Chapter 4: Ibrahim al Rasyid
Impian untuk menjadi orang tua telah terkabul. Sekarang anak yang ditunggu-tunggu telah lahir, lahir ke dunia dengan selamat tanpa kurang satu apapun. Tengah malam tadi, sekitar pukul 3 dini hari, di rumah bersalin Santa Maria, samping gereja Khatolik yang lokasinya berada di lereng bukit Sian, Sikakap, pada awal Juli 1980.
Sinar matahari cerah berwarna keemasan, memantulkan sinarnya dari ufuk timur, menyoroti lereng-lereng bukit Sian, waktu pagi itu, di hari minggu nan cerah. Satu buah komplek ibadah dan ada rumah bersalin disampingnya, tampak berseri karena pantulan sinar surya. Sepertinya sang surya yang baru terbit pagi itu juga ikut berbahagia karena menyambut lahirnya seorang anak manusia, seorang anak laki-laki dari pasangan Rasyid dan Tias. Anak itu sekarang masih sedang di urus oleh bidan dan suster di kamar bersalin, juga ada kedua orang tuanya disitu.
Masih di dalam kamar bersalin, disana ada bidan Christine, dia adalah seorang bidan yang hanya satu-satunya, yang mau mengabdidi pulau Pagai. Dia bersama suster yang lain sedang sibuk mengurus Tias dan anak laki-lakinya yang baru lahir. Tias masih kecapean paska melahirkan semalam. Bayi merah, mungil, laki-laki, masih dalam bedongan diletakan bidan Christine ke pangkuan Tias. Bayi mungil itu sudah mengeak rewel dari tadi, haus, sepertinya dia tidak sabar lagi ingin segera menetek air susu ibunya.
Rasyid yang dari semalam belum tidur barang sekejap mata, sekarang masih terlihat kuat menahan kantuknya, masih menemani Tias dan putranya yang baru lahir. Suasana hati pria kurus itu sekarang sedang diliputi kebahagian. Semangat hidupnya menjadi semakin bergelora karena kehadiran makhluk kecil, darah dagingnya yang sekarang dilihatnya sedang menetek di dada istrinya.
“Uda lihatlah anak kita, dia gagah, persis seperti ayahnya” Tias berkata kepada suaminya yang sedang duduk di samping dipan, masih dengan seksama memperhatikan mereka berdua, di tempat Tias sekarang sedang menyusui putra mereka. Rasa sakit dan penat yang tadi diderita Tias setelah melahirkan hilang lenyap sudah seketika itu. Anak masih dalam pangkuan Tias, Tias dengan syahdu, lembut membelai pipi putranya yang masih berumur beberapa jam, masih terlihat ada guratan-guratan pembuluh darah merah, seperti benang merah kelihatan dari balik kulit pipi bayi mungilnya yang sangat tipis, tipis seperti selaput.
Sang bayi tetap saja tidak mau terusik oleh sentuhan kasih dari perempuan yang telah melahirkannya. Dia malah semakin kuat melumat puting susu ibunya, dengan suara cepak-cepok terdengar dari mulut kecilnya. Tangan kecil mahluk lucu itu bisa menekan dan mencengkram kuat sebelah payudara ibunya yang bengkak, karena terisi penuh oleh saripati makanan yang berubah bentuk menjadi air susu bernilai gizi sangat tinggi.
“Uda, lihatlah, lihat, anak mu lahap sekali, tangannya kuat menekan susu saya” Tias memberitau suaminya tentang kejadian yang sedang dia rasakan sekarang.
“Hahaha... Ayo nak, minum yang banyak anak ku, habiskan saja air susu ibu mu” Rasyid gembira dan semakin tertarik lagi untuk melihat lebih dekat kepada mahluk yang lucu dan mungil itu, melihat tingkah dan polahnya sedang asik bergelantung di dada ibunya. “Minumlah yang banyak, cepat besar nak, nanti kau pasti akan jadi anak soleh. Anak yang berbakti kepada kedua orang tua mu”
“Benarkah itu uda, benarkah dia nanti akan jadi anak soleh?”
“Oh tentu, dia akan menjadi anak soleh. Dan kemudian dia akan menjadi orang besar kalau sudah dewasa nanti. Kita akan mengasuh dia dan membesarkannya dengan penuh limpahan kasih sayang, lalu kita menyekolahkannya hingga setinggi-tingginya. Kelak dia akan menjadi orang besar, seperti Bung Hatta, Buya Hamka atau Natsir”
“Amin. Kalau begitu cita-cita uda, tentu sama dengan cita-cita saya. Segenap doa saya setiap sholat tentulah untuk meminta keselamatan dari Tuhan pada dirinya. Sampai dia tumbuh besar kelak, dan dia nanti akan mewujudkan impian kita”
“Amin. Semoga Tuhan mengabulkan doa kita” Rasyid mengangkat kedua telapak tangan dan lalu berdoa. Dia memohon semoga Tuhan dapat mengizinkan cita-cita mereka terwujud.
Waktu berlalu dari hari ke hari, dari bulan Juli ke Agustus, dari tahun 1980 hingga tiba pula di bulan Juli tahun1981. Dari yang dulunya Rasyid dan istrinya masih hidup berdua saja, sekarang mereka telah jadi bertiga. Dulunya ia adalah seorang bayi mungil nan merah dalam bedongan, sekarang telah tumbuh menjadi seorang anak laki-laki batita, baru bisa duduk dan merangkak, Ibrahim al Rasyid namanya. Sebuah nama yang agung, gagah dan berwibawa. Nama itu dilekatkan oleh Rasyid kepada putranya ketika anak itu telah baru berusia satu minggu. Nama itupun diperoleh oleh Rasyid setelah dia melakukan renungan selama berbulan-bulan lamanya, dengan mencari-cari dari buku-buku bacaan dan majalah-majalah tentang nama-nama terbaik dan mulia untuk seorang anak laki-laki.
Sayang sekali, setelah Ibrahim tumbuh sebagai seorang anak batita yang lucu dan menggemaskan, malah Tias, ibu kandungnya, yang mengasuh dan merawatnya setiap hari, bisa-bisa saja, secara tidak sengaja atau sengaja merubah nama panggilan anaknya menjadi Boim. Awalnya Tias biasa memanggil singkatan nama anak laki-lakinya dengan sebutan Im, tapi kadang Ibrahim. Namun Tias merasa kalau menyebut Ibrahim, sepertinya kepanjangan, kalau dengan Im saja, juga terlalu tegas dan sangat pendek, dan pernah juga dicobanya memanggil dengan Iim, namun si anak tidak pernah merespon. Akhirnya Tias memanggil nama Boim saja kepada anaknya. Sepertinya si anak merasa senang dengan panggilan seperti itu, dan begitu juga dengan ayahnya, Rasyid juga mau ikut-ikutan memanggil sebutan anaknya dengan panggilan serupa. Percuma sudah usahanya yang berbulan-bulan tempo dulu untuk mencarikan nama terbaik buat disandangkan pada anak laki-lakinya yang pertama, yaitu Ibrahim al Rasyid, hingga pada akhirnya anak itu harus dipanggil dengan pangilan Boim.
Segala perhatian dan kasih sayang dari orang tua dicurahkan untuk anak satu-satunya, Boim. Boim dibesarkan dan diberi makan dengan standar mutu yang tinggi, menuruti kaedah dan tuntunan merawat bayi yang dipelajari Tias dari bidan desa, yaitu bidan Christine, lengkap pula dengan suntikan imunisasinya, supaya anak itu kebal dari wabah penyakit yang berkembang biak di masa itu. Beruntung sekali Tias dapat berteman akrab dengan Christine. Banyak pengetahuan yang didapatinya dari Christine. Kebetulan waktu itu bidan Christine masih tinggal di lingkungan komplek yang sama dengan Tias, jaraknya hanya beberapa rumah saja dari tempat Tias. Sehingga Tias dapat sering bertemu dengannya, dan sering pula Bidan itu mampir sebentar ke rumah Tias, sekedar melihat kondisi Boim, biasanya sore setelah pulang dari tempat kerjanya, lewat di depan kediaman Tias lalu mampir sebentar.
Lambat laun Boim tumbuh menjadi seorang anak batita yang berbadan besar, dan tinggi diatas rata-rata anak seusianya, kulit putih dan berambut pirang, turunan dari gen ibunya, wajah tirus menyerupai roman wajah ayahnya, selera makan tetap besar tidak berkurang dari sebelumnya. Boim bisa berjalan cepat, tertatih-tatih dari dalam rumah hingga ke halaman depan. Tias jadi kerepotan mengasuhnya. Dia rewel, suka menangis keras kalau kemauannya tidak dituruti, apalagi kalau dia dilarang-larang oleh Tias supaya tidak memasukan benda-benda ke mulutnya.
Tias sangat hati-hati dalam merawat Boim. Di pagi hari setelah Rasyid berangkat kerja, Tias akan mengunci pintu rumahnya rapat-rapat, agar Boim tidak lepas dari pengawasannya. Sambil Tias mengerjakan urusan rutinnya di rumah, Boim lalu diletakannya dalam sebuah kerangkeng yang terbuat dari kayu, dan Boim main sendiri di dalamnya bersama mainan-mainan anak-anak, seperti patung mini binatang-binatangan yang terbuat dari bahan plastik, ukuran lebih besar dari mulut Boim, supaya dia tidak bisa memasukan benda itu ke dalam mulutnya.
Di Rumah Rasyid memang hobi membaca, membaca apa saja. Tapi kalau ada Boim di dekatnya, jangan harap Rasyid bisa meneruskan hobinya. Mudah saja Boim naik ke badan ayahnya lalu menarik apa itu majalah atau koran yang ada di tangan Rasyid, kalau dibiarkan bisa dirobeknya kertas-kertas itu lalu dimakannya.
Menjelang masuk ke usia dua tahun, Boim sudah bisa mengucapkan sepatah-sepatah kata. Tentunya bentuk kata pertama yang di tunggu-tunggu oleh orangtuanya adalah adalah kata ayah dan bunda. Sering Boim di ajarkan oleh Tias untuk mengeluarkan kata seperti itu dari mulutnya. “Boim mana ayah?, Boim mana bunda?” seperti itu Tias mengajarkan anaknya. Tapi Boim hanya bisa menunjuk kepada ayahnya dengan berkata “ah ah” dan menunjuk kepada ibundanya dengan suara “da da” saja. Hanya seperti itu saja, dan walaupun begitu, itu sudah sangat membahagiakan hati kedua orangtuanya. Bukan main bahagianya kedua orang tua itu melihat putra satu-satunya telah mengerti dengan bahasa dan baru mulai belajar bicara.
Sore hari, seperti biasanya, Tias dan putra kecilnya, sambil menunggu sang ayah pulang ke rumah dari tempat kerja, mereka berdua akan keluar rumah untuk pergi berbaur dengan para ibu-ibu yang sudah asik berkumpul, ngerumpi sambil memberi makan anak masing-masing di tempat biasa, di bangku panjang dan di bawah pohon akasia rimbun yang tumbuh di halaman depan rumah Tias. Seperti biasa, sutradara dalam acara ngerumpi ibu-ibu di setiap sore hari adalah selalu uniang Eri dan bu Butet, tetangga dekat kiri dan kanan rumah Tias. Mereka berdua adalah biang cerita, atau bisa dibilang biang gosip. Mereka berdualah yang bisa menentukan alur cerita, dan sebagai tokoh utama dalam cerita mereka bisa jadi siapa saja yang ada tinggal di sekitar mereka, yang tinggal di desa Sikakap, khususnya mereka yang tinggal di komplek perumahan karyawan PT. Mentawai Land. Sementara Tias dan ibu-ibu yang lain adalah berperan sebagai figuran saja atau sebagai pendengar yang baik.
Dalam pertemuan rutin antara ibu-ibu komplek sore itu, si kecil Boim selalu akan ditampilkan oleh ibundanya dengan mempesona. Karena dia telah dimandikan terlebih dahulu, dikasih bedak wangi dan dipasangkan pakaian yang bagus. Sehingga ibu-ibu yang melihat Boim sore itu akan menjadi gemas sendiri dan ingin sekali menggoda, mencubit kedua pipi si kecil Boim yang tembem. Biasanya, kalau sore Tias tidak akan mau melepaskan si kecilnya bermain dengan kawan-kawan, anak-anak tetangga yang usia mereka lebih tua dari anaknya. Kalau dibiarkan, pasti Boim akan berlepotan dengan tanah, dan Tias harus ulang memandikannya lagi.
Pada saat bus transport karyawan datang dan berhenti di depan rumah Tias setiap sore, maka para anak-anak yang suka bermain di halaman rumah Tias akan berhamburan ke jalan, mengejar ayah-ayah mereka yang turun satu persatu dari kendaraan itu. Boim juga tau bahwa bus yang datang itu pasti menurunkan ayahnya juga, dan si kecil Boim belum bisa berlari setangkas anak-anak yang lain, di cuma akan menunjuk ke arah bus itu dan bilang “ah ah, ah ah” sebagai kata ganti menunjuk bahwa itu ada ayahnya di dalam bus itu, lalu kembali memasukan jari-jarinya ke dalam mulut.
Setiap orang ayah yang keluar dari bus sore itu pasti merasa sangat senang, karena anak-anaknya telah berhamburan menyambut kedatangan mereka dengan suka ria. Walaupun si kecil Boim belum bisa seperti anak-anak yang lain, tetap Rasyid juga bisa merasakan hal yang sama dengan mereka. Rasyid berjalan masuk ke halaman rumah dengan disambut lengkingan suara pekikan riang dari putranya, si kecil Boim, yang sedang digendong oleh ibundanya. Begitulah suasana sore sehabis bekerja yang dulu pernah diimpikan oleh Rasyid, dan sekarang benar-benar telah dia dapatkan.
Pada malam hari, selepas sholat Magrib, tentulah waktunya acara makan malam Rasyid berdua dengan Tias. Sementara Boim mereka biarkan bermain sendiri di lantai. Sering Boim bermain di sekitar jendela kaca nako pada waktu ayah ibunya sedang makan malam. Dia suka membuka tabir tirai jendela lalu melihat ke halaman luar. Nanti disitu dia akan bicara sendiri, “ba bi bu ba” tidak tahulah apa yang di sebutnya. Tapi Tias dan Rasyid tetap memperhatikannya sambil menyantap hidangan di meja makan. Selagi Boim masih kuat berdiri, belum jatuh terduduk di lantai, tentu mereka akan terus menyelesaikan acara makan malamnya.
Namun, terus menerus diperhatikan oleh Tias bahwa anak itu tetap saja setiap malam pada waktu yang sama akan berada di jendela dan akan melakukan hal sama. Lama kelamaan hal tersebut menjadi pertanyaan oleh Tias kepada suaminya. “Uda, kenapa ya, saya merasa ada yang aneh dengan si Boim. Kenapa setiap malam dia selalu melihat keluar lewat jendela itu, lalu bicara sendiri seperti itu?”
“Biarkan saja, namanya juga anak bayi. Mungkin dia ada melihat sesuatu yang tidak tampak oleh kita sebagai orang dewasa”
“Tapi saya jadi was-was uda. Cemas kalau-kalau itu jadi kebiasaan olehnya”
“Ya sudah, masukan saja dia ke kerangkeng, biar dia tidak main ke jendela lagi” Rasyid tidak berpikiran negatif waktu itu. Dia langsung memberikan solusi yang tepat kepada istrinya.
Pada acara makan malam berikutnya Tias sudah memindahkan kerangkeng bayi ke dekat meja makan, dan diletakannya Boim bersama berbagai macam mainannya di dalam. Dan Tias tidak perlu kawatir karena Boim tidak akan bisa jalan lagi ke jendela. Namun hal yang terjadi tidak sesuai dengan perkiraan Tias, anak kecil itu malah menangis sejadi-jadinya. Sudah dibujuk oleh Tias dengan berbagai cara agar menarik perhatiannya, supaya berhenti menangis, tetap juga tidak berhasil, malah dia menangis semakin kencang. Akhirnya Tias menyerah, dan mengeluarkan Boim dari kerangkengnya. Masih menangis terisak-isak Boim kembali lagi berjalan tertatih ke jendela, lalu melihat keluar melalui jendela kaca nako, baru disana berhenti tangisnya. “Ba bi bu tatata” Boim kembali lagi bicara sendiri disitu, seperti kebiasaannya semula.
“Nah lihat lah itu uda, betulkan apa yang saya bilang kemaren, aneh”
“Ah, itu cuma perasaan kamu saja. Kamu kan tau anak itu tabiatnya keras, kalau dilarang-larang dia menangis lebih keras”. Rasyid menanggapi kecemasan istrinya dengan biasa dan santai. “Jangan terlalu di pikirkan, yang penting si Boim tetap sehat, tidak pernah sakit”
“Benar juga kata uda. Tapi kita kan perlu hati-hati juga tentang hal gaib yang bisa akan menggagu anak kita”
“Hal gaib, hal gaib apa? Kamu sih terlalu banyak dengar cerita ibu-ibu itu, jangan dipercaya, itu musrik namanya. Dosa besar kalau kita percaya yang begituan”
“Saya kan cuma kasi tau uda tentang kecemasan saya. Tapi kalau uda tidak percaya ya sudah, nanti kalau pulang ke Padang biar saya cerita saja sama ayah mu, beliau lebih paham tentang hal itu”
“Ya terserah kamu”
Acara makan malam waktu itu ditutup dengan perdebatan dua orang suami istri, Rasyid dan Tias mengenai kelakuan aneh anak mereka yang disinyalir karena adanya gangguan mahluk astral yang selalu mengganggunya setiap malam.
Impian untuk menjadi orang tua telah terkabul. Sekarang anak yang ditunggu-tunggu telah lahir, lahir ke dunia dengan selamat tanpa kurang satu apapun. Tengah malam tadi, sekitar pukul 3 dini hari, di rumah bersalin Santa Maria, samping gereja Khatolik yang lokasinya berada di lereng bukit Sian, Sikakap, pada awal Juli 1980.
Sinar matahari cerah berwarna keemasan, memantulkan sinarnya dari ufuk timur, menyoroti lereng-lereng bukit Sian, waktu pagi itu, di hari minggu nan cerah. Satu buah komplek ibadah dan ada rumah bersalin disampingnya, tampak berseri karena pantulan sinar surya. Sepertinya sang surya yang baru terbit pagi itu juga ikut berbahagia karena menyambut lahirnya seorang anak manusia, seorang anak laki-laki dari pasangan Rasyid dan Tias. Anak itu sekarang masih sedang di urus oleh bidan dan suster di kamar bersalin, juga ada kedua orang tuanya disitu.
Masih di dalam kamar bersalin, disana ada bidan Christine, dia adalah seorang bidan yang hanya satu-satunya, yang mau mengabdidi pulau Pagai. Dia bersama suster yang lain sedang sibuk mengurus Tias dan anak laki-lakinya yang baru lahir. Tias masih kecapean paska melahirkan semalam. Bayi merah, mungil, laki-laki, masih dalam bedongan diletakan bidan Christine ke pangkuan Tias. Bayi mungil itu sudah mengeak rewel dari tadi, haus, sepertinya dia tidak sabar lagi ingin segera menetek air susu ibunya.
Rasyid yang dari semalam belum tidur barang sekejap mata, sekarang masih terlihat kuat menahan kantuknya, masih menemani Tias dan putranya yang baru lahir. Suasana hati pria kurus itu sekarang sedang diliputi kebahagian. Semangat hidupnya menjadi semakin bergelora karena kehadiran makhluk kecil, darah dagingnya yang sekarang dilihatnya sedang menetek di dada istrinya.
“Uda lihatlah anak kita, dia gagah, persis seperti ayahnya” Tias berkata kepada suaminya yang sedang duduk di samping dipan, masih dengan seksama memperhatikan mereka berdua, di tempat Tias sekarang sedang menyusui putra mereka. Rasa sakit dan penat yang tadi diderita Tias setelah melahirkan hilang lenyap sudah seketika itu. Anak masih dalam pangkuan Tias, Tias dengan syahdu, lembut membelai pipi putranya yang masih berumur beberapa jam, masih terlihat ada guratan-guratan pembuluh darah merah, seperti benang merah kelihatan dari balik kulit pipi bayi mungilnya yang sangat tipis, tipis seperti selaput.
Sang bayi tetap saja tidak mau terusik oleh sentuhan kasih dari perempuan yang telah melahirkannya. Dia malah semakin kuat melumat puting susu ibunya, dengan suara cepak-cepok terdengar dari mulut kecilnya. Tangan kecil mahluk lucu itu bisa menekan dan mencengkram kuat sebelah payudara ibunya yang bengkak, karena terisi penuh oleh saripati makanan yang berubah bentuk menjadi air susu bernilai gizi sangat tinggi.
“Uda, lihatlah, lihat, anak mu lahap sekali, tangannya kuat menekan susu saya” Tias memberitau suaminya tentang kejadian yang sedang dia rasakan sekarang.
“Hahaha... Ayo nak, minum yang banyak anak ku, habiskan saja air susu ibu mu” Rasyid gembira dan semakin tertarik lagi untuk melihat lebih dekat kepada mahluk yang lucu dan mungil itu, melihat tingkah dan polahnya sedang asik bergelantung di dada ibunya. “Minumlah yang banyak, cepat besar nak, nanti kau pasti akan jadi anak soleh. Anak yang berbakti kepada kedua orang tua mu”
“Benarkah itu uda, benarkah dia nanti akan jadi anak soleh?”
“Oh tentu, dia akan menjadi anak soleh. Dan kemudian dia akan menjadi orang besar kalau sudah dewasa nanti. Kita akan mengasuh dia dan membesarkannya dengan penuh limpahan kasih sayang, lalu kita menyekolahkannya hingga setinggi-tingginya. Kelak dia akan menjadi orang besar, seperti Bung Hatta, Buya Hamka atau Natsir”
“Amin. Kalau begitu cita-cita uda, tentu sama dengan cita-cita saya. Segenap doa saya setiap sholat tentulah untuk meminta keselamatan dari Tuhan pada dirinya. Sampai dia tumbuh besar kelak, dan dia nanti akan mewujudkan impian kita”
“Amin. Semoga Tuhan mengabulkan doa kita” Rasyid mengangkat kedua telapak tangan dan lalu berdoa. Dia memohon semoga Tuhan dapat mengizinkan cita-cita mereka terwujud.
Waktu berlalu dari hari ke hari, dari bulan Juli ke Agustus, dari tahun 1980 hingga tiba pula di bulan Juli tahun1981. Dari yang dulunya Rasyid dan istrinya masih hidup berdua saja, sekarang mereka telah jadi bertiga. Dulunya ia adalah seorang bayi mungil nan merah dalam bedongan, sekarang telah tumbuh menjadi seorang anak laki-laki batita, baru bisa duduk dan merangkak, Ibrahim al Rasyid namanya. Sebuah nama yang agung, gagah dan berwibawa. Nama itu dilekatkan oleh Rasyid kepada putranya ketika anak itu telah baru berusia satu minggu. Nama itupun diperoleh oleh Rasyid setelah dia melakukan renungan selama berbulan-bulan lamanya, dengan mencari-cari dari buku-buku bacaan dan majalah-majalah tentang nama-nama terbaik dan mulia untuk seorang anak laki-laki.
Sayang sekali, setelah Ibrahim tumbuh sebagai seorang anak batita yang lucu dan menggemaskan, malah Tias, ibu kandungnya, yang mengasuh dan merawatnya setiap hari, bisa-bisa saja, secara tidak sengaja atau sengaja merubah nama panggilan anaknya menjadi Boim. Awalnya Tias biasa memanggil singkatan nama anak laki-lakinya dengan sebutan Im, tapi kadang Ibrahim. Namun Tias merasa kalau menyebut Ibrahim, sepertinya kepanjangan, kalau dengan Im saja, juga terlalu tegas dan sangat pendek, dan pernah juga dicobanya memanggil dengan Iim, namun si anak tidak pernah merespon. Akhirnya Tias memanggil nama Boim saja kepada anaknya. Sepertinya si anak merasa senang dengan panggilan seperti itu, dan begitu juga dengan ayahnya, Rasyid juga mau ikut-ikutan memanggil sebutan anaknya dengan panggilan serupa. Percuma sudah usahanya yang berbulan-bulan tempo dulu untuk mencarikan nama terbaik buat disandangkan pada anak laki-lakinya yang pertama, yaitu Ibrahim al Rasyid, hingga pada akhirnya anak itu harus dipanggil dengan pangilan Boim.
Segala perhatian dan kasih sayang dari orang tua dicurahkan untuk anak satu-satunya, Boim. Boim dibesarkan dan diberi makan dengan standar mutu yang tinggi, menuruti kaedah dan tuntunan merawat bayi yang dipelajari Tias dari bidan desa, yaitu bidan Christine, lengkap pula dengan suntikan imunisasinya, supaya anak itu kebal dari wabah penyakit yang berkembang biak di masa itu. Beruntung sekali Tias dapat berteman akrab dengan Christine. Banyak pengetahuan yang didapatinya dari Christine. Kebetulan waktu itu bidan Christine masih tinggal di lingkungan komplek yang sama dengan Tias, jaraknya hanya beberapa rumah saja dari tempat Tias. Sehingga Tias dapat sering bertemu dengannya, dan sering pula Bidan itu mampir sebentar ke rumah Tias, sekedar melihat kondisi Boim, biasanya sore setelah pulang dari tempat kerjanya, lewat di depan kediaman Tias lalu mampir sebentar.
Lambat laun Boim tumbuh menjadi seorang anak batita yang berbadan besar, dan tinggi diatas rata-rata anak seusianya, kulit putih dan berambut pirang, turunan dari gen ibunya, wajah tirus menyerupai roman wajah ayahnya, selera makan tetap besar tidak berkurang dari sebelumnya. Boim bisa berjalan cepat, tertatih-tatih dari dalam rumah hingga ke halaman depan. Tias jadi kerepotan mengasuhnya. Dia rewel, suka menangis keras kalau kemauannya tidak dituruti, apalagi kalau dia dilarang-larang oleh Tias supaya tidak memasukan benda-benda ke mulutnya.
Tias sangat hati-hati dalam merawat Boim. Di pagi hari setelah Rasyid berangkat kerja, Tias akan mengunci pintu rumahnya rapat-rapat, agar Boim tidak lepas dari pengawasannya. Sambil Tias mengerjakan urusan rutinnya di rumah, Boim lalu diletakannya dalam sebuah kerangkeng yang terbuat dari kayu, dan Boim main sendiri di dalamnya bersama mainan-mainan anak-anak, seperti patung mini binatang-binatangan yang terbuat dari bahan plastik, ukuran lebih besar dari mulut Boim, supaya dia tidak bisa memasukan benda itu ke dalam mulutnya.
Di Rumah Rasyid memang hobi membaca, membaca apa saja. Tapi kalau ada Boim di dekatnya, jangan harap Rasyid bisa meneruskan hobinya. Mudah saja Boim naik ke badan ayahnya lalu menarik apa itu majalah atau koran yang ada di tangan Rasyid, kalau dibiarkan bisa dirobeknya kertas-kertas itu lalu dimakannya.
Menjelang masuk ke usia dua tahun, Boim sudah bisa mengucapkan sepatah-sepatah kata. Tentunya bentuk kata pertama yang di tunggu-tunggu oleh orangtuanya adalah adalah kata ayah dan bunda. Sering Boim di ajarkan oleh Tias untuk mengeluarkan kata seperti itu dari mulutnya. “Boim mana ayah?, Boim mana bunda?” seperti itu Tias mengajarkan anaknya. Tapi Boim hanya bisa menunjuk kepada ayahnya dengan berkata “ah ah” dan menunjuk kepada ibundanya dengan suara “da da” saja. Hanya seperti itu saja, dan walaupun begitu, itu sudah sangat membahagiakan hati kedua orangtuanya. Bukan main bahagianya kedua orang tua itu melihat putra satu-satunya telah mengerti dengan bahasa dan baru mulai belajar bicara.
Sore hari, seperti biasanya, Tias dan putra kecilnya, sambil menunggu sang ayah pulang ke rumah dari tempat kerja, mereka berdua akan keluar rumah untuk pergi berbaur dengan para ibu-ibu yang sudah asik berkumpul, ngerumpi sambil memberi makan anak masing-masing di tempat biasa, di bangku panjang dan di bawah pohon akasia rimbun yang tumbuh di halaman depan rumah Tias. Seperti biasa, sutradara dalam acara ngerumpi ibu-ibu di setiap sore hari adalah selalu uniang Eri dan bu Butet, tetangga dekat kiri dan kanan rumah Tias. Mereka berdua adalah biang cerita, atau bisa dibilang biang gosip. Mereka berdualah yang bisa menentukan alur cerita, dan sebagai tokoh utama dalam cerita mereka bisa jadi siapa saja yang ada tinggal di sekitar mereka, yang tinggal di desa Sikakap, khususnya mereka yang tinggal di komplek perumahan karyawan PT. Mentawai Land. Sementara Tias dan ibu-ibu yang lain adalah berperan sebagai figuran saja atau sebagai pendengar yang baik.
Dalam pertemuan rutin antara ibu-ibu komplek sore itu, si kecil Boim selalu akan ditampilkan oleh ibundanya dengan mempesona. Karena dia telah dimandikan terlebih dahulu, dikasih bedak wangi dan dipasangkan pakaian yang bagus. Sehingga ibu-ibu yang melihat Boim sore itu akan menjadi gemas sendiri dan ingin sekali menggoda, mencubit kedua pipi si kecil Boim yang tembem. Biasanya, kalau sore Tias tidak akan mau melepaskan si kecilnya bermain dengan kawan-kawan, anak-anak tetangga yang usia mereka lebih tua dari anaknya. Kalau dibiarkan, pasti Boim akan berlepotan dengan tanah, dan Tias harus ulang memandikannya lagi.
Pada saat bus transport karyawan datang dan berhenti di depan rumah Tias setiap sore, maka para anak-anak yang suka bermain di halaman rumah Tias akan berhamburan ke jalan, mengejar ayah-ayah mereka yang turun satu persatu dari kendaraan itu. Boim juga tau bahwa bus yang datang itu pasti menurunkan ayahnya juga, dan si kecil Boim belum bisa berlari setangkas anak-anak yang lain, di cuma akan menunjuk ke arah bus itu dan bilang “ah ah, ah ah” sebagai kata ganti menunjuk bahwa itu ada ayahnya di dalam bus itu, lalu kembali memasukan jari-jarinya ke dalam mulut.
Setiap orang ayah yang keluar dari bus sore itu pasti merasa sangat senang, karena anak-anaknya telah berhamburan menyambut kedatangan mereka dengan suka ria. Walaupun si kecil Boim belum bisa seperti anak-anak yang lain, tetap Rasyid juga bisa merasakan hal yang sama dengan mereka. Rasyid berjalan masuk ke halaman rumah dengan disambut lengkingan suara pekikan riang dari putranya, si kecil Boim, yang sedang digendong oleh ibundanya. Begitulah suasana sore sehabis bekerja yang dulu pernah diimpikan oleh Rasyid, dan sekarang benar-benar telah dia dapatkan.
Pada malam hari, selepas sholat Magrib, tentulah waktunya acara makan malam Rasyid berdua dengan Tias. Sementara Boim mereka biarkan bermain sendiri di lantai. Sering Boim bermain di sekitar jendela kaca nako pada waktu ayah ibunya sedang makan malam. Dia suka membuka tabir tirai jendela lalu melihat ke halaman luar. Nanti disitu dia akan bicara sendiri, “ba bi bu ba” tidak tahulah apa yang di sebutnya. Tapi Tias dan Rasyid tetap memperhatikannya sambil menyantap hidangan di meja makan. Selagi Boim masih kuat berdiri, belum jatuh terduduk di lantai, tentu mereka akan terus menyelesaikan acara makan malamnya.
Namun, terus menerus diperhatikan oleh Tias bahwa anak itu tetap saja setiap malam pada waktu yang sama akan berada di jendela dan akan melakukan hal sama. Lama kelamaan hal tersebut menjadi pertanyaan oleh Tias kepada suaminya. “Uda, kenapa ya, saya merasa ada yang aneh dengan si Boim. Kenapa setiap malam dia selalu melihat keluar lewat jendela itu, lalu bicara sendiri seperti itu?”
“Biarkan saja, namanya juga anak bayi. Mungkin dia ada melihat sesuatu yang tidak tampak oleh kita sebagai orang dewasa”
“Tapi saya jadi was-was uda. Cemas kalau-kalau itu jadi kebiasaan olehnya”
“Ya sudah, masukan saja dia ke kerangkeng, biar dia tidak main ke jendela lagi” Rasyid tidak berpikiran negatif waktu itu. Dia langsung memberikan solusi yang tepat kepada istrinya.
Pada acara makan malam berikutnya Tias sudah memindahkan kerangkeng bayi ke dekat meja makan, dan diletakannya Boim bersama berbagai macam mainannya di dalam. Dan Tias tidak perlu kawatir karena Boim tidak akan bisa jalan lagi ke jendela. Namun hal yang terjadi tidak sesuai dengan perkiraan Tias, anak kecil itu malah menangis sejadi-jadinya. Sudah dibujuk oleh Tias dengan berbagai cara agar menarik perhatiannya, supaya berhenti menangis, tetap juga tidak berhasil, malah dia menangis semakin kencang. Akhirnya Tias menyerah, dan mengeluarkan Boim dari kerangkengnya. Masih menangis terisak-isak Boim kembali lagi berjalan tertatih ke jendela, lalu melihat keluar melalui jendela kaca nako, baru disana berhenti tangisnya. “Ba bi bu tatata” Boim kembali lagi bicara sendiri disitu, seperti kebiasaannya semula.
“Nah lihat lah itu uda, betulkan apa yang saya bilang kemaren, aneh”
“Ah, itu cuma perasaan kamu saja. Kamu kan tau anak itu tabiatnya keras, kalau dilarang-larang dia menangis lebih keras”. Rasyid menanggapi kecemasan istrinya dengan biasa dan santai. “Jangan terlalu di pikirkan, yang penting si Boim tetap sehat, tidak pernah sakit”
“Benar juga kata uda. Tapi kita kan perlu hati-hati juga tentang hal gaib yang bisa akan menggagu anak kita”
“Hal gaib, hal gaib apa? Kamu sih terlalu banyak dengar cerita ibu-ibu itu, jangan dipercaya, itu musrik namanya. Dosa besar kalau kita percaya yang begituan”
“Saya kan cuma kasi tau uda tentang kecemasan saya. Tapi kalau uda tidak percaya ya sudah, nanti kalau pulang ke Padang biar saya cerita saja sama ayah mu, beliau lebih paham tentang hal itu”
“Ya terserah kamu”
Acara makan malam waktu itu ditutup dengan perdebatan dua orang suami istri, Rasyid dan Tias mengenai kelakuan aneh anak mereka yang disinyalir karena adanya gangguan mahluk astral yang selalu mengganggunya setiap malam.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar