Bersamaan dan bertepatan dengan hari bahagia yang dirasakan oleh keluarga besar Ibrahim Al Rasyid atas karunia maha besar yang telah Allah swt anugerahkan kepada mereka. Diluar, dijalan-jalan raya, dipenuhi dengan keramaian manusia. Mereka, masyarakat kota Padang, mereka juga memiliki suatu kegembiraan pada hari itu, sama halnya dengan keluarga besar Ibrahim. Hari itu adalah Minggu, hari libur dan hari santai bagi para pegawai atau karyawan. Hari yang biasa bagi para orang tua membawa anak-anak mereka pergi berekreasi atau bertamasya. Siang tengah hari, matahari bersinar sangat terik dan panas menyengat, seakan-akan pada hari itu matahari bersinar hanya untuk kota Padang saja tidak untuk bagian bumi yang lain. Orang-orang berkerumun, berjejer di kiri dan kanan trotoar di jalan-jalan raya kota Padang. Mereka semua menyadari bahwa panas matahari telah menjilati kulit mereka. Bahwa panas telah menjalari kerongkong mereka, membuat mereka menjadi haus, butuh akan air untuk membasahi liang kerongkongan. Cuaca panas membuat kulit, baju dan rambut menjadi basah dan lembab oleh keringat. Kulit memerah karena sengatan matahari. Payung-payung telah di kembang untuk melindungi badan dan anggota keluarga yang berdiri merapat di bawahnya. Orang-orang yang tidak membawa payung harus mencari tempat perlindungan dibawah rindang pepohonan. Anak-anak dari tadi menangis rewel mengeluh kepanasan kepada orangtua mereka. Ada anak yang rewel minta mereka balik pulang kerumah. Ada juga yang menangis minta di belikan minuman atau jajanan. Mengapa? Ada apa? Apa yang mereka tunggu? Ada apa dengan kota Padang pada hari itu?
Tanggal 7 Agustus 1982, inilah hari jadi kota Padang yang ke 313. Hari yang penuh riuh riang dan gembira. Orang-orang Padang pada tumpah ruah keluar dari rumah mereka untuk merayakan hari ulang tahun kota Padang. Keluarga besar Ibrahim Al Rasyid juga ikut serta meramaikan kegembiraan kota Padang. Setelah mereka puas memandangi Ibrahim kecil yang tertidur di tempat tidur kusus bayi baru lahir. Lepas waktu sholat lohor mereka berjalan kaki berombongan meninggalkan Rasyid, Fatimah dengan anaknya, juga Amak Rosna di rumah bersalin Santa Ellizabeth. Mereka berangkat menuju ke tempat-tempat keramaian. Orang-orang besesakan berkerumun dan berjejeran di trotoar jalan-jalan raya untuk menyaksikan rombongan pawai dan marching band yang berjalan berarak-arakan baris-berbaris memainkan musik dengan semangat sorak sorai dan gegap gempita. Berbagai macam corak dan warna pada kostum yang mereka pakai, pada topi yang mereka kenakan. Berbagai macam bentuk rupa dekorasi dipasangkan pada kendaraan pawai yang berjalan beriringan melewati jalan-jalan protokol di Padang. Rombongan pawai itu memulai perjalanan dari depan kantor Balai Kota Padang berbelok kekiri menuju jalan Sudirman sampai ke depan kantor Gubernur Sumatera Barat terus jalan perlahan, belok kiri lagi bertemu dengan jalan Ujung Gurun. Jalan lurus terus dan berbelok kekiri lagi sampai di jalan Veteran, lurus terus ke jalan Pemuda sampai di perempatan, belok kiri masuk jalan M. Yamin dan iring-iringan rombongan pawai akhirnya berhenti di ujung jalan M. Yamin pas depan kantor Balai Kota Padang lagi. Masing-masing grup atau rombongan pawai mengusung palang nama sendiri-sendiri. Palang nama di usung oleh salah seorang anggota yang berjalan digaris paling depan. Ada rombongan DINAS PARIWISATA KOTA PADANG, ada rombongan dengan plang bertuliskan SMA 1 PADANG, Ada lagi BANK BNI 46, BANK PEMBANGUNAN DAERAH SUMBAR, SMA DON BOSKO, dan ada banyak lagi. Ada puluhan rombongan pawai menghiasi wajah kota pada hari itu. Sepertinya pada hari yang istimewa itu pemerintah kota Padang “memuntahkan” semua isi perutnya kejalan-jalan raya. Tiap tiap lembaga, Instansi dan institusi yang di miliki pemerintah kota ikut berpartisipasi merayakan hari jadi kota Padang Tercinta.
Ada arak-arakan yang paling istimewa, dan paling ditunggu-tunggu oleh seluruh warga Padang pada setiap perayaan hari jadi kota Padang. Acara puncak dan sekaligus acara penutup event tahunan ini adalah Tabuik. Tabiuk adalah sebuah patung berbentuk kuda bersayap tanpa kepala berwarna hitam yang membawa beban seperti sebuah menara dipasangkan di punggung patung kuda itu atau Tabuik. Menara pada Tabuik ini memiliki satu buah kubah putih utama berukuran paling besar di puncaknya. Dan 8 buah kubah putih kecil-kecil dibawahnya mengelilingi menara. Tabuik terbuat dari rangkaian kayu dan bambu yang disusun sedemikian rupa sehingga menjadi bentuk patung kuda hitam bersayap tanpa kepala yang sedang membawa menara. Kemudian agar patung Tabuik ini menjadi cantik sehingga serupa dengan bentuk yang di inginkan. Tabuik di balut dan dibungkus dengan tempelan kertas minyak berwarna hitam pada bagian badan,kaki dan sayap kuda. Warna merah dan kuning menghiasi tonggak menara. Warna putih mendominasi pada bagian kubah yang 9 buah itu. Digantungkan berbagai macam jambul dan pernak pernak pernik berwarna keemasan pada Tabuik. Tinggi Tabuik bisa mencapai 10 meter dengan panjang patung kudanya mencapai 5 meter, lebar 3 meter. Tabuik di gotong dan di arak dengan keranda kayu yang berukuran 8 kali 4 meter.
Sebelum dilakukan pengarakan, Tabuik dirakit dan dipasang terlebih di depan kantor Balai Kota Padang yang terletak di ujung jalan M. Yamin. Ada sekitar 20 orang pria berbadan besar yang ditugaskan memikul dan mengarak Tabuik hingga sampai ke tempat tujuannya. Sebelum keberangkatan Tabuik, seorang buya melakukan ritual kecil dengan menghaturkan doa-doa dan permohonan kepada Allah Subhana Wata’ala meminta keselamatan dan kebaikan untuk para pemikul Tabuik dan bagi masyarakat yang ikut serta menonton atau hadir dalam acara arak-arakan Tabuik. Setelah buya selesai berdoa, bapak Wali Kota Padang menyampaikan satu dua patah kata untuk melepas keberangkatan arak-arakan tabuik tersebut menuju ketempatnya.
Pukul 05.00 sore Arak-arakan Tabuik mulai berjalan cepat dan lurus menuju simpang lima bundaran air mancur jln M Yamin. Sambil di arak Tabuik di “hoyak” atau ditolak keatas dan ditarik kebawah oleh para pemikul Tabuik. Para pemikul dengan semua orang yang mengikuti arak-arakan itu atau yang menonton jasa berdiri di trotoar jalan, semuanya bersuara dengan keras menyebut dua kata saja, yaitu “hoyak hosen”. Berulang-ulang, berkali-kali dengan diucapkan keras sambil mengikuti ritme arak dan “hoyakan” para pemikul Tabuik. “Hoyak hosen,.. hoyak hosen,.. hoyak hosen”. Tabuik terus bergerak maju lurus terus sepanjang jalan M. Yamin melewati terminal Angkutan Dalam Kota disebelah kanannya dan deretan ruko-ruko dan rumah makan atau restaurant yang ada di kiri kanan sepanjang jalan M.Yamin. Dibelakang Tabuik ribuan warga Padang bersesakan berjalan mengiringi arah Tabuik sambil berteriak “hoyak hosen, hoyak hosen” bersahut-sahutan. Terus lurus Tabiuk bergerak sampai di perempatan jalan simpang hotel Hangtuah yang mana di seberang hotel itu terdapat terminal besar, yaitu terminal Andalas. Sebuah terminal angkutan penumpang antar kota dan antar provinsi hingga pulau Jawa dan Bali. Masih tetap lurus berjalan sampai rombongan arak-arakan Tabiuk berjumpa dengan jalan Samudera di wilayah objek wisata Pantai Padang. Tabuik melintas menyeberangi jalan Samudera. Kemudian turun menuju bibir pantai samudera Hindia. Akhirnya para pemikul Tabuik sampai pada tugas utama mereka, yaitu untuk melabuhkan Tabuik itu kelaut.
Menjelang magrib, ketika matahari telah tergelincir, pelan dan perlahan-perlahan terbenam di lautan luas samudera Hindia, kawasan Pantai Padang telah sepi. Orang-orang yang jumlahnya ribuan tadi, yang bersesakan “berondoh-ondoh” telah kembali pulang kerumah mereka masing-masing. Tinggalah Tabuik itu sendiri di pantai. Teronggok di perairan Pantai Padang yang berombak. Perlahan-lahan mengikuti matahari terbenam, Tabuik pun ikut larut, patah, tumbang dan remuk karena di lamun hempasan ombak lautan samudera Hindia.
Di jalan Samudera dan jalan M. Yamin arus lalulintas telah pulih dan lancar seperti sediakala. Sampah-sampah berserakan di mana-mana. Kantong “asoi” atau kresek, kertas Koran, karton, kulit kacang, botol, ampas tebu, kulit rambutan dan banyak lagi sampah bertebaran di sepanjang jalan itu. Warga kota sudah tidak menghiraukan lagi tentang jejak dan bekas-bekas yang telah mereka tinggalkan di jalan tadi. Biarlah sampah-sampah itu menjadi urusan pemerintah kota. Warga kota telah lelah kecapaian karena seharian mengikuti acara perhelatan akbar yang telah di selenggarakan oleh pemerintah kota Padang. Kini mereka akan istirahat dan tidur sembari mengumpulkan energi baru untuk kembali bekerja besok pagi. (lucky Lukmansyah)
Photo: fadhilanhar.blogspot.co.id
Photo: fadhilanhar.blogspot.co.id
0 Komentar
Penulisan markup di komentar