Bujang Keramat. Chp 4 : I A R (extended)

00:09:00

Bujang Keramat

Chapter 4: Ibrahim al Rasyid


Awan kelabu datang berarak-arakan, bergelantungan saban hari dari pagi sampai petang hingga malam hari, menjatuhkan rintik-rintik hujan yang disertai angin kencang dan petir sambar menyambar di langit pulau Pagai Utara. Sudah tiba di awal Juli 1980, semestinya waktu itu masih dalam suasana musim kemarau yang panjang hingga akan berakhir di bulan Oktober yang akan datang. Namun kejadian tidak lazim sekarang sedang terjadi di pulau Pagai. Sejak berakhirnya bulan Juni hingga masuk ke Juli, sudah hampir satu minggu lamanya hujan deras belum juga henti-hentinya mendera pulau terpencil itu. Dewa hujan yang bernaung di atas langit pulau itu menurunkan hujan sekehendak hatinya saja. Kadang hujan turun deras menghujam ke bumi Pagai, ke tanah pulau itu yang kontur alamnya berbukit-bukit, jalan mendaki dan menurun, berlereng, berlembah dan dikelilingi oleh pantai dan lautan. Air hujan yang turun deras bisa menghanyutkan, mengikis pasir, keriki-kerikil dan debu di atas jalanan dan permungkaan tanah yang menurun, sehingga tampak cukaman tanah dalam yang warna aslinya kuning kemerah-merahan. Di daerah landai, di dataran rendah sekitar pantai Sikakap telah dipenuhi oleh endapan lumpur kuning becek yang disertai dengan sampah plastik, sampah dari rumah-rumah penduduk, dedaunan dan ranting-rangting pohonan yang hanyut terbawa oleh air yang deras mengalir dari pucak dan lereng-lereng bukit yang mengelilingi desa kecil itu.


Para penduduk di Sikakap sudah sangat mengeluh karena debit curah air hujan yang turun di bulan itu sangat tinggi. Apalagi bagi penduduk yang tinggal berada di dataran rendah, terutama bagi warga yang fondasi bangunan rumahnya hampi sama rendahnya dengan jalan, ditambah lagi apabila air laut sedang pasang, maka air mudah saja masuk ke dalam perumahan mereka, menggenangi seluruh ruangan sekaligus menghanyutkan perabotan rumah tangga mereka hingga hanyut ke laut.


Pada suatu tengah malam yang dingin. Pada hari Minggu dini hari, minggu pertama Juli 1980, hujan deras belum juga berhenti sejak dari Sabtu senja hari kemarin. Di dalam sebuah ruangan, rumah bersalin Santa Maria, disamping gereja Khatolik, yang berada di lereng bukit Sian, sebuah gugusan bukit kecil yang berada di sebelah barat, di belakang hamparan pemukiman rumah penduduk, komplek perumahan karyawan PT. Mentawai Land, telah lahir seorang anak manusia, seorang anak laki-laki dari pasangan suami istri, tuan Rasyid dan nyonya Tias. Akhirnya anak yang telah lama ditunggu-tunggu oleh ke dua orang itu telah lahir ke dunia dengan selamat, sehat wal afiat, tanpa kurang satu apapun, tengah malam tadi, waktu hujan deras masih mengguyur desa, tepatnya sekitar pukul 4 dini hari tadi.

Pada hari Minggu paginya, akhirnya hujan pun berhenti, awan hitam pun sirnah. Sinar matahari nan terang, cerah berwarna keemasan, perlahan-lahan mulai memantulkan sinar yang menyilaukan mata, dari ufuk timur, dari belahan pulau Sumatera yang berada jauh nun diseberang laut sana. Mentari Pagi mulai beranjak naik di atas permungkaan laut, lamat-lamat menyoroti seluruh dataran tinggi pulau Pagai, hingga ke lereng-lereng bukit kecil Sian. Di sebuah lahan terbuka, agak luas yang terdapat dilereng bukit itu, ada berdiri sebuah komplek bangunan rumah ibadah umat Katolik dan ada rumah bersalin disampingnya, tampak bercahaya dan berseri-seri karena disirami oleh sinar matahari pagi yang cerah keemasan. Sepertinya sang matahari yang baru terbit pagi itu ikut pula berbahagia kerena menyambut lahirnya seorang anak manusia, seorang anak laki-laki dari pasangan Rasyid dan Tias. Anak itu sekarang masih sedang diurus oleh seorang bidan dan dua orang suster di kamar bersalin, dan juga ada kedua orang tuanya disitu.


Masih di dalam kamar bersalin, dimana di dalam kamar itu ada bidan Christine, dia adalah seorang bidan yang hanya satu-satunya, yang mau mengabdi di pulau Pagai Utara. Dia bersama suster yang lain sedang sibuk mengurus Tias dan anak laki-lakinya yang baru lahir. Tias masih terlihat kecapean paska melahirkan semalam. Bayi merah, mungil, laki-laki, baru selesai dimandikan, masih dalam bedongan diletakan oleh bidan Christine ke pangkuan Tias. Bayi mungil itu sudah mengeak-ngeak rewel sedari tadi, dia haus, sepertinya dia tidak sabar lagi ingin segera menetek air susu ibunya.


Rasyid yang dari semalam suntuk belum dapat tidur barang sekejap mata, sekarang masih terlihat kuat menahan kantuk matanya yang berat, masih menemani Tias dan putranya yang baru lahir. Suasana hati pria kurus itu sekarang sedang diliputi kebahagian. Semangat hidupnya menjadi semakin bergelora karena kehadiran makhluk kecil itu, darah dagingnya, anak yang sekarang dilihatnya sedang menetek di dada istrinya. Dialah anak, seorang mahluk manusia yang akan melanjutkan garis keturunan Rasyid kelak.


“Uda lihatlah anak kita, dia gagah, persis seperti ayahnya” Tias berkata kepada suaminya yang sedang duduk di samping ambin, masih dengan seksama memperhatikan mereka berdua, di tempat Tias sekarang sedang menyusui putra mereka. Rasa sakit dan penat yang tadi diderita Tias setelah melahirkan hilang lenyap sudah seketika itu. Anak masih dalam pangkuan Tias, Tias dengan syahdu, lembut membelai pipi putranya yang masih berumur hanya beberapa jam, masih terlihat ada guratan-guratan pembuluh darah merah, seperti benang merah, masih membayang dari balik kulit pipi bayi mungilnya yang sangat tipis, halus, dan rapuh seperti selaput.


Sang bayi tetap saja tidak mau terusik oleh sentuhan kelembutan kasih dari seorang perempuan yang telah melahirkannya. Dia malah semakin kuat melumat puting susu dari perempuan yang telah dia ketahui secara nalurinya yaitu sebagai ibu kandungnya sendiri. Ada suara cepak-cepok terdengar yang keluar dari mulut kecil si anak waktu dia mengenyot puting susu ibunya. Tangan kecil mahluk mungil itu menekan dan mencengkram kuat sebelah payudara ibunya yang bengkak, semakin membesar dari ukuran sebelumnya, itu karena terisi penuh oleh berbagai macam saripati makanan yang kemudian berubah bentuk secara kimiawi menjadi air susu yang bernilai gizi sangat tinggi.


“Uda, lihatlah, lihat, anak mu lahap sekali menyusu, tangannya kuat menekan susu saya” Tias memberitau suaminya tentang kejadian yang sedang dia rasakan pertama kali ketika sedang meneteki putranya yang baru lahir itu.


“Ha ha ha...” Rasyid tertawa gembira dan bahagia. “Ayo nak, minum yang banyak anak ku, habiskan saja air susu ibu mu” Rasyid gembira dan semakin tertarik lagi untuk melihat lebih dekat kepada mahluk lucu dan masih mungil itu. Si Rasyid yang sekarang telah menjadi seorang ayah itu antusias melihat tingkah dan polahnya putranya sedang asik bergelantungan di dada istrinya. “Minumlah yang banyak, cepat besar nak, nanti kau pasti akan jadi anak soleh. Anak yang berbakti kepada kedua orang tua mu”


“Benarkah itu uda, benarkah dia nanti akan jadi anak soleh?”
“Oh tentu, dia akan menjadi anak soleh. Dan kemudian dia akan menjadi orang besar kelak kalau dia sudah dewasa nanti. Kita akan mengasuh dia dan membesarkannya dengan penuh limpahan kasih sayang. Nanti kita menyekolahkan dia hingga setinggi-tingginya. Biar dia menjadi seorang sarjana, orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas. Kelak dia akan menjadi orang besar sama seperti Bung Hatta, Buya Hamka atau Natsir”


“Amin. Kalau begitu cita-cita uda, tentu sama dengan cita-cita saya. Segenap doa saya setiap sholat tentulah meminta keselamatan kepada Allah untuk dirinya. Sampai dia tumbuh besar kelak, dan dia nanti akan mewujudkan impian kita”
“Amin... Amin semoga Tuhan mendengar dan mengabulkan doa kita” Rasyid mengangkat kedua telapak tangan dan berdoa. Dia memohon semoga Tuhan dapat mengizinkan cita-cita mereka terwujud.


Masa berlalu dari hari ke hari, dari bulan Juli ke Agustus, dari tahun 1980 hingga tiba pula di bulan Juli tahun1981. Dari yang dulunya Rasyid dan istrinya masih hidup berdua saja, sekarang mereka telah jadi bertiga. Dulunya ia adalah seorang bayi mungil nan merah masih terbungkus dalam bedongan, sekarang telah tumbuh menjadi seorang anak batita, seorang anak yang telah memakai celana, baru bisa ngesot, bisa duduk dan belajar merangkak, ialah Ibrahim al Rasyid namanya. Itulah sebuah nama yang agung, gagah dan berwibawa menurut orang tuanya. Nama itu dilekatkan oleh ayahnya, Rasyid kepada putranya ketika si anak itu telah baru berusia satu minggu. Nama itupun diperoleh oleh Rasyid setelah ia melakukan perenungan selama berbulan-bulan lamanya, sejak anak itu masih usia seminggu dalam kandungan ibunya. Rasyid mencari-cari dari buku-buku bacaan, majalah, koran dan bahkan tafsir Al Quran tentang nama-nama terbaik dan mulia untuk seorang anak laki-laki.


Sayang sekali, setelah Ibrahim tumbuh sebagai seorang anak batita yang lucu dan menggemaskan, malah Tias, ibu kandungnya, yang mengasuh, merawat dan membesarkannya setiap hari, bisa-bisa saja, secara tidak sengaja atau sengaja merubah nama panggilan anaknya menjadi Boim. Awalnya Tias biasa memanggil singkatan nama anak laki-lakinya dengan sebutan Im, tapi kadang Ibrahim. Namun Tias merasa kalau menyebut Ibrahim, sepertinya kepanjangan, kalau dengan Im saja, juga terlalu tegas dan sangat pendek, dan pernah juga dicobanya memanggil dengan Iim, namun si anak tidak pernah merespon panggilan itu. Akhirnya Tias memanggil nama Boim saja kepada anaknya. Sepertinya si anak merasa senang apabila disebut dengan panggilan seperti itu, dan begitu juga dengan ayahnya, Rasyid, dia juga mau ikut-ikutan memanggil sebutan anaknya dengan panggilan serupa. Percuma sudah usahanya yang berbulan-bulan tempo dulu untuk memperoleh nama terbaik buat disandangkan pada anak laki-lakinya yang pertama, yaitu Ibrahim al Rasyid, hingga pada akhirnya anak itu harus dipanggil dengan pangilan Boim.


Segala perhatian dan kasih sayang dari orang tua dicurahkan untuk anak satu-satunya, Boim. Boim dibesarkan dan diberi makan dengan standar mutu yang tinggi, menuruti kaedah dan tuntunan merawat bayi yang dipelajari Tias dari tutornya, yaitu bidan desa, bidan Christine, lengkap pula dengan macam suntikan imunisasinya, supaya anak itu kebal dari wabah penyakit yang berkembang biak di masa itu. Beruntung sekali Tias dapat berteman akrab dengan Christine. Banyak pengetahuan yang didapatinya dari Christine. Kebetulan waktu itu bidan Christine masih tinggal di lingkungan komplek yang sama dengan Tias, jaraknya hanya beberapa rumah saja dari tempat Tias. Sehingga Tias dapat sering bertemu dengannya, dan sering pula Bidan itu mampir sebentar ke rumah Tias, sekedar melihat kondisi Boim, biasanya sore setelah pulang dari tempat kerjanya, lewat di depan kediaman Tias lalu mampir sebentar.


Lambat laun Boim tumbuh menjadi seorang anak batita yang berbadan besar, dan tinggi diatas rata-rata anak seusianya, kulit putih dan berambut pirang, mata berwarna coklat turunan dari genetik ibunya, wajah tirus menyerupai roman wajah ayahnya, selera makan tetap besar tidak berkurang dari sebelumnya. Boim bisa berjalan cepat, tertatih-tatih dari dalam rumah hingga ke halaman depan. Semakin hari Boim semakin tumbuh besar, dan Tias jadi semakin kerepotan untuk mengasuh anaknya yang baru satu-satunya itu. Dia sangat rewel, suka menangis dengan suara keras dan lantang, hingga terdengar ke satu blok tempat tinggal Tias, kalau ada kemauannya tidak dituruti, apalagi kalau dia dilarang-larang oleh Tias supaya tidak memasukan benda-benda ke mulutnya.



Tias sangat hati-hati dalam mengasuh Boim. Di pagi hari setelah ayahnya, Rasyid berangkat pergi kerja, Tias akan selalu mengunci pintu rumahnya rapat-rapat, agar Boim tidak lepas dari pengawasannya. Sambil Tias mengerjakan urusan rutinnya di dalam rumah, Boim diletakan oleh ibunya dalam sebuah kerangkeng yang terbuat dari kayu, dan Boim bisa dibiarkan main sendiri di dalamnya bersama mainan-mainan anak-anak, seperti patung mini binatang-binatangan yang terbuat dari bahan plastik, ukuran lebih besar dari mulut Boim, supaya dia tidak bisa memasukan benda itu ke dalam mulutnya.


Di Rumah Rasyid memang hobi membaca, membaca apa saja. Tapi kalau ada Boim di dekatnya, jangan harap Rasyid bisa meneruskan kesenangannya. Mudah saja Boim naik ke badan ayahnya yang kurus tinggi kerempeng itu, lalu menarik apa itu majalah atau koran yang ada di tangan Rasyid, kalau dibiarkan bisa-bisaa dirobeknya kertas-kertas itu lalu dimakannya.


Menjelang masuk ke usia dua tahun, Boim sudah bisa mengucapkan sepatah-sepatah kata. Tentunya bentuk kata pertama yang di tunggu-tunggu oleh orangtuanya adalah adalah kata ayah dan bunda. Sering Boim di ajarkan oleh Tias untuk mengeluarkan kata seperti itu dari mulutnya. “Boim mana ayah?, Boim mana bunda?” seperti itu Tias mengajarkan anaknya. Tapi Boim hanya bisa menunjuk kepada ayahnya dengan berkata “ah ah” dan menunjuk kepada ibundanya dengan suara “da da” saja. Hanya seperti itu saja, dan walaupun begitu, itu sudah sangat membahagiakan hati kedua orangtuanya. Bukan main bahagianya kedua orang tua itu melihat putra satu-satunya telah mengerti dengan bahasa dan baru mulai belajar bicara.


Sore hari, seperti biasanya, Tias dan putra kecilnya, sambil menunggu sang ayah pulang ke rumah dari tempat kerja, mereka berdua akan keluar rumah untuk pergi berbaur dengan para ibu-ibu yang sudah asik berkumpul, ngerumpi sambil memberi makan anak masing-masing di tempat biasa, di bangku panjang dan di bawah pohon akasia rimbun yang tumbuh di halaman depan rumah Tias. Seperti biasa, sutradara dalam acara ngerumpi ibu-ibu di setiap sore hari adalah selalu uniang Eri dan bu Butet, tetangga dekat kiri dan kanan rumah Tias. Mereka berdua adalah biang cerita, atau bisa dibilang biang gosip. Mereka berdualah yang bisa menentukan alur cerita, dan sebagai tokoh utama dalam cerita mereka bisa jadi siapa saja yang ada tinggal di sekitar, yang tinggal di desa Sikakap, khususnya mereka yang tinggal di komplek perumahan karyawan PT. Mentawai Land. Sementara Tias dan ibu-ibu yang lain adalah berperan sebagai figuran atau sebagai pendengar yang baik saja.


Dalam pertemuan rutin antara ibu-ibu komplek sore itu, si kecil Boim selalu akan ditampilkan oleh ibundanya dengan mempesona kepada semua orang. Karena dia telah dimandikan terlebih dahulu, dikasih bedak wangi, hingga wajah mungilnya putih semua karena bedak dan dipasangkan pakaian yang bagus. Sehingga ibu-ibu yang melihat Boim sore itu akan menjadi gemas sendiri hingga ingin sekali menggodanya, mencubit kedua pipi si kecil Boim yang tembem kemerahan. Biasanya, kalau waktu sore Tias tidak akan mau melepaskan si kecilnya bermain sendiri ditanah dengan anak-anak tetangga, anak-anak yang usia mereka lebih tua dari si Boim. Kalau dibiarkan, pasti Boim akan berlepotan dengan tanah karena kakinya jalan belum sempurna kuat dan mudah sekali terjatuh atau tersungkur, lalu kemudian Tias pasti harus ulang memandikannya lagi.


Biasanya setiap pukul 5 sore, bus karyawan yang membawa para pekerja selalu tepat waktu datang dan berhenti di depan rumah Tias. Semua anak-anak yang sedang bermain-main di halaman rumah Tias sore itu, akan segera berhamburan ke jalan, mengejar ayah-ayah mereka yang turun satu persatu dari kendaraan itu. Boim juga tau bahwa bus yang datang itu pasti menurunkan ayahnya juga, dan si kecil Boim yang belum bisa berlari setangkas anak-anak yang lain, di cuma akan menunjuk ke arah bus itu dan lalu bilang “ah ah, ah ah”, itulah sebagai kata ganti menunjuk bahwa itu ada ayahnya di dalam bus, lalu dia kembali memasukan jari-jari ke dalam mulutnya lagi.


Setiap orang ayah yang keluar satu-persatu dari bus sore itu akan pasti merasa sangat senang, karena anak-anaknya telah berhamburan menyambut kedatangan mereka dengan suka ria. Walaupun si kecil Boim belum bisa seperti anak-anak yang lain, tetap ayahnya, Rasyid juga bisa merasakan hal yang sama dengan ayah yang lain. Rasyid berjalan masuk ke halaman rumah dengan disambut lengkingan suara pekikan riang dari putranya, si kecil Boim, yang sedang digendong oleh ibundanya. Suara pekikan riang yang keluar dari mulut mungil anak itu seketika bisa melenyapkan segala keletihan yang dirasakan si ayah ketika baru sampai di rumah pada waktu itu. Langsung saja si Boim kecil mintak berpindah dari gendongan ibunya ke ayahnya. Begitulah bentuk suasana sore hari sehabis bekerja yang setiap hari terjadi di komplek itu. Suasana yang dulu pernah sangat diimpikan oleh Rasyid, dan akhirnya sekarang benar-benar telah dia dapatkan dan Rasyid tentu sangat bersyukur kepada-Nya atas karunia itu.


Pada malam hari, selepas sholat Magrib, tentulah waktunya acara makan malam Rasyid berdua dengan Tias. Sementara Boim mereka biarkan bermain saja sendiri di lantai ruang tengah, ruangan yang masih lapang dan kosong belum ada perabotan apa-apa. Sering Boim bermain di sekitar jendela kaca nako pada waktu ayah dan ibunya sedang makan malam. Dia suka membuka tabir tirai jendela lalu melihat ke halaman luar, ke pekarangan yang hanya diterangi oleh sebuah bola lampu bohlam 40 watt yang terpasang di plafon teras rumahnya. Nanti disitu dia akan bicara sendiri sambil menjilati kaca atau memukul-mukul kaca jendela itu dengan tangan ataupun mainan yang ada ditangannya. “Ba bi bu ba” tidak tahulah apa yang di sebut-sebutnya. Tapi Tias dan Rasyid tetap memperhatikan putra mereka sambil menyantap hidangan di meja makan. Selagi Boim masih kuat berdiri, belum jatuh terduduk di lantai, tentu mereka akan terus menyelesaikan acara makan malam mereka sambil berbincang-bincang tentang masalah hidup yang mereka jalani dari waktu ke waktu.


Namun, terus menerus, hingga beberapa minggu diperhatikan oleh Tias bahwa anak itu tetap saja setiap malam pada waktu yang sama akan berada di jendela dan akan melakukan hal sama pula. Lama kelamaan hal tersebut menjadi pertanyaan oleh Tias kepada suaminya. “Uda, kenapa ya, saya merasa ada yang aneh dengan kelakuan si Boim. Kenapa setiap malam dia selalu berdiri disana dan melihat keluar lewat jendela itu, lalu bicara sendiri seperti itu?”


“Biarkan saja, namanya juga anak bayi. Mungkin dia ada melihat sesuatu yang tidak tampak oleh kita sebagai orang dewasa”
“Tapi saya jadi was-was uda. Cemas kalau-kalau itu jadi kebiasaan olehnya”
“Ya sudah, masukan saja dia ke dalam kerangkeng, biar dia tidak main ke jendela lagi” Rasyid tidak berpikiran negatif waktu itu. Dia langsung memberikan solusi yang tepat kepada istrinya sambil menghabiskan nasi dan lauk yang tinggal setengah di piringnya.


Pada acara makan malam berikutnya Tias sudah memindahkan kerangkeng bayi ke dekat meja makan, dan diletakannya Boim bersama berbagai macam mainannya di dalam. Dan Tias tidak perlu kawatir karena Boim tidak akan bisa jalan lagi ke jendela. Namun hal yang terjadi tidak sesuai dengan perkiraan Tias, anak kecil itu malah menangis sejadi-jadinya. Sudah dibujuk oleh Tias dengan berbagai cara agar menarik perhatiannya, supaya berhenti menangis, tetap juga tidak berhasil, malah dia menangis semakin kencang hingga memekakan telinga kedua orang tuanya. Akhirnya Tias menyerah, dan mengeluarkan Boim dari kerangkeng kayu itu. Masih sambil menangis terisak-isak Boim kembali lagi berjalan tertatih-tatih merapat ke jendela, berdiri di balik tirai jendela, lalu melihat keluar melalui jendela kaca nako, baru disana berhenti tangisnya. “Ba bi bu ta ta ta” Boim kembali lagi bicara sendiri disitu, seperti kebiasaannya semula.


“Nah lihat lah itu uda, betulkan apa yang saya bilang kemaren, aneh”
“Ah, itu cuma perasaan kamu saja. Kamu kan tau anak itu tabiatnya keras, kalau dilarang-larang dia pasti menangis lebih keras”. Rasyid menanggapi kecemasan istrinya dengan sika biasa saja. “Jangan terlalu dipikirkan, yang penting si Boim tetap sehat, tidak pernah sakit”
“Benar juga kata uda. Tapi kita kan perlu hati-hati juga tentang hal gaib yang bisa akan menggagu anak kita”
“Hal gaib, hal gaib apa? Kamu sih terlalu banyak dengar cerita ibu-ibu itu, jangan dipercaya, itu musrik namanya. Dosa besar kalau kita percaya yang begituan”
“Saya kan cuma kasi tau uda tentang kecemasan saya. Tapi kalau uda tidak percaya ya sudah, nanti kalau pulang ke Padang biar saya cerita saja sama ayah mu, beliau lebih paham tentang hal itu”
“Ya terserah kamu”
Acara makan malam waktu itu ditutup dengan perdebatan dua orang suami istri, Rasyid dan Tias mengenai kelakuan aneh anak mereka yang disinyalir karena adanya gangguan mahluk astral yang kerap kali mengganggu anak mereka setiap malam, ketika sedang makan malam.
Beberapa bulan kemudian, kebiasaan ganjil yang biasa setiap waktu makan malam dilakukan Boim akhirnya hilang dengan sendirinya. Tias pun lega, tidak ada lagi perasaan was-was dalam hati perempuan itu tentang Boim. Si anak bujang kecil sekarang telah bisa pula ikut nimbrung di meja makan menemani kedua orang tuanya santap malam. Walaupun si Boim bukannya ikut makan, hanya sekedar membuat gaduh, belajar menyuap nasi sendiri, tapi malah nasi dan lauk berserakan dibuatnya di atas meja makan.


Ada terdapat sebuah ambin berukuran besar dan luas dengan kasur yang empuk di kamar tidur keluarga kecil itu. Sebuah tempat tidur kuat dan kokoh, karena terbuat dari jenis kayu Mahoni. Jenis kayu yang harganya mahal, biasa dipakai untuk membuat peti mati bagi orang-orang Tionghoa. Masih lapang apa bila di tiduri oleh ketiga orang itu. Biasanya Boim tidur ditengah-tengah antara kedua ibu dan ayahnya.


Biasanya sebelum ketiga orang itu terlelap, di atas tempat tidur itu adalah tempat dan waktu yang terbaik bagi Tias dan Rasyid untuk bermain-main dan bersenda gurau dengan anak si mata wayang mereka. Rasyid bisa berguling-guling dengan putranya di atas tempat tidur itu. Si kecil Boim bisa bergerak bebas lincah kesana kemari dan melompat-lompat tanpa takut cedera sedikitpun di atas kasurnya yang empuk.


Entah energi apa yang di simpan oleh anak kecil itu di dalam badannya. Sepertinya waktu 24 jam untuk bermain tidak pernah cukup untuknya. Rasyid dan Tias kewalahan untuk membuat anak itu agar bisa cepat terlelap. Sering juga sampai larut malam si Boim masih saja bersikencak, berkeliaran di kamar tidur, sementara sang ayah sejak pukul setengah sepuluh telah hilang dan tidur pulas karena kecapean. Tinggallah Tias sendiri dengan matanya yang tinggal seperempat, kepalanya mulai terkulai-kulai jatuh, harus susah payah untuk membujuk si Boim supaya bisa tidur.


Di pagi hari Boim biasa bangun lebih duluan dari pada ayah dan ibundanya. Setiap jam solat Subuh, ketika kedua Rasyid danTias terbangun dari tidur, mereka biasa mendapati Boim telah tidak di atas kasur lagi bersama mereka. Boim sudah turun sendiri dari dipan dan bermain sendiri dengan mainannya di dalam kamar. Untung saja letak grendel pasak pintu kamar yang tertutup itu berada tinggi, tidak terjangkau oleh tangan si Boim, kalau tidak tentulah dia bisa lepas keluar kamar pergi main luput dari pengawasan orang tuanya.


Adalah pada suatu malam, tengah malam buta, Rasyid terjaga dari lelapnya, karena sesak ingin kencing pergi ke kamar mandi. Rasyid sontak terkejut, karena menyadari anak yang biasa dirangkulnya sambil tidur ternyata tidak ada lagi di tempatnya. Dilihatnya ke sekeliling kamar, ternyata pintu kamar telah terbuka lebar, sementara istrinya masih larut dalam mimpi alam bawah sadarnya. Terdengar olehnya ada suara berisik dari arah dapur, suara panci yang sedang dipukul-pukul. Langsung saja Rasyid lari bergegas ke belakang, menyalakan lampu, mencari kemungkinan si Boim berada di dapur. Dan ternyata benar, Boim berada disitu, dilihatnya anak itu sedang asik bermain sendirian dengan panci dan spatula, memainkan perkakas memasak itu seperti memainkan sebuah alat musik. Bergegas Rasyid mengakat si Boim dari lantai dapur, digendongnya anak itu dan dimasukan lagi kedalam bilik tidur. Tias yang masih larut dalam alam bawah sadarnya seketika itu dibangunkan oleh suaminya. Tanpa merasa ada masalah apa-apa, Tias yang baru saja terbangun, antara sadar dan tiada, langsung kena omel pedas oleh sang suami, karena dia telah lupa memasang pasak grendel pada pintu kamar, sehingga membuat si Boim bisa keluar sendiri dari kamar tidur mereka.


Sejak kejadian tengah malam itu, Tias tidak pernah lupa lagi untuk memasang pasak grendel di pintu kamarnya sebelum tidur. Tias dan Rasyid telah pula mengetahui bahwa anak bujang kecilnya, si Boim, sudah punya kebiasaan aneh lagi. Boim suka bangun tengah malam dan lalu main sendirian, untung saja main masih dalam kamar, tidak bisa keluar, karena dia tidak bisa membuka pintu kamar, pasak pintu tak terjangkau oleh badan dan tangannya masih kecil. Beberapa kali Tias ataupun Rasyid terjaga dari tidurnya karena mendengar suara gaduh di dalam kamar yang disebabkan oleh si Boim. Anak itu sedang membuat kekacauan di towalet, tempat ibundanya biasa berdandan, mengobrak-abrik perlengkapan kosmetik ibunya, mencoreng moreng cermin towalet dengan lipstik merah, dan menaburkan bedak dan minyak kayu putih di lantai kamar. Lagi-lagi kedua orang tua itu harus begadang tengah malam, untuk membujuk si Boim supaya dapat tidur lagi. Boim senang sekali kalau Tias mau menggaruti punggungnya yang sering terasa gatal, akan terasa sangat nyaman sekali olehnya, dan tidak lama maka dia akan dapat tertidur lagi setelah digarut oleh tangan lembut ibunya. Pasti nanti pada jam sholat Subuh dia akan bangun lebih dulu dari pada ayah dan bundanya.


Selalu saja pada jam 10 pagi hingga menjelang waktu Lohor adalah waktu istirahat bagi Boim. Pada waktu itu dia akan tidur dengan sangat lelap sekali. Dia sama sekali tidak akan terusik atau terjaga sebelum waktunya dia harus bangun. Dia nanti akan bangun sendiri, lalu kemudian merengek keluar kamar mencari dimana ibundanya berada, mungkin mencari ke dapur atau ke pekarangan. Biasanya Boim minta ibunya membuatkan segelas susu untuk diminumnya siang itu.


Masuk di usia 3 tahun, si kecil Boim telah pandai bermain dengan teman-teman sebayanya, anak-anak tetangga yang tinggal berdekatan di sekitar rumahnya. Boim bisa berlari-larian bersama anak-anak itu di sekitar rumah, kadang mereka bermain tanah di halaman rumahnya, dan di halaman rumah tetangga, atau di jalan besar depan rumah.


Tidak banyak kendaraan yang lewat di jalan beraspal kasar itu, cuma sesekali waktu, biasanya yang rutin memakai jalan itu adalah bus karyawan, mobil pick up perusahaan, ada juga motor roda dua milik pribadi karyawan, tidak pula banyak, bisa di hitung dengan jari jumlahnya. Pada saat-saat tertentu ada juga macam-macam jenis alat berat, seperti tracktor, dozer, dan excavator lewat disana. Setiap kendaraan yang lewat di jalan itu biasanya berjalan dengan kecepatan minimum, karena disekitar jalan itu terdapat pemukiman yang padat, banyak orang-orang dan anak-anak yang lalu lalang di jalan.


Alat berat yang sedang jalan melewati pemukiman penduduk adalah sebuah tontonan yang mengasikan bagi Boim dan kawan-kawannya. Mereka senang sekali kalau mengetahui ada sebuah kendaraan berat, dengan ciri khas suara mesinnya yang besar terdengar keras lewat di depan rumah. Para anak-anak akan berbondong-bondong keluar rumah, untuk menonton kendaraan gagah itu sedang berjalan. Kalau anak-anak itu sedang tidak dalam pengawasan orang tua, maka mereka akan mengejar kendaraan berat itu dari belakang. Tentu saja si operator alat berat tidak mau kalau kendaraan besar itu di ikuti oleh anak-anak, maka si operator pasti akan membunyikan suara klatson yang keras untuk mengusir mereka, atau memberitahu orang tua yang ada di sekitar tempat itu agar bisa menyuruh anak-anak kecil itu untuk balik, karena perbuatan mereka itu dapat sangat mencelakakan diri mereka.


Tias selalu awas kalau-kalau ada kendaraan besar seperti tracktor lewat di depan rumahnya. Perempuan itu pasti langsung berlari ke halaman untuk mengunci pintu pagar, supaya anaknya, dan teman-teman anaknya yang sedang bermain di dalam rumah tidak berhamburan keluar untuk mengejar dan membuntuti kendaraan tersebut.


Sebagai seorang ibu muda yang inten merawat dan membesarkan anaknya, yang baru satu-satunya, dengan sikap yang protective, tentu Tias sangat tidak senang dan cemas kalau putranya pergi bermain keluar rumah, luput dari pengawasannya. Selalu saja dia bilang ke anaknya bahwa kalau si Boim ingin pergi main ke rumah tetangga harus bilang dulu ke dia, mau main dengan siapa, di rumah siapa, tidak boleh main jauh-jauh, dan sebentar saja.


Meskipun Tias sudah berlaku demikian terhadap Boim, tetap saja Boim tidak mau turut dengan aturan ibundanya. Sering juga Boim, memang pada dasarnya keras kepala, pergi main jauh dari rumah, kadang-kadang sampai jauh hingga ke beberapa blok dari tempat tinggalnya, bersama kawan-kawan barunya, hingga lupa waktu untuk pulang. Kelakuan Boim yang seperti itu membuat Tias kalang kabut mencari anaknya ke mana-mana. Oleh karena itu Tias mesiasati kelakuan anaknya dengan cara membelikannya banyak mainan.


Mainan menyerupai kendaraan alat berat yang terbuat dari plastik adalah kesukaan si Boim. Dengan adanya mainan tersebut, maka Boim sudah jarang main keluar rumah untuk mencari teman-temannya. Kalau Boim ingin bermain dengan teman, Boim harus izin dulu sama bundanya. Selalu Tias bilang ke Boim bahwa dia melarang Boim main di luar rumah, biar teman-teman yang datang ke rumah, dan mainlah mereka sepuasnya dengan semua barang mainan yang ada di rumah, asal jangan ribut dan berantem.


Sejak hari itu Boim dikenal oleh anak-anak sekitar sebagai anak yang punya banyak mainan. Setiap hari ada saja anak-anak kecil bergatian datang dan pergi keluar masuk rumah Boim. Bahkan pagi hari jam 8, sudah ada gerombolan anak-anak teman sebaya Boim berdiri menunggu di depan pagar, memanggil-manggil Boim dengan cara panggilan khas anak-anak “Boim.. Boim.... Main yuk”. Mereka bukannya mau mengajak Boim untuk pergi main keluar, tetapi sebaliknya, mereka ingin masuk ke dalam rumah itu untuk membongkari semua mainan ke punyaan Boim.


Tias tidak pernah bosan melayani kelakuan teman-teman anaknya. Dengan senang hati Tias akan membukakan pintu rumahnya dan membiarkan anak-anak itu bermain di dalam rumah bersama Boim. Ibu-ibu tetangga sekitar rumah Tias pun ikut merasa aman karena anak-anak mereka berada di rumah Tias, tidak keluyuran lagi ke mana-mana, sehingga mudah mereka temui untuk disuruh pulang.



Dalam pergaulan sehari-hari bersama kawan-kawan mainnya, Boim selalu diajarkan sikap baik oleh ibunya. Boim tidak boleh menyakiti teman, Boim harus berbagi dengan teman, apa itu makanan ataupun mainan tetap harus berbagi dengan teman. Kalau Boim makan harus sebut bismilah dulu sebelum makan. Boim dilarang untuk berkata-kata kotor kepada teman, kadang-kadang ada juga kawan sebaya Boim datang ke rumah membawa sebuah kosakata baru, kata-kata kotor yang mereka masih kecil tidak pernah tau apa arti kata itu sesungguhnya, dan diucap oleh Boim. Kalau terdengar dan nampak oleh Tias maka perempuan itu akan langsung menjentik mulut Boim di depan teman-temannya, sebagai peringatan keras kepada mereka bahwa itu adalah kosakata yang tidak baik, tidak boleh diucapkan. Dan anak-anak yang lain akan kena semprot oleh Tias, lalu kemudian akan dilaporkan Tias kepada orang tua mereka masing-masing. Begitulah cara sederhana Tias menanamkan pendidikan usia dini terhadap anaknya Boim.


Semakin bertambahnya usia Boim, semakin bertambah pula perangai dan kelakuan anak kecil itu. Di usianya yang ke 4 tahun Boim sudah mulai lagi bermain keluar rumah, dan sudah mulai tidak menyentuh mainannya lagi, dibiarkannya saja tersusun rapi di dalam lemari pajangan. Dulunya Boim cuma hanya bisa bermain di sekitar lingkungan rumah dan tetangga, tapi sekarang sudah tidak lagi. Dia dan kawanannya bisa pergi main jauh dari lingkup komplek perumahan tempat tinggal mereka. Sekarang Boim teman-temannya sudah mulai main di pantai, dekat dermaga Sikakap, “belajar berenang di laut”, begitu dengan bangga dia katakan kepada ibunya. Membuat darah ibunya berdesir mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut anaknya.


Kalau tidak main di pantai, maka Boim dan kawan-kawannya pergi main jauh hingga ke belakang gereja Santa Maria, gereja yang berada di lereng bukit Sian. Gerombolan anak-anak itu sering main disana, karena disana ada terdapat sebuah rongsokan dozer yang tidak beroperasi lagi. Disana mereka main, memanjat, naik turun dari kendaraan usang tersebut, pura-puranya mereka bergaya seperti para pengemudi alat berat yang sering mereka tonton kendaraan seperti itu lewat di depan rumah mereka.


Informasi tentang tempat kegemaran si Boim dan kawan-kawannya main di belakang bangunan rumah ibadah itu diketahui Tias dari salah seorang suster yang pernah melihat mereka naik memanjat rongsokan kendaraan alat berat itu. Si suster itu sendiri dan para biarawati lainya jadi cemas, dan sudah pula menegur, atau melarang gerombolan anak-anak itu supaya tidak main lagi ke tempat itu, karena di belakang tempat itu sudah tidak ada pemukiman penduduk lagi, cuma hutan belantara. Takut mereka kalau anak-anak itu akan masuk ke hutan dan akan tersesat, sehingga tidak bisa pulang lagi ke rumah.


Karena mengetahui cerita tadi dari si suster, maka Tias menjadi kesal dan geram karena mengetahui ulah anaknya yang bandel dan tidak mau turut kata orang tua. Dengan bergegas Tias menemui tetangganya, uniang Eri, karena salah seorang anaknya adalah teman akrab si Boim, Tias minta uniang Eri untuk sama-sama dengannya pergi menjemput anak-anak bandel itu ke tempat mereka yang sedang asik bermain di belakang gereja Santa Maria. Dengan susah payah Tias bersama uniang Eri berjalan meniti jalan setapak dan mendaki jalan yang melereng menuju ketempat itu. Ketika dua orang perempuan rumah tangga itu telah sampai di lokasi tempat anak-anak mereka asik bermain, tampak oleh mereka segerombolan anak-anak yang sedang asik berjingkrakan di atas punggung dozer rusak tersebut, dilihatnya si Boim anaknya bersama si Roni anak uniang Eri sedang asik duduk menjuntai kaki di atas lengan dorong dozer itu yang berbentuk seperti mulut raksasa, dan memang sedang pada posisi terangkat ke atas.


Langsung saja Tias secara spontan dengan wajah beringas menghardik si Boim, “Boim, turun, ke sini kau”. Boim terkejut karena melihat kehadiran bundanya yang begitu saja ada di tempat itu, sedang menampakan wajah sangar di depannya, sehingga dia menjadi ciut. Dengan wajah kecut Boim turun dari dozer menuruti perintah perempuan yang telah melahirkannya itu. Tidak obahnya Uniang Eri kepada si Roni, persis seperti apa yang sedang dilakukan Tias kepada anaknya.


Dengan nada suara lunglai Boim mendekati bundanya “Iya bunda ada apa?”.


Tias marah sambil mempelototi muka anaknya. “Sudah berkali-kali bunda bilang kamu tidak boleh main jauh-jauh dari rumah tetap saja tidak mau patuh dengan bunda”


“Tidak jauh nya bunda, kan dekat cuma, tu nampak dari sini rumah kita”
“Apa kata mu, kamu bilang dekat. Dasar anak bandel. Mintak di jewel kuping kau rupanya, ayo pulang”


Langsung saja Tias melayangkan tangan kanannya ke sebelah kuping anak nya, lalu menarik kuping itu dan menggiring anaknya pulang. Sementara uniang Eri menyemprot anaknya dengan lagak yang serupa, kemudian memarahi anak-anak yang lain dan menyuruh mereka supaya ikut pulang ke rumah mereka masing-masing. Para suster pengurus gereja keluar semuanya, pergi ke belakang ramai-ramai untuk menonton keributan yang sedang terjadi antara para orang tua dengan anak-anak mereka yang bandel.
Sore harinya, di depan rumah Tias, di bawah pokok pohon akasia, pohon yang semakin hari semakin tinggi dan semakin rindang, para ibu-ibu komplek berkumpul disitu seperti biasanya, ngerumpi. Para perempuan yang sudah beranak pinak itu berkumpul disana, bercerita, dan mengeluhkan kenakalan anak-anak mereka satu sama lain.


Di sore hari nan cerah itu, mencuatlah sebuah cerita yang menyeramkan mengenai lokasi tempat bermain anak-anak mereka tadi siang. Yang memulai cerita adalah bu Butet. Kata perempuan itu disana adalah tempat angker dan ada banyak hantunya, tidak ada orang yang mau pergi kesana. Di tempat itu sudah pernah ada beberapa orang penebang hutan hilang dan tidak ditemukan lagi jejak mereka sampai sekarang. Alat-alat berat tidak pernah bisa beroperasi di tempat itu, selalu saja rusak, walaupun pihak perusahaan sudah berkali-kali memperbaikinya.


Menurut cerita dari masyarakat Sikakap, orang-orang yang sudah lama sekali menetap di desa, yang mereka tuturkan dari mulut ke mulut sampai sekarang, bahwa dulu sekitar 30 tahun yang lalu ada terjadi suatu peristiwa mengerikan di tempat itu, tepat di tempat berdirinya dozer rongsokan itu sekarang.


Satu keluarga Sikerei pernah dibantai oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Mayat-mayat anggota keluarga Sikerei, dia, istri dan anak-anaknya, mereka dibiarkan saja tergeletak bersimbah darah dan bergelimpangan di tanah, hingga pada akhirnya mayat-mayat itu membusuk dan tinggal tulang-benulang saja.


Waktu itu tidak ada orang yang mau mengurus dan menguburkan jenazah keluarga Sikerei yang malang. Antara masing-masing keluarga pribumi asli pulau ini tinggal sangatlah berjauh-jauhan, butuh waktu berhari-hari jalan kaki di tengah hutan supaya bisa mereka mengunjungi keluarga yang lain. Jadi mereka tidak mengetahui adanya kejadian naas itu menimpa saudara mereka. Ada juga beberapa keluarga yang bukan pribumi, yang baru menetap di daerah pinggiran pantai Sikakap pada waktu itu, mereka sangat mengetahui persis kejadian naas yang telah menimpa keluarga Sikerei. Namun sayang sekali, dengan berbagai alasan mereka tidak mau mengurus mayat-mayat keluarga naas itu. Ada sebagian orang yang mengaku takut kalau mengurus mayat yang bersimbah darah. Ada juga sebagian orang yang bilang kalau mereka tidak mau mengurus mayat orang yang tidak beragama, dan macam-macam lagi alasan mereka, yang intinya mereka tidak mau turun tangan mengurus jenazah keluarga malang itu.


Lambat laun sisa perumaan tempat tinggal keluarga Sikerei yang malang itu tinggal hanya puing-puing saja. Tanah sekitarnya perumaan yang memang sangat subur, dengan cepat telah kembali menumbuhkan pepohon-pohon dan semak belukar di atasnya, sehingga tempat itu kembali menjadi hutan belantara. Dan warga yang tinggal di desa Sikakap, di desa yang semakin hari semakin ramai karena ditempati oleh para pendatang yang mencoba mengadu nasib mereka di pulau ini, tetap tidak ada yang mau atau berani melewati jalan setapak di dekat bekas perumaan Sikerei yang terdapat di lereng bukit Sian itu, “sangat angker dan menyeramkan” begitu kata mereka. (Lucky Lukmansyah)

Photo: www.areabumil.com





































































































































































































































Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © Simple SEO ✔