Cerita Orang Padang
"Sofa Merah"
Lepas tengah hari, Rasyid nan tua kini sedang terlelap di atas sofa merah panjang yang terbujur di ruang tamu. Kaca mata serta buku bacaan yang tadi sedang dilahapnya, sekarang dibiarkan saja terbengkalai di atas meja marmer rendah yang hanya berjarak selebar paha dari tempat dia sedang berbaring kini.
Suara azan Lohor telah selesai berkumandang beberapa menit yang lalu. Terdengar dari surau yang berada tidak jauh di seberang rumah Rasyid. Seperti biasa suara azan tentulah selalu bergaung keras, lantang dan membahana ke udara. Namun Rasyid masih saja menutup mata dan mengeluarkan suara-suara dengkuran dari mulutnya. Entah berapa lama dia telah terlelap di atas sofa itu? Sepertinya, pak tua ini sekarang sedang terhanyut dan terbuai di alam bawah sadarnya sendiri sedari tadi. Mungkin setengah jam atau bahkan satu jam yang lalu dia telah pergi menghilang, meninggalkan dunia nyata yang membosankan bagi dirinya, yang membuat dia tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali hanya berangan-angan dan mimpi.
Rasyid sekarang telah tua, telah berusia 63 tahun. Terlihat dari raut wajahnya yang sekarang sedang terlelap, tertelentang menghadap ke langit-langit, terdapat banyak garis-garis usia yang menimbulkan keriput di kening dan tulang pipinya. Daging di tubuhnya telah mulai susut perlahan-lahan. Rambut dan jenggot pak tua ini pun telah memutih pula. Sepertinya kemampuan panca inderanya juga mulai melemah, tidak lagi sepeka dahulu. Sikap Rasyid sekarang sudah sangat jauh berbeda apa bila dibandingkan dengan gaya dan tabiatnya pada waktu muda dulu. Contohnya, dahulu dikala Rasyid masih berusia sekitar 40 tahunan, biasanya dia tidak pernah mau berleha-leha apabila telah terdengar seruan azan berkumandang. Tentu saja dia tinggalkan segala bentuk pekerjaannya untuk sementara waktu, kemudian pergi melaksanakan sholat, menghadapkan wajah dan hati lalu bersujud kepada sang Khalik. Dahulu dia paling suka sholat berjamaah, di langgar, di surau atau di mesjid yang berada dekat dari tepat kerjanya. Kalau tidak sempat sholat berjama’ah, ya dia sholat saja di dalam ruangan kerja atau di balik meja kantornya. Adapun kalau dia telah sampai di rumah sehabis bekerja, untuk sholat Magrib dan Isya tidak pernah mau dia lewatkan sekalipun agar dapat berjamaah bersama kawan-kawannya di surau yang terletak di seberang rumahnya, yang kebetulan waktu itu dia juga salah satu pengurus rumah ibadah tersebut.
Fatimah, adalah istri Rasyid selalu saja disibukan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah. Dia selalu saja senang berada ruangan bagian belakang rumah. Disana terdapat sebuah ruangan yang agak lapang dan memanjang. Ruangan belakang itu terdiri dari tiga bagian, ada dapur pada bagian paling ujung dekat dengan kamar sebuah mandi. Di tengah-tengah ada sebuah meja makan besar berwarna coklat terang yang terbuat dari susunan kayu jati dengan enam buah kursi makan yang sedang merapat keinduknya. Kemudian di sudut ruangan, berjarak hanya beberapa langkah setelah meja makan, berdekatan dengan pintu masuk dari bagian belakang rumah, di sebelah jendela kaca nako, ada terdapat sebuah mesin jahit tua nan hitam dan lusuh dengan merek Singer. Hampir sepanjang hari, dari waktu bangun tidur hingga malam hari, sampai pada waktu akan pergi tidur lagi, bahkan sampai larut malam, Fatimah menghabiskan hampir seluruh waktu di ruang belakang rumahnya itu. Kegiatan Fatimah setiap hari selalu saja dia mulai dari dapur, dilanjutkan ke kamar mandi, kemudian pindah kemeja makan untuk mengisi perut lalu beralih ke mesin jahit untuk mengejar upah orderan jahitan dari para langganan yang selalu setia menunggu pakaian mereka selesai di jahit oleh Fatimah. Sering juga Fatimah begadang di malam hari jikalau ada seorang langganan yang mendesaknya untuk menyelesaikan satu stel pakaian agar bisa di jemput besok pagi.
Jam dinding telah menunjukan pukul setengah 3 petang, Rasyid masih saja terbaring dan mendengkur di atas sofa. Fatimah baru saja selesai memasak makanan di dapur untuk makan siangnya bersama sang suami. Alangkah telatnya acara makan siang di rumah itu, tidak lagi makan siang itu namanya, tetapi makan petang hari. Kasihan pada Rasyid yang sudah tua, dari siang tadi dia telah menunggu menahan lapar dan lantas tertidur saja di atas sofa, tergeletak dan tidak menyadari akan dirinya lagi. Fatimah selalu saja seperti itu, hampir setiap hari dia selalu memasak telat dan lambat-lambat waktu. Apakah dia tidak merasa iba melihat suami dan anak-anaknya yang kelaparan pada setiap tengah hari? Kalau memang ada dia merasa iba pada keluarganya, mengapa dia belum juga merubah kebiasaannya tersebut? Kenapa dia tidak mulai memasak pukul 10 misalnya, supaya tidak ada orang yang kelaparan di tengah hari lagi di rumah itu. Keterlambatan seperti itu bukanlah kerena Fatimah lalai akan tanggung jawabnya kepada suami. Tentu dia sangat sadar akan kebutuhan rumah tangganya. Tetapi Fatimah sekarang tengah sedang menanggung banyak beban. Disamping beban pekerjaan rumah tangga, Fatimah juga mempunyai tugas untuk mencari uang agar dapat memenuhi semua kebutuhan harian keluarganya. Ditambah lagi dengan beban hutang yang telah di buatnya kepada sebuah bank. Sungguh kasihan pada ibu Fatimah ini. Suaminya, Rasyid tidak dapat berbuat banyak untuk keluarganya lagi. Sekarang dia telah menjadi orang tua yang lemah dan manja. Dia senang sekali menghabiskan waktu di depan televisi atau dengan membaca ulang buku-buku koleksinya.
Pada hari ini Fatimah hanya menghidangkan menu sederhana saja di atas meja makan. Tidak hanya hari ini tetapi hampir setiap hari selalu saja tersedia menu-menu ringan yang murah meriah, kadang-kandang teramat murah sekali, dihidangkan di atas meja makan. Sering juga Fatimah, karena saking kosongnya koceknya, dia masih sanggup juga memasak, walaupun hanya menggoreng cabe saja, atau orang Padang biasa menyebutnya dengan “sambalado” yang dimakan dengan nasi dan kerupuk Palembang sebagai pengganti lauknya. Hebatkan Fatimah! Begitulah cara dia mencurahkan kecintaan dan kasih sayang untuk keluarganya. Sekarang telah di hidangkan oleh ibu tua ini sepiring ikan tongkol goreng balado yang dicampur dengan jengkol dan ada pakai tahu juga. kemudian ada juga semangkok tumis sayur kangkung dan secambung nasi sudah disusun rapi di atas meja makan bersama dengan perangkat alat makan seperti sendok, piring dan kawan-kawannya yang lain. Alhamduliah, kiranya hari ini Fatimah masih mampu memberikan nutrisi yang baik dan sehat untuk keluarga yang teramat di cintainya.
Di rumah, pada siang hari itu hanya ada mereka berdua saja, sepasang suami istri yang telah lanjut usia. Rumah nan besar itu sekarang tampak lengang dan sunyi sepi saja. Putra-putri mereka sibuk saja dengan mencari untung masing-masing. Ada juga si bungsu Zulaikha, yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP, si gadis manis ini belum juga pulang dari sekolah, sedangkan sekarang sudah pukul setengah 3 petang. Mungkin Zulaikha masih sedang mengikuti pelajaran tambahan bahasa Inggris yang di adakan oleh gurunya di sekolah. Dia sangat menyenangi pelajaran bahasa Inggris. Nilai-nilai postes bahasa Inggrisnya selalu dia tunjukan ke ayah dan ibunda kalau dia mendapat ponten 10. Ada juga sepasang cucu mereka yang masih kecil, Jacky cucu laki-laki 5 tahun dan Queen cucu perempuan 3 tahun, sepasang cucu yang selalu dapat menghibur hati kedua orang tua ini. Bagi mereka Jacky dan Queen adalah sumber segala keceriaan, segala gelak dan tawa dalam rumah itu. Namun sekarang kedua cucu itu sedang tidak ada di rumah. Jacky dan Queen, serta umi mereka di boyong oleh si-abi, mereka memanggil dengan sebutan abi untuk ayah mereka, menantu Rasyid yang bernama Idris, suami dari Annisa, anak kedua Rasyid. Mereka sekeluarga sedang menginap di kota Pekanbaru di rumah kakak perempuan Idris. Ya, sekarang tinggallah mereka berdua saja di rumah itu. Seandainya saja, misalkan, kalau terjadi suatu pertengkaran diantara kedua orang tua ini, siapakah yang akan melerai cakak mereka? Kedua orang tua ini adalah sama-sama bagak dan keras suara. Tentulah si Boim, anak laki-laki paling sulung di keluarga itu, akan terbirit-birit mengejar mereka dari rumah istrinya untuk melerai pertengkaran ayah dan ibudanya. Ah, semoga saja Tuhan tidak memperkenankan hal itu terjadi lagi. Yah begitulah nasib yang selalu di alami oleh setiap orang tua apabila anak-anak mereka tumbuh dewasa. Semua anak-anak akan pergi meninggalkan rumah untuk mencari penghidupan mereka masing-masing, demi mencapai cita-cita dan kemapanan hidup, paling tidak mereka bisa hidup mandiri diluar rumah, dan tidak lagi meminta kepada ibu dan ayah mereka yang sudah tua.
Fatimah selalu saja lupa akan waktu, bahwa sekarang sudah pukul setengah 3 petang. Dari sejak tadi pagi belum ada sesuap nasi yang dia masukan keperutnya. Hingga saat ini belum juga dia dapat makan siang, tetapi akan makan siang bersama suaminya sebentar lagi. Kemudian dia baru sadar bahwa dia belum melaksanakan ibadah sholat lohornya, sedangkan sebentar lagi waktu Ashar akan tiba pula. Dari ruangan depan terdengar oleh Fatimah suara dengkuran keras dari mulut si kakek, Rasyid yang sedang tertidur amat pulas di atas sofa merahnya. Suatu kebiasaan yang tidak pernah bosan-bosannya dilakukan oleh Rasyid, di setiap waktu tengah hari sambil menunggu istrinya selesai memasak makanan untuk santap siang. Dia selalu membaca macam-macam buku, majalah, atau koran di atas sofa panjang yang terbujur di ruang tamu itu. Tidak lama membaca, maka kemudian Rasyid pasti akan terjatuh dalam kantuk matanya yang berat tak tertahankan, lalu dia terkulai rebah terpuruk ke dalam tidurnya dan kemudian dia mendengkur sehingga keras terdengar hingga sampai ke dapur. Begitulah perilaku pak Rasyid ini sekarang. Kebiasaan seperti itu telah dilakukannya semenjak dia pensiun dari pekerjaannya. Fatimah tentu tahu kalau suaminya sedang ngorok di atas sofa merah di ruang tamu, segera saja ia menghampiri suaminya yang sedang mendengkur itu, agar dapat dia bangunkan dan menyuruhnya untuk sembahyang, baru kemudian makan siang sama-sama.
“Uda.... Bangun! Bangunlah uda. Jangan tidur saja, lihat lah, sekarang sudah pukul setengah 3, ayo bangun. Mari kita sembahyang, terus kita makan siang, Sudah Tim hidangkan makanan uda di meja makan” Fatimah menggosok-gosok bahu Rasyid, mendorong-dorong bahu sang suami agar terbangun dari alam mimpinya.
Rasyid tersentak dan tergagap-gagap. Lamat-lamat dia mengumpulkan segenap nyawa dan tenaga untuk padat bangkit dari sofa merah itu. Ketika dia sudah sadar akan badannya, maka tibalah giliran suara-suara gaduh dan tidak enak terdengar, bunyi kriuk-kriuk yang sangat mengganggu sekali, terdengar dari dalam perut pak Rasyid ini. Ah, sungguhlah Rasyid sangat kelaparan pada waktu petang itu. Dengan pandangan datar dan mata yang merah, dia bertanya. “Sudah, sudah selesai? Marilah kita makan, sudah lapar sangat perut uda ini” begitu dia bertanya pada Fatimah, dan Rasyid tentulah sudah tahu sendiri apa jawabanya. Rasyid berusaha bangkit dari sofa dan berjalan agak sempoyongan karena merasa pusing di kepala dan menuju kearah meja makan. Belum sampai Rasyid di meja makan, lalu Fatimah menegur suaminya, karena ada sesuatu kewajiban yang sepertinya terlupakan, dan belum dikerjakan oleh Rasyid.
“Eh, eh Uda, sembahyang lah dulu agak sebentar, baru setelah itu sama-sama kita makan”
Badan Rasyid langsung saja layu dan gontai menerima teguran dari si istri. Yah, tentu sajalah begitu, semua orang juga akan merasakan hal yang sama jika itu terjadi pada diri mereka. Sudah hampir tiga jam dia harus menahan teriakan caci-cacing yang tengah berontak di dalam perutnya. Dan sekarang, telah terpampang, juga tercium harum aroma masakan, terhidang di atas meja makan, yang telah siap sedia untuk disantap olehnya. Namun kenapa dia harus menunda beberapa saat lagi untuk jatah makan siang itu. Dengan merenggut Rasyid langsung saja memutar arahnya ke kamar mandi untuk bersuci. Rasyid tahu dan sangat menyadari bahwa sholat adalah perintah Tuhan yang harus dia tegakan terlebih dahulu dan yang paling utama. Maka Rasyid pergi mendirikan sholatnya. Itulah tanda bahwa di usia tuanya Rasyid masih tetap patuh kepada Tuhan. Dia masih menjaga tiang agamanya agar tetap kokoh berdiri.
Menjelang pukul 3 sore, barulah dua sejoli yang sudah ini dapat menikmati menu santap siang mereka yang sederhana di meja makan. Mereka berdua makan dengan lahap. Fatimah tentu saja sangat senang melihat suaminya makan dengan lahap begitu. “Uda, hati-hati kalau makan, jangan cepat-cepat, nanti uda tersendat!” sembari makan Fatimah juga tetap memberikan perhatian penuh pada suaminya. Di hati sanubarinya yang dalam Fatimah dia sangat bersyukur kepada Tuhan, bahwa pada santap siang kali ini Tuhan masih berkenan memberikan rezeki kepadanya sehingga mereka dapat menikmati enaknya goreng ikan tongkol balado dan semoga saja besok hari ada lagi rezeki lain yang Tuhan berikan untuk anak dan suaminya.
Rasyid sekarang tidak lagi seperti dulu yang suka marah dan tempramen. Sekarang dia tidak terlalu banyak lagi berbicara kepada istrinya. Dia lebih suka menerima saja tentang apa dan semua hal yang dikerjakan oleh Fatimah. Dia cenderung pendiam akhir-akhir ini dan sering sekali berkata “terserah kamu saja” kepada Fatimah. Sekarang dia banyak menghabiskan waktu pensiunnya dengan banyak membaca buku, kalau tidak membaca dia duduk di langkan dan bermenung. Mengasuh cucu yang masih saja sepasang itu, yang belum juga bertambah, masih tetap juga di lakukannya. Kadang ada juga dia pergi joging di pagi hari, lepas sholat Subuh ke wilayah sekitar kampus Universitas Andalas, yang berjarak 3 km dari rumahnya, yang terletak di daerah Limau Manis, nun di puncak bukit letaknya, itu pun kalau ada diingatkan oleh Fatimah.
Rasyid di harapkan oleh keluarga supaya dia selalu menjaga kestabilan gula darahnya. Rasyid telah 5 tahun lamanya mengidap penyakit diabetes di tubuhnya. Gejala penyakit itu muncul semenjak Rasyid kembali dari tempat dia bekerja di sebuah perusahaan kayu yang terletak di kota Sorong, Papua pada tahun 2010 yang lalu. Sejak saat itulah dia sering sekali merasakan pusing-pusing dan badannya lunglai dan lemah saja karena tensi darah naik. Setelah di periksakan ke dokter, ternyata Rasyid di fonis mengalami penyakit diabetes, dan dokter menyuruhnya untuk harus meminum obat untuk seumur hidup, kalau bisa 3 kali sehari, di tambah sebulan sekali dia harus melakukan pemeriksaan kadar gula darah dan tensi di rumah sakit. Oleh karena itu seluruh keluarga Rasyid dan juga adik-adik kandungnya yang sangat-sangat menyayanginya dan selalu memperhatikan hidupnya, meyarankan agar dia tidak perlu lagi bekerja untuk mencari nafkah. Cukup sudah sampai disitu masa pengabdiannya kepada anak dan istirnya. Tidak obahnya Rasyid seperti telah diberhentikan secara hormat dari pekerjaannya oleh suatu lembaga tinggi negara. Tadi itu perumpamaan saja, karena Rasyid bukanlah seorang pensiunan pegawai negeri, dia hanyalah seorang mantan karyawan di sebuah perusahaan swasta, yang bergerak di bidang pembalakan kayu logging. Adapun pada masa itu putra-putri Rasyid yang empat orang, yaitu Ibrahim, Annisa, Roni dan Rudi telah memperoleh pekerjaan masing-masing. Tinggal hanya si bungsu, nan cantik dan manja, Zulaikha yang pada waktu itu masih kelas 3 SD. Tidak payahlah membesarkan anak bungsu yang satu ini. Karena kakaknya banyak yang akan menanggung biaya hidupnya.
Memang pada awalnya, semenjak Rasyid telah tetap tinggal di rumah, di Padang, apa yang telah diperkirakan pada hari kepulangannya waktu itu dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Boim dan adik-adiknya dapat membantu segala keperluan dan biaya hidup kedua orang tua mereka. Semua sandang dan pangan semuanya ada, sudah tersedia untuk kedua orang tua ini. Walaupun begitu ibunda mereka, Fatimah masih saja kekeh untuk tetap melakoni profesinya sebagai tukang jahit pakaian. Disamping itu Fatimah dan Rasyid juga telah memiliki empat petak kamar kontrakan yang mereka sewakan untuk mahasiswa, telah mereka bangun di bidang tanah yang terletak di halaman samping rumah. Dari penghasilan rumah kontrakan tersebut, bisa dibilang cukup untuk menunjang segala kebutuhan biaya rumah tangga Rasyid dan Fatimah yang tidak seberapa itu. Sehingga pada masa itu Rasyid bisa santai menjalani kehidupan di hari-harinya yang telah senja. Dia bisa berolah raga dengan teratur, walapun itu hanya dengan joging di pagi hari saja, biasanya sekali dalam dua hari rutin dia lakukan, kecuali kalau hari hujan di pagi hari. Dia juga bisa bermain dan bercanda riang dengan cucu-cucu. Dia juga sangat gemar sekali membaca, membaca apa saja. Telah penuh satu lemari pajangan, yang hanya ada satu-satunya terletak di ruang tamu, dengan buku-buku koleksinya. Mulai dari tema agama, politik, sastra, budaya dan macam-macam jenisnya.
Sesekali waktu apa bila dia memiliki uang lebih, atau bisa dibilang Rasyid telah mendapatkan kiriman uang dari anak-anaknya atau juga dari adik-adiknya yang berjumlah delapan orang itu, maka hal yang paling pertama muncul dalam benaknya suatu rencana untuk menandaskan uang tersebut adalah dengan pergi bertamasya untuk mencuci mata di toko buku Gramedia, sebuah toko buku yang paling besar di kota Padang, terletak di jalan Veteran. Apabila dia telah mendapatkan buku yang disukainya, biasanya Rasyid tidak begitu saja langsung pulang ke rumah. Tentu dia akan singgah dulu ke pasar untuk membeli lauk pauk yang di rasa enak olehnya. Biasanya Rasyid membeli ikan kakap segar sebagai buah tangan untuk Fatimah. Tidak lupa pula Rasyid membelanjakan uangnya untuk membeli cemilan bagi Zulaikha si putri kecilnya nan manja sekali, tentu juga buat Jacky dan Queen cucu yang teramat di sayanginya. Maka penuhlah kedua tangannya menenteng kantong barang belanjaan sambil berjalan pulang ke rumah.
Rasyid juga suka menulis, tulisan Rasyid selalu dalam bentuk cerita, karya yang tidak pernah dia publikasikan di koran atau majalah. Tumpukan kertas cerita Rasyid dia susun dengan rapi dalam sebuah bundelan, diletakan di dalam sebuah kotak yang berada di bahwa meja tulisnya. Adalah Boim, putra sulung Rasyid yang paling suka membongkar isi kotak tersebut dan membacai semua karya tulis ayahnya. Anak-anak yang lain tidak punya minat akan hal literatur. Apabila Boim datang kerumah orang tuanya, untuk melihat dan memberikan perhatian akan keadaan ibunda dan ayahnya, di saat seperti itulah Ibrahim dapat mengajak ayahnya bercakap-cakap, misalnya tentang berita-berita terhangat yang muncul di surat kabar dan televisi atau bicara tentang sastra, bicara tentang sebuah jalan cerita, seorang tokoh, dan watak tertentu yang terdapat dalam sebuah novel yang pernah mereka baca. Begitulah cara yang asik bagi Boim untuk melihat jati diri ayahandanya yang sebenarnya. Dengan cara seperti itu pula Boim dapat mengetahui apa yang sedang di pikirkan Rasyid dan apa yang sedang di inginkannya. Rasyid sangat senang sekali apabila Boim telah datang berkunjung ke rumah. Memang Boim tidak bisa datang setiap hari ke rumah orang tuanya, paling rutin dia hanya datang sekali dalam seminggu. Sesekali kalau Boim punya waktu agak lapang, dia dapat membawa ayahnya pergi jalan-jalan keluar rumah. Tentu saja pergi ke toko buku adalah tujuan utama mereka. Dan agenda perjalanan selalu di akhiri dengan berkunjung ke rumah etek Fitri, adik perempuan Rasyid, di kampung Palinggam, sebuah kampung yang terletak di pinggiran sungai Batang Arau.
Dalam kesempatan berdua dengan Boim itu, sesekali Rasyid menumpahkan segala keluh kesah kepada anak sulungnya. Rasyid bercerita kepada putranya tentang banyak hal yang terjadi dirumah, yang membuat perasaannya tidak nyaman. Ada suatu aura kekecewaan yang terbias dari wajah bapak tua ini. Rasyid merasa apa yang sedang dia jalani pada usia hidupnya yang sudah tua ini tidak sesuai dengan apa yang pernah dia rencanakan dahulu kala. Kenapa hidupnya terasa berat pada hari tua ini dan tidak sewajarnya dia menerima keadaan susah seperti ini.
Padahal, jauh di masa yang lampau Rasyid telah sangat lama mengidam-idamkan dan menyusun suatu rencana ini dan itu, agar dia dapat memperoleh kehidupan yang bahagia bersama istrinya Fatimah, bersama putra putrinya, beserta cucu-cucunya kelak di hari tua, apabila putra-putrinya telah berkeluarga dan hidup mandiri. Wajar saja semua orang tua di dunia ini ingin sekali dapat hidup tenang pada hari-hari senja mereka. Bukan suatu hal yang muluk-muluk atau berlebihan cita-cita yang di dambakan oleh Rasyid. Hanya sebuah keinginan yang biasa saja kiranya. Namun kembali pada kehendak Tuhan yang maha kuasa atas segalanya, hanya tuhan yang tahu tentang masa depan seseorang, apakah itu baik atau buruk hanya tuhan yang dapat menentukan nasib seseorang. Walaupun seperti Rasyid contohnya, orang yang telah berjuang untuk mencapai hidup yang lebih baik bagi ayahnya dan ibunya, adik-adiknya, bahkan untuk masa depan anak dan istrinya, telah sedari dulu, bahkan semenjak usianya masih 20 tahunan, dikala dia masih seorang pemuda lajang, telah dimulainya suatu rencana besar untuk sebuah kehidupan keluarga besar, agar semua orang dalam keluarga besar itu dapat memperoleh hidup yang sejahtera, damai dan sentosa. (Lucky Lukmansyah)
Photo: aqlislamiccenter.com
0 Komentar
Penulisan markup di komentar