#1. Pulang
Sudah tradisi di Minangkabau kalau pemuda yang belum menikah tidak tidur di rumah orang tua, alias tidur di luar rumah. Biasanya para pemuda yang samo gadang (sebaya) tidur di surau, atau di palanta (kedai).
Setelah Magrib selesai biasa Ali pergi ke rumah Amak, ibu kandungnya, untuk menengok keadaan Amak, adik-adik dan rumah barang sebentar. Keluarga Ali tinggal di sebuah rumah gadang, dekat dengan lapangan sepak bola, si sebuah kampung yang berada dekat dengan aliran sungai Gunung Nago, Kuranji. Di sebelah kanan rumah gadang orang tua Ali ada terdapat jalan bebatuan yang jadi pembatas antara rumah gadang dengan rumpun bambu yang sangat rimbun. Jalan berbatu itu melintas dari jalan aspal menuju ke lapangan bola kaki. Jalan itu juga sebagai jalan satu-satunya yang ditempuh orang menuju ke rumah-rumah yang berada di sekitar lapangan bola kaki, juga sebagai akses untuk ke sawah atau pun ke bukit bagi orang yang berparak dan mencari kayu bakar disana.
Rumah gadang orang tua Ali bukanlah seperti rumah gadang atau rumah adat Minangkabau yang megah dengan banyak ragam corak dan ukiran pada dinding rumah seperti yang kita kenal. Namun rumah itu tetap memiliki ciri dan persamaan seperti yang telah tersirat dalam peribahasa dan pepatah-petitih orang Minangkabau:
Rumah gadang itu terdiri dari janjang (tangga), langkan, ruang tengah, bilik (kamar tidur) dan lain-lain. Dengan konstruksi yang demikian maka terbentuk pulalah beberapa kelengkapan rumah gadang, antara lain ada namanya paran, ada yang namanya sujuk, bandu, tarali, kandang, pagu dan yang lain-lain. Semuanya itu diperkokoh dengan tonggak, lantai, dinding dan atap atau biasa disebut parabuang.
“Assalammu’alaikum” Ali mengucapkan salam setelah menaiki anak tangga rumah gadang. Sehelai kain sarung di pundak dan kopiah medan di kepala, Ali berjalan mendekati dua daun pintu rumah gadang. Tidak terdengar suara dari dalam rumah, mungkin Amak menjawab salam dari dalam hati saja.
Perlahan Ali mendorong dua daun pintu. Pintu tidak terkunci, hanya tertutup rapat saja. Ali masuk ke dalam rumah, di lantai ruang tengah tampak Amak sedang duduk diatas lapik. Perempuan tua itu seperti biasa setiap hari selalu sibuk dengan pekerjaannya menganyam lapik pandan yang belum selesai. Begitulah pekerjaan Amak, setiap hari dia harus mengajam satu buah lapik pandan. Biasanya sekali seminggu ada toke yang menjemput lapik-lapik pandan yang telah selesai dikerjakan oleh Amak, dan Amak mendapatkan upah dari pekerjaannya itu.
“Bak cando manganyam lapik pandan, alah dianyam mako diduduk'i kudian” itulah sebuah ungkapan kiasan dari orang Minangkabau. Seperti anyaman yang sudah terjalin maka harus duduki orang. Artinya sederhana saja, yaitu mengerjakan sesuatu hal dengan susah payah tapi kemudian malah dilupakan begitu saja. Maka pantaslah kiasan ini dilekatkan untuk orang-orang yang menuntut ilmu, kepada orang-orang yang telah bertahun-tahun belajar tapi tidak mempergunakan ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh demi kebaikan diri mereka sendiri.
Sambil berlalu Ali menoleh kepada Amak. Kopiah digantungnya pada paku yang tertancap di dinding, sarung dihampaikan pada tali yang terbentang diantara tonggak rumah gadang. Ali sudah merasa lapar, dia berjalan menuju ke kabak nasi (lemari makanan), kabak nasi yang terbuat dari kayu, telah lusuh karena dimakan waktu. Seperti biasa Amak telah menyediakan makan anak-anaknya di dalam kabak itu. Pintu kabak itu tidak dikunci seperti lemari pada umumnya, hanya diantara daun pintu kabak ada terdapat kayu kecil yang bisa diputar sebagai kuncinya, kayu itu di paku longgar di bagian atas pintu kabak.
Langka rupanya di zaman sekarang ini. Seperti yang dilihat Ali di dalam kabak nasi. Nasi sudah diletakan dalam beberapa piring, lengkap pula dengan lauk dan sambalnya, persis seperti hidangan di ampera, rumah makan Padang. Hanya saja hidangan itu berada di dalam kabak dengan porsi ala kadarnya. Tidak bisa minta tambah lagi kalau perut belum kenyang, karena setiap piring makan sudah dijatah untuk setiap orang di rumah.
Lauk dan pauk yang tersedia hanya sederhana saja. Kadang-kadang Ali makan hanya dengan cabe giling ditambah dengan ikan kering panggang, sayurnya dengan daun pucuk perancih (singkong rebus). Kalau Amak ada rejeki, anak-anak Amak dapat makan lumayan enak, bisa makan dengan telur, kentang atau jengkol. Begitulah mampunya Amak membuatkan makan untuk anak-anaknya.
Telah cukup lama dan terbiasa Ali menghadapi keadaan seperti ini. Itu karena sekarang keluarga Ali tidak lagi dilindungi oleh seorang ayah. Ayah Ali telah lama meninggal, enam tahun yang lalu. Dan lagi pula lima tahun sebelum ayahnya meninggal, sang ayah jarang pula ada di rumah. Ayah Ali dulu adalah seorang sopir angkutan tambang jauh, sering ke Jambi, ke Medan dan bahkan sampai ke pulau Jawa juga.
Tidak banyak Ali tahu tentang pekerjaan ayahnya. Apa jenis kendaraannya, apakah bus atau truk?. Kemana dia pergi? Atau kapan dia pulang? Ali tidak begitu tahu banyak, yang dia tahu hanyalah ayahnya adalah seorang sopir.
Tidak banyak masa yang dilalui Ali bersama ayah. Yang teringat oleh Ali terakhir dia besama ayah tahun 1981. Itulah masa kanak-kanaknya yang membutuhkan belaian kasih seorang ayah. Meskipun dalam saat menangis, tersenyum, tertawa, bermain, makan, mandi bahkan menjelang tidur pun akan terasa nikmat jika dielus dan dibelai dengan telapak tangan ayah yang begitu dirasa lembut bagai sebuah paureh (ramuan mujarab) di kala badan sedang panas demam. Belaian yang mampu menghilangkan duka, sakit, pilu sedih bahkan sakratul maut pun akan terasa damai bila ada dalam pelukan seorang ayah. Seakan-akan Tuhan menggambarkan surga jika bisa bersama ayah sepanjang masa.
Tapi apa mau dikata. Ayah tidak lagi bersamanya, bahkan adik bungsu Ali sama sekali tidak dapatkan belaian sang ayah. Pada waktu ayah pergi lima tahun sebelum beliau meninggal, si bungsu masih dalam kandungan. Hingga si bungsu lahir pun tidak juga dapat dia berjumpa ayah. Si bungsu telah lahir ke dunia tanpa disambut oleh ayah. Yang ada hanya pelukan cinta kasih sayang seorang ibu. Ibu yang telah berjuang meregang nyawa demi melahirkan si bungsu ke dunia.
Si bungsu kemudian tumbuh dan dibesarkan dengan kasih sayang Amak seorang saja. Amak tetap riang mengasuhnya walau sang suami tiada pernah lagi berada disamping.
Lambat laun si bungsu tumbuh menjadi kanak-kanak. Bibir mungilnya sama sekali tidak pernah menyebutkan kata “ayah”. Mungkin dia tidak tahu apa itu “ayah”. Nanti kalau dia sudah besar baru dia dapat mengetahui apa “ayah” sesungguhnya. Dan dia akan bertanya dimana ayahnya berada.
Setelah lima tahun lamanya menunggu kedatangan ayah, akhirnya datang jua sebuah berita. Ternyata bukan ayah yang pulang ke rumah, melainkan sorang keponakan beliau yang datang ke rumah, anak laki-laki sebaya dengan Ali, si Buyung panggilannya. Buyung datang ke rumah gadang menemui Amak. Buyung berkata kepada Amak “Mak Uniang alah pulang Mintuo”. Amak terkejut. Seribu perasaan menyelimuti seluruh relung tubuh Amak. Langsung Amak ingat kepada anak-anaknya. Dimana Ali? Dimana si Bungsu dan yang lainnya? Andai saja anak-anak perihal kabar kepulangan ayahnya setelah lima tahun berlalu, bermacam-macam pikiran dan ingatan akan datang mengganggu. Semua keadaan, umur dan masa yang telah dilalui Ali dan saudara-saudaranya tidak akan sama seperti lima tahun yang silam, semua telah berubah.
Belum bertanya Amak bagaimana keadaan ayah dari anak-anaknya, apalagi keadaan seorang suami yang sudah lama tidak bersamanya. Amak terus diguncang pikirannya sendiri. Perlahan bibir Amak tergagap gemetar. Seperti mau berkata, tapi terguncang batin dan jiwanya. Ada rasa hancur yang sangat dalam. Ada seribu kata yang tak mampu untuk diucapkan. Belum sempat Amak berkata apa-apa, air mata sudah tidak terbendung jatuh. Lapik pandan sebagai alas tempat duduk Amak pun telah pula basah karena tetesan air mata Amak.
“Ka maa Ali mintuo?” Tiba-tiba Buyung bertanya. Mak tersadar, ternyata air mata sudah terlanjur berjatuhan. Penderitaan yang dirasa Amak bertahun apakah mungkin selesai dengan tetesan air mata. Apakah mungkin rasa sakit itu akan reda dengan disiram air mata saja. Apak mungkin air mata Amak mampu menghapuskan kedukaan Amak yang telah bersatu padu di badannya, sudah pula menjadi santapannya, menjadi pakaian baginya sepanjang waktu.
Dengan segala kekuatan dan kesabaran yang masih tersisa, tidak pula sepenuhnya bisa di andalakan. Dengan lirih sekali Amak menjawab “Ali alun pulang mangaji lai”.
Segera Buyung permisi kepada Amak. Buyung tinggalkan Amak sendirian di rumah gadang. Dia berlari-lari kecil menuju ke surau dimana Ali sedang mengaji.
Buyung dan Ali baru berusia 12 tahun. Mereka masih sangat belia. Sebagai hubungan keluarga anak pisang dan bako mereka berdua akrab bersahabat.
Memang Buyung menujumpai Ali di surau. Kemudian Buyung dan Ali meninggalkan surau setelah meminta izin kepada guru terlebih dahulu. Guru mengaji juga senang, senyum sambil terharu mendengarkan kabar baik yang telah disampaikan oleh Buyung kepadanya. Tak jauh dengan apa yang dirasakan Amak, guru mengaji juga seorang wanita, sahabat Amak, dia tahu banyak tentang keadaan Amak dan terutama dengan anak-anak Amak. Tanpa dia sadari air matanya jatuh berlinang membasahi di sudut pipinya. “Oh Ali... Sampai kapankah Ali?”
Entah paham, entah tidak Ali pada kalimat pendek yang disamapikan oleh ibu guru mengaji tadi. Yang Ali tahu hanyalah si Ayah telah pulang. Bergegas Ali menjenguk Amak di rumah. Minta izin rupanya terlebih dahulu kepada Amak sebelum berangkat ke rumah bako.
Sudah tradisi di Minangkabau kalau pemuda yang belum menikah tidak tidur di rumah orang tua, alias tidur di luar rumah. Biasanya para pemuda yang samo gadang (sebaya) tidur di surau, atau di palanta (kedai).
Setelah Magrib selesai biasa Ali pergi ke rumah Amak, ibu kandungnya, untuk menengok keadaan Amak, adik-adik dan rumah barang sebentar. Keluarga Ali tinggal di sebuah rumah gadang, dekat dengan lapangan sepak bola, si sebuah kampung yang berada dekat dengan aliran sungai Gunung Nago, Kuranji. Di sebelah kanan rumah gadang orang tua Ali ada terdapat jalan bebatuan yang jadi pembatas antara rumah gadang dengan rumpun bambu yang sangat rimbun. Jalan berbatu itu melintas dari jalan aspal menuju ke lapangan bola kaki. Jalan itu juga sebagai jalan satu-satunya yang ditempuh orang menuju ke rumah-rumah yang berada di sekitar lapangan bola kaki, juga sebagai akses untuk ke sawah atau pun ke bukit bagi orang yang berparak dan mencari kayu bakar disana.
Rumah gadang orang tua Ali bukanlah seperti rumah gadang atau rumah adat Minangkabau yang megah dengan banyak ragam corak dan ukiran pada dinding rumah seperti yang kita kenal. Namun rumah itu tetap memiliki ciri dan persamaan seperti yang telah tersirat dalam peribahasa dan pepatah-petitih orang Minangkabau:
Rumah gadang itu terdiri dari janjang (tangga), langkan, ruang tengah, bilik (kamar tidur) dan lain-lain. Dengan konstruksi yang demikian maka terbentuk pulalah beberapa kelengkapan rumah gadang, antara lain ada namanya paran, ada yang namanya sujuk, bandu, tarali, kandang, pagu dan yang lain-lain. Semuanya itu diperkokoh dengan tonggak, lantai, dinding dan atap atau biasa disebut parabuang.
“Assalammu’alaikum” Ali mengucapkan salam setelah menaiki anak tangga rumah gadang. Sehelai kain sarung di pundak dan kopiah medan di kepala, Ali berjalan mendekati dua daun pintu rumah gadang. Tidak terdengar suara dari dalam rumah, mungkin Amak menjawab salam dari dalam hati saja.
Perlahan Ali mendorong dua daun pintu. Pintu tidak terkunci, hanya tertutup rapat saja. Ali masuk ke dalam rumah, di lantai ruang tengah tampak Amak sedang duduk diatas lapik. Perempuan tua itu seperti biasa setiap hari selalu sibuk dengan pekerjaannya menganyam lapik pandan yang belum selesai. Begitulah pekerjaan Amak, setiap hari dia harus mengajam satu buah lapik pandan. Biasanya sekali seminggu ada toke yang menjemput lapik-lapik pandan yang telah selesai dikerjakan oleh Amak, dan Amak mendapatkan upah dari pekerjaannya itu.
“Bak cando manganyam lapik pandan, alah dianyam mako diduduk'i kudian” itulah sebuah ungkapan kiasan dari orang Minangkabau. Seperti anyaman yang sudah terjalin maka harus duduki orang. Artinya sederhana saja, yaitu mengerjakan sesuatu hal dengan susah payah tapi kemudian malah dilupakan begitu saja. Maka pantaslah kiasan ini dilekatkan untuk orang-orang yang menuntut ilmu, kepada orang-orang yang telah bertahun-tahun belajar tapi tidak mempergunakan ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh demi kebaikan diri mereka sendiri.
Sambil berlalu Ali menoleh kepada Amak. Kopiah digantungnya pada paku yang tertancap di dinding, sarung dihampaikan pada tali yang terbentang diantara tonggak rumah gadang. Ali sudah merasa lapar, dia berjalan menuju ke kabak nasi (lemari makanan), kabak nasi yang terbuat dari kayu, telah lusuh karena dimakan waktu. Seperti biasa Amak telah menyediakan makan anak-anaknya di dalam kabak itu. Pintu kabak itu tidak dikunci seperti lemari pada umumnya, hanya diantara daun pintu kabak ada terdapat kayu kecil yang bisa diputar sebagai kuncinya, kayu itu di paku longgar di bagian atas pintu kabak.
Langka rupanya di zaman sekarang ini. Seperti yang dilihat Ali di dalam kabak nasi. Nasi sudah diletakan dalam beberapa piring, lengkap pula dengan lauk dan sambalnya, persis seperti hidangan di ampera, rumah makan Padang. Hanya saja hidangan itu berada di dalam kabak dengan porsi ala kadarnya. Tidak bisa minta tambah lagi kalau perut belum kenyang, karena setiap piring makan sudah dijatah untuk setiap orang di rumah.
Lauk dan pauk yang tersedia hanya sederhana saja. Kadang-kadang Ali makan hanya dengan cabe giling ditambah dengan ikan kering panggang, sayurnya dengan daun pucuk perancih (singkong rebus). Kalau Amak ada rejeki, anak-anak Amak dapat makan lumayan enak, bisa makan dengan telur, kentang atau jengkol. Begitulah mampunya Amak membuatkan makan untuk anak-anaknya.
Telah cukup lama dan terbiasa Ali menghadapi keadaan seperti ini. Itu karena sekarang keluarga Ali tidak lagi dilindungi oleh seorang ayah. Ayah Ali telah lama meninggal, enam tahun yang lalu. Dan lagi pula lima tahun sebelum ayahnya meninggal, sang ayah jarang pula ada di rumah. Ayah Ali dulu adalah seorang sopir angkutan tambang jauh, sering ke Jambi, ke Medan dan bahkan sampai ke pulau Jawa juga.
Tidak banyak Ali tahu tentang pekerjaan ayahnya. Apa jenis kendaraannya, apakah bus atau truk?. Kemana dia pergi? Atau kapan dia pulang? Ali tidak begitu tahu banyak, yang dia tahu hanyalah ayahnya adalah seorang sopir.
Tidak banyak masa yang dilalui Ali bersama ayah. Yang teringat oleh Ali terakhir dia besama ayah tahun 1981. Itulah masa kanak-kanaknya yang membutuhkan belaian kasih seorang ayah. Meskipun dalam saat menangis, tersenyum, tertawa, bermain, makan, mandi bahkan menjelang tidur pun akan terasa nikmat jika dielus dan dibelai dengan telapak tangan ayah yang begitu dirasa lembut bagai sebuah paureh (ramuan mujarab) di kala badan sedang panas demam. Belaian yang mampu menghilangkan duka, sakit, pilu sedih bahkan sakratul maut pun akan terasa damai bila ada dalam pelukan seorang ayah. Seakan-akan Tuhan menggambarkan surga jika bisa bersama ayah sepanjang masa.
Tapi apa mau dikata. Ayah tidak lagi bersamanya, bahkan adik bungsu Ali sama sekali tidak dapatkan belaian sang ayah. Pada waktu ayah pergi lima tahun sebelum beliau meninggal, si bungsu masih dalam kandungan. Hingga si bungsu lahir pun tidak juga dapat dia berjumpa ayah. Si bungsu telah lahir ke dunia tanpa disambut oleh ayah. Yang ada hanya pelukan cinta kasih sayang seorang ibu. Ibu yang telah berjuang meregang nyawa demi melahirkan si bungsu ke dunia.
Si bungsu kemudian tumbuh dan dibesarkan dengan kasih sayang Amak seorang saja. Amak tetap riang mengasuhnya walau sang suami tiada pernah lagi berada disamping.
Lambat laun si bungsu tumbuh menjadi kanak-kanak. Bibir mungilnya sama sekali tidak pernah menyebutkan kata “ayah”. Mungkin dia tidak tahu apa itu “ayah”. Nanti kalau dia sudah besar baru dia dapat mengetahui apa “ayah” sesungguhnya. Dan dia akan bertanya dimana ayahnya berada.
Setelah lima tahun lamanya menunggu kedatangan ayah, akhirnya datang jua sebuah berita. Ternyata bukan ayah yang pulang ke rumah, melainkan sorang keponakan beliau yang datang ke rumah, anak laki-laki sebaya dengan Ali, si Buyung panggilannya. Buyung datang ke rumah gadang menemui Amak. Buyung berkata kepada Amak “Mak Uniang alah pulang Mintuo”. Amak terkejut. Seribu perasaan menyelimuti seluruh relung tubuh Amak. Langsung Amak ingat kepada anak-anaknya. Dimana Ali? Dimana si Bungsu dan yang lainnya? Andai saja anak-anak perihal kabar kepulangan ayahnya setelah lima tahun berlalu, bermacam-macam pikiran dan ingatan akan datang mengganggu. Semua keadaan, umur dan masa yang telah dilalui Ali dan saudara-saudaranya tidak akan sama seperti lima tahun yang silam, semua telah berubah.
Belum bertanya Amak bagaimana keadaan ayah dari anak-anaknya, apalagi keadaan seorang suami yang sudah lama tidak bersamanya. Amak terus diguncang pikirannya sendiri. Perlahan bibir Amak tergagap gemetar. Seperti mau berkata, tapi terguncang batin dan jiwanya. Ada rasa hancur yang sangat dalam. Ada seribu kata yang tak mampu untuk diucapkan. Belum sempat Amak berkata apa-apa, air mata sudah tidak terbendung jatuh. Lapik pandan sebagai alas tempat duduk Amak pun telah pula basah karena tetesan air mata Amak.
“Ka maa Ali mintuo?” Tiba-tiba Buyung bertanya. Mak tersadar, ternyata air mata sudah terlanjur berjatuhan. Penderitaan yang dirasa Amak bertahun apakah mungkin selesai dengan tetesan air mata. Apakah mungkin rasa sakit itu akan reda dengan disiram air mata saja. Apak mungkin air mata Amak mampu menghapuskan kedukaan Amak yang telah bersatu padu di badannya, sudah pula menjadi santapannya, menjadi pakaian baginya sepanjang waktu.
Dengan segala kekuatan dan kesabaran yang masih tersisa, tidak pula sepenuhnya bisa di andalakan. Dengan lirih sekali Amak menjawab “Ali alun pulang mangaji lai”.
Segera Buyung permisi kepada Amak. Buyung tinggalkan Amak sendirian di rumah gadang. Dia berlari-lari kecil menuju ke surau dimana Ali sedang mengaji.
Buyung dan Ali baru berusia 12 tahun. Mereka masih sangat belia. Sebagai hubungan keluarga anak pisang dan bako mereka berdua akrab bersahabat.
Memang Buyung menujumpai Ali di surau. Kemudian Buyung dan Ali meninggalkan surau setelah meminta izin kepada guru terlebih dahulu. Guru mengaji juga senang, senyum sambil terharu mendengarkan kabar baik yang telah disampaikan oleh Buyung kepadanya. Tak jauh dengan apa yang dirasakan Amak, guru mengaji juga seorang wanita, sahabat Amak, dia tahu banyak tentang keadaan Amak dan terutama dengan anak-anak Amak. Tanpa dia sadari air matanya jatuh berlinang membasahi di sudut pipinya. “Oh Ali... Sampai kapankah Ali?”
Entah paham, entah tidak Ali pada kalimat pendek yang disamapikan oleh ibu guru mengaji tadi. Yang Ali tahu hanyalah si Ayah telah pulang. Bergegas Ali menjenguk Amak di rumah. Minta izin rupanya terlebih dahulu kepada Amak sebelum berangkat ke rumah bako.
Amak tetap saja terus menganyam lapik pandang, duduk bersimpuh di atas lantai papan rumah gadang beralaskan sehelai lapik pandan yang telah usang. Begitulah, ternyata Ali hanya menemukan expresi datar dari wajah Amak, sangat datar, seakan dia menyembunyikan perasaannya sendiri. Mungkin karena Ali masih kecil, masih kelas 6 sekolah dasar, tentu Ali belum mampu merasakan apa yang ada dalam hati dan perasaan ibu kandungnya.
“Pai lah calik abak ang” hanya itu saja, sepotong kalimat pendek dengan suara yang serak berderai terdengar oleh Ali dari bibir si Amak.
Berdua Ali dan Buyung langsung meluncur kerumah bako untuk menjenguk Ayah. Bagi Ali yang dia rasa hanyalah rasa senang dan bahagia tiba-tiba. Tapi Ali sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti. Untuk apa, untuk siapa dan dari mana munculnya rasa senang itu. Ali sama sekali tadak tahu. Tapi hanya ada satu hal, yaitu Ali senang sebentar lagi dia akan bertemu dengan si ayah yang sudah lima tahun tidak pulang ke rumah gadang ibunnya. (Elizar. S)
Sumber: elizaramar.blogspot.com
“Pai lah calik abak ang” hanya itu saja, sepotong kalimat pendek dengan suara yang serak berderai terdengar oleh Ali dari bibir si Amak.
Berdua Ali dan Buyung langsung meluncur kerumah bako untuk menjenguk Ayah. Bagi Ali yang dia rasa hanyalah rasa senang dan bahagia tiba-tiba. Tapi Ali sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti. Untuk apa, untuk siapa dan dari mana munculnya rasa senang itu. Ali sama sekali tadak tahu. Tapi hanya ada satu hal, yaitu Ali senang sebentar lagi dia akan bertemu dengan si ayah yang sudah lima tahun tidak pulang ke rumah gadang ibunnya. (Elizar. S)
Sumber: elizaramar.blogspot.com
0 Komentar
Penulisan markup di komentar