Pernah dulu, setahun yang lewat, pada acara perayaan 17 Agustus-an, Tias pernah membawa Boim ke tempat parkiran berbagai macam jenis alat berat, di wilayah areal industri PT. Mentawai Land, tempat itu berada di puncak bukit Siyai, 6 kilometer jaraknya dari tempat pemukiman warga Sikakap. Ditempat itu, Boim diperkenalkan ibundanya tentang berbagai macam bentuk dan kegunaan dari masing-masing alat berat. Itulah hari yang sangat berkesan sekali bagi si bujang itu. Dia mengingat semua bentuk dan nama alat berat, mulai dari dozer, excavator, sampai grader dan grapple.
Sejak hari semua ingatan tentang bentuk dan nama-nama alat berat itu tinggal dan terekam jelas dalam benak si bujang kecil ini. Diam-diam boim berusaha untuk pergi kembali ke tempat parkir kendaraan operasional perusaahan yang sangat luas itu. Boim tau sekali bahwa tidak mungkin dia pergi ke tempat itu sendirian, melewari jalan aspal berbatu, melalui jalan berbukit, berlembah dan hutan belantara pulau pagai yang sepi dari lalu lalang kendaraan. Cuma ada satu cara supaya dia bisa pergi dan sampai ke tempat itu. Adalah dengan menumpang bus transport karyawan PT.
Adalah seorang sopir bus yang sangat dia kenal. Dia adalah laki-laki tua berkopiah haji, pak haji Umar nama orang itu. Haji Umar memang sudah akrab dengan keluarga Boim. Dia selalu menjemput dan mengatar ayahnya, Rasyid setiap hari, pagi dan petang. Apalagi kalau Rasyid sedang lembur sampai tengah malam, pada akhir dan awal bulan, tentu pak haji Umar yang senantiasa ngantar Rasyid dan juga koleganya untuk sampai ke rumah tengah-tengah malam.
Biasanya pak haji Umar kalau dia sedang istirahat siang, tidak ada jemputan, dia akan duduk santai di sebuah warung yang berada pasar mini untuk minum kopi dan bercengkrama dengan orang-orang di warung itu, sembari memarkirkan kendaran angkutannya disamping warung. Boim mencoba menyusun sebuah siasat, supaya dia bisa mendekati pak haji Umar. Meminta orang tua itu supaya bersedia memberikan dia tumpangan untuk sampai ke kantor pusat perusahaan. Atau sekedar minta ikut dibawa raun-raun, dengan busnya keliling daerah industri di atas itu, bukit Siyai dan sekitarnya.
Dengan tekat bulat, membaja Boim melangkah tenang dan pasti, masuk keladam warung tempat haji Umar sedang minum kopi, duduk santai dengan kawan-kawannya sambil menghisap rokok di warung yang menjual goerengan itu.
“Tek, beli goreng pisang satu” pertama sekali Boim membeli sebuah goreng pisang kepada Etek yang punya warung. lalu setelah dia membayar makanan itu dia duduk tenang sambil menghabiskan goreng pisangnya. Dia pilih untuk duduk pas di sampingnya pak umar yang sedang mengobrol ngalur ngidul bersama beberapa orang bapak dan pemuda di kedai itu.
“Pak” Boim menyapa santu kepada pak Umar.
“Eh... Ada nak bujang pak Rayid rupanya” Pak umar kaget ternyata ada seorang makluk kecil sedang duduk sambil makan goreng pisang di sebelahnya. “Tidak pergi sekolah kau hari ini nak” Pak Umar melanjutkan tanyanya penasaran kepada Boim.
“Sudah pulang pak”
“Baguslah nak, mana teman-teman kau? Mengapa kau sendirian saja, biasanya kau kulihat main keliaran bersama mereka di pasar ini”
“Tidak tau” Boim meneruskan makannya menghabiskan goreng pisangnya yang masih panas, dan baru saja keluar dari pengorengan itu.
“Anak siapa itu pak haji” salah seorang pemuda bertanya tentang Boim kepada pak umar penasaran.
“Ini dia anak pak Rasyid, kasir kita di perusahaan” jawab pak Umar dengan pasti.
“Oh... Iya baru tau saya, anak pak rasyid ternyata”
“lekas lah pulang ke rumah mu nak, nanti ibu mu cemas mencari mu” Pak haji Umar mengajurkan Boim untuk pulang kembali ke rumahnya.
“Baru saja keluar pak, tadi sudah bilang sama bunda kalau saya pergi main kesini” Boim bohong kepada pak Umar, padahal dia sudah seharian sejak pagi tadi bermain di luar rumah, habis mandi di laut bersama gerombolannya. Bajunya pun sudah kering di badan, badan bau amis air laut, kulit sudah gosong karena panas matahari. Seharian dia di luar tidak ingat pulang, bahkan untuk makan siang pun dia lupa. Kal;u dia pulang ke rumahnya sekarang, tentu dia tidak akan dapat lagi main keluar, karena si ibu, Tias akan mengunci pintu rapat-rapat.
“Pak!” tegur Boim kepada pak Umar yang lagi sedang asik melanjutkan pembicaraannya dengan orang-orang di warung.
“Apa” Pak Umar kembali menoleh ke arah Boim di sebelahnya.
“Mana mobil bapak?”
“Tu di sebelah, sedang tidur dia, istirahat, kenapa kamu tanya mobil saya?”
“Mobil bapak bagus”
“Ah.. Betul itu, mobil baru, baru dibelikan orang buat saya”
“Pak”
“apa lagi”
“Boleh saya ikut sama bapak” Boim dengan sangat berani mengajukan permintaannya kepada pak Umar.
“Ikut kemana?” tanya pak Umar lagi
“Ikut raun-raun sama bapak ke atas sana”
“Ooo mana boleh anak-anak naik ke mobil itu. Dengar ya nak, itu mobil angkutan khusus karyawan PT. Anak-anak tidak boleh naik, kecuali ada orang tuanya nya menemani, mengerti”
“Iya pak” jawab Boim mengangguk tanda setuju dengan pak Umar. Sementara orang-orang di warung semua tertawa melihat dan mendengar bicara dengan berani kepada pak Umar.
“Tapi saya kan anak bapak juga” Boim mulai lagi memutar cerita, supaya maksud dan tujuannya terkabulkan oleh pak Umar.
“Kata siapa kamu anak ku. Tu anak ku sudah besar-besar, sedang pada bekerja di perusahaan sekarang”
“Bapak kan teman sama ayah saya”
“ya memang, kamu memang dekat berkawan dengan ayah mu”
“Berarti saya juga anak bapak dong”
“Wah, wah, gawat ini” pak umar mengelengkan kepala, lalu mengangkat kopiah hajinya sambil mengarut kepalanya yang sudah putih karena ubanan. “Sejak kapan aku kawin sama ibu mu nak? Bisa marah ayah mu nanti ke aku”
Semua orang di warung kopi itu gelak tawa cekikikan melihat ulah Boim dan Pak Umar yang sedang mempermainkan anak bujang itu dengan kata2.
Mengetahui Pak Umar sedang mempermainkannya, Boim memutuskan untuk diam saja dan memasang wajah cemberut dan sedih kepada semua orang di dalam warung. Sementara pak Umar, orang tua itu jadi merasa bersalah dibuatnya.
“Ayo lah pak haji, akui saja kalu dia itu anak pak haji, berdosa pak haji nanti, masuk neraka tau” celetuk si etek yang punya warung kepada pak haji Umar. Dan semua orang menertawakan pak haji itu.
Sepertinya pak haji itu di sudutkan oleh semua orang yang ada di warung, dia di paksa untuk mengatakan iya kepada Boim, seorang anak yang sedang menyatakan perasaannya kepada pak tua yang memakai kopiah haji itu.
“Baiklah... Baiklah... Kalu begitu, salah pula aku jadinya gara-gara kau, baik lah kau memang anak ku juga, anak dari si Rasyid, sahabat ku. Dah sekarang puas kau?”
“Hehehehhe” Boim akhirnya tertawa cengengesan kepada pak haji. “kalau begitu boleh saya ikut raun dengan bapak ke atas sana?” sekali lagi Boim meminta pak haji untuk membawanya serta dalam tugasnya. “ayolah pak sekali saja, sekali saja”
Pak haji Umar jadi kebingungan di desakoleh Boim. Sedangkan semua orang, kawan-kawannya di warung itu pun sepertinya memihak kepada Boim, “Ayolah pak Umar, kabulkanlah permintaan anak itu. Entah itu permintaannya yang terakhir, menyesal pak haji nanti”
“Hus... Jaga mulut kau” pak haji menegur seseorang yang mengucapkan kata terakhir tadi.
“Baiklah, ikut lah kau dengan ku. Tapi sekali saja ya”
“hehehehe” Boim senang dan gembira, akal bulusnya ternyata ampuh untuk menaklukan hati pak haji Umar.
“Kapan kita pergi pak?”
“Nanti, satu jam lagi”
“Hore” Boim senang “Makasih ya pak, bapak baik sekali”
0 Komentar
Penulisan markup di komentar