Cerita Orang Padang. Seperti Anjing Kurap

17:04:00

Cerita Orang Padang


“Seperti Anjing Kurap”

Aku sekarang sedang terkulai lemah di atas sebuah ambin. Sepertinya aku sedang berada di dalam sebuah bangsal rumah sakit. Aku tidak bisa menggerakan tanganku yang sebelah kanan, tangan ini sedang terikat oleh sebuah kain perban elastis berwarna coklat, kini menempel erat di depan dada dan tidak bisa lepas sebab ada kain perban yang menahannya di leher ku. Lutut kaki sebelah kanan ku terasa sangat sakit dan pedih sekali. Terdapat balutan perban putih yang melingkar pada lutut ku ini.

Aku lihat anak ku si Dafa, tak obahnya seperti aku. Dia sedang terbaring di ambin tepat di sebelah ku. Dia meringsis menahan rasa sakit di sekujur badannya. Terlihat sepertinya ada si Yanti sedang berdiri disampingnya, adik bungsunya yang masih kelas 6 SD, sedang mengulurkan sebuah pipet dari botol air mineral kemulutnya. Kondisi badan Dafa kelihatan lebih parah dari aku. Kepalanya terbalut oleh kain perban putih yang terdapat bercak-bercak kuning karena rembesan cairan rivanol, obat pembasuh luka. Tangan kanannya persis seperti apa yang sedang aku alami sekarang. Lebih buruk lagi kondisi kaki sebelah kanannya, sekarang sedang terbungkus oleh adonan semen putih dengan posisi terjulur dan terangkat keatas oleh sebuah batang besi penyangga yang berada di ujung ambinnya itu.

Istri ku Nani, sekarang berada di tengah antara ambin aku dan Dafa. Nani duduk di atas sebuah bangku kayu. Dia sedang termenung menghadap ke arah ku dengan sorot mata yang kosong. Aura suram sedang menyelubungi rawut wajahnya. Terlihat pada pelipis mata Nani yang bengkak. Mungkin dari tadi dia telah banyak menangis.

Aku coba merubah posisi badan agar bisa duduk. “Nani, tolong” suara ku yang serak langsung saja membuat Nani kembali sadar akan dirinya. “Tolong, minum” Aku merasa sangat haus sekali. Cepat-cepat Nani meraih sebuah botol minuman yang terdapat di atas towalet yang berada di sampingnya, lalu dia berdiri dan memapah punggung ku ini, membantu aku agar dapat merasakan kesegaran air yang akan membasahi tenggorokan ku. Entahlah, rasanya tenggorakan ku ini terasa panas sekali sehingga membuat suara ku jadi parau. Entah berapa lama aku telah terkapar di atas tempat tidur ini dan belum minum air.

Raut wajah Nani mulai nampak terang kembali. Mungkin dia lega melihat aku dapat bangkit lagi dari pingsan yang entah berapa lama. “Uda kembalilah berbaring, istirahat saja lah” begitu saran istri ku setelah dia memberi ku air minum. Ternyata tali infus masih menempel di lengan kiri ku dengan jarumnya yang menancap ke dalam kulit.

“Apa yang telah terjadi Nan?” tanya ku kepada Nani.

“Uda dan si Dafa telah di tabrak orang”

“Kapan?”

“Kemaren siang, waktu uda di gonceng oleh si Dafa ketika pulang dari sholat Jum’at”

“bagaimana keadaan anak kita?”

“Untunglah dia selamat, tapi keadaannya lebih parah, kaki dan tangannya patah, kepalanya terbentur dan ada luka sobek”

Aku merasa ngeri mendengar cerita Nani, dan sekaligus sedih melihat kondisi anak sulung ku yang sekarang sedang terkapar di atas ranjang itu.

“Nak, bagaimana keadaan ang?” Dari atas ambin ku, dengan perasaan iba aku menatap dirinya, aku menyapa ia yang sekarang tidak berdaya dan terkapar di ranjangnya dengan sebelah kaki yang terangkat. Dia lah si Dafa, anak yang selalu aku banggakan, anak bujang yang sangat baik hati, penyayang dan rela berkorban untuk adik-adiknya.

“Baik yah” Dengan meringis Dafa mengatakan bahwa dirinya masih baik-baik saja.

“Sabar lah nak, kuatkan badan wa’ang tu”

Kemudian timbul suatu pertanyaan di benak ku. Sebuah pertanyaan yang hanya Nani yang bisa menjawabnya.

“Nan, bagaimana dengan biaya pegobatan kami? Apakah kita punya uang untuk membayar ongkos berobat disini?”

“Tenang lah uda, tidak perlu uda risaukan masalah itu, sekarang uda istirahat saja, biar uda lekas sembuh”

“Benar kita punya uang? Apakah ada tanggung jawab dari orang yang telah menabrak kami itu?”

“Iya, dia lah yang telah mengurus dan menanggung semua biaya pengobatan kalian di rumah sakit ini”

“Siapa dia? Mana orangnya?”

“Tadi pagi dia telah datang menjenguk uda, dan dia berjanji nanti malam akan datang lagi ke sini”

“Syukurlah kalau begitu”

Lega sudah perasaan ku mendegar cerita istriku tadi. Ternyata orang yang menabrak kami itu sungguh-sungguh mau bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang telah di buatnya. Namun, sungguhpun demikian, tentu masalah lain akan muncul dan mendera keluarga ku pada hari-hari berikutnya. Sekarang tangan ku telah patah, butuh waktu lama untuk menyebuhkannya. Si Dafa, kaki dan tangan juga patah. Tentu kami berdua tidak dapat lagi bekerja untuk mencari uang dan menanggung beban hidup keluarga. Aku hanyalah seorang pensiunan guru SD. Berapalah uang tunjangan pensiun ku itu yang aku terima dari bulan-kebulan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Oleh karena itulah aku harus menjadi tukang ojek di kampung ku agar aku dapat mencari tambahan uang belanja keluarga. Sekarang motor ku itu ada dimana, mungkin telah hancur dan remuk. Sementara Nani istri ku itu hanya pandai mengurus rumah tangga saja. Tidak pernah dia mencoba berjualan atau berusaha untuk sekedar menambah pendapatan keluarga. Sedangkan sekarang biaya pendidikan anak-anak ku telah semakin tinggi. Dua orang putra ku sekarang sedang kuliah di perguruan tinggi. Satu kuliah di Bandung, Universitas Padjadjara, dan yang satunya lagi di IPB, Bogor. Putri ku yang nomor empat sekarang masih di bangku SMA, sebentar lagi tentu dia akan melanjutkan pula pendidikannya ke perguruan tinggi. Tinggalah si bungsu Yanti, tahun depan dia akan melanjutkan pula sekolahnya ke SMP. Hah, sepertinya hari-hari kedepan akan jauh lebih sulit dari pada sekarang.

“Nan, jangan kau beritahu si Sam dan Ken tentang kejadian ini, takut aku nanti mereka susah pikiran karena memikirkan kita”

“Tidak uda, belum jadi aku kabari mereka perihal kejadian ini”

“Jangan, jangan pernah kau beritahu mereka. Biarkan mereka fokus menghadapi pelajarannya disana”

Malam itu, sekirat pukul 19.30. Putri ku, anak ku yang nomor empat, Dina, telah datang dengan menjinjing tas yang berisi pakaian untuk aku dan Dafa. Dia tidak sendiri saja, juga ada beberapa orang tetangga yang ikut bersamanya untuk menjenguk kami yang sedang di rawat dirumah sakit ini. Ada pak RT dan Buya, guru mengaji si Yanti di surau dekat rumah, juga ada mak Inar, tetangga sebelah rumah. Mereka memberikan rasa empati yang sangat dalam atas musibah yang sedang dialami oleh keluarga kami.

Selepas waktu Isha ketika aku sedang berbincang-bincang dengan para tamu ku yang baik hati ini, akhirnya datang juga orang yang telah menabrak ku kemaren.

“Assalamu’alaiku” terdengar suara dari luar kamar.

“Wa’alaikum salam” Semua orang di dalam kamar menjawab salamnya.

Seseorang laki-laki bertubuh gemuk, tinggi sedang, berkulit putih bersih dengan berpakaian stelan celana panjang hitam dan kemeja putih rapi dan mengenakan kupiah, masuk berjalan ke dalam kamar ku, dan menghampiri diri ku yang sedang duduk menopang punggung di kepala ambin. Tanpa memperkenalkan diri dan basa basi orang gagah itu langsung saja mengabil tangan kiri ku dan dia menciumnya.

“Maafkan anak mu ini pak, sayalah orang yang telah menabrak anda kemaren”

Sungguh aneh terasa didalam hati ku. Ada suatu perasaan janggal timbul dari dalam sanubariku yang dalam kepada laki-laki yang telah menabrak ku ini. Padahal tadi aku berencana akan membuat suatu perhitungan dengannya. Namun kenapa rencana ku tadi menjadi buyar.

Para tamu berbisik-bisik satu sama lain di belakang punggung laki-laki ini. Entah apa yang mereka bincangkan. Mungkin mereka sedang membicarakan sikap santun yang sedang dinampak kan oleh laki-laki ini.

“Pak Amir, apakah bapak tidak ingat lagi dengan saya?”

Aku tercenung melihat wajah orang ini. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Namun aku berupaya menggali semua memori di dalam otak ku. Memang tidak aku temukan satupun gambaran wajahnya di dalam memori otak ku yang sudah tua ini. Siapakah orang ini? Aku benar-benar tidak mengenalnya. Tetapi hati sanubari ku ini berkata lain, sepertinya orang ini dulu pernah ada dan mengisi suatu bagian dari masa lalu ku.

“Saya Zainal pak, anak murid bapak dulu”

Zainal, banyak murid-murid SD ku yang memiliki nama Zainal, tapi tidak ada yang memiliki roman wajah seperti dia. Dia ini berkulit putih bersih persis seperti orang Tionghoa. Mana ada murid-murid di sekolah ku dulu yang seperti orang Tionghoa. Entahlah, mungkin telah lama sekali aku meninggalkan dunia pendidikan, sehingga ada sebuah kenangan yang tercicil dalam ingatan ku.

“Biarlah pak, kalau bapak tidak ingat dengan saya tidak apa, tetapi yang namanya seorang murid tidak akan pernah melupakan kenangan tentang gurunya”

Aku merasa tersindir oleh dia. Walupun sudah tua begini, tetapi aku masih ingat siapa saja yang pernah aku ajari dulu. Karena aku tidak pikun. Otak ku masih tajam untuk mengingat kejadian-kejadian masa lalu.

“Saya adalah Zainal, saya yang dulu pernah bapak jemput ke pondok orang tua saya di dusun Sungkai. Bapak waktu ini membelikan saya sepatu baru dan satu stel seragam sekolah merah putih untuk membujuk saya agar mau kembali ke sekolah lagi”

Seperti ada sebuah lonceng kecil berdentang di dalam kepala ku. Tersirap darah ku mendengar perkataan orang ini. Benar apa kata hati ku tadi. Memang dia adalah si Zainal, anak yang paling pintar di sekolah ku waktu itu, tetapi dia anak yang sangat pemalu dan selalu merasa rendah diri.

“Astagafirullah, wa’ang rupanya Nal. Maafkan saya telah lupa dengan ang. Tetapi wa’ang tidak seperti ini seingat saya dulu”

“Haha.. Syukurlah bapak akhirnya ingat juga dengan saya. Kenapa pak? Apa yang bapak ingat?” Zainal tertawa riang kepada ku.

“Maaf”

“Tidak apa pak. Katakan saja apa adanya”

Baiklah, aku teruskan. “Ang dulu anak kecil yang jelek, pergi sekolah dengan pakayan yang tidak bersih, kumal, kaki dan tangan ang digerogoti oleh penyakit kulit”

“Hahaha” Zainal tertawa terkikik. Begitu juga dengan orang-orang yang mendengar pembicaraan kami di dalam ruangan juga tertawa geli karena ucapan ku tadi yang blak-blakan.

“Ya itulah hebatnya pak guru kita ini” Pak RT ikut mencuil pembicaran kami. “Anak yang jelek dan kumal bisa di rubah menjadi gagah di olehnya, hahaha” sambung pak RT yang sedang duduk di depan ranjang si Dafa tertawa terpingkal-pingkal mendengar obrolan kami.

Akhirnya suasana duka yang menyelubungi kamar kami telah hilang seketika itu. Orang-orang semua pada tergelak tawa dan senang melihat kami dapat mengobrol dengan akrab.

“Benar pak” Zainal menoleh menghadap ke pak RT. “Pak Amir ini dulu adalah guru yang hebat, kalau bukan dia yang telah membujuk saya untuk kembali sekolah, mungkin saya sekarang masih jadi orang ladang yang mengurus parak ibu saya di Sungkai”

“Saudara ceritakalah kepada kami disini bagaimana pak guru kita ini mendidik saudara dulu di sekolah” Buya yang dari tadi mencermati pembicaraan akhirnya juga ikut bersuara.

“Baiklah, begini ceritanya” Nani mengambilkan sebuah kursi untuk Zainal agar dia dapat duduk sambil menceritakan kejadian-kejadian waktu dia masih di bangku sekolah dasar. “ Cerita ini kejadiannya telah 35 tahun nan silam, waktu itu pak guru kita ini masih muda, ganteng pula dan masih lajang.

Saya ini dulu adalah seorang anak petani miskin, yang tinggal di parak di dusun Sungkai. Orang tua saya mungkin dulu tidak pernah bercita-cita agar saya mendapat pendidikan sekolah dasar. Yah karena hidup kami yang miskin tadi, untuk makan saja susah, apalagi untuk menyekolahkan saya. Walapun saya adalah anak satu-satunya yang masih hidup di keluarga itu. Karena iri melihat sepupu-sepupu saya yang bisa pergi ke sekolah dengan seragam merah putihnya, akhirnya saya mencoba meminta kehendak kepada ayah supaya dia juga menyekolahkan saya.

Tidak tahu bagaimana orang tua saya waktu itu bisa untuk mengatarkan saya masuk ke SD Inpres di desa Kepala Koto. Saya bahagia sekali pada waktu itu. Saya memperoleh seragam sekolah merah putih dan sepatu baru, plus sebuah pensil dan sebuah buku tulis sampul biru halus kasar. Pak Amir inilah yang pertama kali menjabati tangan saya ketika saya masuk kedalam kelas. Karena badan saya kecil pak Amir suruh saya untuk duduk di bangku paling depan. Lalu pada hari berikutnya pak Amir memindahkan tempat duduk saya di depan juga tetapi di bangku yang paling pojok bersebelahan dengan diding kelas. Mungkin saja pada waktu itu ada beberapa orang kawan yang risih kepada saya karena sedang mengalami masyalah penyakit kulit, kudisan dan koreng di tangan dan kaki saya. Ya, tidak apalah, saya masih tetap belajar dengan semangat. Apak Amir mengajarkan kami bagaimana menulis huruf dan angka, juga berhitung tambah dan kurang. Pak Amir mengajarkan kami mengeja huruf alfabeta. Saya dengan giat menyelesaikan tugas-tugas yang di suruh oleh pak guru kita ini di dalam kelas.

Setiap hari saya pergi ke sekolah dari rumah, tidak layak di sebut rumah, cocoknya sebuah gubuk, dengan berjalan kaki. Terlebih dahulu saya harus menyeberangi aliran sungai Gunung Nago nan lebar dan banyak terdapat bebatuan besar yang bertebaran di aliran sungai itu. Tentulah saya terlebih dahulu harus bertelanjang bulat, menanggalkan semua pakaian dan sepatu, lalu memasuknya kedalam kantong asoi, kantong plastik beserta buku dan pensil di dalamnya. Saya letakan kantong tersebut di atas kelapa saya supaya tidak basah ketika saya menyeberangi aliran sungai. Kalau sudah sampai di seberang baru boleh di kenakan lagi. Dari tempat tinggal saya ke sekolah ada 3 kilo jaraknya melewati pematang sawah, parak dan kebun orang. Begitulah setiap hari saya pergi ke sekolah dan pulang ke rumah selalu melewati rute yang sama, hanya itulah rute yang paling dekat di tempuh ke sekolah.

Di kelas pak Amir pernah berkata kepada kami, ‘dengan pandai membaca kalian akan memperoleh banyak ilmu, dan dengan ilmu kalian akan dapat menyelesaikan segala persoalan’. Sejak hari itu saya tekatkan di dalam hati agar saya bisa cepat pandai membaca. Memang saya berusaha giat belajar disekolah, karena hanya di sekolah saya bisa dapat belajar. Selesai sekolah saya tidak langsung begitu saja pulang kerumah, biasanya saya selalu menyelesaikan PR yang telah di berikan pak Amir terlebih dahulu di sekolah. Saya tahu kalau dirumah saya tidak dapat mengerjakannya, kerena ayah dan ibu selalu menyuruh saya membantu mereka bekerja di ladang.

Naik ke kelas 2 SD saya telah pandai membaca. Pada akhirnya membaca pun menjadi sebuah hobi bagi saya. Pak Amir dengan senang hati juga sering kali meminjamkan buku-buku bacaan dari pustaka sekolah kepada saya. Memang ayah ibu saya tidak dapat membelikan buku pelajaran untuk saya. Paling sanggup mereka mampu membelikan saya hanya buku tulis, pensil dan penghapus. Tetapi pak Amir selalu saja bersedia menyediakan semua buku pelajaran yang saya butuhkan di sekolah. Setiap pak Amir memberikan buku pelajaran kepada saya, beliau selalu berkata, “Nal kamu harus tetap jadi juara kelas”. Oleh sebab itu saya belajar dengan keras agar dapat mewujudkan keinginan beliau.

Masuk di kelas 3 SD saya masih tetap menjadi juara kelas. Namun ada suatu kejadian buruk yang menimpa diri saya pada waktu itu. Ada 3 orang anak laki-laki yang berbadan besar dan bagak pula di kelas itu. Sejak awal mereka selalu memperlakukan saya dengan kasar, sering mereka mencela dan mencaci saya. Mereka menghina saya dengan berkata bahwa saya adalah “anjing kurap”. Sangat perih hati saya mendengar hinaan yang mereka muntah kan kepada saya. Tapi saya tidak membalas. Saya hanya berdoa di hati agar suatu masa Tuhan dapat menyembuhkan penyakit lukit yang saya derita.

Pada suatu waktu, ketika jam istirahat belajar, ketiga anak laki-laki itu mengurung saya di dalam kelas bersama mereka. Karena belum juga puas hati mereka menghina saya maka mereka memberikan tindakan kekerasan kepada saya. Ketika itu mereka menyudutkan saya ke dinding kelas, mencekik leher, menekek kepala dan menampar pipi saya. Tidak hanya itu saja mereka juga memukuli kaki saya dengan kayu penggaris dan menendang kaki saya yang sudah perih karena kudis yang mengerogotinya. Sangat sakit sekali terasa di kaki saya karena tendangan mereka itu. Hingga kaki saya berdarah dan mengeluarkan nanah. Saya menangis meraung di dalam kelas. Saya meronta ingin keluar dari ruangan kelas itu. Saya berlari meraih pintu kelas, tetapi saya tidak dapat membuka pintu itu, karena ada berapa teman yang mengunci pintu kelas itu dari luar. Saya mendengar mereka itu tertawa riang di luar. Mungkin mereka senang mengetahui saya sedang dihajar habis-habisan oleh ketiga begundal itu. Saya coba sekuat tenaga mendobrak pintu kelas itu. Di saat itulah dari belakang punggung saya salah seorang dari begundal itu menarik baju seragam putih saya. Baju putih saya yang hanya satu-satunya, yang sudah lusuh dan menguning, kainnya jarang hampir disebut transparan karena keseringan dicuci, akhirnya tamat riwayatnya dengan sobekan besar sehingga tidak satupun benang yang menutupi kulit punggung saya yang telah penuh dengan biang keringat. Saya menangis, meraung dengan lebih keras lagi. Saya tidak peduli dengan badan dan kaki saya yang sakit dan berdarah karena pukulan mereka. Yang saya sangat sedihkan adalah baju seragam putih saya telah rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Saya tahu orang tua saya tidak akan sanggup menggantinya dengan yang baru. Lalu dengan apa saya dapat pergi ke sekolah lagi kalau tidak dengan baju seragam itu.

Akhirnya lonceng sekolah berbunyi lagi, tanda jam belajar di mulai kembali. Pintu kelas telah terbuka. Semua kawan-kawan disekolah tercengang melihat saya berlari keluar kelas menuju ruangan majelis guru dengan keadaan compang-camping. Ada sebagian anak yang menertawakan saya. Saya tersedu-sedu mencari pak Amir yang sedang berada di ruangan itu. Di depan pak Amir saya mengadukan perihal apa saja yang telah ketiga begundal itu perbuat kepada saya. Kemudian pak Amir menyuruh seorang guru untuk merawat saya di dalam ruangan UKS. Saya dirawat dengan baik oleh ibu guru itu, buk Ani nama beliau. Beliaulah yang telah membasuh luka di kaki saya. Dari dalam kamar perawatan UKS terdengar oleh saya suara ribut-ribut di ruangan kepala sekolah. Sepertinya pak Amir dengan suara keras sedang memarahi ketiga begundal tadi bersama bapak kepala sekolah. Setelah selesai buk Ani mengurus saya, langsung beliau mengatarkan saya memasuki ruangan kepala sekolah. Saya lihat ketiga anak badung tadi berdiri terpaku dan tidak berdaya di depan pak Amir dan kepala sekolah yang sedang memberi penataran keras terhadap mereka. ‘Sungguh jahat mereka’, berkata dalam hati saya, ‘kenapa mereka begitu tega memperlakukan saya seperti ini?’.

Setelah kejadian itu saya langsung saja pulang ke rumah. Di rumah saya menceritakan semua yang telah saya alami di sekolah kepada orang tua saya. Ibu saya menangis terisak-isak sambil memeluk saya. Ayah saya waktu itu terlihat sangat emosi mendengar cerita saya, tampak dari raut wajahnya yang merah padam. Kemudian beliau dengan tergesa meninggalkan rumah. Saya tau ayah pasti pergi ke sekolah, pergi untuk menyarang, atau membuat heboh di sekolah. Kami berdua tinggal saja dirumah. Ibu mencoba memperbaiki baju seragam saya yang telah rusak itu. Setelah sore hari ayah baru kembali ke rumah. Beliau berkata kepada saya ‘wa’ang tidak perlu pergi ke sekolah lagi, guru-guru wa’ang itu orang yang tidak bertanggung jawab, biarlah wa’ang saya besarkan disini dan bekerja saja di ladang bersama kami’. Sedih juga hati saya pada waktu itu. Tapi ya sudahlah, saya menurut saja apa kata ayah. Memang ada rasa takut kalau saya pergi ke sekolah dan bertemu dengan ketiga anak badung itu lagi.

Seminggu kemudian pak Amir datang ke rumah kami. Beliau menemui kedua orang tua saya. Saya tidak di ikut sertakan dalam pembicaran mereka bertiga di dalam rumah. Ayah menyuruh saya supaya tetap bekerja di ladang. Pada waktu saya sedang memetik cabe dan mengumpulkan cabe kedalam karung. Adapun itu bukan ladang cabe milik kami, kami hanya di gaji harian saja oleh pak Datuk, si pemilik ladang. Setelah lepas tengah hari saya bekerja di ladang, ayah memanggil saya masuk ke dalam rumah. Ternyata pak Amir masih ada di dalam. Saya menyambut tangan beliau. Pak Amir menyuruh saya untuk duduk bersila di sampingnya. Saat itulah pak Amir berkata kepada saya ‘nak, ini bapak bawakan baju seragam baru dan sepatu baru, besok wa’ang kembalilah bersekolah lagi, kawan-kawan di sekolah telah rindu dengan wa’ang’. Pada waktu itu saya memang senang sekali menerima hadiah dari beliau, tetapi di pikiran saya masih ada rasa takut untuk pergi ke sekolah. Takut akan dihajar lagi oleh para begundal itu. Saat itu pak Amir menyakinkan kepada saya bahwa ketiga orang itu tidak akan berani lagi menyentuh saya atau mencela saya. Karena mereka telah membuat surat perjanjian dan telah ditanda tangani pula oleh orang tua mereka masing-masing. Kalau mereka melangar perjanjian itu maka mereka akan di keluarkan dari sekolah. Jadi begitulah pak ceritanya. Sejak hari saya kembali ke sekolah tidak ada lagi teman-teman yang berani mencelakai saya. Akhirnya saya bisa belajar dengan lebih giat hingga tamat dari sekolah dasar itu”

“Memang betul apa yang di ceritakan oleh Zainal tadi Buya, pak RT, dan semuanya. Betul dulu banyak anak-anak laki-laki yang bandel-bandel bersekolah di tempat ku. Badan mereka besar-besar, cuma si Zainal ini saja yang berbadan kecil, yang tidak melawan dan diam saja kalau di tindas oleh mereka. Mana mau aku melihat anak murid ku yang cemerlang ini di kerjai oleh mereka”

Kemudian aku ceritakan kepada Zainal tentang kejadian di sekolah pada waktu dia tidak masuk selama satu minggu itu. “Memang pada hari itu juga ayah ang telah datang ke sekolah dengan marah-marah dan membawa golok ditangannya, sepertinya dia ingin mencelakai ketiga anak badung itu. Aku dan pak kepala sekolah berusaha untuk meredam amarah ayah ang itu. Akhirnya kami bawa dia berunding di dalam ruangan kepala sekolah. Anak-anak yang telah mencelakai wa’ang itu telah aku suruh menjemput orang tua mereka. Ayah ang tampaknya memang payah untuk di ajak bicara, dia hanya pandai marah-marah dan memaki kami saja. Beliau menganggap kami guru yang lalai dan tidak bertanggung jawab. Lalu beliau pergi meninggalkan kami berdua di ruangan kepala sekolah itu, dan dia melampiaskan kemarahannya ke pagar sekolah, hingga roboh semua di tendangnya.

Besok harinya para orang tua anak badung itu akhirnya datang juga. Aku menceritakan perihal kelakuan anak mereka yang telah mencelakai diri mu waktu jam istirahat di dalam kelas. Bahkan aku katakan bahwa mulut anak-anak mereka tidak pernah di ajar di rumah. ‘Pantaskah anak-anak ini mengatakan teman sekelasnya sebagai anjing kurap...?’ para orang tua mereka terperangah mendengar perkataan ku. Sehingga ada mereka melampangi, menempeleng kepala anak mereka sendiri dan ada juga yang memilin perut anaknya di depan mata ku. Kemudian aku membuat sebuah surat perjanjian di atas segel, yang berisi tentang anak-anak mereka tidak akan mengulangi perbuatan mereka kembali. Jika perbuatan buruk itu terjadi lagi maka anak-anak mereka akan di berhentikan dari sekolah. Tidak hanya itu, aku menuntut para orang tua itu untuk mengganti kerugian yang telah kau alami. Tidak ku sanggka para orang tua anak-anak badung itu menurut saja untuk menandatangani surat perjanjian yang telah aku sediakan. Bahkan mereka juga bersedia turun tangan menyerahkan sejumlah uang kepada ku. Masing-masing orang tua mengeluarkan uang agar bisa di belikan baju seragam baru untuk wa’ang, ada yang menyuruh ku untuk membelikan celana sekolah buat ang dan ada yang menyuruh aku membeli sepatu baru buat ang”

“Wah, kalau saya tau begitu kejadiannya, tidak sudi saya menerima pemberian bapak pada hari itu. Sakit sekali hati saya pak, masih terngiang di telinga ini hinaan yang mereka cercakan pada saya sampai detik sekarang” Zainal terlihat emosi menanggapi cerita ku itu.

“Sudahlah, sudah, yang berlalu biarlah berlalu, kita ambil saja hikmahnya, toh sekarang ang tampak sudah gagah sekali berdiri di depan mata ku. Sudah licin dan mengkilat kulit wa’ang. Ngomong-ngomong sudah berapa orang anak ang sekarang?”

Paras wajah Zainal tampak menjadi sendu ketika aku menanyakan perhal anak kepadanya. Padahal sebentar ini dia begitu emosional mengingat kejadian pada waktu itu.

“Yah pak, telah 10 tahun saya berkeluarga belum juga ada satu karunia anak bagi saya”

“Itu namanya belum rejeki Nal, sabar saja, apa kerja ang sekarang?”

“Saya ini guru pak”

“Wah, hebat ang sekarang ya. Guru apa? SD, SMP, atau SMA”

“Guru SMP pak”

“Hebat ang setingkat dari aku, aku guru SD, ang guru SMP. Di mana ang mengajar?”

“Jauh pak, di kota Bandung”

Senang sekali hati ku mendengar Zainal menceritakan tentang pekerjaannya. Lalu aku juga cerita padanya bahwa aku ada punya anak yang bernama Ken, sekarang si Ken sedang kuliah di kota bandung juga, di Universitas Padjadjaran, di fakultas Teknologi Industri Pertanian, jurusan Teknologi Pangan. Zainal sepertinya sangat antusias mendengar tutur ku tentang si Ken. Malah Zainal sempat meminta nomor hp si Ken kepada ku. Lalu aku berikan saja sekaligus nomor hp si Sam, Sam yang sedang kuliah di IPB.

Karena malam sudah larut, pak RT, Buya dan mak Inar juga akhirnya memohon berangsur untuk pulang. Begitu juga Dina dan Yanti anak-anak gadis ku, aku suruh pulang juga ikut bersama mereka. Karena mereka besok pagi akan pergi sekolah, dan tak perlu mereka harus sibuk pula bersama ibu mereka yang sedang merawat kami di sini. Sebelum pamit, mak Inar sempat memberikan amplop kepada Nani. “Nan terimalah ini, ada sedikit bantuan dari jema’ah mesjid kita, terimalah dengan ikhlas, semoga laki dan anak bujang kau lekas sembuh”. Lalu mereka berlima meninggal kami yang berempat di bangsal perawatan ini.

“Nal, itu anak sulung ku, Dafa namanya, sampai sekarang dia belum juga mau menikah, tenggok lah dia bagaimana keadaannya sekarang” Aku menyuruh Zainal untuk datang menghampiri si Dafa yang sedang tidak dapat bergerak di atas tempat tidurnya. Nani istri ku mulai mengupas sebuah jeruk yang tadi di bawakan oleh mak Inar sebagi buah tangan, lalu menyuapi jeruk itu ke mulutku. Setelah menguyah beberapa jeruk, rasa kantuk yang berat mulai menyergap kelopak mata ku. Lalu aku terkulai dan tergeletak lagi di atas kasur.

Besok paginya Zainal datang lagi menjenguk kami. Dia datang dengan membawakan kami sedikit makanan, ada buah-buahan dan roti di tangannya diserahkannya kepada Nani. “Terima kasih nak” Nani bersyukur menerima buah tangan Zainal. Waktu itu aku baru saja selesai di mandikan oleh seorang perawat.

“Mengapa ang selalu datang sendiri Nal, mana istri mu?”

“Istri saya tinggal di Bandung pak, dia tidak bisa ikut, banyak mata pelajaran yang harus di kejarnya di sekolah”

“Oh jadi istri wa’ang guru juga”

“Ya begitulah pak”

“Ya syukurlah, memang begitu harusnya zaman sekarang. Suami istri harus bekerja dua-duanya”

“Apa yang sedang wa’ang kerjakan di Padang?”

“Itu pak, kebetulan saya sekarang ada pelatihan di hotel Rocky, telah seminggu lamanya, dan besok adalah hari terakhir pelatihannya”

“Bagaimana kabar dusun Sungkai sekarang, apakah ayah ibu mu masih disana?”

“Oh tidak pak. Semenjak ayah telah meninggal 10 tahun yang lalu, aku memboyong ibu untuk tinggal di Bandung bersama keluarga ku. Alhamdulilah beliau sekarang sehat. Beliau setiap hari sibuk saja mengurus taman bunganya di rumah”

“Sampaikan salam ku pada ibu mu ya”

“Tentu pak, pasti ibu saya senang kalau dapat bertemu dengan bapak pada suatu masa nanti. Nanti kalau bapak ada main ke Bandung beritahu saya ya. Tentu akan saya bawa bapak ke rumah untuk bertemu dengan beliau”


“Insya Allah, semoga Tuhan memberikan kesehatan dan rezeki pada saya”

Di waktu pagi yang cerah itu, Zainal memulai pembicaraan serius dengan ku. Dia merasa sangat menyesal sekali karena telah membuat ku dan Dafa celaka. Oleh karena itu dia bertanggung jawab dan menguruskan segala kebutuhan kami dalam masa perawatan di rumah sakit. Dalam pembicaraan itu, dia mengatakan bahwa segala urusan mengenai musibah yang menimpa keluarga ku ini harus dia selesaikan pada hari itu juga. Dia telah berikan segenap uang kepada istri ku Nani, sebagai uang penanggung seluruh biaya perawatan kami di rumah sakit dan sekaligus biaya perbaikan motorku, begitu katanya. Namun aku tidak mengetahui berapa jumlah uang yang telah dia berikan kepada Nani. Setelah itu dia mintak izin kepada ku, karena besok dia akan berangkat meninggalkan kota Padang, dan kembali ke Bandung. Zainal berjanji akan tetap menelpon aku dari Badung untuk mengetahui perkembangan kesehatan kami. Tentu saja aku mengizinkan dia untuk pergi, begitu juga dengan Nani, karena segala hal telah dibayarnya dengan tunai pada waktu pagi itu.

Dua bulan setelah kami dirawat di rumah sakit, aku dan Dafa hanya bisa tinggal di rumah saja mengabiskan hari berdua yang senasib sepenanggungan. Kami berdua hanya banyak menghabiskan waktu di depan televisi dengan tongkat penopang kami masing-masing. Karena tidak banyak hal yang bisa kami kerjakan selain makan, tidur dan nonton acara di tivi. Adapun kalau urusan kamar mandi tentu si Dafa sangat membutuhkan pertolongan dari ku. Kasihan aku pada anak sulung ku ini. Padahal dulu dia adalah tulang punggung utama di keluarga ini. Dia lah yang sanggup menanggung seluruh biaya pendidikan adik-adiknya. Sedangkan aku dengan uang pensiun ku ditambah dengan penghasilan mengojek setiap hari hanya dapat mencukupi biaya belanja harian rumah tangga saja.

Sekarang istri ku Nani bertiga dengan anak gadisnya Dina dan Yanti harus berusaha dengan cara membuat bakwan, tahu isi dan goreng pisang di pagi-pagi hari buta. Lalu Dina dan Nani sebelum berangkat ke sekolah bertugas menitipkan barang dagangan itu ke kedai-kedai di sekitar kampung ku. Untung saja di kampung tempat tinggal ku dekat dengan kampus Universitas Andalas, sehingga banyak mahasiswa yang akan belanja menghabiskan gorengan yang telah di buat oleh Nani sejak pagi buta tadi.

Tibalah giliran si Ken dan Sam menelpon ku dari pulau Jawa karena mereka telah kehabisan uang belanja. Sudah lebih sebulan tidak ada kiriman uang dari Padang. Tentunya mereka sekarang sudah sekarat menahan lapar di sana. Kasihan anak ku yang berdua itu, mereka tidak tau bahwa orang tuanya juga tengah menghadapi kesulitan di kampung.

“Assalamuakum, apa kabar ayah di Padang?. Apakah semua orang di rumah sehat-sehat saja?. Yah sudah lebih sebulan saya belum dapat kiriman. Ada apa gerangan terjadi di rumah? Apakah ada masyalah?” pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh si Ken lewat telpon itu membuat pusing kepalaku. Aku tetap tidak mau memberitahu dia tentang musibah yang telah menimpa diri ku dan abangnya. Kemudian aku hanya bilang kepadanya bahwa abangnya telah di PHK dari tempat kerjanya dan sekarang belum juga dapat pekerjaan baru.

“Sabar dan tunggu dulu lah nak agak seminggu ini, nanti akan aku kirimkan uang belanja untuk mu”. Hanya itu yang bisa aku sampai kan kepada si Ken dan tentu juga sama halnya dengan jawaban yang akan ku berikan kepada si Sam.

Pusing juga kepala ku sekarang, memikirkan bagaimana aku bisa memperoleh segenap uang untuk membantu anak ku si Ken dan si Sam. Terpikir oleh ku untuk meminjam uang kepada pak RT, mungkin beliau ada mampu untuk dapat meringankan sesak yang aku alami sekarang. Dengan tongkat kayu penopang yang terjepit di ketiak, aku berjalan tertatih keluar rumah menuju ke tempat pak RT. Sedang aku berjalan dengan hati-hati menyusuri bahu jalan di jalan aspal kampungku yang ramai dengan kendaraan mahasiswa yang lalu lalang. Tiba-tiba langkah ku dihentikan oleh sebuah mobil Innova berwarna putih dengan kaca sangat gelap. Mobil itu berhenti pas di depan jalan ku, sehingga aku harus berhenti berjalan karenanya.

Ternyata ada si Zainal yang keluar dari mobil bagus itu. “Assalamulaikum pak, mau pergi kemana bapak tegah hari begini?”

“Wa’alaikum salam, wa’ang rupanya Nal. Ini saya ada keperluan kerumah pak RT”

“Dimana rumah bapak itu? Biar saya antarkan bapak kesana”

“tidak usah repot-repot Nal, saya bisa sendiri kok. Kapan ang sampai di Padang?”

“Baru tadi pagi pak. Saya naik penerbangan jam 5 pagi dari Cengkareng”

“Ayolah kita bicara di rumah saja, nanti malam saja saya ke tempat pak RT”

“Baik lah pak, naik lah bapak ke mobil saya”

“Tidak usah, saya jalan kaki saja, dekat kok, ang masih ingatkan rumah bapak?”

“Tentu pak.”

Ketika kami berdua telah sampai di rumah, Zainal langsung menghampiri si Dafa. Mereka banyak bincang-bincang di atas sofa di rungan depan rumah ku. Aku menyibukkan diri untuk menyeduh tiga cangkir teh di dapur. Istri ku Nani belum juga pulang dari pasar. Ia pergi membeli bahan penganan untuk usahanya besok pagi. Siang ini hanya kami bertiga saja di rumah.

“Nal kesinilah sebentar, bantu bapak mengangkat nampan teh ini”

“Ah....bapak, mengapa repot-repot membuat teh segala” Zainal kaget, dia tidak menyangka aku masih bisa membuatkan teh untuknya. Akhirnya dia tergesa kebelakang untuk mengangkat nampan yang berisi tiga cankir teh panas, untuk kami bertiga nikmati di ruang depan.

Kami bertiga membicarakan banyak hal bersama. Tentu juga bicara tentang perawatan badan aku dan Dafa. Keadaan badan ku mulai berangsur membaik, sementara si Dafa butuh waktu paling cepat satu tahun lagi untuk bisa berjalan. Mungkin dia tidak akan berjalan kaki sebaik dulu lagi. Karena operasi kaki patah dua bulan yang lalu membuat ukuran kaki kanannya berkurang 2 cm, dan itupun tulang kakinya harus sambung dengan sebuah batang besi platinum. Mungkin 5 tahun lagi batang besi platinum itu akan boleh di cabut dari tulang kakinya apabila sudah menyatu.

“Nal, ada satu hal yang belum wa’ang ceritakan kepada ku”

“Cerita tentang apa pak?” Zainal kelihatan bingung menanggapi pertanyaan ku itu.

“Bagaimana bisa kulit wa’ang menjadi bersih seperti ini?”

“Oh ini pak, kalau tidak salah penyakit kulit ku itu berangsur hilang ketika aku sekolah SMP dulu pak”

“Wa’ang sekolah SMP dimana?

“Di Bogor pak, selesai SD saya di bawa oleh paman untuk tinggal di Bogor, sekolah sambil bekerja di kedai percetakanya”.

“Oh, jadi begitu, pantas aku tidak pernah melihat wa’ang ada di kampung sejak tamat SD”

“Maafkan saya jika saya tidak sempat pamit ke bapak ketika akan berangkat ke Bogor”

“Ah, tidak jadi masalah itu. Ayo teruskan cerita mu?”

Terus Zainal melanjutkan cerita tentang bagaimana dia bisa sembuh penyakit kulitnya.

“Sejak dari sekolah SD saya sudah banyak mencoba segala macam serep tradisional ramuan herbal untuk mengobati penyakit kulit. Saya memperoleh resep herbal itu dari sebuah buku usang yang terabaikan di pustaka sekolah. Karena saya merasa perlu pengetahuan untuk mengobati penyakit kulit saya, makanya buku itu saya baca dan saya pinjam dari pihak pustaka. Di dalam buku itu tertulis sebuah ramuan ampuh yang saya percayai akan dapat membantu saya untuk mengenyahkan penyakit tersebut. Akhirnya saya dan ibu rajin mengolah ramuan tersebut sehingga bisa di oleskan keseluruh badan saya setiap malam. Hingga sampai di Bogor juga tetap saya lakukan. Untungnya disana ada etek, istri paman saya yang baik hati. Beliau mau membantu saya mengolahkan ramuan itu. Ternyata setelah setahun saya tinggal di Bogor, perlahan-lahan penyakit kulit saya mulai menghilang hingga tidak meninggalkan bekas sama sekali, sehingga kulit saya menjadi bersih dan putih seperti sekarang. Kesimpulannya adalah iklim udara dingin kota Bogor ternyata dapat membantu percepatan penyembuhan penyakit kulit yang saya alami. Jadi begitulah ceritanya pak. Semua itu kembali lagi kepada bapak, bapak lah yang telah berjasa kepada saya, karena bapak telah mengajarkan saya membaca, dengan membaca saya dapat memiliki banyak pengetahuan. Sehingga semua masyalah hidup saya dapat terselesaikan.”

“Ah Nal, jangan berlebihan ang, biasa saja itu. Memang sudah tugas ku untuk mengajar wa’ang agar pandai membaca.”

Setelah satu jam lebih Zainal berada di rumah berbincang-bincang bersama kami, istriku Nani belum juga ada di rumah. Tidak ada lauk dan nasi yang tersedia di meja makan. Seandainya ada tentu saja akan ku ajak dia untuk makan siang bersama kami. Kemudian Zainal pamit kepada ku, katanya kalau dia sempat lagi datang ke Padang pasti dia akan singgah kerumah ku. Aku mengantarnya sampai dia menaiki mobilnya. Lalu dia melaju kendaraanya dengan membunyikan suara kalson kepada ku.

Aku berjalan masuk lagi ke dalam rumah. “Ayah, ayah” terlihat si Dafa memanggil ku dari atas sofa, dengan dia memperlihatkan sebuah amplop putih ke arah ku dengan tangan kirinya. “Ayah, tadi bang Zainal menitipkan ini kepada saya, katanya ini buat ayah.”

“Kapan dia berikan itu?”

“Waktu ayah sedang membuat teh di dapur tadi”

Sungguh berat hati ku untuk menerima dan membuka amplop putih itu. Bisa saja aku tebak, kalau amplop putih itu berisi uang. Aku tidak pernah meminta uang kepada si Zainal. Memang setelah musibah kecelakaan itu, keadaan ekonomi keluarga ku sangat payah. Untuk itu tentu aku telah ikhlas menjalani kesusahan ini. Mungkin ini adalah semacam ujian dari Tuhan, untuk ku dan keluarga ku.

Aku coba menelpon si Zainal seketika itu juga, ternyata dia tidak menjawab HPnya. Ku coba beberapa kali tetap tidak juga menjawab. Akhirnya aku dengan ikhlas membuka amplop putih tersebut. Ternyata di dalam amplop itu dia meletakan sejumlah uang. Setelah ku hitung ada 2 juta rupiah di dalamnya. Aku sadar, ini adalah uang pemberian Zainal untuk ku dan halal bagi ku untuk menggunakan uang ini.

Keesokan harinya, aku suruh si Dina, anak gadis ku yang masih SMA untuk megirimkan uang tersebut masing-masing 1 juta rupiah kepada si Ken dan si Sam lewat rekening bank milikinya. Sungguh senang hati kedua anak bujang ku itu setelah ku beritahu bahwa uang belanja telah di kirim ke rekening mereka masing masing.

Satu bulan berikutnya, keadaan ekonomi keluargaku juga masih sama payahnya seperti bulan-bulan sebelumnya. Tapi bulan ini aku belum menerima telpon dari si Sam dan si Ken yang biasa merengek mintak dikirimkan uang belanja bulanan. Sepertinya mereka tenang-tenang saja tinggal di pulau Jawa itu. Sehingga aku saja yang gelisah memikirkan mereka di sini. Lalu aku putuskan saja untuk mencari tahu kabar mereka disana.

“Halo Ken apakabar wa’ang di Bandung? Adakah wa’ang baik-baik saja? Lama wa’ang tidak menelpon ayah , bagai mana kuliah wa’ang?”

Dalam percakapan lewat telpon dengan anak ku Ken, dia banyak bercerita tentang perkembangan kuliahnya di Unpad. Dia mengabarkan bahwa sekarang dia sedang sibuk mengerjakan sebuah penelitian hibah untuk mahasiswa. Seorang dekan di fakultasnya yang telah menunjuknya bersama dengan dua orang kawannya untuk melakukan penelitian itu. Jumlah dana yang di tanggung oleh pihak kampus untuk membiayai penelitian itu adalah sebesar 40 juta rupiah. Tentu dari pelaksanakan penelitian itu si Ken akan medapatkan honorarium. Di tambah lagi si Ken juga memberi kabar yang baik, yang membuat hati ku sangat senang sekali. Dia mengatakan bahwa dia telah menerima beasiswa yang diberi oleh pihak jurusan. Katanya itu adalah beasiswa PPA, beasiswa untuk mahasiswa berprestasi.

“Yah, sekarang saya ada cukup rejeki disini, ya, cukup lah untuk menanggung biaya hidup saya sendiri. Jadi ayah tidah usah pusing-pusing mencarikan uang belanja buat saya.”

Begitu yakinnya si Ken mengatakan kepada ku bahwa dia sekarang sudah mandiri. Aku bersyukur kepada Tuhan. Karena Ia telah menjawab sebuah doa ku. Semoga saja si Ken akan baik-baik saja kuliahnya dan cepat wisuda. Sehingga dia pulang ke kampung dengan dengan membawa gelar Sarjana Teknologi Pertanian.

Beberapa hari kemudian si Sam juga menelpon ku dari Bogor. Si Sam menyampaikan kabar gembira juga. Dia mengatakan kalau dia telah memperoleh beasiswa juga, beasiswa BBM namanya. Apa pula itu beasiswa BBM? Kata si Sam itu adalah beasiswa penunjang pendidikan bagi mahasiswa kurang mampu. Walau pun begitu, si Sam bukanlah dari keluarga kurang mampu. Aku masih sanggup untuk membiayai kuliahnya di IPB. Kemudian si Sam menyampaikan kepada ku bahwa dia sekarang telah mendapatkan pekerjaan pula disana. Katanya dia bekerja di sebuah perusahaan percetakan. Bosnya adalah orang kampung sini juga, uncu Amran namanya. Rumah keluarga uncu Amran ini ada di kampung Duri, sekitar satu kilometer dari rumah ku kearah kampus Unand. Tentu aku sangat bersyukur sekali mengetahui berita baik ini dari si Sam. Namun aku tetap memberitahu dia agar lebih mengutamakan pelajarannya di kampus, ketimbang pekerjaannya di perusahaan tersebut.

Terpikir oleh ku tentang kebesaran Tuhan. Tuhan memang maha adil, Ia telah memberikan suatu ujian kepada keluarga ku, namun di lain sisi Ia berikan juga kelapangan untuk anak-anak ku, anak-anak ku yang sedang berjihad di negeri orang untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Istri ku Nani sangat gembira ketika ku beri tahu tentang kabar kedua anak bujangnya itu. Karena saking gembiranya dia, dia malah membuat gorengan lebih banyak lagi. Sepertinya Nani menjadi lebih bergairah menjalani usahanya sekarang

Waktu 3 tahun berlalu begitu cepat. Dina anak gadis ku, anak nomor empat, sekarang telah menjalani kuliahnya di Universitas Andalas, dia sekarang telah masuk semeter ke 4, kuliah di jurusan Teknik Sipil. Untuk biaya kuliah Dina tidak pernah membebankan kami. Dia juga telah menjadi perempuan madiri pula sama seperti abang-abangnya. Biaya pendidikan S1 Dina sekarang telah di tanggung sepenuhnya oleh pemerintah, plus ada juga tunjangan uang untuknya sebesar 600 ribu rupiah perbulan. Katanya dulu pada awal di terima kuliah di Unand, dia mendapatkan beasiswa. Waktu itu kalau tidak salah beasiswa Bidik Misi namanya.

Sembah syukur aku haturkan kepada Tuhan. Karena ujian yang telah Ia berikan kepada kami waktu itu dapat membuat anak-anak ku menjadi orang pandai, pandai dalam menyikapi kehidupan yang pelik ini. Mereka tau bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan rumit yang tengah di hadapi oleh orang tua mereka. Hingga membuat mereka harus memohon bantuan biaya pendidikan kepada pemerintah. Tentu saja mereka terlebih dahulu harus memenuhi segala syarat-syarat yang di tentukan oleh pemerintah agar turun juga dana pendidikan itu kepada mereka. Salah satunya adalah dengan mempertahankan nilai akademik yang memuaskan pada setiap akhir semester.

Sekarang tibalah waktunya pada hari yang sangat istimewa bagi aku dan istri ku Nani. Hari Sabtu, tanggal 8 Oktober 2014. Pagi hari, sekitar pukul 7 pagi, aku dan Nani bersama kedua putra kami Ken dan Sam telah berkumpul disini, di kota Kembang ini, di pelataran aula terbuka fakultas Teknologi Indutri Pertanian Universitas Padjadjaran. Ini adalah hari yang sangat aku nanti-nantikan semenjak aku mengasuh dan membesarkan ke lima orang anak-anak ku. Sekarang adalah hari besarnya si Ken, dia akan dilantik sebagai sarjana pada hari ini.

Tentu tidak lupa aku memberi kabar kepada si Zainal tentang keberadaan ku dan keluarga ku di kota Bandung ini. Pagi itu juga aku mengontaknya nomornya. Langsung saja dia menjawab panggilan ku.

“Assalam mu’alaikum pak Amir.”

“Wa’alaikum salam, Nal ini bapak”

“Iya pak Amir. Apakabar pak? Sudah lama saya tidak dengar suara bapak ini”

“Baik, saya juga rindu dengan wa’ang. Saya dan Nani sekarang sudah di Bandung Nal”

“Wah, benarkah itu pak? Dimana lokasi bapak sekarang?”

“Ini, kami sekarang sedang di pelataran aula FTIP, Unpad. Hari ini si Ken mau di wisuda”

“Wah, hebat itu. Oh ya, jam berapa selesai acara wisudanya si Ken? Biar saya bisa jemput bapak kesana”

“Entahlah, belum tau saya jam berapa selesainya acara ini”

“Ya sudah, biar saya kontak lagi bapak nanti yah, kebetulan rumah saya tidak jauh dari situ”

“Oke ya Nal, Maaf ya kalau nanti kami merepotkan wa’ang lagi”

“Jangan sungkan-sungkan pak, saya ini anak bapak juga”

“Terimakasih ya Nal, saya tunggu yah”

Aku dan Nani sekarang duduk di kursi undangan bersama dengan kerumunan para orang tua wisudawan lainnya. Sepertinya mereka telah datang dari seluruh penjuru negeri. Si Sam sepertinya sibuk di luar aula dengan kamera digitalnya mengabadikan momen-momen penting acara pelantikan adiknya. Dengan hati berdebar-debar kami menunggu waktu pelantikan anak bujang kami, si Ken, untuk pemindahan jambul di toganya dan di sahkan sebagai penyandang gelar S.T.P, Sarjana Teknologi Pertanian.

Ternyata acara wisuda ini belum juga di mulai, walaupun suara musik sudah bergema menyambut kedatangan rombongan para dekan dan pejabat FTIP berjalan berbaris dengan gagah menaiki panggung acara wisuda. Mereka semua terlihat sangat berwibawa dan berkharisma sebagai orang-orang yang berisi penuh dengan ilmu pengetahuan, dengan mengenakan jubah hitam dan toga juga segala pernak-pernik yang berkilauan bergelantungan di dada mereka masing-masing. Setiap pejabat duduk dibelakang meja yang sudah ada papan nama mereka masing-masing, lengkap dengan segala gelar yang mereka sandang.

Seorang protokoler memberitahukan bahwa acara pelantikan wisudawan FTIP segera dimulai, semua hadirin di harapkan untuk berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Suara musik bergema di seluruh penjuru aula. Semua orang berdiri dan menyayikan lagu kebangsaan tersebut dengan penuh hikmat dan penghayatan. Sambil menyanyikan lagu itu, ingatanku melayang ke masa 12 tahun yang silam, ketika aku menjadi pemimpin upacara rutin setiap hari senin pagi di sekolah, dan si Ken waktu ini bertugas sebagai komandan upacara. Kami menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil memberi hormat kepada bendera merah putih yang sedang di gerek naik ke puncak tiang.

Di atas panggung pelantikan wisudawan, dari kejauhan, tampak samar-samar di antara para pejabat FTIP itu ada sosok yang sepertinya aku kenal. Dia berdiri paling tengah, di antara para pejabat lainnya. Di papan namanya bertuliskan “DEKAN, Prof. Dr. Zainal Tanjung, M.Sc.” Dari jauh sangat jelas terbaca teks namanya, karena ada cahaya yang menerangi teks tersebut. “Kok bisa sama ya nama dekan itu dengan si Zainal” Aku bicara sendiri di hati. Kemudian aku perhatikan wajah pak dekan itu, ternyata memang mirip dengan si Zainal. “Apa mungkin itu si Zainal?” Aku bertanya sendiri. “Tapi dia kan seorang guru SMP”, dan menjawab sendiri pertanyaan ku.

Sepertinya aku tidak percaya dengan penglihatan ku sendiri, aku berbisik ke telinga istri ku. Nani yang sedang konsentrasi menyanyikan lagu Indonesia Raya. “Nan. Lihat lah orang itu. Orang yang berdiri di tengah, di atas panggung itu!” sontak, Nani juga terkejut karenanya. “Yah, bukan kah itu si Zainal?” Dia malah balik bertanya kepada ku.

Tibalah pada waktu pelantikan putra ku. Itu dia si Ken telah berdiri dibawah menunggu panggilan namanya untuk berjalan menaiki panggung para pejabat FTIP. Seorang protokoler acara akhirnya menyebutkan:

“Kendra Setiawan, S.T.P. IPK 3,8. Lulus dengan predikat cumlaude”

Merinding bulu kuduk ku mendengar nama putra ku telah di sebutkan untuk pelantikannya. Ken melangkah pasti meniti tangga panggung, berjalan di atas karpet merah menghampiri dan menyalami setiap dosen di atas pangung itu. Pas pada giliran pak Dekan, ia menunggu si Ken dengan senyuman hangat, dan memindahkan jambul si ken ke sebelah kiri. Lalu pak Dekan itu memberikan sebuah map biru nan berisikan ijazah pada si Ken, baru sesudah itu mereka bersalaman. Dari tempat aku berdiri terlihat sepertinya pak Dekan ada mengatakan sesuatu pada si Ken sehingga membuat si Ken tertawa senang di buatnya. Setelah menyalami semua pejabat dan dosen si Ken cepat-cepat turun dari panggung untuk menemui kami orang tuanya dan memeluk.

“Yah, ini lihat lah ijazah ku. Ayah senangkan!”

“Bagus nak, wa’ang memang anak yang aden banggakan.”

Pukul 11.30 acara pelantikan wisudawan FTIP sudah kelar. Semua hadirin, serta para wisudawan, dan dosen semua telah berhamburan meninggalkan ruangan aula. Tinggal kami berempat duduk di deretan kursi undangan yang telah kosong. Pak Dekan itu telah dari tadi memperhatikan kami. Akhirnya setelah dia menyelesaikan segala urusan dan tanda tangan ini dan itu mengenai acara wisuda hari ini, dia melangkah mendekati kami dan memberikan salam hangatnya kepada ku.

“Assalam mu’alaikum pak Amir, selamat atas keberhasilan si Ken memperoleh predikat cumlaode”

“Terimakasih” Mulut ku ini sepertinya terasa gagu bicara. Tidak tau kenapa, hanya itu kata yang keluar dari mulut ku ini. Sementara Dekan ini tertawa riang melihat aku seperti orang binggung di depannya.

“Mari pak, buk Nani, semuanya ikut, naik ke mobil saya”

“Mau kemana kita Prof?”. Ken sepertinya sama bingungnya dengan ku.

“Ya, ke rumah saya lah, keluarga saya sudah menunggu kalian semua dirumah”.

 (Lucky Lukmansyah)


Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © Simple SEO ✔