Cerita Orang Padang. Santa Ellizabeth

20:02:00


Cerita Orang Padang

Santa Ellizabeth

Pukul 05.00 pagi. Hujan deras tadi malam sudah berhenti. Tersisa hanya hawa dingin menusuk tulang. Suara angin mendesir sayup-sayup bertiup. Suara azan subuh mengalun-ngalun berkumandang mengusik kuping orang-orang yang masih terlelap terbuai dalam alam mimpi. Rasa dingin waktu pagi itu terasa menyelubungi tubuh manusia yang masih terbaring di atas kasur dan ranjang mereka. Terutama bagi umat Muslim, orang-orang yang selalu menggantungkan kehidupan dunia dan akhirat kepada Tuhan, maka segera bangkit meninggalkan ranjang dan pergi menunaikan kewajiban untuk menghadapkan wajah kepada sang Khalik demi menyampaikan segala doa-doa dan permohonan apa saja agar bisa selamat hidup di dunia ini dan di akhirat nanti. Ada juga mereka yang tak terusik sama sekali oleh suara panggilan azan pada waktu subuh itu. Mungkin karena mereka telah terbenam terlalu dalam di alam bawah sadar atau karena telah terbuai oleh ayunan mimpi-mimpi indah manusia. Ada pula orang yang mendengar suara azan itu tetapi mereka belum sanggup untuk bangkit karena hawa yang sangat dingin waktu itu mampu membekukan seluruh batang tubuh manusia. Sehingga mereka semakin kuat memeluk guling dan bersembunyi berkelumun di balik selimut yang paling tebal supaya tidak menggigil karena kedinginan.
Suasana subuh masih gelap. Hawa pagi nan dingin pada waktu itu berhembus membelai, mengurung tubuh Rasyid nan kurus di dalam jaket kulit hitamnya. Rasyid duduk bersandar menghisap sebatang rokok di bangku panjang pada sebuah beranda rumah sakit bersalin Santa Ellizabeth. Dua buah bola lampu bohlam menerangi Rasyid di beranda itu. Rasyid yang sedang bersembunyi dibalik jaket kulit hitam dan sarung kotak-kotak. Pada waktu itu sesuatu hal sedang terjadi pada diri Rasyid. Dia sedang dilanda suatu perasaan yang aneh. Sesuatu perasaan yang baru pertama kali di alaminya. Kala itu suasana hati Rasyid sedang gundah, kacau balau, berkecamuk, bercampur aduk, sangat cemas, lalu gelisah, lalu takut namun dicampur suatu rasa kebahagiaan dan sebuah harapan yang sangat besar.

Kemudian dia ketakutan lagi karena ada sebuah prasangka buruk yang datang menghantui. Kalau-kalau, mungkin, bisa saja nanti dia akan menerima sebuah kepahitan dan kekecewaan tentang hal yang akan menimpa dirinya dan keluarganya beberapa saat kedepan. Sudah beberapa batang rokok putus sambung Rasyid tandaskan dari tadi. Dia berdiri lagi. Kemudian melangkah modar-mandir di atas lantai teras beranda yang tersusun dari kepingan marmer, supaya dapat melawan hawa dingin yang menyelubungi seluruh ruangan di tempat itu. Dalam jaket kulit hitamnya, Rasyid gelisah kedinginan dan suasana hatinya tidak karuan. Kembali dia mengangkat sarungnya hingga ke bahu agar mendapatkan sedikit kehangatan bagi tubuhnya.

Tadi Rasyid sempat masuk kedalam kamar persalinan untuk menemani istrinya Fatimah yang sedang berjuang menyabung nyawa, mengejan dan merintih melawan rasa nyeri, perih dan sakit ketika berusaha melahirkan anak pertama. Di dalam kamar yang luas, besih dan terang itu ada ibu bidan dan dua orang suster yang membantunya, ada juga Amak Rosna ibu mertua Rasyid. Amak sedang mendampingi Fatimah yang sedang terbaring di ranjang persalinan sambil menyerahkan kedua kakinya yang terbuka kepada ibu bidan. Amak Rosna memegang tangan putrinya sebagai isyarat bahasa tubuhnya, seakan dia berkata “tenang nak, Amak ada di sisi mu, akan terus mendampingi mu sampai proses ini selesai”. Kemudian Mak membantu Fatimah menyapu keringat yang membasahi keningnya dengan kain saputangan putih yang berenda. Suara Amak serak menghiba-hiba kepada putrinya. “Mak..sakik mak” Fatimah merintih. “Iyo nak kanduang..iyo.. tahanlah sakik tu…kuekkan badan kau tu”. Si Amak membujuk Fatimah agar tabah dan kuat melewati masa persalinan. Rasyid ikut pula memegangi tangan Fatimah pada sisi ranjang yang satunya lagi. Namun dia tidak tahu apa-apa tentang persalinan. Dia tahu memegang tangan sang istri lalu memberinya semangat. Ibu bidan sedang sibuk berkerja di depan selangkang Fatimah, kemudian dia membisikan sesuatu pada assitennya. Lalu salah seorang suster menyarankan Rasyid untuk tunggu diluar saja menunggu persalinan selesai karena ibu bidan tidak mau ada banyak orang dalam kamar persalinan itu.
Kembali ke beranda.Suara azan subuh tadi akhirnya merasuk, meresap ke dalam hati sanubari Rasyid. Dia sadar bahwa tuhan telah memerintah untuk datang kembali menghadapkan diri, wajah dan hati kepada-Nya. Rasyid segera bangkit berdiri meninggalkan bangku itu, lalu memutuskan untuk pergi mengambil uduk. Dia berjalan masuk kedalam gedung, melewati koridor di depan kamar-kamar pasien, terus kebelakang, melengak-lengok ke kiri dan ke kanan mencari dimana ada sebuah toilet untuk dipakai bersuci dan mengambil air uduk. Selesai mengambul uduk, kemudian dia kembali menuju lobi depan yang telah dilewatinya tadi. Matanya mengamati ke sekeliling ruangan. Disana terdapat 1 set perabotan seperti sofa, meja dan lemari pajangan yang berisi buku-buku, majalah dan patung-patung kurcaci yang terbuat dari bahan kaca kristal. Dua buah Sudut ruangan kiri-kanan sejajar dengan pintu utama dihiasi dengan pot keramik seperti bentuk botol besar berwarna putih setinggi paha orang dewasa. Didalamnya di letakan tanaman bambu hias yang tinggi menjulai dengan daun berwarna hijau segar. Di pojok sebelah kanan lemari pajangan terdapat sebuah Jam berbandul made in German yang terletak di dalam lemari kayu jati setinggi 2 meter. Ruangan itu cukup luas dan lapang. Dinding kokoh tegak tinggi dilapisi dengan cat tembok berwarna putih gading mulai dari tapak kusen jendela sampai ke langit-langit ruangan. Sedangkan dari tapak kusen jendela hingga kelantai diberi warna hijau muda. Tampak dari dalam, bangunan rumah sakit bersalin ini tinggi besar dan kokoh dengan arsitektur bergaya kolonial. Ruangan ini memiliki 4 jendela kaca besar dengan pintu kembar. Dan satu buah pintu utama yang kembar dengan tinggi kira 3 meter, berwarna hijau muda, menghadap ke utara atau ke jalan raya. Pada dinding ruangan sebelah selatan dipasang sebuah lukisan besar berukuran 2 kali 1 meter dengan pigura berwarna emas tentang gambar Bunda Maria yang sedang berdiri sambil menggendong putra tercintanya Isa almasih. Dan pada dinding sebelah barat di bagian atas terpasang sebuah patung Yesus yang sedang mengenakan mahkota duri, dipaku kaki kedua tangannya pada palang salib dibelakang punggungnya. Sesaat, Rasyid terkagum dan merasakan kenyamanan dalam kemewahan, serta rasa takzim ketika berada di dalam nuansa religius agama Nasrani yang mengisi relung lobi itu. Kembali dia menyadari tentang maksudnya semula, lalu di abaikannya segala pandangan pada ornament dan pernak pernik yang ada disekitarnya. Sekarang yang dia mau hanyalah Allah, dengan sebidang lantai yang bersih dekat ke sebuah dinding dan menghadap kearah kiblat. Dibentangkan sarung kotak-kotak yang dipakainya tadi di atas lantai lobi sebagai ganti sajadah. Diatas ubin marmer yang dingin itu, Rasyid menegakan badan dengan lurus, sambil menarik nafas yang dalam, berusaha memfokuskan pikirannya ketika akan menghadap kepada Allah, lilahi ta’alla. Dia melafazkan niat sholat subuh . Segera ia mengucapkan takbir “Allahuakbar”.

Di dalam sholat Rasyid masih saja cemas dan takut. Seakan-akan setelah sholat ini dia akan mengadapi kenyataan pahit tentang anak dan istrinya yang akan memungkinkan menggoyahkan jiwa dan merusak kehidupannya pada kemudian hari. Namun Rasyid menyadari, apalah artinya semua prasangka buruk tadi bila di bandingkan dengan semua rezeki dan karunia yang telah Allah berikan kepadanya semasa usia hayatnya. Sungguhlah sangat besar karunia Allah kepada Rasyid dan kepada seluruh umat manusia di atas bumi ini. Sehingga tibalah Rasyid pada rakaat akhir sholat subuhnya, dia lalu berpasrah diri. Dia menyerahkan segala hal nasib baik dan buruk hanya kepada Allah. Karena hanya Allah yang menentukan segala nasib umat manusia. Dengan khusyu’ tenang dan damai Rasyid menghadapkan pikiran dan hatinya kepada sang Khalik, menyembah dan bersujud kepada Allah, tuhan yang maha mencipta seluruh isi langit dan bumi. Selesai rakaat akhir, kemudian salam, setelah itu Rasyid memunajadkan segala puja dan puji kepada Tuhannya, kemudian ia memohon dalam doa:
“Ya Allahu Ya Rabbi, engkau yang maha pengasih lagi maha penyayang. Engkau yang maha melihat lagi maha mendengar. Hamba memohon kepada mu ya Allah tuhan ku. Selamatkanlah anak dan istri hamba. Kuatkanlah jiwa dan raga Fatimah. Lindungilah anak kami ketika ia keluar dari rahim ibunya dengan sehat wal afiat tidak kurang satu apapun. Ampunilah segala dosa yang telah hamba perbuat ya Allah. Lindungilah kami dan limpahi lah kami dengan rahmat dan karunia mu yang tiada putus-putusnya. Semoga kami selamat hidup di dunia ini dan di akhirat kelak. Amin ya Allah, Amin Ya Rahman, Amin Ya rahim”.

Setelah menunaikan sholat subuh itu, Rasyid berdiri melangkah mendekatkan dirinya pada pintu kamar persalinan sang istri. Langkahnya kakinya berhenti pas di depan pintu kamar persalinan yang sedang tertutup rapat. Dia ingin sekali melihat, tapi tak dapat melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu. Terdengar oleh dia hanyalah rintihan dan jeritan sang istri. “Tekan yang kuat nak…ayo tekan lagi. Tarik nafas dalam-dalam, lalu tekan yang kuat….. kuat-kuat.. Ayo lebih semangat lagi”. Begitulah suara yang bisa terdengar dari luar kamar. “Ayo sayangku, kamu bisa…yang semangat Fat” ucap Rasyid dari dalam hatinya. Semoga saja bisikan Rasyid tadi bisa sampai ke hati Fatimah. Karena Suaminya hanya bisa menolong dia dengan berdiri sambil berdoa dibalik pintu kayu yang berwarna hijau muda itu.

Dari balik bukit Barisan nan hijau yang berbaris seperti sebuah benteng purba raksasa mengepung kota Padang dengan bentuk setengah lingkaran, matahari pagi mengintip dengan pelan dan perlahan, kemudian memantulkan sinar terang cerah berwarna keemasan merambati setiap sisi-sisi gedung dan bangunan kota. Menjalari setiap liuk dan kelok sungai Batang Arau yang selalu ramai dengan lalu lalang perahu dan kapal penangkap ikan. Mengantarkan hangatnya melalui batangan-batangan baja rel kereta untuk “si-mak itam” alias lokomotif yang masing sedang tertidur bersama dengan para gerbong yang selalu mengekor dibelakang, tidur tengkurap diatas rel di stasiun kereta api PJKA, di Simpang Haru. Menyoroti aspal hitam jalan-jalan raya nan landai dan datar di kota Padang. Sinar terangnya terus lurus menembus kabut tipis yang sedang menyelimuti pulau Pandan dan pulau Angsa Dua yang berada diseberang bibir pantai kota Padang, di laut samudera Hindia. Awan kelabu sudah sirnah dan lenyap. Burung-burung sudah berkicau-kicau membuat sebuah choir untuk menyambut kedatangan sang surya. Sebagian burung juga sudah terbang keluar dari sarangnya, walaupun hawa masih dingin mereka akan tetap keluar dan terbang mencari makan. Tanah dan rerumputan tampak becek dan berlumpur karena genangan air membuat tanah menjadi liat seperti bubur. Bunga-bunga dan pepohonan disekitar pekarangan rumah sakit bersalin tampak seperti orang yang sedang rukuk merundukkan rantingnya karena penat menahan berat beban air yang melekat di dedaunannya. Di depan rumahsakit bersalin kelihatannya air hujan semalam masih menggenangi sebagian badan jalan raya. Satu dua kendaraan sudah mulai tampak lalu lalang membelah genangan air dengan suara gemercik air karena terlindas roda-roda kendaraan di jalan Gereja pagi itu. Begitulah orang Padang memberi nama jalan raya tersebut. Karena ada tiga buah komplek gereja peninggalan kolonial Belanda di sisi kiri dan kanan jalan raya tersebut.

Teng, teng, teng, suara lonceng gereja berdentang enam kali, menandakan hari sudah pukul 06:00 pagi. Gaung suara lonceng terdengar keras sepertinya sumber suara berada dekat sekali dengan rumah sakit bersalin Santa Ellizabeth. Ternyata, itu suara lonceng milik gereja yang berada disebelah rumah sakit bersalin. Rasyid masih saja sama seperti satu jam yang lalu, perasaannya yang gundah belum juga sirnah dari hati dan pikirannya. Tampak jelas kegundahan itu membias di raut wajahnya nan sendu dan murung. Walaupun cuaca sudah cerah, suara kendaraan sudah menderu di jalan raya, walau telinga sudah berdengung karena suara lonceng tadi. Dia sama sekali tidak terusik oleh suara-suara itu. Dia masih saja duduk dengan gelisah di bangku beranda, kemudian merokok lagi, lalu jalan lagi mondar-mandir, terus masuk kedalam koridor kamar bersalin, berhenti pas di depan pintu tadi, Kemudian keluar lagi. Sisa puntung dan abu rokok si Rasyid sudah bertebaran, berserakan di lantai teras. Paling banyak bertumpuk dibawah bangku panjang berwarna abu-abu. Rasyid sadar kalau kotoran rokok itu dapat membuat petugas kebersihan kesal bahkan marah. Karena sebentar lagi petugas kebersihan akan datang untuk menyapu dan mengepel lantai gedung rumah sakit bersalin. Ketika Rasyid menyelipkan sebatang rokok lagi di bibirnya, lalu menyalakan mancisnya, dan persis api mancis itu hampir menjilat ujung tembakau rokok filternya. Tiba-tiba tanpa sedikitpun dia menyadari, Amak Rosna sudah berdiri di sampingnya. “Oi…Malin. Barantilah marokok tu. Anak bujang Malin alah layia tu ha, masuaklah kadalam lai”. Amak dengan sangat gembira memberitahu menantunya bahwa Fatimah sudah melahirkan anak laki-laki. Mak Rosna tadi memanggil menantunya dengan sebutan Malin. Salah satu gelar adat yang disandang oleh setiap laki-laki di Minangkabau apabila dia telah mempunyai istri.

Alangkah sungguh bahagia sangat hati si Rasyid pagi itu mendengar berita baik dari si ibu mertua. Wajah Rasyid yang tadi lesu sendu kelabu karena cemas dan lelah menahan hawa dingin, sekejap saja langsung sirnah. Atmosfir tiba-tiba berubah begitu saja, sontak adrenalin memompa seluruh pembuluh darah Rasyid. Wajah Rasyid berubah menjadi merah dan segar. Bahunya langsung tegak berbidang. Rasyid menarik nafas lega. Dia melangkah dengan kaki tegap bersemangat berjalan tergesa masuk ke kamar persalinan. Sambil berjalan tergesa kedalam kamar bersalin mulutnya menghamburkan berbagai kalimat puja puji kepada Allah “Allahhu akbar, Subhanaullah, Alhamdulilah ya Allah, Allah tuhanku yang maha mendengar, engkau telah mengabulkan doa-doa hamba”. Begitu hikmat Rasyid bersyukur dalam hatinya.

“Uda.. Anak kito alah layia uda” Fatimah dengan wajah berseri masih terbaring letih di ranjang persalinan, menyambut suaminya masuk kedalam kamar dengan berita baik. “Puji tuhan… putra bapak sudah lahir dengan sehat dan selamat” kata ibu bidan menyambut langkah Rasyid mendekati anaknya. Ibu bidan sedang memasang bedong untuk si bayi. Suara tangis bayi laki-laki Rasyid nan mungil dan merah terbungkus dalam kain bedong putih terdengar lantang dan bergema ke seluruh ruangan di rumah sakit bersalin itu. Rasyid dengan riang membungkuk mendekatkan kepalanya ke putranya yang sedang menangis keras di dalam gendongan ibu bidan. Jari telunjuk Rasyid melingkari sisi kain bedong yang membungkus pada wajah mungil putranya. Dia dengan hikmat memandangi wajah putranya yang baru jasa tiba di alam dunia ini. Dengan wajah berseri, mata berbinar, Rasyid tersenyum bahagia. Sambil tertawa riang dia berkata pada semua orang yang ada di dalam kamar persalinan “anak ambo laki-laki” “laki-laki”. “Anak kito laki-laki Fat…” memberitahukan istrinya bahwa dia sangat bahagia. Rasyid bersyukur, dan sangat berterimakasih kepada Allah. Dengan kelahiran putra pertamanya, ia merasa Allah telah menjadikan dia orang paling kaya raya di atas bumi ini. Dia melangkah kesisi ranjang tempat Fatimah masih terbaring dengan letih. Di raihnya tangan istrinya, lalu di ciumnya kening Fatimah. Tangan kirinya membelai kening hingga rambut Fatimah. “Tarimokasih adinda, dinda alah malayikan anak kito jo salamaik, ba’itu pulo uda caliak dinda lai sehat, lai kuek juo”. Rasyid berkata pelan di telinga sang istri untuk berterima kasih atas jasanya karena telah dapat melahirkan putra mereka dengan selamat. Sekaligus Rasyid mengatakan bahwa dia tidak cemas lagi. Karena Fatimah terlihat masih dalam keadaan sehat dan kuat pasca melahirkan ini. “Alhamdulilah Uda… berkat doa uda, Tim lai baik-baik sajo” balas Fatimah walaupun dia kecapaian, dia masih sanggup menyenangkan hati si suami.

Amak Rosna duduk dikursi kayu disebelah kaki Fatimah yang terulur ditutupi kain panjang coklat tanah bermotif “itiak pulang patang”. Tangannya yang tua dengan kulit putih nan keriput melumuri kaki putrinya dengan balsem gosok berwarna kuning produk buatan cina. Amak sangat bahagia melihat putri ke 3 nya telah berhasil meneruskan garis keturunan keluarganya. Fatimah adalah anak ke 6 dari 10 bersaudara. 5 laki-laki dan 5 perempuan. Dalam benak Amak dia menghitung dan mengingat bahwa anak si Fatimah yang baru lahir ini adalah cucunya yang kesekian. Terbayang oleh Amak pada suatu masa nanti di hari raya Idul Fitri dia akan di kelilingi oleh banyak cucu. Oleh karena itu dia akan menyediakan banyak-banyak uang untuk diberikan kepada cucu-cucu Amak satu persatu sebagai ampau lebaran dari sang nenek yang mengasihi mereka semua.

Ibu bidan datang mendekat memindahkan si bayi ke pelukan ibunya untuk mendapatkan ASI pertama. Fatimah dengan girang menerima anaknya di pangkuan. Si bayi masih saja menangis tanpa henti, mungkin dia sudah haus. Sejak dia keluar dari rahim Fatimah setetespun belum pernah dia mencicipi air susu. “Iyo nak….cup cup cup, ikonyo sayang anak bujang bundo, mimik susu awak lai” suara menghiba sang ibu kepada sibayi. Segera si ibu mengeluarkan sebelah payudaranya yang membengkak kemerhan karena dipenuhi oleh air susu murni yang akan segera menetes membasahi mulut kecil si bayi. Langsung saja si bayi terdiam senyap setelah melumat puting susu ibunya. Semua orang dikamar itu dengan tersenyum senang melihat si bayi lahap menetek susu ibunya.

Memecah suasana, Mak Rosna bertanya kepada Rasyid, “Alah ado namo untuak cucu amak, dek Malin?” Amak Rosna bertanya tentang siapa nama yang akan si ayah berikan kepada cucunya. “Lah ambo siapkan namonyo mak”. Ternyata Rasyid sudah lama mempersiapkan nama untuk anak laki-lakinya. “Namonyo adalah Ibrahim Al Rasyid”. “Wah rancak bana namo si buyuang ko mah”. Salut mak Rosna memuji nama pemberian Rasyid terhadap cucunya. Ibu bidan tersenyum mengetahui nama si bayi ini, dia juga ikut memuji “bagus nian nama si buyung, sama dengan nama bapak moyang kita nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim adalah leluhur dari tiga agama samawi di bumi ini, Yahudi, Kristiani dan Islam. Saya memuji nama yang telah bapak berikan pada putra bapak”. “Terimakasi buk bidan” hatur Rasyid kepada ibu bidan, “Terimakasih juga ibu sudah menyelamatkan keluarga saya. Berkat pertolongan ibu saya telah menjadi seorang ayah, dan kami dapat berbahagia sekarang”. “jangan begitu pak, ini sudah tugas saya, Tuhan lah yang maha pengasih, berterimakasihlah pada tuhan” begitu kata ibu bidan mengingatkan Rasyid untuk berterimakasih kepada tuhan.

Ibrahim telah kenyang meminum air susu ibunya. Dia mulai mengantuk, mulai mengeyak-ngeyak rewel ingin tidur. Ibu bidan sudah keluar dari kamar, kamar sudah bersih dan rapi, tadi salah seorang suster sibuk merapikan segala sesuatu dikamar itu. Sebagai tanda bahwa tugas persalinan mereka telah selesai. Tinggal mereka berempat di kamar itu. Nenek Rosna teringat pada pesan ibu bidan tadi bahwa dia menyuruh Rasyid untuk berterimakasih kepada tuhan. Lalu si nenek mengigatkan menantunya, Rasyid. “Malin… Sabalun Ibrahim ko di lalokan, alangkah eloknyo Malin manyampaikan suaro azan di talingo anak ko. Supayo nanti anak ko taat beribadah menjalankan perintah Allah. Ba’itulah sunah yang di anjurkan jo nabi Muhammad.” Rasyid setuju dengan saran si Amak.

Rasyid mengisaratkan pada Fatimah dengan bahasa tubuh. Tanda mereka berdua setuju untuk melaksanakan sunah nabi Muhammad. Fatimah menggeser badannya lalu memiringkan bahunya untuk dapat membaringkan Ibrahim bayinya diatas kasur pas didepan payudaranya. Kemudian Rasyid meminjam bangku yang diduduki oleh si nenek. Digesernya posisi bangku ke samping ranjang pas didepan kedua anak dan istrinya. Rasyid duduk kemudian mendekatkan suara ke daun telinga anaknya. Dengan lambat dan pelan Rasyid mengalunkan kalimat azan di telinga Ibrahim. Kemudian Ibrahim mulai terlelap sambil mendengar suara sang ayah yang mengalun pelan dan mendayu seperti sebuah nyanyian sebelum tidur. Itulah suara azan pertama yang di dengar oleh Ibrahim Al Rasyid. Suara yang keluar dari mulut seorang laki-laki yang teramat sangat mencintainya. Itulah suatu macam bentuk ritual sederhana yang biasa dilakukan oleh seorang ayah yang muslim untuk menyambut anak laki-laki yang telah lahir ke dunia.

Minggu, 7 Agustus 1982, itulah hari kelahiran Ibrahim Al Rasyid. Putra pertama dari pasangan Rasyid Malin Bungsu dan Fatimah binti Zainudin. Inilah hari suka cita bagi keluarga besar Amak Rosna. Dimana semua anak dan menantu beserta cucu-cucu Amak datang kerumah bersalin Santa Ellizabeth untuk memberi selamat kepada Fatimah dan Rasyid atas kelahiran keponakan mereka. Mereka datang dengan membawa perlengkapan mandi khusus bayi, kain popok, kain bedong, serta roti dan buah-buahan sebagai buah tangan. Begitu juga dengan keluarga Rasyid, Abak, Ibu beserta 5 orang adik-adiknya Rizal, Amran, Yanti, Nela dan sikecil Upik telah hadir di kamar itu sejak pukul 10.00. Mereka datang lebih awal dari pada keluarga besar Amak Rosna. Karena bagi Abak, ayah’nda Rasyid, ini adalah hari yang sangat istimewa, hari dimana cucu pertama beliau hadir ke dunia ini. Semua senang, semua bahagia. Kedua nenek itu dan si kakek, juga para etek, saudara perempuan dari fatimah atau Rasyid, bergantian menggendong Ibrahim. Karena begitu ramainya keluarga hadir di kamar itu, kamar yang tadi lapang kini menjadi sempit dan panas. Suara riang dan canda bergema ke seluruh ruangan di dalam gedung rumah sakit bersalin Santa Ellizabeth. (Lucky Lukmansyah)

Photo: travel.detik.com

Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © Simple SEO ✔