Bujang Keramat Chapter 6: Excavator

22:28:00






Bujang Keramat


Chapter 6 : Excavator


Sore hari selepas sholat Ashar Boim berjalan pulang meninggalkan surau Jamik. Surau tempat dia menimba ilmu mempelajari agama dan al quran, baru mulai satu minggu belajar, belajar mengeja dan membaca huruf-huruf hijaiyah, dari alif, ba, ta, sampai ya. Boim berjalan bergegas, meninggalkan gerombolan kawan-kawan mengajinya di belakang. Peci hitam yang masih baru melekat di kepalanya, kain sarung motif kotak-kotak yang juga baru sudah tidak lagi terpasang sebagaimana semestinya, dia selempangkan di bahu, buku ikraq yang baru jasa seminggu yang lalu dibelikan oleh Rasyid, ayahnya, sekarang sudah kumal dan lusuh, karena keseringan digulung ditangan.


Boim jalan tergesa-gesa, sesekali berlari-lari kecil pulang ke rumah. Ketika sampai di rumah, membuka pintu, lalu mengucapkan salam pada ibundanya, dan langsung masuk ke bilik. Tampak di dalam bilik si ibu sedang menukar kain popok adik kecil perempuannya yang masih baru saja berusia beberapa minggu, Zulaikha namanya.


Badan masih bau amis karena keringat, Boim langsung naik ke tempat tidur, ikut nimbrung disana mengoda adik kecilnya yang imut sekali. Boim senang sekali akhirnya dia telah mendapatkan adik perempuan. Dia sayang sekali kepadanya. Karena gemes, diciumnya kening si adik yang masih sedang dipasangkan popok oleh ibunya.



“Eh, eh.... Boim, kamu kok bau begini? dari luar langsung cium adik, sana pergi mandi dulu, baru boleh cium adik” Tias menyuruh Boim supaya lekas mandi, karena memang sudah waktunya anak kecil itu mandi. Sebentar lagi ayahnya akan pulang dari kantor, pasti marah kalau Boim masih saja kumal dan bau.


Boim tidak lekas mandi, dia letakan peci, sarung dan buku mengajinya di kamar ibunya, lalu di cabut keluar dan menutup pintu rumah. Si kecil Boim belum puas bermain sore itu. Dia lari ke belakang komplek, berlari-lari kecil mendaki lereng-lereng bukit Sian, hingga akhirnya dia sampai di belakang komplek gereja.


Sebuah dozer rusak, rongsokan dan penuh karatan telah menunggu Boim dengan setia di tempatnya berdiri di sana, di belakang bangunan gereja itu, hanya beberapa puluh meter jaraknya, telah bertahun-tahun, belum juga ada orang yang mau memindahkannya dari lokasi pinggiran hutan bukit Sian itu. Suasana sangat sepi, tidak ada satupun manusia di belakang gereja waktu sore itu, dan memang tempat itu sangat jarang sekali di kunjungi orang, yang ada disana hanyalah Boim dan dozer berwarna kuning rongsokan itu, ialah sebagai kawan dalam imaginasi Boim.


Boim bergegas naik ke punggung dozer, duduk di atas bangku kemudinya yang terbuat dari bahan plastik, sudah keropos, dan tidak utuh lagi, sandarannya sudah entah kemana. Bergaya ala sang operator, Boim tersenyum bangga, sambil memegang tuas kemudi lalu menginjak pedal. Si kecil Boim seketika larut dalam dunia hayalannya, mengeluarkan suara-suara gemuru menirukan deru mesin alat berat itu sedang bekerja dari mulut kecilnya. Diam-diam terselip di hati anak kecil itu sebuah cita-cita, yaitu kalau nanti dia sudah besar, dia akan mengemudikan alat berat yang sungguhan.


Hari sudah hampir senja. Matahari sudah hampir jatuh menyentuh permungkaan laut. Boim masih saja asik bermain di atas punggung dozer, di tempat yang sangat sepi, di pingir, pintu masuk ke hutan. Suara-suara serangga pohon dari dalam hutan sudah semakin nyaring menyuruh Boim untuk pulang. Suara-suara katak yang bersemayam di dalam parit-parit dan ceruk di sekitar bukit, sudah pula bersaut-sautan, semakin lama semakin keras meminta Boim untuk kembali ke rumah.


Di rumah Tias cemas karena si bujang kecilnya belum juga pulang. Rasyid ayahnya sudah dari tadi sampai di rumah, mengomel ke istrinya karena kesal, hari sudah hampir senja Boim belum juga ada di rumah.


“Kenapa bunda biarkan dia keluyuran di luar, sudah jam setengah 6 sekarang, kemana anak itu belum juga pulang?”

“Entahlah yah, tadi bunda sudah menyuruhnya pergi mandi, waktu bunda sedang memasang popok Zulaika, tapi dia tidak mau dengar, langsung saja dia pergi dan menutup pintu”


Rasyid menjadi semakin kesal, dia tinggalkan istrinya yang masih saja sibuk mengurus putri kecilnya, Zulaika, pergi keluar mencari si bujang yang tidak kunjung jua kelihatan batang hidungnya. Ayah itu mencari anaknya di sekitar komplek, dilihatnya ada segerombolan anak-anak bermain disekitar lingkungan, tapi tidak ada Boim bersama mereka. Sudah penat kaki laki-laki itu berjalan ke sana ke mari mengitari seluruh komplek, belum juga dia dapat menjumpai putranya. Rasyid semakin cemas dan sangat jengkel, sebentar lagi mau azan Magrib, tapi dia putuskan saja kembali ke rumah.


Sampai di rumah dia temui anak bujangnya sudah ada di belakang, berdiri dengan memegang sebuah handuk, hendak akan masuk ke kamar mandi, tapi tunggu dulu, karena Tias sedang mengomeli dia dulu.


“Main kemana kamu tadi? Kenapa jam segini baru pulang? Kenapa tadi kamu tidak patuh sama bunda, bunda tadi suruh kamu pergi mandi kan?, mengapa malah lenyap ke luar”
“Boim cuma main sebentar ke tempat teman, bunda”
“Di mana?” Tias bertanya gusar kepada anaknya.
“Di komplek belakang”
“Rumah siapa?”
“Rumah Erik”
“Erik anak siapa?”
“Ndak tau nama ayahnya, tapi dia teman mengaji Boim” Boim telah berbohong kepada ibunya. Dia tidak mau mengatakan kejadian yang sebenarnya, kalau dia tadi main di tempat terlarang, tempat yang menurut cerita orang-orang di sana ada banyak hantunya. Main bersama dengan dozer di belakang gereja Santa Maria. Kalau dia berkata jujur maka Tias pasti akan langsung mencubit badannya berkali-kali sampai memar dan hijau.


“Ehem...” Rasyid gantian memarahi si anak bujang. Dengan memasang wajah sangarnya dia mendekati Boim yang sudah ciut ketakutan, sedang jongkok di dekat pintu kamar mandi “Eh Boim, sini, dengar ayah ngomong. Besok kalau ayah sudah pulang kerja, tapi ayah lihat kamu belum juga ada di rumah, maka pintu rumah akan ayah kunci, dan kamu tidak boleh masuk, tidur saja sana di luar, mengerti!” Rasyid memberikan peringatan keras kepada putranya.


“Iya ayah” Boim hanya tertunduk, tidak mau menatap wajah ayahnya. Dia takut kalau si ayah marah besar pada dirinya.
“Sudah, sana pergi mandi, habis itu kamu sholat Magrib”

Boim membalikan badan dan langsung masuk ke dalam kamar mandi, mengunci pintu kamar mandi dari dalam, lalu dia hening, senyap beberapa lama tidak bersuara di dalam kamar mandi, baru kemudian dari luar terdengar suara gemericik air diguyur.


                                                                      Xxx


Semakin lama semakin bertambah usia Boim, semakin sering pula Tias dan Rasyid marah-marah, jengkel serta pusing menghadapi perangai anak sulungnya yang tidak mau turut sama perkataan kedua orang tua itu. Ulah dan perangai boim semakin menjadi-jadi saja dan kawan-kawannya pun tambah semakin banyak pula jumlah dan ragam orangnya. Mulai dari blok A, blok B, komplek sana dan komplek sini, hingga sampai ke pasar mini ada saja teman bermainnya.


Bukit-bukit, hutan, semak-semak, parit, dermaga dan pantai adalah tempat bermain Boim bersama gerombolannya. Kalau Boim sudah pergi bermain bersama teman-temannya, maka dia akan selalu lupa waktu untuk pulang. Sering kali Tias harus turut keluar rumah untuk mencari dan menyuruh Boim supaya pulang sambil menggendong si kecil Zulaika.


Boim adalah anak yang tidak pernah bisa disiplin dengan waktu. Anak itu tidak bisa menentukan mana waktunya untuk makan, waktu untuk pergi mengaji dan waktu untuk pulang ke rumah. Semua waktu bagi Boim selalu di habiskannya dengan bermain. Contohnya saja, pernah satu kali Tias sedang memasak di dapur, tiba-tiba dia kehabisan garam, lalu di suruhnya Boim pergi membeli sebungkus garam ke pasar mini. Tempatnya tidak jauh, cuma beberapa ratus meter saja dari rumah. Tapi apa yang disuruh oleh Tias tidak pernah bisa dilakukan Boim dengan baik, selalu saja dikerjakan lambat-lambat waktu. Telah pula selesai Tias memasak, anak itu belum juga pulang membawa garam yang diperlukan. Terpaksalah Tias harus keluar rumah lagi bersama Zulaika, putri yang masih saja tetap digendongannya utnuk mencari si Boim. Ternyata setelah sampai di pasar, ditemukannya Boim sedang asik bermain kelereng di halaman surau Jamik bersama kawan-kawannya. Tias dengan jengkel dengan ulah si Boim, terpaksa harus menjewel kuping anak sulungnya itu dengan keras, kemudian menyeretnya pulang sambil merepet-merepet sepanjang jalan ke rumah.


Sekarang anak bujang kecil itu telah masuk pada usia sekolah. Boim telah diserahkan oleh ayahnya ke sebuah sekolah dasar, yaitu SD Inpres Sinaka. Gedung sekolah itu berada di seberang, yaitu di pulau Pagai Selatan. Setiap hari Boim dan anak-anak sekolah dari Sikakap harus menaiki sebuah perahu mesin tempel yang panjang, yang bisa membawa belasan penumpang anak sekolahan dari dermaga Sikakap menyeberang ke desa Sinaka.


Adalah suatu kegembiraan bagi Boim, anak yang baru saja masuk sekolah dasar. Dengan memakai pakaian seragam merah putih serba baru, sepatu baru, tas baru, lengkap dengan buku tulis, pensil, penggaris dan penghapus, pergi menjumpai guru dan teman-teman baru dari seluruh penjuru pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan, tentulah sangat menyenangkan bagi Boim. Tapi bagi Boim sendiri yang paling menyenangkan menurutnya adalah bisa pergi dan pulang sekolah naik perahu mesin setiap hari bolak-balik dari Sikakap ke Sinaka. Boim sejatinya adalah seorang anak yang sangat mencintai suasana laut. Laut bagi Boim adalah tempat bermain dan berenang sambil menangkap ikan-ikan kecil. Kalau anak kecil itu telah sedang di atas perahu, dia akan memilih untuk berdiri saja di haluan, merasakan kuatnya angin laut yang membawa butir-butir air asin menghempas wajahnya sabil dia berpegangan kuat pada tiang kanopi perahu. Sungguh suatu perangai yang sangat membahayakan bagi dirinya, dan juga sangat membuat jengkel si tukang perahu. Sering kali Boim diperingatkan oleh sang kenek perahu, supaya dia bisa duduk tenang saja di dalam bersama anak-anak yang lain. Tapi tidak pernah Boim mau turut kata orang itu, tetap saja dia melakukan hal yang menurutnya itu sangat menyenangkan, dan dia tidak pernah mau tau bahwa perbuatannya itu bakal dapat mencelakakan dirinya sendiri.


Sebaliknya, Tias dan Rasyid tidak pernah merasakan tenang. Apalagi Tias, selalu dalam keadaan was-was dan cemas setiap kali Boim pergi sekolah. Selalu tepat pada waktu dan jamnya anak-anak pulang sekolah, Tias, sang ibu sudah berdiri di dermaga bersama putri kecilnya menunggui Boim di sana, si anak bujangnya kembali dari seberang. Dengan perut kembung kempis dan dada sesak, Tias melihat dari kejauhan, di tengah laut itu ada perahu yang membawa anaknya pulang sedang melaju kencang melawan kuatnya gelombang ombak laut Sikakap yang ganas. Si Boim malah dengan tenang, santai bergaya bak seorang mualim berdiri di haluan perahu.


Setelah perahu itu selamat sampai di tepi dermaga, adalah Boim orang yang pertama langsung meloncat dari perahu naik ke atas dermaga. Langsung, tidaklah berapa lama, pas Boim baru saja mendarat di hadapan ibunya, maka mendarat pulalah satu buah cubitan melintir dari tangan sang ibu ke perut Boim. Itulah hadiah atas kelakuannya tadi yang sangat padat membahayakan keselamatan dan jiwanya. “Ondeh nak kaduang.... Mati waang nanti nak.... mati... mati tenggelam di laut itu, lalu kau dimakan oleh hiu” Dengan sangat-sangat kesal, Tias melampiaskan kekesalannya keperut si Boim.


“Kenapalah kau Boim, tidak kah waang punya telinga untuk mendengar? susah sekali bunda bicara dengan kau, sudah berkali-kali bunda peringatkan, jangan berdiri di haluan perahu, tetap saja tidak mau dengar, apa kau sudah tuli?”


Boim hanya diam saja, tidak suka dimarahi begitu. Dia merintih menahan perih cubitan di perutnya, dan lantas berlari sekuat tenaga pulang ke rumah meninggalkan bunda bersama si kecil Zulaika di dermaga.
                                                                          Xxx


Pernah suatu ketika pihak perusahaan tempat Rasyid bekerja mengadakan acara 17 Agustus-an, untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Acara itu diselenggarakan di tempat area parkiran kendaran operasional perusahaan, sebuah area yang sangat luas dan lapang, yaitu berada di puncak bukit Siyai. Itulah hari besar, hari libur nasional, hari yang istimewa, semua orang di Sikakap berbondong-bondong untuk pergi ke Bukit Siyai. Sebagian orang ada yang pergi dengan menumpang bus karyawan, dan sebagian ada yang memilih untuk berdesak-desakan dan berhimpitan di dalam bak truk yang terbuka. Juga termasuk Rasyid bersama keluarganya ikut menyaksikan meriahnya pesta perayaan hari kemerdekaan republik Indonesia di tempat itu.


Banyak macam kegiatan perlombaan diselenggarakan pada hari itu. Semua orang, bapak-bapak, ibu-ibu dan juga anak-anak boleh ikut serta dalam setiap perlombaan, tentunya pada segmen masing-masing yang sesuai untuk mereka. Ada segmen balap karung untuk kelas bapak-bapak, ada segmen tarik tambang untuk ibu-ibu dan juga ada lomba panjat pinang untuk anak-anak.


Rasyid sedang menggendong Zulaikha waktu itu, putri kecilnya yang telah berusia satu tahun memakai topi di kepalanya supaya terlindung dari panas, ikut di dalam kerumunan banyak orang menonton jalannya kegiatan perlombaan. Sedangkan Tias sibuk mengawasi anak bujang yang sangat aktif berkeliaran di sekitar lokasi acara.


Ditengah teriknya sengatan matahari siang dan hiruk pikuknya suara penonton yang meneriakan yel-yel kepada para perserta lomba yang sedang berpacu di arena, Tias harus tetap dekat bersama Boim, fokus memperhatikan gerak-gerik anak itu. Kalau saja Tias lengah sedikit, maka anak itu pasti ngelayap entah kemana.


Boim memang lain dari anak-anak pada umumnya. Sebagian kawan-kawan Boim tampak pada siang yang ramai itu ada yang ikut serta dalam perlombaan pacu karung untuk kelas anak-anak. Tapi Boim tidak tampak tertarik pada acara yang sedang berlangsung. Perhatian Boim selalu saja tertuju pada satu tempat, yaitu kepada barisan kendaraan alat berat yang sedang terparkir rapi di salah satu sudut area lahan yang luas itu. Tias sangat tau sekali tentang apa yang selalu di minati anak bujangnya itu. Boim mulai mencari akal dan alasan supaya dia bisa lepas dari pengawalan ibunya dan lari ke tempat barisan kendaraan alat berat yang sedang tidak beroperasi itu.


“Bunda.... Minta uang, Boim mau belanja” Sebuah modus biasa yang sedang dilancarkannya kepada sang ibu. Sedangkan ibunya tau sekali akan watak dan akal-akalan anaknya.
“Baiklah nak, Boim mau beli apa sekarang?”
“Mau beli itu, buah potong”
“Baiklah, mana tukang jual buahnya?”
“Disana, agak jauh, di bawah pohon itu” Boim menunjuk ke sebuah tempat yang ada pohon rindangnya, dan memang ada banyak orang-orang berjualan makanan di tempat itu.
“Ayo kita kesana”
“Tidak, bunda kasi saja uangnya, biar Boim yang pergi beli sendiri”
“O tidak boleh, nanti susah bunda cari Boim”
“Boim tidak kemana-mana, sebentar nya, nanti balik lagi kesini”
“Apa salahnya kalau mau menemani Boim beli buah?”


Boim tidak bisa jawab pertanyaan ibunya, lantas dia diam saja sambil menonton acara perlombaan yang sangat membosankan sekali menurutnya.


Tidak berapa lama kemudian.


“Bunda kita pindah yuk, di sini panas sekali” Sekali lagi Boim melancarkan siasatnya supaya dia bisa berada lebih dekat lagi memperhatikan barisan alat berat itu.
“Baiklah nak, kemana kita?”
“Kesana, ke bawah pohon itu”
“Itu kan jauh, mana bisa kita menonton lomba dari situ”
“Pokoknya Boim mau ke situ, tidak mau disini, panas bunda” Boim mulai merengek-rengek mengeluh dengan alasan kepanasan.


Memang panas sekali siang itu di sekitar arena perlombaan. Tias pun jadi ikut tergoda untuk duduk berteduh santai di bawah pohon yang di tunjuk oleh anaknya tadi.


“Baiklah... Baiklah, jangan rewel, ayo kita ke situ”


Akhirnya Tias menuruti keinginan si anak. Mereka berdua berjalan beberapa puluh meter ke tempat berdirinya sebuah pohon rindang. Ternyata lokasi tempat tumbuhnya pohon itu sudah hampir dekatdengan sebuah excavator yang sedang parkir bersama kendaraan alat berat lainnya di situ.


Telah sampai mereka berdua di bawah pohon itu, perhatian mata Boim tidak juga lepas dari kumpulan kendaraan raksasa berwarna kuning yang sangat menarik untuk diperhatikan. Tias tentunya sangat paham sekali kalau anaknya Boim sangat-sangat ingin sekali, mendekati dan menyentuh kendaraan tersebut. Memang sejak dari kecil Boim sudah biasa dengan mainan alat berat mini yang sangat digemarinya, dan dimainkannya bersama kawan-kawan sekitar rumah di tanah yang berpasir. Tapi sekarang si Boim benar-benar melihat dengan mata kepalanya sendiri, dari tempat itu, di bawah pohon, terlihat olehnya ada banyak, dan beragam macam jenis alat berat, dengan bentuk yang berbeda-beda.


“Wah.... Tengok itu bunda.... Banyak traktor di sana” Waktu itu Boim hanya punya satu kata untuk menyebut tentang alat berat, yaitu traktor.
“Mana.... O iya.... Banyaknya...” Padahal Tias sudah tau dari tadi bahwa disana ada deretan kendaraan sedang parkir.
“Bunda... Bunda... apa nama traktor yang tangannya panjang itu”
“Itu namanya, excavator”
“Apa bunda?”
“Eks ka va tor” Tias terpaksa harus mengeja pelan-pelan supaya anaknya tau dan padat mengulangi bentuk kata baru itu.
“Eks ka va tor.... Iya bunda?”
“Iya benar.... Pintar kamu” Tias senang sekali melihat anak laki-lakinya yang banyak akal itu cepat belajar menghafal kata-kata baru.


Boim semakin penasaran dan ingin tau lebih banyak lagi tentang “traktor”


“Kalau yang seperti capit kepiting itu apa namanya bunda?”
“O itu.... Itu namanya grapple”
“Apa bunda... Apel”
“Bukan.... Grapple, ge ra pel... Ayo coba”
“Ge ra pel.... Betul bunda?”
“iya benar”


Akhirnya dari bawah pohon yang rindang itu, dua orang ibu dan anak bujangnya sedang terlibat dalam proses belajar di luar ruangan tentang nama-nama kendaraan alat berat dan masing-masing kegunaannya. Tias menuliskan setiap kata demi suku kata di atas permungkaan tanah dengan sebuah ranting kayu yang diambilnya di sekitar tempat mereka duduk jongkok. Boim di suruh baca satu persatu suku kata dari nama-nama kendaraan yang sedang parkir berbaris rapi disana.


“Bunda... Ayo kita ke sana, Boim mau dekat dengan traktor itu”
“O jangan, tidak boleh, ada pak satpamnya yang jaga, orang nya pemarah, nanti kita di marahinya”
“Ayolah bunda..... ayo.. sebentar saja, sebentar saja nya” Boim merengek-rengek lagi seperti anak balita, menarik-narik tangan ibunya.
“Eheh malu... Tu dilihat orang, kamu sudah besar masih merengek kaya anak kecil”
“Ayolah bunda.... Sebentarnya’’
Tias kekeh tidak mau membawa Boim ke tempat parkiran. Dia diam saja walau si Boim sudah menangis, jongkok menarik-narik tangan Tias.


Tanpa terduga sdikitpun oleh Tias, akhirnya Boim berhenti menangis, anak itu langsung lari ke tempat parkir kendaraan meninggalkan ibunya sendiri yang masih duduk di bawah pohon.


Boim tidak pernah takut oleh satpam, dia lari kencang, ibunya tersengal-sengal mengejarnya di belakang. Akhirnya Boim sampai di tempat yang diinginkannya. Tangan kecilnya langsung memegang roda rantai raksa milik sebuah excavator. Seketika, tanpa menunggu, Boim langsung memanjat excavator yang sedang mati kaku tidak bergerak sama sekali. Boim memanjat sampai ke kabin mesin excavator. Kelapanya langak-longok melalui kaca jendelanya yang tebal. Melalui kaca jendela, dia melihat perangkat-perangkat cangih milik kendaraan berlengan panjang itu. Ada jok yang bagus, tuas pengerak yang masih baru terbungkus bahan karet berwarna hitam, dan ada pedal kaki yang banyak sekali, entah untuk apa kegunaannya. Apa yang di lihat Boim kali ini sangat jauh berbeda dengan dozer biasa yang setiap hari dinaikinya, berada di belakang gereja.


“Boim... Turun, ayo cepat turun” Tias berteriak-teriak di bawah menyuruh anaknya yang bandel untuk segera turun dari kendaraan besar itu. “ayo cepat turun, nanti bunda bilangin sama pak satpam, biar kamu dimarahinya”
“Iya bunda, sebentarnya”
Dari arah kerumunan orang ramai, Rasyid yang sedang menggendong putrinya berjalan tergesa ke arah Tias dan Boim, anaknya yang nakal dan masih berada di atas excavator. Tidak lama akhirnya, Boim melihat si ayah yang sedang menggendong adiknya sedang berjalan ke arah dia. Boim tau, si ayah pasti datang untuk memarahinya. Lebih baik dia turun segera, dari pada harus kena marah oleh ayahnya. Tapi hatinya sudah puas, keinginannya untuk naik ke punggung kendaraan itu sudah dipenuhinya.


“Sudah... Sudah.. Sudah puas kau memanjat? Dah.... ayo kita pulang. Tidak bisa lama-lama di sini, nanti anak ini bisa buat masalah” Rasyid yang gusar karena kelakuan anaknya, akhirnya memutuskan untuk memboyong mereka semua pulang ke rumah.


Yah, itulah kesan pertama yang begitu menggoda sekali bagi Boim untuk menyentuh dan menaiki setiap kendaraan yang baginya nampak begitu istimewa. Dan Boim adalah anak kecil yang tidak suka menyerah begitu saja kalau sekali dilarang oleh orangtuanya. Dia tetap akan melakukannya dengan berbagai macam cara dan alasan. (Lucky Lukmansyah)












































































































































Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © Simple SEO ✔