang bekerja di perusahan HPH pulau Pagai rata-rata berkecukupan hidup mereka. Uang yang mereka peroleh dari gaji bulanan rupanya sangat berlebih untuk keperluan hidup mereka tinggal di pulau itu. Termasuk Rasyid sendiri, yang telah memperoleh gaji yang menurutnya lumayan, bisa di bilang berlebih untuk membiayai hidupnya dan istrinya, mereka yang masih hidup berdua saja kala itu. Sebagian dari uang hasil kerja jerih payahnya sebulan, sebagian kecil hanya habis untuk keperluan makan dan pakaian saja, sisanya hanya terpumpuk di dalam laci lemari baju.
Itulah sebabnya Rasyid merasa betah bekerja di Pagai, karena di tempat itu dia bisa memperoleh penghasilan besar, sangat berlebih untuk keperluan keluarga mungilnya. Sehingga setiap bulan dia bisa mengirim wesel untuk ibundanya di Padang. Mengiriminya uang untuk membiaya keperluan sekolah adik-adiknya yang berjumlah delapan orang. Apalah arti uang kala itu, bagi Rasyid dan Tias yang tinggal menetap di pulau yang fasilitasnya terbatas itu. Selagi mereka masih tinggal di pulau itu, uang hanya bisa di pakai untuk membeli isi perut dan pakaian saja, tidak bisa membeli barang-barang mewah, seperti perhiasan, kendaraan dan perabotan yang bagus-bagus. Mana ada orang yang menjual barang-barang mewah di pulau terpelosok itu. Kalaupun ada orang-orang yang berbarang, seperti perabotan dan kedaraan tentu mereka telah membawa barang itu dari Padang, saat mereka punya kesempatan cuti, pulang kampung atau liburan ke kota Padang, dengan ongkos angkut yang mahal sampai di Pagai.
Mulailah ada suatu kebiasaan pamer bagi kalangan ibu-ibu rumah tangga, khususnya orang-orang yang tinggal di komplek perumahan karyawan, apabila mereka telah kembali dari kota. Kebiasaan mereka adalah suka memperlihatkan kepada orang-orang sekitar kalau dia telah punya barang-barang mewah. Para nyonya-nyonya itu tidak segan-segan atau pun takut mempamerkan harta benda mereka kepada tetangga sekeliling. Mereka maklum karena disana tidak ada orang yang akan mencuri dan menjarah rumah. Setiap orang, orang yang terkait dengan perusahaan khususnya, tentu juga mempunyai kemampuan untuk membelanjakan uang mereka. Cuma bedanya, apakah mereka ada punya kesempatan untuk pergi membeli barang atau tidak. Bagi orang yang punya kesempatan tentu akan sangat bahagia sekali karenanya, dan tentu kemudian mereka akan show kepada semua orang sekeliling. Sementara orang yang belum sempat, ya harus sabar dan gigit jari dulu sampai tiba pula giliran mereka untuk unjuk penampilan.
Masing-masing personal yang datang ke pulau Pagai tentu memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencari penghidupan yang mapan dan sejahtera. Tapi beda masing-masing orang disana adalah apakah mereka mau berbagi peruntungan yang telah mereka peroleh itu kepada saudara-saudara mereka yang masih membutuhkan pertolongan, tinggal di kampung halaman. Rasyid secara pribadinya adalah orang yang tidak egois, dan mau berbagi. Dia datang ke pulau itu, hidup dengan keras, bekerja membanting tulang demi memperoleh untung, dan bukan untuk dia nikmati berdua dengan istrinya saja. Selalu setiap bulan, setelah dia menerima gaji, dia akan membagi dua uang yang setumpuk itu. Separoh untuk dikirim ke Padang, guna membantu adik-adiknya yang sedang semangat dan bersuka ria menjalani hari-hari belajar di sekolah. Sejak dini Rasyid telah menyadari akan pentingnya arti pendidikan. Oleh sebab itu selalu dia katakan kepada istrinya, pada saat dia harus membagi uang hasil jerih payahnya setiap bulan, bahwa “uda harus menanam investasi pendidikan untuk masa depan yang lebih baik bagi adik-adik di Padang”. Tak terlalu paham istrinya, Tias memaknai arti kalimat yang sering diucapkan oleh suaminya itu. Bagi Tias sendiri adalah dia juga rela dan ikhlas suaminya membantu keluarganya di Padang. Sedangkan uang gaji yang separohnya lagi sudah sangat cukup dan bisa dibilang masih ada lebih untuk menanggung kehidupan mereka berdua di sana.
Dulu kala, pada saat Rasyid masih usia sekolah, telah dirasakannya bahwa kehidupan orang tuanya dan adik-adiknya sangat sulit. Ayahnya, yang bernama Angku Sulaiman Rajo Batuah, laki-laki yang bekerja sebagai mandor di PT. Panca Niaga, telah tampak kelimpungan dan terbirit-birit mencari uang untuk menafkahi istrinya dan anggotanya yang sembilan orang. Apalagi anaknya yang sembilan orang itu sedang duduk di bangku sekolah semuanya. Tentulah biaya yang akan dia keluarkan setiap bulan bukan main besarnya. Itulah sebabnya orang tua itu harus mengerjakan profesi lain selain mandor, yaitu menjadi seorang pakar supranatural, alias dukun. Meskipun penghasilan yang diperolehnya dari pekerjaan itu tidak ada jelasnya, kadang ada pasiennya memberikan upah jasa sekedarnya atau seiklasnya, dan kadang adapula kalanya dia hanya menolong orang-orang yang kesusahan karena problema hidup mereka secara cuma-cuma, tanpa pambrih sedikitpun.
Pernah juga Rasyid setelah dia tamat sekolah SMA, mengajukan lamaran kerja di Dinas Perhubungan Padang, sebagai pegawai honorer. Beruntung sekali Rasyid langsung dapat diterima bekerja di instansi tersebut. Itupun karena ditolong oleh seorang sahabat karib ayahnya, pak Zainal nama orang baik itu. Kemudian setiap hari Rasyid pergi berkerja ke kantor dengan mengenakan pakaian seragam Dinas Perhubungan. Baju dinas yang dia kenakan itu membuat Rasyid tampak gagah dan berwibawa di depan keluarganya, juga bagi tetangga-tetangga di sekitar rumahnya. Angku Sulaiman Rajo Batuah waktu itu sangat bangga sekali pada anak sulungnya yang sudah jadi “orang” katanya, maksudnya si Rasyid telah jadi seorang pegawai honorer, dia pergi bekerja dengan memakai seragam setiap hari. Telah kelihatan buah hasil jerih payah orang tua itu dari sosok anak sulungnya yang telah pergi bekerja setiap pagi, dan diharapkan dia dapat membantu meringankan beban tuntutan ekonomi yang selalu mendera ayahnya. Ternyata pada waktu itu baru hanya Rasyid seorang yang jadi pegawai dari sekian banyak pemuda yang setiap hari berkeliaran di kampungnya.
Rasyid kala itu menjadi seorang pemuda yang di puja-puji di lingkungan tempat tinggalnya, kampung Palinggam. Setiap orang selalu senang kalau bertemu Rasyid, dan akan menyapa Rasyid saat dia dengan baju seragamnya pergi berangkat bekerja. Bahkan ada pula orang tua yang datang kerumahnya meminang Rasyid untuk menjadi suami bagi anak gadisnya. Tapi Angku Sulaiman belum bersedia melepaskan anak sulungnya untuk berumah tangga. Begitu pula dengan Rasyid sendiri, belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga. Tentunya Rasyid memiliki banyak pertimbangan sendiri kenapa dia tidak setuju dengan pinangan tersebut.
Rasyid si anak sulung tentunya harus bekerja keras mencari uang untuk membantu kedua orang tuanya untuk membiayai kebutuhan keluarganya yang kala itu sangat besar, karena adik-adiknya yang banyak itu sedang butuh biaya sekolah semuanya. Kondisi kehidupan keluarga Rasyid yang seperti itu sangat berbeda dengan kondisi keluarga lain di kampung itu, yang juga sama-sama memiliki anggota banyak. Di Palinggam juga banyak terdapat keluarga yang memiliki anak banyak. Orang-orang tua di Palinggam tentunya memiliki sudut pandang berbeda dengan orang tua Rasyid. Ada pernah salah seorang tetangga dekat mengatakan kepada ibunda Rasyid bahwa “untuk apa menyekolah anak tinggi-tinggi, lebih baik mereka disuruh bekerja mencari uang untuk makan mereka sendiri, kan setiap anak telah ditentukan rezekinya oleh Tuhan”. Sepertinya bagi mereka memiliki banyak anak adalah suatu keberuntungan. Seperti kata orang “banyak anak banyak rezeki”, jadi mereka tinggal menyuruh anak-anak itu untuk bekerja dan mencari makan sendiri-sendiri tanpa harus menyekolahkan mereka tinggi-tinggi, kalaupun ada yang sekolah cukup hanya sampai SD atau paling banter hingga SMP saja.
Itulah bedanya pemikiran seorang Angku Sulaiman Rajo Batuah dengan pikiran para tetangganya di Palinggam pada masa itu. Para tetangga sekitar mungkin belum pernah melihat atau menemukan sebuah hasil dari suatu proses pendidikan formal di sekolah. Tapi bagi pria tua berambut putih dengan potongan cepak itu telah punya bukti dan fakta yang tidak perlu dia jelaskan kepada orang, bahwa pendidikan di sekolah pasti akan dapat mensejahterakan kehidupan seseorang, terutama bagi anak-anaknya di masa depan nanti. Karena saking semangatnya Orang tua itu mencari uang untuk menyekolahkan putra-putrinya, maka dia selalu bilang bahwa, “biarlah anak-anak ini tidak berharta dan tak berpakaian bagus, alaskan mereka bisa sekolah dan cukup makan, walaupun rumah masih menyewa”.
Anggapan itu atau bisa disebut sebuah doktrin telah dia tanam ke dalam otak anak-anaknya sejak dini. Rasyid sebagai anak laki-laki paling besar, cukup dewasa kala itu, sangat menyakini hal tersebut. Alhasil, setelah Rasyid menamatkan SMAnya dia langsung dapat bekerja sebagai seorang pegawai honorer di Dinas Perhubungan Padang, lengkap dengan seragam dinasnya, yang tentunya mengenakan seragam itu dapat sangat membuat bangga hati kedua orang tuanya, dan tambah memperkuat motivasi adik-adiknya untuk menyelesaikan sekolah mereka dengan cepat dan meraih nilai yang gemilang. Karena itulah ada beberapa orang adik laki-laki Rasyid waktu itu pernah pula berkata pada orang tua mereka, “nanti setelah tamat SMA saya mau seperti uda”. Itulah sebabnya Rasyid harus pontang-panting mencari uang karena harus menyekolahkan mereka yang delapan orang.
Bekerja sebagai seorang pegawai honorer dengan penampilan gagah setiap hari tidaklah seenak yang dibayangkan oleh orang tentang diri Rasyid. Rasyid sebenarnya hanya menerima honor kecil dari dinasnya, cuma belasan ribu rupiah, tanpa tujangan apa-apa. Itupun tidak pula dia peroleh rutin setiap bulan, biasanya dia gajian sekali dalam tiga bulan, bahkan pernah juga dirapel sampai enam bulan. Sementara penantian dirinya supaya bisa diangkat menjadi seorang pegawai negeri belum juga ada kepastian dari instansi tempat dia bekerja. Kalau seandainya dia telah diangkat menjadi pegawai negeri sipil tentu kehidupannya akan lebih baik, dan dia akan mendapatkan gaji bulanan yang tetap, plus segala tunjangan dan jatah bulanan seperti beras, gula, dan minyak goreng rutin setiap bulan.
Lamat-lamat Rasyid menjadi penat dan jenuh sendiri dengan keadaan dia bekerja di instansi tersebut. Ada tekanan yang bisa membuat Rasyid pening pada setiap awal bulan, yaitu kala ibunya bertanya kepadanya apakah wa’ang sudah gajian bulan ini. Tentu Rasyid hanya bisa menggelengkan kepala dan mengurut dada dibuatnya. Sementara waktu setahun dua tahun berjalan, biaya kebutuhan adik-adiknya semakin meningkat. Adik yang dulunya sekolah SD sekarang telah pula masuk SMP, yang sekolah SMP akan lanjut pula ke SMA, bahkan ada pula adik-adiknya yang berencana ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Semakin hari semakin tinggi tekanan dalam keluarganya.
Tibalah pada suatu hari, ketika Rasyid pulang kerja lebih cepat, karena hari Sabtu dia bisa pulang meninggalkan kantornya lebih awal dari waktu biasanya. Dari pelabuhan Teluk Bayur, tempat kerjanya, Rasyid menaiki sebuah oplet yang membawanya ke pusat kota. Pada waktu sore itu dia memutuskan pergi ke sebuah taman bacaan, tempatnya berada di jalan Khairil Anwar, di depan komplek sekolah yayasan Katolik, SMA Don Bosko, tempat penyewaan buku Amran. Rasyid dari dulu memang sering berkunjung ke sana, biasalah dikarenakan dia memang orang yang tidak punya uang untuk membeli atau bahkan untuk mengoleksi buku bacaan, bisanya dia hanya nyewa saja dari pak Amran.
Sore itu dia habiskan waktu santainya dengan membaca sebuah novel di tempat pak Amran. Disanalah ketika dia sedang asik membaca ada dia berjumpa dengan seorang alumninya di SMA 1 Padang. Bisa dibilang kawan dekatnya, walaupun usia orang itu lebih senior dari dirinya. Dialah orang yang bernama Nurli, atau Rasyid biasa memanggilnya dengan sebutan uda saja.
Dari Nurli, laki-laki kurus hitam kerempeng itu Rasyid memperoleh informasi tentang lowongan pekerjaan yang tersedia di sebuah perusahaan HPH, PT. Mentawai Land. Kebetulan Nurli sendiri telah dua tahun lamanya bekerja di perusahaan tersebut, sejak awal perusahaan itu mulai beroperasi.
“Syid, cobalah kau kirim surat lamaran ke tempat saya kerja. Kantornya ada di seberang jalan sekolah kita, di depan bank BDN tepatnya”
Pada mulanya Rasyid tidak percaya apakah benar ada sebuah perusahaan penebang kayu, yang seperti diceritakan oleh sahabatnya tadi, telah beroperasi di kota Padang. Sering juga dia lalu-lalang di persimpangan jalan dekat sekolahnya dulu, atau orang Padang menyebut persimpangan itu dengan sebutan Simpang Kandang, belum pernah dia melihat sebuah kantor, atau gedung dengan plang nama PT. Mentawai Land. Akhirnya Rasyid menjadi penasaran karena mendegar cerita sahabatnya itu. Tentulah kalau yang namanya sahabat tidak akan mau membohongi kawannya sendiri.
Pada lusa harinya, Senin, Rasyid memutuskan pulang kerja sangat cepat. Kira-kira jam 10.00 dia minta izin ke komandannya untuk diperbolehkan meninggalkan kantor karena ada urusan keluarga yang mendesak, cuma alasan saja. Dari Teluk Bayur langsung saja Rasyid pergi ke Simpang Kandang, berkunjung ke kantor sahabat yang tempo hari berjumpa dengannya di taman bacaan Amran. Ketika sampai di depan gedung yang di maksud, memang Rasyid tidak menemukan adanya sebuah papan nama tentang nama perusahaan tersebut. Di matanya yang tampak pada waktu itu hanyalah orang-orang yang sibuk mondar-mandir dari lantai satu ke lantai dua dan deretan sepeda motor, mobil yang sedang parkir di pekarangan, area yang tidak seberapa lebarnya itu. Kemudian Rasyid memberanikan diri menghampiri salah seorang sekuriti yang berjaga di pos keamanan, hanya untuk mencari tau tentang apakah ada orang yang ingin ditemuinya bekerja di kantor itu.
Karena Rasyid datang ke kantor itu dengan masih mengenakan seragam dinas, tentunya si sekuriti tidak dapat memandang sebelah mata kepada Rasyid. Dengan sangat elegan, khas seorang aparat, Rasyid langsung bertanya kepada laki-laki berbadan tegap, berambut cepak, dengan seragam hitam putih, dan ada logo Kepolisian Daerah di saku dadanya itu.
“Selamat siang pak” dengan mengangkat tangan di muka, hormat, Rasyid menyapa sekuriti yang telah memperhatikan kedatangannya dari tadi.
“Yap selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” secara sopan, dengan etika seorang sekuriti, lelaki berbadan tinggi tegap itu menyambut salam dari Rasyid.
“Apakah saya bisa menemui seorang kolega yang bernama Nurli? Karena saya ada janji bertemu dengannya disini”
“Maaf, Nurli yang mana maksud tuan? Karena disini ada dua orang bernama Nurli”
“Nurli Iskandar, orangnya berbadan kurus dan berkulit hitam”
“Oh.. Pak Nurli, bagian personalia. Ada, mari tuan, saya antar ke ruangan beliau”
“Ah.. Bagus lah... Terimakasih”
Siang yang sangat cerah itu ternyata membawa kebaikan kepada Rasyid. Apalagi dengan gaya dan penampilan berseragam dinas, Rasyid telah merasa menjadi seseorang dan mendapatkan pelayanan prima dari seorang sekuriti di kantor itu.
Akhirnya Rasyid diantarkan masuk ke dalam ruangan bagian personalia dan langsung berjumpa dengan orang yang ingin di temuinya, yaitu Nurli Iskandar, sahabat karibnya sejak masa sekolah di SMA 1 Padang dulu.
Nurli waktu itu memang kelihatan sedang dijajali oleh banyak pekerjaan, tapi dia juga sangat senang karena ada Rasyid yang datang mengunjunginya. Nurli merasa berat hati karena harus meminta kawannya, Rasyid untuk menunggu dirinya di lobi. Rasyid bersedia menunggu dan duduk di sebuah sofa empuk dan ada meja kaca di depannya. Nurli sebentar harus menyelesaikan sesuatu urusan di dalam ruang kerjanya, sembari dia menyuruh seorang petugas pantry untuk membawakan secangkir kopi kepada Rasyid, yang sedang menunggu di lobi.
Waktu itu banyak karyawan laki-laki dan perempuan muda, gagah dan cantik-cantik, berpakaian ala eksekutif, yang lewat lalu lalang di lobi, di depan Rasyid. Mereka ramah, tersenyum menyapa pria yang sedang duduk sendiri di pojok lobi dengan pakaian dinasnya. Mereka menyapa Rasyid dengan sebutan “pak”, ada juga yang menyapa dengan sebutan “tuan”. Rasyid sebagai tamu, orang luar yang tidak ada kaitannya dengan perusahaan itu merasa sangat dihargai berada di lingkungan itu. Rasyid tertarik karenanya, kemudian memperhatikan dengan seksama gerak-gerik orang-orang muda disitu, sepantaran umurnya, sedang bersemangat berapi-api bekerja menyelesaikan urusan mereka masing-masing.
Baru sebentar saja Rasyid masuk ke alam kerja dunia swasta, hanya melihat saja, bukan menjamah kerja, sudah terasa olehnya suatu nuansa baru, dimana setiap orang yang melemparkan senyum dan menyapa dirinya tadi telah mengantarkan energi positif kepada diri Rasyid. Tak ayal Rasyid pun merasakan suatu energi hidup telah tumbuh kembali dari dalam jiwanya. Sudah lama sekali dia ingin merasakan semangat kerja dari generasi muda seperti mereka tadi, yang selama ini tidak pernah dia rasakan di lingkungan tempat kerjanya sekarang. Begitu jelas perbedaan yang di rasakan oleh Rasyid, baru saja, beda antara suasana kerja di lingkungan swasta dengan lingkungan pemerintahan.
Tidak beberapa lama kemudian, akhirnya Nurli keluar dari ruang kerjanya dan segera dia menemui sahabatnya yang sudah dari tadi menunggunya di lobi itu.
“Wah, maaf ya Syid, kalau aku membuat kau lama menunggu di sini”
“Ah, jangan dipikirkan biasa saja”
“Ya.. Beginilah Syid suasana di kantor kami ini. Oh ya, pasti kau belum makan siang kan!, waktu sudah hampir jam dua belas, ayo kita keluar, cari makan”
Nurli membawa Rasyid berjalan keluar dari lingkungan kantornya untuk pergi mencari sebuah rumah makan yang terdekat dari sana. Mereka berdua pergi jalan ke Sawahan, sebuah tempat yang tidak jauh, sekitar beberapa ratus meter berjalan melalui jalan Haji Agus Salim. Di Sawahan ada terdapat sebuah rumah makan enak, yaitu rumah makan Nasi Kapau, masakan khas orang Bukittinggi. Nurli sering makan siang di tempat itu. Sepertinya Rasyid belum pernah mencoba makan masakan nasi kapau, jadi dia penasaran ingin sekali mencicipi masakan itu.
Dalam mereka berdua jalan kaki ke Sawahan, Nurli menceritakan kepada Rasyid secara panjang lebar tentang bisnis yang dijalankan oleh PT.Mentawai Land, perusahaan tempat dia bekerja. Mulai dari latar belakang berdirinya perusahaan tersebut, siapa pemegang sahamnya, sampai tentang wilayah HPH yang di kuasai oleh perusahaan tersebut, dan terakhir rata-rata gaji yang diterima oleh para karyawan yang telah bekerja di perusahaan itu.
Tiba pada masalah gaji, Rasyid ternganga mendengarkan penuturan sahabatnya itu, Nurli. Sebelumnya Rasyid hanya mengetahui kalau hanya PT. Semen Padang saja yang sanggup membayar upah karyawan jauh lebih tinggi dari rata-rata gaji pegawai negeri, ternyata ada sebuah perusahaan yang baru saja berdiri mampu juga menyaingi upah rata-rata karyawan yang bekerja di PT. Semen Padang, yaitu PT. Mentawai Land.
Ketika sedang makan siang di warung nasi kapau, yang berada di Sawahan itu, Rasyid banyak berpikir. Sedangkan Nurli asik saja menyantap makan siangnya, dia tidak mau melanjutkan ceritanya lagi, karena dia secara langsung dan jelas tadi telah meminta Rasyid untuk bergabung ke perusahaan tempat dia bekerja. Selagi dia masih pada posisi personalia, tentu saja ada peluang besar bagi Rasyid untuk dapat diterima bekerja di sana.
Lepas pertemuan pada jam makan siang itu, antara Rasyid dan Nurli kemudian berpisah di depan gedung PT. Mentawai Land. Rasyid kembali meneruskan perjalanannya pulang ke rumah, di Palinggam, sementara Nurli kembali melanjutkan pekerjaannya yang terbengkalai tadi di ruang kerjanya.
Ketika sampai di rumah, ibunda Rasyid, Niar, kaget kenapa anak bujangnya cepat sekali pulang kerja pada siang hari itu, karena hari itu adalah hari Senin, bukannya hari Sabtu. Dari Senin sampai Jumat biasanya Rasyid akan pulang ke rumah kalau sudah pukul 5 sore. Rasyid hanya bilang ke ibunya bahwa dia sedang sakit dan tidak enak badan. Ditambah lagi Rasyid bilang kalau dia sedang sakit, malah akan menambah kecemasan ibundanya. Maklum Rasyid memang seorang anak yang manja, apa-apanya selalu diurusi oleh ibundanya. Dari celana dalam sampai sepatu selalu ibunya yang menyediakan, apalagi kalau anak sulungnya itu sedang demam, maka perempuan tua itu akan langsung lari bergegas ke kebun belakang rumahnya untuk memetik daun kumis kucing, lalu memerasnya hingga jadi minuman obat, sebagai menawar panas badan anaknya.
Rasyid tidak banyak omong lagi, dia langsung masuk ke bilik tidurnya dan mengunci diri di dalam. Dalam berbaring, ternyata laki-laki muda itu tidak tidur, malah dia banyak berfikir, berfikir tentang dia akan bergabung ke PT. Mentawai Land dan mau meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai honorer di Dinas Perhubungan yang sekarang. Tetapi rencana itu tidak semudah yang sedang dia pikirkan. Akan ada pihak-pihak yang terkecewakan karenanya. Terutama ayah dan ibundanya, kedua orang tua itu memiliki harapan yang sangat besar kepada Rasyid, supaya dia bisa menjadi pegawai negeri, kemudian menjadi orang yang berpangkat agar dapat menolong saudara-saudaranya tubuh menjadi orang berpangkat pula. Tindakan itu juga akan sangat mengecewakan kepada pak Zainal, orang baik, yang dulu telah mau susah-susah memasukan Rasyid bekerja di Dinas Perhubungan.
Sebaliknya ada pula hal yang dapat memperkuat tekat Rasyid untuk pindah kerja ke perusahaan kayu itu, adalah bagaimana dia bisa memperoleh uang lebih banyak agar dapat membantu saudara-saudaranya untuk membiayai sekolah. Sementara apabila dia tetap menunggu penghasilan yang dia peroleh dari dinasnya, yang turun sekali dalam tiga bulan, yang jumlahnya tidak memadai itu, bisa-bisa salah seorang dari adiknya akan berhenti sekolah, karena tidak ada biaya lagi.
Beberapa hari kemudian, setelah Rasyid berfikir panjang dan matang, akhirnya dia mengabil keputusan yang berani, bahwa dia harus menyambar kesempatan kerja yang tersedia di PT. Mentawai Land, dan harus memupuskan cita-citanya untuk menjadi orang berpangkat dalam instansi pemerintahan. Segera, dengan langkah pasti dia antarkan sepucuk surat lamaran kerja, lengkap dengan ijazah SMA, CV dan identitasnya ke kantor yang berada di simpang Kandang tersebut.
Seminggu kemudian datang surat balas ke rumah yang di alamatkan Rasyid, dari bagian Personalia, PT. Mentawai Land, di Jalan Agus Salim, Padang. Surat itu memberitakan bahwa Rasyid di panggil untuk wawancara kerja pada hari dan jam yang telah di tentukan.
Akhirnya Rasyid datang ke kantor perusahaan kayu itu untuk melakukan sesi wawancara. Tidak hanya Rasyid seorang, juga ada puluhan laki-laki dan perempuan lain yang ikut serta dalam sesi wawancara kerja di tempat itu. Mereka semua berpakaian rapi, necis ala orang kantoran. Sebagian para pelamar kerja duduk memenuhi sofa di lobi, dan ada juga yang berdiri di pekarangan kantor itu sembari menunggu nama mereka di sebutkan agar masuk keruangan interview. Rasyid memilih berdiri saja di lobi, sambil menghisap sebatang rokok. Karena melihat begitu banyaknya para pencari kerja di perusahaan itu, jantung Rasyid jadi berdetak kencang dibuatnya. Sehingga ada muncul keraguan pada dirinya apakah dia akan lulus pada sesi wawancara nanti. Lalu tampak olehnya ada salah seorang pemuda yang baru saja selesai wawancara, berjalan keluar dari ruangan interview dengan menyapu keringat yang bercucuran dari keningnya. Wah Rasyid jadi semakin gelisah karena tidak sengaja melihat laki-laki itu.
Tibalah giliran seseorang menyebutkan nama Rasyid agar segera masuk ke ruangan interview. Rasyid terkejut, darah tersirap naik ke ubun-ubun, dadanya yang tipis itu berdebar sangat kencang, keringan dingin bercucuran membasahi bajunya. Dengan gugup Rasyid berjalan masuk dan membuka pintu kamar yang dingin itu. Sampai di dalam tidak di jumpainya siapa-siapa, yang ada hanya sebuah meja kerja yang terbuat dari kayu jati, tampak mewah dan elegan, dan ada terdapat sebuah kursi busa hydraulic besar berwarna kelam, dengan sandarannya yang tinggi, yang bisa naik turun dan berputar ke segala arah, berada di belakang meja kayu itu. Rasyid memilih duduk di sebuah kursi yang tersedia di depan meja tersebut.
Tiba-tiba masuklah seseorang ke dalam ruangan, datang dari pintu yang berlainan, yang terdapat satu lagi di ruangan itu, di arah belakang Rasyid. Terdengar suara langkah sepatu tegap mendekat kepada Rasyid. Pastilah dia orangnya, orang yang akan mewawancarai dirinya sebentar lagi.
“Aha, akhirnya Rasyid datang juga”. Rasyid terkejut lagi mendengar suara orang itu menyeru namanya. Suara itu sangat akrab sekali di telinganya.
Ya itulah suara si Nurli, sahabatnya sendiri. Pantas dari tadi Nurli tidak pernah muncul ke permungkaan, ternyata dia sendiri yang sedang sibuk mewawancarai para pelamar kerja di ruangan itu. Hilang sudah semua kecemasan yang mengganjal perasaan Rasyid menjelang masuk ke ruangan itu. Sekarang dia telah bisa menarik nafas lega karena ada Nurli bersamanya di dalam.
“Santai saja Syid, nih, merokok dulu kita” Sedikitpun tidak ada kesan formal yang dinampakan oleh Nurli terhadap Rasyid, sahabatnya yang sebentar lagi akan di wawancarinya.
“Oh boleh merokok ya, baik lah kalau begitu” Rasyid mengambil sebatang dari bungkusan rokok yang telah di letakan Nurli di atas meja.
“Kamu grogi ya Syid, haha..haha, santai saja” Nurli banya ketawa dan geli. Dia merasa aneh sendiri, kenapa dia harus mewawancarai sahabatnya sendiri, sementara dia memang menginginkan Rasyid untuk bergabung kerja di perusahaan itu.
“Tidak, biasa saja. Kenapa aku harus grogi dengan uda”. Rasyid memang masih grogi ketika sedang menghadapi situasi seperti itu. Tapi dia sedang belajar untuk mengendalikan mentalnya supaya Nurli tidak mempermalukan dirinya.
“Syid, buat apa aku mewawancarai kau disini, tidak ada gunanya, kau memang sudah aku terima untuk bekerja perusahaan ini. Awal bulan depan kau sudah bisa masuk kerja. Masalah posisi dimana kau bekerja itu bukan urusan ku, tunggu saja beritanya dari pimpinan. Oke, sekarang kau boleh pulang. Tunggu saja berita selanjutnya dari kami. Minggu depan mungkin ada surat pemberitahuan bahwa lamaran mu telah diterima”
Rasyid seketika itu sumbringah mendengarkan berita baik yang telah di sampaikan oleh Nurli di hadapannya. Tak ada padanan kata atau kalimat yang sebanding selain kata terimakasih di ucapkan Rasyid kepada Nurli.
“Terimakasih atas kebaikan uda. Uda Nurli memang sahabat ku yang paling baik. Terimakasih, permisi, saya mau langsung balik ke rumah” Rasyid menjabat tangan sahabatnya dan merangkul pundaknya, kemudian pamit dan keluar pergi meninggalkan sahabatnya sendiri di rungan interview yang dingin itu.
Sampai di luar Rasyid tetap memperlihatkan wajah datar kepada orang-orang yang masih duduk di lobi, sedang menunggu giliran untuk diwawancarai pula. Di dalam hati Rasyid memang dia sedang bahagia, tapi tidak mau dia memperlihatkan ekspresi gembiranya di depan orang-orang sedang gundah menunggu nasib mereka. Rasyid tetap saja berjalan tenang dan diam hingga keluar dari lingkungan perusahaan itu.
Dia pergi ke Pasar Raya Padang, bisa ditempuhnya dengan jalan kaki saja. Lalu dia naik ke sebuah gedung bertingkat, ke sebuah bioskop, Padang Theater namanya. Tapi Rasyid bukannya ingin pergi nonton film, malah terus berjalan melewati bioskop tersebut, terus masuk lebih dalam lagi ke dalam deretan salon-salon dan kios-kios burung yang berjejer di atas lantai dua bagunan besar itu. Lalu dia berhenti pada sebuah kios, kios tempat penyewaan buku bacaan dan komik.(Lucky Lukmansyah)
0 Komentar
Penulisan markup di komentar